Sebelum Nabi SAW berhijrah ke Madinah, Allah telah memerintahkan kepada
beliau dan ummatnya supaya mengerjakan shalat sehari semalam lima kali,
pada waktu yang telah ditetapkan, sebagaimana telah kami uraikan dalam
bab Isra' dan Mi'raj yang lalu. Maka shalat itu selain untuk menuntun
kaum muslimin selalu ingat akan kebesaran Allah dan kekuasaan-Nya, juga
untuk membimbing kaum muslimin supaya menjadi ummat yang bersatu,
seia-sekata. Oleh sebab itu maka Nabi SAW memberi pimpinan kepada para
pengikutnya supaya mereka mengerjakan shalat itu bersama-sama
(berjama'ah). Yang demikian itu agar persatuan dan rasa persaudaraan
kaum muslimin makin meresap dan mendalam, satu sama lain dapat
mengetahui hajat mereka masing-masing, dan berkeyakinan bahwa yang
mereka tuju itu tunggal, tidak ada perbedaan antara si kaya dan si
miskin, dan masing-masing mengaku menjadi hamba Allah Yang Maha Esa.
Setelah Nabi SAW hijrah ke Madinah, karena jumlah kaum muslimin sudah
banyak, maka sukar dan susah bagi Nabi SAW untuk mengumpulkan mereka
pada tiap-tiap datang waktu shalat. Lalu Nabi SAW bermusyawarah dengan
para shahabat untuk merundingkan bagaimana cara yang termudah dan
teringan untuk mengumpulkan kaum muslimin di masjid pada setiap datang
waktu shalat.
Maka pada waktu itu ada beberapa pendapat dan
usulan. Ada yang berpendapat bahwa untuk tanda telah tiba waktu shalat
cukup dengan menaikkan atau mengibarkan bendera. Seorang lainnya
berpendapat dengan menyalakan api. Seorang yang lainnya lagi berpendapat
dengan meniup terompet. Ada pula yang berpendapat dengan memukul
lonceng. Kemudian ada pula yang berpendapat bahwa untuk memanggil shalat
cukup dengan menetapkan seseorang untuk berseru dengan kalimah :
"Ash-shalaah !". Kemudian
Nabi SAW menyetujui pendapat terakhir ini
yaitu pendapatnya 'Umar bin Khaththab RA. Kemudian Nabi SAW bersabda
kepada Bilal :
يَا بِلاَلُ، قُمْ فَنَادِ بِالصَّلاَةِ
"Hai Bilal, bangunlah, maka panggillah dengan kalimah Ash-Shalaah !".
Oleh sebab itu bila tiba waktu shalat shahabat Bilal berseru :
اَلصَّلاَةُ جَامِعَةٌ ! اَلصَّلاَةُ جَامِعَةٌ !
Shalat bersama-sama ! Shalat bersama-sama !
Kemudian pada suatu malam, shahabat 'Abdullah bin Zaid dalam keadaan
diantara tidur dan jaga, tiba-tiba terlihat olehnya ada seorang
laki-laki memakai dua pakaian hijau sambil mengelilinginya dan tangannya
membawa sebuah lonceng. Shahabat 'Abdullah bertanya kepada oang itu :
"Hai hamba Allah, apakah engkau akan menjual lonceng itu ?". Orang itu
menjawab : "Apa yang akan kau perbuat dengannya ?".
Shahabat 'Abdullah
menjawab : "Akan kami pergunakan untuk memanggil shalat". Orang itu
berkata : "Maukah engkau saya perlihatkan kepadamu yang lebih baik
daripada itu ?". Shahabat 'Abdullah menjawab : "Ya, mau. Cobalah
tunjukkan !". Orang itu berkata : Berserulah engkau dengan ucapan :
اَللهُ اَكْبَرُ اَللهُ اَكْبَرُ، اَللهُ اَكْبَرُ اَللهُ اَكْبَرُ،
اَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلهَ اِلاَّ اللهُ، اَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلهَ اِلاَّ
اللهُ، اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا رَّسُوْلُ اللهِ، اَشْهَدُ اَنَّ
مُحَمَّدًا رَّسُوْلُ اللهِ، حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ، حَيَّ عَلَى
الصَّلاَةِ، حَيَّ عَلَى اْلفَلاَحِ، حَيَّ عَلَى اْلفَلاَحِ، اَللهُ
اَكْبَرُ اَللهُ اَكْبَرُ، لاَ اِلهَ اِلاَّ اللهُ.
Kemudian orang itu
mundur ke tempat yang tidak seberapa jauh dari tempat semula, lalu ia
berkata kepada shahabat 'Abdullah bin Zaid : "Bila engkau hendak berdiri
shalat, maka ucapkanlah :
اَللهُ اَكْبَرُ اَللهُ اَكْبَرُ، اَشْهَدُ
اَنْ لاَ اِلهَ اِلاَّ اللهُ، اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا رَّسُوْلُ اللهِ،
حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ، حَيَّ عَلَى اْلفَلاَحِ، قَدْ قَامَتِ
الصَّلاَةُ، قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ، اَللهُ اَكْبَرُ اَللهُ اَكْبَرُ،
لاَ اِلهَ اِلاَّ اللهُ.
Keesokan harinya shahabat 'Abdullah bin Zaid
menghadap kepada Nabi SAW dan mengabarkan kepada beliau tentang
mimpinya itu. Setelah Nabi SAW mendengar segala apa yang dikatakan oleh
shahabat 'Abdullah bin Zaid, beliau bersabda :
اِنَّ هذَا الرُّؤْيَا حَقُّ اِنْ شَاءَ اللهُ
Sesungguhnya mimpi ini benar, Insya Allah.
فَـقُمْ مَعَ بِلاَلٍ، فَاِنَّهُ اَنْدَى وَ اَمَدُّ صَوْتًا مِنْكَ فَاَلْقِ عَلَيْهِ مَا قِيْلَ لَكَ وَ لْيُنَادِ بِذلِكَ.
Maka berdirilah (pergilah) kamu kepada Bilal, karena dia itu suaranya
lebih tinggi dan lebih panjang daripada kamu, lalu ajarilah Bilal akan
segala apa yang telah diucapkan orang itu kepadamu. Dan hendaklah Bilal
memanggil orang untuk shalat dengan yang sedemikian itu.
Shahabat 'Abdullah bin Zaid lalu menemui shahabat Bilal dan mengajarkan kepadanya adzan dan qamat tersebut.
Kemudian setelah datang waktu shalat, shahabat Bilal memanggil orang
untuk shalat dengan mengucapkan adzan dan qamat tersebut. Ketika
mendengar suara adzan shahabat Bilal itu, shahabat 'Umar yang pada waktu
itu sedang berada di rumah lalu datang kepada Rasulullah SAW dengan
menyeret selendangnya.
Kemudian 'Umar berkata :
يَا رَسُوْلَ اللهِ وَ الَّذِيْ بَعَثَكَ بِاْلحَقِّ، لَقَدْ رَأَيـْتُ مِثْلَ الَّذِيْ قَالَ
Ya Rasulullah, demi Dzat yang telah mengutus engkau dengan benar,
sungguh semalam saya bermimpi sebagaimana yang diucapkan Bilal.
Nabi SAW bersabda :
فَلِلّهِ اْلحَمْدُ فَذلِكَ اَثْـبَتُ
Segala puji bagi Allah, maka demikianlah yang lebih tetap.
Demikianlah singkatnya riwayat asal mulanya adzan dan qamat di dalam
Islam, yang hingga kini masih tetap dikerjakan oleh seluruh ummat Islam
di seluruh dunia.
Kemudian ada diriwayatkan dalam kitab-kitab tarikh
dan kitab-kitab hadits bahwa setelah berlaku setiap tiba waktu shalat,
shahabat Bilal berdiri mengucapkan adzan dan qamat, beberapa hari
kemudian pada adzan Shubuh shahabat Bilal menambahkan ucapan :
اَلصَّلاَةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ، اَلصَّلاَةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ
Mendengar ucapan Bilal itu Nabi SAW lalu menetapkan kebaikannya. Hal
ini pun hingga kini masih tetap dikerjakan oleh kaum muslimin umumnya.
10. Kemajuan Islam dan Kaum Muslimin di Madinah.
Setelah Nabi SAW mempersaudarakan antara para shahabat Muhajirin dan
Anshar, persatuan dan persaudaraan antara kaum Muhajirin dan Anshar itu
makin hari semakin erat, bertambah lama kian kokoh. Demikianlah tiap
seorang Muhajir bersaudara dengan seorang Anshar.
Tiap seorang
Anshar mengajak saudaranya seorang Muhajir supaya bertempat tinggal di
rumahnya, dia menyerahkan separuh dari halaman rumahnya, separuh
barang-barang kepunyaannya, separuh dari binatang-binatang ternaknya
serta separuh harta bendanya kepada saudaranya Muhajir itu. Dan bahkan
ada pula seorang shahbat Anshar yang mempunyai istri lebih dari seorang,
merelakan salah seorang istrinya untuk dicerainya, dan sesudah habis
masa iddahnya disuruh menikah dengan saudaranya seorang Muhajir.
Persaudaraan semacam ini makin hari kian kokoh, sehingga mengalahkan
atau melebihi persaudaraan antara orang-orang yang seibu-sebapak.
Sebagai bukti, pada waktu itu apabila seorang Anshar meninggal dunia,
maka segala barang dan harta peninggalannya tidaklah diwarisi oleh para
anggota keluarganya, melainkan diwarisi oleh saudaranya yang seagama dan
sependirian. Hal demikian itu berjalan selama bertahun-tahun, hingga
akhirnya Allah menurunkan wahyu yang merubahnya.
Dan juga tentang
diri orang-orang dari golongan Aus dan Khajraj, yang telah berabad-abad
lamanya selalu bermusuhan, sesudah mereka memeluk Islam lenyaplah semua
rasa permusuhan itu dari dada mereka masing-masing. Pendek kata,
persaudaraan muslimin pada masa itu sangat hebat. Dan dengan adanya
persatuan dan persaudaraan yang begitu hebat dan mengagumkan itu maka
tampaklah kemajuan Islam, berseri-serilah kota Madinah. Hal ini yang
dituju dan dimaksudkan oleh ayat firman Allah yang bunyinya :
وَ
اَلَّفَ بَيْنَ قُلُوْبِهِمْ. لَوْ اَنْفَقْتَ مَا فِى اْلاَرْضِ جَمِيْعًا
مَّا اَلَّفْتَ بَيْنَ قُلُوْبِهِمْ وَ لكِنَّ اللهَ اَلَّفَ بَيْنَهُمْ،
اِنَّه عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ. الانفال:63
Dan Dia (Allah) lah yang
menghimpunkan antara hati mereka itu, seandainya engkau (Muhammad)
membelanjakan (mengurbankan) segala apa yang ada di bumi seluruhnya,
tidaklah engkau dapat menghimpunkan antara hati mereka. Tetapi Allah
yang menghimpunkan antara hati mereka itu. Sesungguhnya Dia Yang Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana. [Al-Anfaal : 63]
Oleh para ahli tafsir
diterangkan bahwa turunnya ayat ini adalah berkenaan dengan persaudaraan
dan persatuan antara kaum Aus dan Khajraj dan berkenaan dengan adanya
persaudaraan antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar. Jadi ayat itu
berarti bahwa yang menghimpun atau mempersatukan hati mereka itu adalah
Allah sendiri, disebabkan oleh tauhid dan iman mereka kepada Allah. Dan
andaikata Nabi SAW mengurbankan seluruh harta-benda yang terdapat di
muka bumi ini untuk menghimpun dan mempersatukan mereka itu, selama
mereka belum bertauhid dan beriman sungguh-sungguh kepada Allah, selama
itu pula mereka tidak akan dapat bersatu dan hati mereka tidak akan
terhimpun seerat-eratnya. Dengan adanya tauhid dan iman mereka kepada
Allah itu dengan sendirinya mereka menjadi bersatu dan hati mereka
terhimpun. Artinya, Allah lah yang mempersatukan mereka itu.
Maka
dengan riwayat ini cukuplah menjadi petunjuk bagi kita ummat Islam bahwa
dengan tauhid dan imanlah persatuan bangsa dan ummat akan lekas
terwujud, dan dengan adanya persatuan yang suci dan tulus ikhlash maka
golongan yang hendak memusuhi Islam akan merasa cemas dan lemah. Sebab
dengan persatuan yang suci dan tulus ikhlash itu dapat menimbulkan
keyakinan pada diri masing-masing bahwa mereka adalah hamba Allah
semata-mata, mereka mempunyai kewajiban yang sama. Maka dengan adanya
persatuan semacam itulah Islam pada waktu itu memperoleh kemajuan yang
pesat.
11. Nabi SAW Mengadakan Perjanjian Dengan Kaum Yahudi di Madinah.
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa di Madinah sebelum Nabi SAW
berhijarh ke sana, waktu ruh Islam belum masuk ke sana, ada dua golongan
bangsa 'Arab yang terbesar yang telah lama ada di bawah pengaruh kaum
Yahudi yang diam di sana. Kedua golongan itu ialah golongan Aus dan
Khajraj yang telah lama bermusuhan. Adapun kaum Yahudi yang ada di
Madinah pada masa itu terdiri dari tiga golongan, yaitu Banu Quraidhah,
Banu Nadlir dan Banu Qainuqa'. Setelah ketiga golongan kaum Yahudi itu
melihat bahwa kedua golongan bangsa 'Arab yang terbesar yang telah lama
bermusuhan itu sudah mendapat pimpinan Islam lalu bersatu, dan persatuan
mereka mengakibatkan lebih tersiarnya Islam, lebih-lebih persatuan
mereka dengan kaum Muslimin dari Makkah yang mengakibatkan kemajuan
Islam di segenap penjuru kota Madinah sudah sukar sekali
dihalang-halangi, maka mereka kaum Yahudi itu mendirikan persatuan
sendiri, dengan tujuan merintangi kemajuan Islam.
Waktu itu Nabi SAW
telah mengetahui bahwa ketiga golongan kaum Yahudi itu dan
golongan-golongan lainnya sama berupaya untuk menghalang-halangi
kemajuan Islam dan kaum Muslimin, oleh sebab itu beliau mengajak mereka
berdamai, agar mereka jangan terus-menerus mendengki dan membenci Islam
dan orang-orang yang menjadi pengikutnya, dan jangan pula mereka
merintangi dakwah Islam yang sedang disiar-siarkan oleh kaum Muslimin.
Maka beliau mengirimkan kepada mereka sepucuk surat yang berisi
perjanjian, yang pokok-pokok isinya adalah sebagai berikut :
1. Janganlah kaum Yahudi mendengki kaum muslimin dan sebaliknya janganlah kaum muslimin mendengki mereka.
2. Janganlah kaum Yahudi membenci kaum muslimin dan sebaliknya janganlah kaum muslimin membenci mereka.
3. Bahwa hendaknya kaum Yahudi dan kaum muslimin hidup bersama-sama sebagai satu bangsa.
4. Bahwa kaum Yahudi dan kaum muslimin masing-masing merdeka mengerjakan agamanya dan masing-masing jangan ganggu-mengganggu.
5. Bahwa jikalau kaum Yahudi diserang oleh musuh dari luar, wajiblah
bagi kaum muslimin membantu mereka, dan sebaliknya jikalau kaum muslimin
diserang oleh musuh dari luar, wajiblah bagi kaum Yahudi membantu
mereka.
6. Bahwa jikalau kota Madinah diserang oleh musuh dari
luar, maka kaum Yahudi dan kaum muslimin harus mempertahankannya
bersama-sama.
Demikianlah singkatnya surat perjanjian Nabi SAW
dengan kaum Yahudi. Kemudian pada bagian terakhir dari perjanjian itu
Nabi SAW mengatakan : "Bahwa jika diantara kaum Yahudi dan kaum muslimin
timbul suatu perselisihan maka Nabi SAW lah yang akan menjadi hakim
untuk perkara itu".
Surat perjanjian yang mengandung arti sedemikian
tadi, adalah perjanjian pershahabatan dan perdamaian dengan kaum Yahudi
yang berdiam di kota Madinah dan di sekelilingnya. Dalam surat
perjanjian itu jelas ditetapkan dan diakui hak kemerdekaan tiap-tiap
golongan memeluk dan mengerjakan agamanya masing-masing, dan dalam pada
itu mereka masing-masing bertanggungjawab atas keamanan kota Madinah dan
tempat-tempat di sekelilingnya.
Inilah salah satu perjanjian
perdamaian yang mengandung siasat (politik), dimana pribadi Nabi SAW di
kala itu memperlihatkan kebijaksanaannya sebagai seorang ahli siasat
yang cerdik. Tindakan yang seperti itu belum pernah dikerjakan oleh para
Nabi dan Rasul Allah yang terdahulu, baik Nabi Musa maupun Nabi 'Isa
dan lain-lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar