Kamis, 20 November 2014

Nasehat Nabi kepada Wanita

1. Pada suatu ketika di Madinah, Rasulullah s.a.w. keluar mengiringi jenazah. Baginda dapati beberapa orang wanita dalam majlis tersebut. lalu Baginda bertanya, “Adakah kamu menyembahyangkan mayat?” Jawab mereka,”Tidak” Sabda Baginda “Seeloknya kamu sekalian tidak perlu ziarah dan tidak ada pahala bagi kamu. Tetapi tinggallah di rumah dan berkhidmatlah kepada suami nescaya pahalanya sama dengan ibadat kaum orang lelaki.
2. Wanita yang memerah susu binatang dengan ‘Bismillah’ akan didoakan oleh binatang itu dengan doa keberkatan.
3. Wanita yang menguli tepung gandum dengan ‘Bismillah’, Allah akan berkatkan rezekinya.
4. Wanita yang menyapu lantai dengan berzikir akan mendapat pahala seperti meyapu lantai di Baitullah.
5. “Wahai Fatimah, untuk setiap wanita yang mengeluarkan peluh ketika membuat roti, Allah akan membinakan 7 parit di antara dirinya dengan api neraka, jarak di antara parit itu ialah sejauh langit dan bumi.”
6. “Wahai Fatimah, bagi setiap wanita yang memintal benang, Allah akan mencatatkan untuknya perbuatan baik sebanyak utas benang yang dibuat dan memadamkan seratus perbuatan jahat.”
7. “Wahai Fatimah, untuk setiap wanita yang menganyam akan benang dibuatnya, Allah telah menentukan satu tempat khas untuknya di atas tahta di hari akhirat.”
8. “Wahai Fatimah, bagi setiap wanita yang memintal benang dan kemudian dibuat pakaian untuk anak-anaknya maka Allah akan mencatit baginya ganjaran sama seperti orang yang memberi makan kepada 1000 orang lapar dan memberi pakaian kepada 1000 orang yang tidak berpakaian.”
9. “Wahai Fatimah, bagi setiap wanita yang meminyakkan rambut anaknya, menyikatnya, mencuci pakaian mereka dan mencuci akan diri anaknya itu, Allah akan mencatatkan untuknya pekerjaan baik sebanyak helai rambut mereka dan memadamkan sebanyak itu pula pekerjaan jahat dan menjadikan dirinya kelihatan berseri di mata orang-orang yang memerhatikannya.”
10. Sabda Nabi s.a.w. : “Ya Fatimah setiap wanita meminyakkan rambut dan janggut suaminya, memotong misai dan mengerat kukunya, Allah akan mem
beri minum kepadanya dari sungai-sungai serta diringankan Allah baginya sakaratul maut dan akan didapatinya kuburnya menjadi sebuah taman daripada taman-taman syurga dan dicatatkan Allah baginya kelepasan dari api neraka dan selamatlah ia melintas Titian Siratul Mustaqim.
11. Jika suami mengajarkan atau menerangkan kepada isterinya satu masalah agama atau dunia dia akan mendapat pahala 80 tahun ibadat.
12. Wanita yang menyebabkan suaminya keluar dan berjuang ke jalan Allah dan kemudian menjaga adab rumahtangganya akan masuk syurga 500 tahun lebih awal daripada suaminya, akan menjadi ketua 70,000 malaikat dan bidadari dan wanita itu akan dimandikan di dalam syurga dan menunggu kedatangan suaminya dengan menunggang kuda yang dibuat daripada yakut.
13. Semua orang akan dipanggil untuk melihat wajah Allah di akhirat, tetapi Allah akan datang sendiri kepada wanita yang memberati auratnya iaitu memakai purdah di dunia ini dengan istiqamah. Dunia ini adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan ialah wanita (isteri) yang solehah.
14. Salah satu tanda keberkatan wanita itu ialah cepat perkahwinannya, cepat pula kehamilannya dan ringan pula maharnya (mas kahwin).
15. Sebaik-baik wanita ialah wanita (isteri) yang apabila engkau memandang kepadanya ia meng- gembirakan kamu, jika engkau memerintahnya ia mentaati perintah tersebut dan jika engkau bermusafir dia menjaga harta engkau dan dirinya. Maksud hadis: Dunia yang paling aku sukai ialah wanita solehah.
RENUNGI DAN SEBARKAN...
Mudah- mudahan menjadi asbab hidayah kepada umat MANUSIA...
Al Faqir

Hukum kerjasama dengan Yahudi

Jangan Berikan Rasa Sayang dan Kasihan Kepada Orang Kafir

[Ayat ke-5]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا بِمَا جَاءَكُمْ مِنَ الْحَقِّ يُخْرِجُونَ الرَّسُولَ وَإِيَّاكُمْ أَنْ تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ رَبِّكُمْ إِنْ كُنْتُمْ خَرَجْتُمْ جِهَادًا فِي سَبِيلِي وَابْتِغَاءَ مَرْضَاتِي
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi auliya yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad pada jalan-Ku dan mencari keridaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian)” (QS. Al Mumtahanah: 1).

Para ulama ahli tafsir menjelaskan bahwa sebab turunnya ayat ini adalah kisah Hathib bin Abi Baltha’ah radhiallahu’anhu. Beliau adalah sahabat Nabi yang ikut hijrah, beliau juga mengikuti perang Badar, namun beliau memiliki anak-anak, sanak kerabat dan harta di kota Mekkah yang ia tinggalkan untuk berhijrah. Ketika Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam diperintahkan untuk membuka kota Mekkah dan memerangi orang Musyrikin di sana, Hathib merasa kasihan kepada orang-orang Quraisy di Mekkah. Hathib pun berinisiatif untuk berkomunikasi dengan kaum Quraisy secara diam-diam melalui surat yang dikirimkan melalui seorang wanita. Hathib mengabarkan kedatangan pasukan kaum Muslimin untuk menyerang kaum Quraisy di Mekkah. Bukan karena Hathib berkhianat dan bukan karena ia munafik, namun ia kasihan kepada kaum Quraisy dan berharap mereka mau dirangkul untuk memeluk Islam daripada mereka hancur binasa. Namun para sahabat memergoki wanita yang membawa surat dan melaporkan hal ini kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Lalu turunlah ayat ini sebagai teguran untuk tidak kasihan dan tidak menaruh rasa sayang kepada orang-orang kafir, apalagi dengan menyampaikan kepada mereka kabar-kabar rahasia kaum Muslimin. Namun Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menegur Hathib namun memaafkannya dan memberinya udzur (lihat Tafsir Ibni Katsir 8/82, Tafsir As Sa’di 7/854)
Berikut ini isi surat Hathib:
أَمَّا بَعْدُ يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَاءَكُمْ بِجَيْشٍ كَاللَّيْلِ يَسِيرُ كَالسَّيْلِ فَوَاللَّهِ لَوْ جَاءَكُمْ وَحْدَهُ لَنَصَرَهُ اللَّهُ وَأَنْجَزَ لَهُ وَعْدَهُ فَانْظُرُوا لِأَنْفُسِكُمْ وَالسَّلَامُ
Amma ba’du. Wahai kaum Quraisy, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sedang mendatangi kalian dengan membawa pasukan yang bak gelapnya malam, yang cepat bagaikan air bah. Demi Allah, andaikan Ia (Rasulullah) datang seorang diri pun, Allah akan menolongnya dan memenangkannya atas musuhnya. Maka lihatlah (kasihanilah) diri-diri kalian. Wassalam” (Fathul Baari, 7/520).

As Sa’di menjelaskan: “jangan jadikan musuh Allah dan musuh kalian sebagai auliya, yang engkau berikan rasa sayangmu kepada mereka. Maksudnya jangan kalian terburu-buru memberikan rasa sayangmu kepada mereka ataupun menempuh sebab-sebab yang membuat kalian sayang pada mereka. Karena rasa sayang itu jika muncul akan diikuti oleh nushrah (kecenderungan untuk menolong) dan muwalah (kecenderungan untuk loyal), sehingga akhirnya seseorang pun keluar dari keimanan dan menjadi bagian dari orang-orang kafir meninggalkan ahlul iman” (Tafsir As Sa’di, 854).

[Ayat ke-6]
وَدُّوا لَوْ تَكْفُرُونَ كَمَا كَفَرُوا فَتَكُونُونَ سَوَاءً فَلَا تَتَّخِذُوا مِنْهُمْ أَوْلِيَاءَ حَتَّى يُهَاجِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَخُذُوهُمْ وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ وَلَا تَتَّخِذُوا مِنْهُمْ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا
Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka). Maka janganlah kamu jadikan di antara mereka sebagai auliya bagimu, hingga mereka berhijrah pada jalan Allah. Maka jika mereka berpaling, tawan dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menemuinya, dan janganlah kamu ambil seorang pun di antara mereka auliya, dan jangan (pula) menjadi penolong” (QS. An Nisa: 89)

As Sa’di menjelaskan ayat ini dengan berkata: “ini melazimkan tidak adanya kecintaan terhadap orang kafir, karena wilayah (loyalitas) adalah cabang dari mahabbah (kecintaan). Ini juga melazimkan kita untuk membenci dan memusuhi mereka. Karena larangan terhadap sesuatu berarti perintah untuk melakukan kebalikannya. Dan perlakukan tidak berlaku jika mereka ikut hijrah. Jika mereka ikut hijrah, maka mereka diperlakukan sebagaimana kaum muslimin. Sebagaimana Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam memperlakukan orang-orang yang ikut hijrah bersama beliau sebagaimana perlakuan beliau terhadap orang Islam. Baik mereka yang benar-benar mu’min lahir batin, maupun yang hanya menampakan keimanan secara zhahir. Dan jika mereka berpaling atau tidak mau berhijrah, ‘tawan dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menemuinya‘, maksudnya kapan pun dan dimana pun kau menemui mereka”. (Tafsir As Sa’di, 1/191).
Namun As Sa’di menjelaskan 3 jenis orang kafir yang dikecualikan sehingga tidak diperangi berdasarkan ayat selanjutnya (namun tidak kita bahas panjang lebar di sini), mereka adalah:
  1. Orang-orang kafir yang meminta perlindungan kepada sesuatu kaum, yang antara kamu dan kaum itu telah ada perjanjian damai untuk tidak saling memerangi
  2. Orang-orang kafir yang tidak ingin untuk memerangi kaum Muslimin dan juga tidak memerangi kaumnya, ia memilih untuk tidak memerangi kaum Muslimin maupun kaum kafirin.
  3. Orang-orang munafik yang menampakkan keimanan karena takut diperangi oleh kaum Muslimin (Tafsir As Sa’di, 191).
" Hukum Bekerja dengan Orang Kafir"
Bolehkah bekerja dengan orang kafir dan apakah bekerja dengan orang kafir berarti berloyal dengan mereka?
Jawab:
Untuk menjawabnya, perlu dirinci perihal pekerjaan tersebut, yang terbagi menjadi dua, yaitu:
1. Berserikat dengan orang nonmuslim (kafir) dalam suatu usaha.
2. Orang kafir menyewa tenaga muslim.
Untuk yang kedua ini bisa dalam bentuk:
a. Seorang muslim menjadi pembantu rumah tangga, yang bertugas menyiapkan makan, mencuci, menyapu, membersihkan kotoran, membukakan pintu, dsb.
b. Seorang muslim menjadi tukang dalam suatu pekerjaan, seperti mengecat rumahnya, membuat pagar, dsb.
c. Seorang muslim mendapat pesanan barang atau proyek tertentu, seperti membuat kursi, menjahit pakaian anak-anak, dsb.
Masing-masing gambaran di atas ada hukumnya. Namun, sebelum diterangkan, ada beberapa garis besar perihal bekerjanya seorang muslim untuk orang kafir.
• Tidak diperbolehkan membantu orang kafir, baik secara sukarela (tanpa memungut bayaran) maupun dengan bayaran, dalam hal yang haram menurut agama. Misalnya, memelihara babi dan memasarkannya, memproduksi minuman keras (khamr) dan segala yang memabukkan, transaksi yang mengandung riba, pembangunan gereja, memata-matai muslimin, membantu penyerangan terhadap muslimin, serta yang sejenisnya. Allah l telah berfirman:
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (al-Maidah: 2)
• Tidak boleh memudaratkan muslim itu sendiri atau merugikannya, seperti dilarang melakukan shalat. (Umdatul Qari, syarh Shahih al-Bukhari)
• Tidak diperbolehkan melakukan pekerjaan yang mengandung kehinaan seorang muslim di hadapan orang kafir.
Selanjutnya mari kita simak ulasan hukum pada masalah-masalah di atas.
Berserikat dalam Usaha
Masalah ini diperbolehkan menurut pendapat yang rajih (kuat). Dalilnya, Nabi n pernah melakukan perjanjian dengan Yahudi Khaibar, agar mereka mengelola tanah Khaibar dengan ketentuan separuh hasilnya untuk mereka. Dari Abdullah ibnu Umar, ia berkata:

أَعْطَى رَسُولُ اللهِ n خَيْبَرَ الْيَهُودَ أَنْ يَعْمَلُوهَا وَيَزْرَعُوهَا وَلَهُمْ شَطْرُ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا

Rasulullah n memberikan Khaibar kepada Yahudi agar mereka mengelola dan menanaminya, serta mereka mendapat setengah dari hasilnya.” (Sahih, HR. al-Bukhari, dan beliau memberikan judul yang artinya “Berserikat dengan Orang Kafir Dzimmi dan Musyrik”)
Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan mengatakan, “Seorang muslim diperbolehkan berserikat dengan orang kafir, dengan syarat orang kafir tersebut tidak berkuasa penuh mengaturnya. Bahkan, orang kafir tersebut harus berada di bawah pengawasan muslim agar tidak melakukan transaksi riba atau keharaman yang lain jika ia berkuasa penuh.” (al-Mulakhkhash al-Fiqhi)
Ishaq bin Mansur al-Marwazi bertanya kepada Sufyan, “Apa pandanganmu tentang berserikat dengan seorang Nasrani?”
Beliau menjawab, “Adapun pada sesuatu yang kamu (muslim) tidak lihat, saya tidak menyukainya.”
Al-Imam Ahmad t berkomentar, “Pendapatnya bagus.” (Masail al-Imam Ahmad dan Ibnu Rahuyah)
Orang Kafir Menyewa Tenaga Muslim
Ada beberapa gambaran tentang hal ini.
Gambaran (a) Seorang muslim menjadi pembantu rumah tangga yang menyiapkan makan, mencuci, menyapu, membersihkan kotoran, membukakan pintu, dsb.
Menurut pendapat yang lebih kuat (rajih), tidak boleh karena mengandung kehinaan bagi seorang muslim, padahal Allah l berfirman:
“Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (an-Nisa: 141)
Ini adalah pendapat pengikut mazhab Maliki, Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal (Hanbali) pada salah satu riwayat dari beliau. Namun, riwayat yang lain dari al-Imam Ahmad membolehkan. Adapun pendapat pengikut mazhab Hanafi mengatakan makruh karena mengandung penghinaan.
Al-Muhallab t mengatakan, “Allah l telah memerintahkan hamba-Nya yang beriman agar berada di atas orang-orang musyrik. Allah l berfirman:
‘Janganlah kamu lemah dan meminta damai padahal kamulah yang di atas.’ (Muhammad: 35)
Oleh karena itu, tidak sah bagi seorang muslim untuk menghinakan dirinya dengan menjadi pelayan orang kafir kecuali dalam keadaan terpaksa, maka sah.” (Syarh al-Bukhari karya Ibnu Baththal)
Gambaran (b) Seorang muslim menjadi tukang dalam suatu pekerjaan, seperti mengecat rumahnya, membuat pagar, dsb.
Pekerjaan semacam ini diperbolehkan. Khabbab mengatakan:
“Aku dahulu bekerja sebagai pandai besi pada al-Ash bin Wail. Hingga terkumpullah gajiku dan tertahan pada dirinya. Aku pun mendatanginya untuk menagihnya. Dia justru menjawab, ‘Tidak, demi Allah. Aku tidak akan memberikan upahmu sampai kamu kafir terhadap Muhammad.’ Aku katakan, ‘Demi Allah sampai kamu mati lalu kamu dibangkitkan, aku tidak akan kafir.’ ‘Aku akan mati lalu aku akan dibangkitkan lagi?’ tukasnya. Aku pun menjawab. ‘Ya.’ Dia pun berujar, ‘Kalau begitu nanti aku akan punya harta di sana dan punya anak. Aku akan memberi upahmu di sana.’ Allah l lalu menurunkan ayat, ‘Kabarkan kepadaku tentang seorang yang kafir terhadap ayat-ayat Kami, lalu ia mengatakan, ‘Pasti aku akan diberi harta dan anak’. (Maryam: 77)”
Dalam hadits yang lain dari Ka’b bin Ujrah z:
أَتَيْتُ النَّبِيَّnفَرَأَيْتُهُ مُتَغَيِّراً فَقُلْتُ: بِأَبِي أَنْتَ، مَا لِي أَرَاكَ مُتَغيِّراً؟ قَالَ: مَا دَخَلَ جَوْفِي مَا يَدْخُلُ جَوْفَ ذَاتِ كَبِدٍ مُنْذُ ثَلاَثٍ. قَالَ: فَذَهَبْتُ فَإِذَا يَهُوْدِيٌّ يَسْقِي إِبِلاً لَهُ فَسَقَيْتُ لَهُ عَلَى كُلِّ دَلْوٍ بِتَمْرَةٍ فَجَمَعْتُ تَمْراً فَأَتَيْتُ بِهِ النَّبِيَّnفَقَالَ: مِنْ أَيْنَ لَكَ، يَا كَعْبُ؟ فَأَخْبَرْتُهُ، فَقَالَ النَّبِيُّ n: أَتُحِبُّنِيْ يَا كَعْبُ؟ قُلْتُ: بِأَبِيْ أَنْتَ، نَعَمْ
Aku menghadap Nabi n, aku pun melihat beliau sudah berubah (tubuhnya). “Kutebus engkau dengan ayahku, mengapa kulihat Anda berubah?” Beliau menjawab, “Tidak masuk dalam perutku sesuatu yang masuk ke perut makhluk yang memiliki hati (makhluk hidup) sejak tiga hari.” (Ka’b berkata) Aku pun pergi. Ternyata ada seorang Yahudi yang sedang memberi minum seekor unta miliknya. Aku pun membantunya memberi minum dengan upah satu butir kurma setiap satu timba, hingga aku berhasil mengumpulkan beberapa butir kurma. Lantas aku datang kepada Nabi n. Beliau pun mengatakan, “Dari mana kurma ini, wahai Ka’b?” Aku pun memberitahukan asalnya kepada beliau. Kemudian beliau mengatakan, “Apakah kamu mencintai aku, wahai Ka’b?” “Iya, kutebus engkau dengan ayahku….” (Hasan, HR. ath-Thabarani. Dihasankan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam kitab Shahih at-Targhib 3/150 no. 3271)
Nabi n tidak mengingkari pekerjaan Ka’b.
Demikian pula ayat:
Yusuf berkata, “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir), sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan.” (Yusuf: 55)
Al-Qurthubi t mengatakan, “Dengan ayat ini, para ulama berdalil diperbolehkan bagi orang yang punya keutamaan untuk bekerja pada seorang yang tidak baik serta pada seorang kafir. Dengan syarat, dia mengetahui bahwa akan diserahkan kepadanya pekerjaan yang ia tidak ditentang sehingga ia bisa berbuat baik sekehendaknya. Namun, apabila pekerjaannya itu harus menuruti kemauan orang yang tidak baik tersebut dan seleranya, maka tidak boleh.” (Tafsir al-Qurthubi)
Nabi n juga penah menggembalakan kambing milik orang-orang musyrik. Dari Abu Hurairah z, ia berkata, “Dari Nabi n, beliau bersabda,
مَا بَعَثَ اللهُ نَبِيًّا إِلاَّ رَعَى الْغَنَمَ. فَقَالَ أَصْحَابُهُ: وَأَنْتَ؟ فَقَالَ: نَعَمْ، كُنْتُ أَرْعَاهَا عَلَى قَرَارِيطَ لِأَهْلِ مَكَّةَ
“Tidaklah Allah mengutus seorang nabi melainkan ia pernah menggembala kambing.” Para sahabat beliau bertanya, “Anda juga?” Beliau menjawab, “Ya. Aku dahulu menggembala kambing milik orang Makkah dengan upah beberapa karat emas (dinar)’.” (Sahih, HR. al-Bukhari)
Gambaran (c) Seorang muslim mendapat pesanan barang atau proyek tertentu, seperti membuat kursi, menjahit pakaian anak-anak, dsb.
Yang seperti ini lebih diperbolehkan oleh para ulama, karena ini pekerjaan yang lepas (tidak terikat) dan tidak mengandung kerendahan sama sekali dari seorang muslim terhadap orang kafir.
Ibnul Munayyir t mengatakan, “Mazhab-mazhab menetapkan, para produsen di toko-toko boleh memproduksi sesuatu untuk ahlu dzimmah (orang kafir) yang tinggal bersama muslimin di negeri muslimin. Ini tidak termasuk kerendahan. Berbeda halnya bilamana dia melayaninya di rumahnya dan bergantung kepadanya.” (Umdatul Qari syarh Shahih al-Bukhari)
Ibnu Qudamah t mengatakan, “Adapun jika ia menyewakan dirinya pada seorang kafir dalam sebuah pekerjaan tertentu dalam tanggungannya, semacam menjahitkan baju dan memotongnya, hal itu diperbolehkan tanpa adanya perbedaan pendapat yang kami ketahui.” (al-Mughni)
Dari keterangan di atas, tampak bahwa pekerjaan-pekerjaan yang diperbolehkan tersebut tidak termasuk berloyal kepada orang kafir.
(Dijawab oleh al-Ustadz Qomar Suaidi)

Rabu, 19 November 2014

KeSunah mendatangi tempat shalat dengan tenang , jangan tergesa-gesa

Posted on by mromi
حَدَّثَنَا أَبُوْ بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَعَمْرٌو اَلنَّاقِدُ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ قَالُوْا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَعِيْدٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ح و حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرِ بْنِ زِيَادٍ أَخْبَرَنَا إِبْرَاهِيْمُ يَعْنِي اِبْنَ سَعْدٍ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَعِيْدٍ وَأَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ح وَحَدَّثَنِي حَرْمَلَةُ بْنُ يَحْيَى وَاللَّفْظُ لَهُ أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي يُوْنُسُ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ أَخْبَرَنِي أَبُوْ سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ:
سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ إِذَا أُقِيمَتِ الصَّلاَةُ فَلاَ تَأْتُوْهَا تَسْعَوْنَ وَأْتُوْهَا تَمْشُوْنَ وَعَلَيْكُمُ السَّكِيْنَةُ فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوْا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوْا
151 – (602)
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah dan ‘Amru An Naqid dan Zuhair bin Harb mereka berkata, telah menceritakan kepada kami Sufyan bin ‘Uyainah dari Az Zuhri dari Sa’id dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: (Dan diriwayatkan dari jalur lain) telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Ja’far bin Ziyad telah mengabarkan kepada kami Ibrahim yaitu Ibnu Sa’d dari Az Zuhri dari Sa’id dan Abu Salamah dari Abu Hurairah Radhiyallaahu’anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda, (dan diriwayatkan dari jalur lain) telah menceritakan kepadaku Harmalah bin Yahya sedangkan lafadznya berasal dari dia, telah mengabarkan kepada kami Ibnu Wahib telah mengabarkan kepadaku Yunus dari Ibnu Syihab dia berkata; telah mengabarkan kepadaku Abu Salamah bin Abdurrahman bahwa Abu Hurairah Radhiyallaahu’anhu  berkata:
Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Jika shalat telah didirikan, maka janganlah kalian datang sambil berlari, namun datanglah dengan berjalan, hendaklah kalian tenang, apa yang kalian dapatkan (raka’atnya) maka shalatlah, dan (raka’at) yang ketinggalan, maka sempurnakanlah.
(Shahih Muslim 602-151)
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَيُّوْبَ وَقُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيْدٍ وَابْنُ حُجْرٍ عَنْ إِسْمَعِيْلَ بْنِ جَعْفَرٍ قَالَ اِبْنُ أَيُّوْبَ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيْلُ أَخْبَرَنِي الْعَلاَءُ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا ثُوِّبَ لِلصَّلاَةِ فَلاَ تَأْتُوْهَا وَأَنْتُمْ تَسْعَوْنَ وَأْتُوْهَا وَعَلَيْكُمُ السَّكِيْنَةُ فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوْا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوْا فَإِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا كَانَ يَعْمِدُ إِلَى الصَّلاَةِ فَهُوَ فِي صَلاَةٍ
152 – (602)
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Ayyub dan Qutaibah bin Sa’id dan Ibn Hujir dari Ismail bin Ja’far. Ibnu Ayyub mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ismail telah mengabarkan kepadaku Al ‘Ala`  dari Ayahnya dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu , bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Jika iqamat shalat telah dikumandangkan, maka janganlah kalian datang sambil berlari, namun datanglah dengan tenang, apa yang kalian dapatkan dari shalat maka ikutilah, dan apa yang kalian tertinggal maka sempurnakanlah, sebab bila salah seorang diantara kalian pergi untuk mendirikan shalat, maka hal itu telah dihitung dalam shalat.
(Shahih Muslim 602-152)
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ حَدَّثَنَا مَعْمَرٌ عَنْ هَمَّامِ بْنِ مُنَبِّهٍ قَالَ هَذَا مَا حَدَّثَنَا أَبُوْ هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ أَحَادِيْثَ مِنْهَا وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
إِذَا نُودِيَ بِالصَّلاَةِ فَأْتُوْهَا وَأَنْتُمْ تَمْشُوْنَ وَعَلَيْكُمُ السَّكِيْنَةُ فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوْا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوْا
153 – (602)
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Rafi’ telah menceritakan kepada kami Abdurrazaq telah menceritakan kepada kami Ma’mar dari Hammam bin Munabbih katanya, inilah yang telah diceritakan kepada kami oleh Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu dari Rasululah shallallahu ‘alaihi wasallam, -lalu Abu Hurairah menyebutkan beberapa hadis diantaranya- Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Jika iqamat telah dikumandangkan, maka janganlah kalian mendatanginya sambil tergesa-gesa, namun datanglah sambil berjalan dan hendaklah kalian tenang. Apa yang kalian dapatkan dari shalat maka ikutilah, dan apa yang kalian tertinggal maka sempurnakanlah
(Shahih Muslim 602-153)
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيْدٍ حَدَّثَنَا الْفُضَيْلُ يَعْنِي اِبْنَ عِيَاضٍ عَنْ هِشَامٍ قَالَ ح و حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَاللَّفْظُ لَهُ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيْلُ بْنُ إِبْرَاهِيْمَ حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ حَسَّانَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيْرِيْنَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
إِذَا ثُوِّبَ بِالصَّلاَةِ فَلاَ يَسْعَ إِلَيْهَا أَحَدُكُمْ وَلَكِنْ لِيَمْشِ وَعَلَيْهِ السَّكِيْنَةُ وَالْوَقَارُ صَلِّ مَا أَدْرَكْتَ وَاقْضِ مَا سَبَقَكَ
154 – (602)
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id telah menceritakan kepada kami Fudlail yaitu Ibnu Iyadh dari Hisyam dia berkata, (Dan diriwayatkan dari jalur lain) telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb sedangkan lafadznya dari dia, telah menceritakan kepada kami Isma`il bin Ibrahim telah menceritakan kepada kami Hisyam bin Hassan dari Muhammad bin Sirin dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu dia berkata:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Jika iqamat shalat telah dikumandangkan, maka janganlah salah seorang dari kalian mendatanginya dengan tergesa-gesa, namun berjalanlah sambil tetap tenang dan berwibawa, apa yang kalian dapatkan dari shalat maka ikutilah, dan apa yang kalian tertinggal maka sempurnakanlah.
(Shahih Muslim 602-154)
حَدَّثَنِي إِسْحَقُ بْنُ مَنْصُورٍ أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُبَارَكِ الصُّوْرِيُّ حَدَّثَنَا مُعَاوِيَةُ بْنُ سَلاَّمٍ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيْرٍ أَخْبَرَنِي عَبْدُ اللهِ بْنُ أَبِي قَتَادَةَ أَنَّ أَبَاهُ أَخْبَرَهُ قَالَ:
بَيْنَمَا نَحْنُ نُصَلِّي مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَمِعَ جَلَبَةً فَقَالَ مَا شَأْنُكُمْ قَالُوْا اِسْتَعْجَلْنَا إِلَى الصَّلاَةِ قَالَ فَلاَ تَفْعَلُوْا إِذَا أَتَيْتُمُ الصَّلاَةَ فَعَلَيْكُمُ السَّكِيْنَةُ فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوْا وَمَا سَبَقَكُمْ فَأَتِمُّوْا
155 – (603)
وَحَدَّثَنَا أَبُوْ بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا مُعَاوِيَةُ بْنُ هِشَامٍ حَدَّثَنَا شَيْبَانُ بِهَذَا اْلإِسْنَادِ
(603)
Telah menceritakan kepadaku Ishaq bin Manshur telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Mubarak Ash Shuri telah menceritakan kepada kami Muawiyah bin Salam dari Yahya bin Abu Katsir telah mengabarkan kepadaku Abdullah bin Abu Qatadah, bahwa Ayahnya telah mengabarkan kepadanya, dia berkata:
Ketika kami hendak mengerjakan shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau mendengar suara gaduh, lalu beliau bertanya: Adaapa dengan kalian? Mereka menjawab; Kami tergesa-gesa untuk mengerjakan shalat. Beliau bersabda:  Janganlah kalian melakukan seperti itu, jika kalian mendatangi shalat, lakukanlah dengan tenang, apa yang kalian dapatkan dari shalat maka ikutilah, dan apa yang kalian tertinggal maka sempurnakanlah.
(Shahih Muslim 603-155)
Dan telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Mu’awiyah bin Hisyam telah menceritakan kepada kami Syaiban dengan sanad seperti ini.
(Shahih Muslim 603)

Kisah Peringanan Azhab Abu Lahab Pada Hari Senin

Para ulama ilmu hadis, seperti Imam Bukhoriy, al Hafidz Ibnu Hajar, al Hafidz Ibnu Katsir, al-Hafidz al-Baihaqiy, al-Hafidz al-Baghowiy, Imam Son'aniy dan yang lainnya di dalam kitab-kitab hadis dan siroh yang mereka tulis menyebutakan: bahwa Sahabat Abas bin Abdil Mutholib bermimpi bertemu Abu Lahab yang telah wafat, dan Sahabt Abas bertanya tentang keadaannya, Abu Lahab menjawab: bahwa dirinya terus disiksa di kubur, tapi untuk hari senin siksanya diringankan disebabkan dia sewaktu hidup pernah memerdekakan budak karena dia merasa bergembira waktu Nabi saw. lahir.  Al-Hafidz Syamsyudiin as-Dimsiqiy setelah mendengar cerita ini dia menulis sebuah syair:

Jika Abu Lahab yang kafir  ini telah jelas celanya
 dan merugi di neraka untuk selamanya
Datang baginya setiap hari  senin tuk selamanya
 ringan adzab dikarenakan dia  senang dengan kelahiran Ahmad
Lalu apa diduga,  dengan hamba yang hidupnya
bahagia sebab Ahmad dan mati keadaan bertauhid?.
 (lMarud as-Shoodiy fi Mauludi al Hadiy)


Dapat difahami dari cerita dan syair tersebut, bahwa ekpresi kebahagiaan atas lahirnya Nabi Muhammad-pun mampu menurunkan rahmat Allah  kepada paman Nabi Muhammad, Abu Lahab yang kafir, lalu bagaimana dengan kita yang  muslim yang selalu senang dan bahagia dengan kelahiran Nabi Muhammad!. Dan jika kita mau merenungi kenapa Nabi Muhammad tidak membuat perayaan maulid, sebenarnya hal itu juga adalah rahmat bagi kita, karena dengan ini kita dapat mengekpresikan kebahagiaan Maulid Nabi dengan jenis ibadah yang sesui kemampuan kita dan dengan hati suka rela. Karena jika telah jelas perintah dari agama agar kita bersyukur dan begembira dengan rahmat Allah, tapi agama tidak merinci bagaimana caranya atau ekspreksi secara khusus, maka dengan ini kita dapat melaksanakannya dengan cara kita sendiri, selama tetap sesui dengan nilai-nilai ketaatan, dan hal semacam inilah pulalah yang telah kita ketahui dari cerita-cerita para sahabat Nabi dan kaum Yahudi yang mengekpresikan sikap sukurnya dengan ibadah yang bebeda-beda tanpa bertanya dulu kepada Nabi, tapi semuanaya disetujui oleh Nabi. Dan telah menjadi sifat rahmat Nabi kepada umatnya bahwa beliu sering meniggalkan amal karena khawatir akan dikira amal itu wajib, dan nanti akan memberatkan umatnya, karena banyaknya kewajiban, yang sebenarya amal tersebut boleh dilakukan. Seperti dijelaskan para ulama di dalam ilmu Ushul Fiqih, Nabi tidak melakukan suatu amal secara rutin(muwadhobah) untuk memberi tahu bahwa amal itu tidak wajib, tapi sunah, dan Nabi meninggalkan amal yang boleh dilakukan(mubah) agar tidak dikira amal itu sunah atau wajib.(M. Sulaiman al-Asqor, Af'alul Rasul. Hal. 54).Wallahu a'lam bi showab.

Suatu hari, Senin, Tsuwaibah datang kepada tuannya Abu Lahab seraya memberikan kabar tentang kelahiran bayi mungil bernama Muhammad, keponakan barunya. Abu Lahab pun bersuka cita.

Ia melompat-lompat riang gembira seraya meneriakkan kata-kata pujian atas kelahiran keponakannya tersebut sepanjang jalan.

Sebagai bentuk luapan kegembiraan, ia segera mengundang tetangga-tetangga dan para kerabat dekatnya untuk merayakan kelahiran keponakan tercintanya ini: Bayi laki-laki yang mungil, lucu, sempurna.

Tidak cukup sampai di situ. Sebagai penanda suka citanya, ia berkata kepada budaknya Tsuwaibah di hadapan khalayak ramai yang mendatangi undangan perayaan kelahiran keponakannya, ”Wahai Tsuwaibah, sebagai tanda syukurku atas kelahiran keponakanku, anak dari saudara laki-lakiku Abdullah, maka dengan ini kamu adalah lelaki merdeka mulai hari ini.

Demikian dikisahkan dalam kitab Shahih Bukhari. Ini pada hari Senin pada satu tahun yang kemudian dikenal dengan Tahun Gajah.

Kelak Abu Lahab tampil menjadi salah satu musuh Muhammad SAW dalam berdakwah. Bahkan sosoknya yang antagonis dikecam dalam satu surat tersendiri dalam Al-Qur'an. Ia ingkar terhadap risalah kenabian.
Namun karena ekspresi kegembiraannya menyambut kelahiran keponakannya, menurut satu riwayat, Abu Lahab mendapatkan keringanan siksa kubur, yakni pada setiap hari Senin.

  Abu Lahab merupakan paman Nabi Muhammad saw… Nama aslinya adalah Abdul Uzza bin Abdul Muttalib. Abu Lahab adalah saudara dari Nabi Muhammad saw.. Nama Abdul Uzza sama dengan salah satu nama berhala yang disembah oleh orang – orang kafir Quraisy.
                  Abu Lahab sangat menentang dakwah Nabi Muhammad saw. Dan para pengikutnya. Dia selalu menyuarakan kepada siapa saja yang ditemuinya dengan menjelek – jelekan Nabi Muhammad saw. Kata – kata yang isinya menjelek-jelekan Nabi Muhammad saw. Tersebut, antara lain
1. jangan dengarkan perkataan Muhammad
2. Muhammad itu pendusta dan penipu
3. Muhammad itu tukang sihir, serta
4. Muhammad itu Majnun ( gila )
               
 Abu Lahab selalu mengikuti atau membuntuti kemana saja Nabi Muhammad saw. Pergi usaha Abu Lahab menentang dan mengganggu dakwah Nabi Muhammad saw. Tersebut dibantu ioleh istrinya yang bernama Ummu Jamil, nama aslinya Arwa. Dijuluki Ummu Jamil sebab berwajah sangat cantik. Ia membantu suaminya dengan cara menyebarkan fitnah terhadap Nabi Muhammad saw. Supaya orang – orang tidak percaya kepada beliau suatu hari Nabi Muhammad saw. Berdiri diatas bukit Safa sambil mengajak semua orang kepada tauhid dan Iman kepada risalah beliau serta Iman kepada hari akhir. Hal ini dilakukan Nabi Muhammad saw. Setelah beliau merasa yakin terhadap janji pamannya,  Abu Tholib yang akan selalu melindungi beliau dalam menyampaikan wahyu dari Allah SWT.
               
Abu Lahab yang turutber kumpul dan mendengarkan berkata, “ celakalah engkau untuk selama-lamanya, untuk inikah engkau mengumpulkan kami ? “ kemudian, turun surah Al-Lahab yang menjelaskan tentang kisah Abu Lahab.
               
Suatu hari saat Nabi Muhammad menakut-nakuti keluarga Abu Lahab dengan siksa neraka Abu Lahab berkata, “ jika apa yang dikatakan oleh anak saudaraku itu benar maka akan saya tebus dengan hartaku dan anakku. “ Abu Lahab memiliki tiga anak laki – laki, yaitu Utbah, Ma’tab, dan Utaibah. Utbah dan Ma’tab masuk Islam, sedangkan Utaibah tidak.
               
Utbah dan Utaibah menjadi menantu Rasullah saw. Utbah menikahi Ruqayah dan Utaibah menikahi Ummi Kulsum. Setelah turun surat Al –Lahab, Abu Lahab berkata pada kedua anaknya, “ antara aku dan kamu berdua haram jika kamu tidak menceraikan anak Muhammad. “ saat Utaibah pergi ke Syam bersama Abu Lahab, mereka singgah ketempat Nabi Muhammad saw. Dan mengejek serta menghina beliau. Utaibah berkata, “ saya tidak akan percaya lagi pada apa yang kamu sampaikan ( sambil meludah dan menceraikan anaknya ).” Saat itu juga Nabi Muhammad saw.marah dan berdo’a, “ semoga ia dimangsa oleh anjingmu, ya Allah.selang beberapa saat Utaibah diterkam oleh serigala.
               
Kira – kira tujuh hari setelah perang badan, Abu Lahab menderita sakit keras, menjijikan, dan membuat orang lain takut tertular. Tidak ada satupun orang yang berani mendekatinya, termasuk keluarganya sendiri. Kemudian, diputuskan untuk menguburnya hidup-hidup dengan cara mendorngnya keliang kubur (yang sudah disiapkan) dengan tongkat. Mereka tidak berani memegangtubuhnya karena takut tertular penyakit. Setelah masuk, liang kubur ditutup dengan cara dilempar dengan tanah dari kejauhan.

B. Kisah Abu Jahal
               
Nama asli Abu Jahal adalah Amr bin Hisyam atau Abu Hakam bin Hisyam. Abu Jahal artinya orang yang sangat bodoh. Mengapa begitu? Karena ia merupakan orang yang sangat pintar dan mengetahui kebenaran, tetapi tidak mau mengetahui kebenaran itu. Abu JAhal termasuk orang kafir yang pandai berkelahi memainkan pedang, gagah berani, bertubuh kekar, dan namanya terkenal dikalangan kafir Quraisy.
               
Abu Jahal memiliki sifat seperti Umar bin Khattab. Kedua orang ini masuk dalam doanya Nabi Muhammad saw.. beliau berdoa, “ Ya Allah, kuatkanlah Islam ini dengan salah satu dari dua Umar.” Dua Umar yang dimaksud adalah Umar bin Khattab dan Amr bin Hisyam ( Abu Jahal ). Ternyata Allah SWT mengabulkan doa beliau dengan masuknya Umar bin Khattab ke agama Islam.
               
Sejak usia remaja, Abu Jahal telah membenci Nabi Muhammad saw.. Abu Jahal senantiasa mengolok-olok beliau. Menurut sebuah riwayat,  Abu Jahal pernah  melamar Khadijah binti Khuwailid, tetapi Khadijah menolak lamaran tersebut. Beberapa bulan kemudian, Nabi Muhammad saw. Meminang Khadijah dan lagsung diterima. Mengetahui hal tersebut, Abu Jahal semakin dengki kepada Nabi Muhammad saw.. Abu Jahal juga pernah menyiksa dua orang yang masuk islam, yaitu Yasir dan Sumayyah.
               
Islam semakin berkembang di Mekah. Tekanan yang dilakukan kafir Quraisy tidak membuat Nabi Muhammad saw. Dan para pengikutnya menyebarkan agama Islam. Justru mereka semakin sabar dan teguh pendirian. Mereka merencarakan mempertemukan Nabi Muhammad saw. Dengan para pembesar kafir Quraisy dari tiap – tiap suku.
               
Abu Jahal bertemu dengan Rasulullah saw..Abu Jahal berkata, “ Wahai Muhammad, berhentilah dari mencaci maki tuhan-tuhan kami. Jika tidak maka kami akan mencaci maki tuhanmu yang kamu sembah!” berkaitan dengan hal tersebut, Allah SWT. Berfirman dalam Al an’am ayat 108. Sejak turunnya ayat tersebut, Rasulullah saw. Tidak pernah mencaci maki lagi. Beliau mulai menyeru meraka untuk beriman kepada untuk beriman kepada Allah SWT..
               
Abu Jahal akhirnya mati terbunuh ketika terjadi Perang Badar. Abu Jahal dibunuh oleh Mu’as bin Amr Al Jamuh dan Mu’awwid bin Afra. Kemudian, Rasullah saw. Memberikan harta  Abu Jahal yang dibawa perang kepada kedua pemuda tersebut.

C. Kisah Musailamah Al Kazz
               
Nama asli Musailamah Al Kazzab adalah  Musailamah bin Tsumamah bin Kabir bin Hubaib bin Harist. Dia berasal dari Bani Hanifah yang mendiami daerah Yamamah. Suatu ketika, Musailamah bersama rombongannya sebagai utusan Bani Hanifah datang menghadap Rasulullah saw. Di Madinah dan menyatakan memeluk Islam. Namun sekembalinya dari Madinah, dia berbalik menjadi kafir (murtad). Bahkan dia mendakwahkan diri sebagai nabi. Sejak saat itu, Musailamah diberi julukan Al Kazzab yang berarti pendusta atau pembohong.
               
Musailamah telah mengaku menjadi nabi semenjak Rasulullah saw. Masih hidup. Setelah Rasulullah saw. Wafat, peluang Musailamah dan pengikutnya untuk menghancurkan Oslam semakin terbuka. Puncaknya terjadi pada masa Kholifah Abu Bakar As siddiq. Banyak orang yang mengaku sebagai nabi dan banyak pula kaum muslimin yang murtad.
               
Abu Bakar didukung oleh kaum muslimin segera memerangi semua golongan tersebut sebelumnya Abu Bakar sudah mengirim surat terlebbih dahulu untuk menyeru pada jalan yang lurus. Akan tetapi, Musailamah dan pengikutnya tetap dalam kesesatan. Akhirnya, pecahlah Perang Riddah. Awalnya Abu Bakar dua kali mengirim pasukan Islam dibawah Pimpinan Ikrimah bin Abu Jahal dan Syurahbil binHasanah. Namun, keduanya bertindak gegabah sehingga dapat dikalahkan oleh pasukan Musailamah.
               
Abu Bakar kembali mengirimkan pasukan yang dipimpin oleh Kholid bin Walid untuk memerangi Musailamah dan pengikutnya. Kholid bin Walid adalah panglima perang Islam yang paling hebat. Pada bulan syawal 11 Hijriah terjadilah pertempuran sengit antara pasukan Musailamah. Pertempuran itu dikenal dengan pertempuran Akraba. Pasukan Islam dibawah pimpinan Khalid bin Walid berhasil mengalahkan pasukan Musailamah. Musailamah sendiri terbunuh oleh Wahsyi bin Harb. Dipihak kaum muslimin gugur sekitar 700 Syuhada. Diantara mereka terdapat sahabat Nabi Muhammad saw.. dan para penghafal Al-Qur’an

(Kisah Seorang Ahli Neraka Yang Mendapatkan Keringanan Siksa Karena Bergembira Atas Kelahiran Rasulullah SAW)

Peringatan Maulid Rasulullah SAW tidak lain adalah untuk memantulkan kegembiraan kaum Muslimin menyambut dilahirkannya Rasulullah SAW. Bahkan tidak hanya umat Muslim saja yang bergembira, Abu Lahab pun bergembira dengan kelahiran Rasulullah SAW. Ia meluapkan kegembiraannya dengan cara memerdekakan hamba sahayanya yang bernama Tsuwaibah Al Aslammiyyah (yang kemudian menjadi ibu susu Rasulullah SAW sebelum Rasulullah SAW disusui oleh Halimah Assa’adiyyah).

Abu Lahab bernama asli Abdu Uzza bin Abdul Muthalib, saudara dari Abdullah ayah Rasulullah SAW. Meskipun termasuk keluarga dekat Rasulullah SAW, dia dan istrinya, Ummu Jamil Hindun binti Harb, amat memusuhi Rasulullah SAW dan dakwahnya. Saking kerasnya mereka berdua menentang Rasulullah SAW, sampai-sampai ketika di dunia pun mereka telah dicap sebagai ahli neraka. Allah SWT berfirman “Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa. Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak.” (QS. Al Lahab : 1-3)

Hal itu terkait sebagaimana yang terdapat dalam suatu hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari yang bersumber dari Ibnu Abbas bahwa suatu ketika Rasulullah SAW naik ke bukit Shafa sambil berseru, “Mari berkumpul pada pagi hari ini.” Maka berkumpullah kaum Quraisy. Rasulullah SAW bersabda, “Bagaimana pendapat kalian, seandainya aku beritahu bahwa musuh akan datang besok pagi atau petang, apakah kalian percaya kepadaku?” Kaum Quraisy menjawab, “Pasti kami percaya, sebab tidak kami dapati engkau berdusta.” Rasulullah SAW bersabda, “Aku peringatkan kalian bahwa siksa Allah yang dahsyat akan datang.” Berkatalah Abu Lahab, “Celaka engkau! Apakah hanya untuk ini, engkau kumpulkan kami?” Maka turunlah ayat diatas (QS. Al Lahab : 1-3) berkenaan dengan peristiwa yang melukiskan bahwa kecelakaan itu akan terkena kepada orang yang memfitnah dan menghalang-halangi agama Allah.

Abu Lahab yang dalam Al Qur’an telah dicap sebagai ahli neraka ternyata masih mendapatkan keringanan dari Allah SWT atas siksanya. Setiap hari Senin (karena merupakan hari kelahiran Raslullah SAW), Abu Lahab mendapatkan keringanan siksanya di neraka karena pada saat kelahiran Rasulullah SAW dia merasa gembira dengan memerdekakan hamba sahayanya. Masya Allah. Jika Abu Lahab saja yang ahli neraka masih dapat mendapatkan keringanan siksa neraka karena pernah satu kali bergembira atas kelahiran Rasulullah SAW,alu bagaimanakah dengan orang yang sepanjang hidupnya bergembira dengan kelahiran Rasulullah SAW dan mati dalam keadaan Islam? Sangat mustahil bagi Allah SWT untuk tidak menepati janji-Nya.

Sumber : Hauhal Ihtifal bil Mauliddin Nabawi Asy Syarif
Sayyid Muhammad bin Alawi Al Maliki Al Hasani

Abu Lahab di ringankan siksanya pada Hari Senin

Mau nanya' . . . .orang yang mendapatkan keringanan siksaan pada hari senin dari keluarga rasul cp ? abu lahab apa abu jahal plus dg refrensinya . . .syukron

JAWABAN :
1. Zacky Al-Damayyi
Abu Lahab,,,,
Setiap malam senin dia diberikan keringan siksaan oleh Allah lantaran disaat dia mendapat khabar bahwa keponakannya telah dilahirkan, Abu Lahab gembira, senang, bahagia atas kabar yg diterimanya itu. Lalu diapun memerdekaan Tsuwaibatul Aslamiyyah

Ibarotnya ada di kitab madariju su'ud
وأرضعته صلى الله عليه وسلم أمه أياما ثم أرضعته ثويبة الأسلمية التى أعتقها أبو لهب حين وافته أى أتت أبالهب عند ميلاده أى بعد ولادته عليه الصلات والسلام ببشراه أى ببشارتها اياه به صلى الله عليه وسلم فقالت له أشعرت أن آمنة ولدت غلاما لأخيك عبد الله فقال لها اذهبى فأنت حرة أى والصحيح ان أبالهب أعتقها فى الحال عتقا منجزاثم جعلها ترضعه صلى الله عليه وسلم فخفف الله عنه من عذابه كل ليلة اثنين جزاء لفرحه فيها بمولده صلى الله عليه وسلم أوجزاء لامره لها بارضاعه صلى الله عليه وسلم
===========

وقد روى ان أخاه العباس رآه بعد سنة من موته فقال ماحالك قال فى عذاب اﻻ أنه يخفف عنى فى كل ليلة اثنين وأمص من بين أصبعى ماء بقدر هذا وأشار الى نقرة ابهامه وان ذلك باعتاقى لثويبة عند ما بشرتنى بولادة محمد صلى الله عليه وسلم وبأمرى بارضاعها له

Dan telah di ceritakan Bahwa saudaranya Abu Jahal yaitu Abas R.a memimpikannya setelah 1 tahun dari kematiannya.
Maka Abas bertanya, " Apa yang kau dapatkan?" dia menjawab," dalam siksaan kecuali keringanan untukku di setiap malam senin Dan aku mengisap dari jari saya air sebanyak ini dan(sambil) menunjuk lekuk ibu jarinya, dan itu di sebabkan karena aku memerdekakan Tsuwaibah atas kegembiraan ku terhadap kelahiran Muhammad SAW dan sebab perintahku kepadanya untuk menyusui Muhammad SAW.

2. Abdullah Afif 
Keringanan siksa Abu Lahab setiap hari senin
----
Riwayat diatas termaktub dalam:
1. Shahih Bukhari juz VI halaman 125, cetakan Daar Al Fikr tahun 1401 H – 1981 M / 1/591, maktabah syamilah
lafazhnya sbb:

قَالَ عُرْوَةُ وثُوَيْبَةُ مَوْلَاةٌ لِأَبِي لَهَبٍ كَانَ أَبُو لَهَبٍ أَعْتَقَهَا فَأَرْضَعَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا مَاتَ أَبُو لَهَبٍ أُرِيَهُ بَعْضُ أَهْلِهِ بِشَرِّ حِيبَةٍ قَالَ لَهُ مَاذَا لَقِيتَ قَالَ أَبُو لَهَبٍ لَمْ أَلْقَ بَعْدَكُمْ خَيْرًا غَيْرَ أَنِّي سُقِيتُ فِي هَذِهِ بِعَتَاقَتِي ثُوَيْبَةَ


2. ‘Arf ut-Ta’rif bil Maulidisysyarif halaman 21, karya al hafzih al Jazari
lafazhnya sbb:
وَقَدْ رُوِيَ أَنَّ أَبَا لَهَبٍ رُؤِيَ بَعْدَ مَوْتِهِ فِي النَّوْمِ ، فَقِيْلَ لَهُ : مَا حَالُكَ ، فَقَالَ فِي النَّارِ ، إِلَّا أَنَّهُ يُخَفَّفُ عَنِّيْ كُلَّ لَيْلَةِ اثْنَيْنِ وَأَمُصُّ مِنْ بَيْنَ أَصْبُعِيْ مَاءً بِقَدْرِ هَذَا – وَأَشَارَ إِلَى نُقْرَةِ إِبْهَامِهِ - وَأَنَّ ذَلِكَ بِإِعْتَاقِيْ لِثُوَيْبَةَ عِنْدَمَا بَشَّرَتْنِيْ بِوِلَادَةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبِإِرْضَاعِهَا لَهُ .

3. al Bidayah wannihayah juz III halaman 407, karya al hafizh Ibnu Katsier
lafazhnya sbb:
وذكر السهيلي وغيره : إن الرائي له هو أخوه العباس وكان ذلك بعد سنة من وفاة أبي لهب بعد وقعة بدر ، وفيه أن أبا لهب قال للعباس : إنه ليخفف علي في مثل يوم الاثنين قالوا : لأنه لما بشرته ثويبة بميلاد ابن أخيه محمد بن عبد الله أعتقها من ساعته فجوزي بذلك لذلك

Catatan:
Al hafizh Ibnu Hajar dalam Fat_hul Bari juz IX halaman 146 berkata:
وتتمة هذا أن يقع التفضل المذكور اكراما لمن وقع من الكافر البر له ونحو ذلك والله أعلم

Sumber:

Al Hafizh Ibnul Jazari dalam kitab ‘Arf ut-Ta’rif bil Maulidisysyarif halaman 21, berkata:
إِذَا كَانَ أَبُوْ لَهَبٍ اَلْكَافِرُ الَّذِيْ نَزَلَ الْقُرْآنُ بِذَمِّهِ جُوْزِيَ فِي النَّارِ بِفَرْحِهِ لَيْلَةَ مَوْلِدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَمَا حَالُ الْمُسْلِمِ الْمُوَحِّدِ مِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسَرُّ بِمَوْلِدِهِ وَيَبْذُلُ مَا تَصِلُ إِلَيْهِ قُدْرَتُهُ فِيْ مَحَبَّتِهِ ؛ لَعَمْرِيْ إِنَّمَا يَكُوْنُ جَزَاؤُهُ مِنَ اللهِ الْكَرِيْمِ أَنْ يُدْخِلَهُ بِفَضْلِهِ جَنَّاتِ النَّعِيْمِ

Sumber:
Wallaahu A'lam

 Riwayat Imam Al-Bukhari dalam Shahihnya no. 4711
Urwah bin Az-Zubair -rahimahullah- dia berkata:

وثُوَيْبَةُ مَوْلَاةٌ لِأَبِي لَهَبٍ كَانَ أَبُو لَهَبٍ أَعْتَقَهَا فَأَرْضَعَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا مَاتَ أَبُو لَهَبٍ أُرِيَهُ بَعْضُ أَهْلِهِ بِشَرِّ حِيبَةٍ قَالَ لَهُ مَاذَا لَقِيتَ قَالَ أَبُو لَهَبٍ لَمْ أَلْقَ بَعْدَكُمْ غَيْرَ أَنِّي سُقِيتُ فِي هَذِهِ بِعَتَاقَتِي ثُوَيْبَةَ

“Tsuwaibah, dulunya adalah budak perempuan Abu Lahab. Abu Lahab membebaskannya, lalu dia menyusui Nabi shallallahu alaihi wasallam. Tatkala Abu Lahab mati, dia diperlihatkan kepada sebagian keluarganya (dalam mimpi) tentang jeleknya keadaan dia. Dia (keluarganya ini) berkata kepadanya, “Apa yang engkau dapatkan?”, Abu Lahab menjawab, “Saya tidak mendapati setelah kalian kecuali saya diberi minum sebanyak ini (sedikit) karena saya memerdekakan Tsuwaibah”.

قَالَ عُرْوَةُ وثُوَيْبَةُ مَوْلَاةٌ لِأَبِي لَهَبٍ كَانَ أَبُو لَهَبٍ أَعْتَقَهَا فَأَرْضَعَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا مَاتَ أَبُو لَهَبٍ أُرِيَهُ بَعْضُ أَهْلِهِ بِشَرِّ حِيبَةٍ قَالَ لَهُ مَاذَا لَقِيتَ قَالَ أَبُو لَهَبٍ لَمْ أَلْقَ بَعْدَكُمْ غَيْرَ أَنِّي سُقِيتُ فِي هَذِهِ بِعَتَاقَتِي ثُوَيْبَةَ
 Urwah berkata:  Tsuwaibah budak perempuan yang di merdekakan.  Dia dimerdekakan lalu menyusui Nabi SAW. Ketika Abu Lahab meninggal dunia, maka sebagian keluarganya bermimpi melihat Abu Lahab dalam keadaan  jelek. Dia bertanya kepada Abu lahab: Apa yang kamu alami ? Saya tidak menjumpai sesuatu  hanya saja  aku di beri minuman di ini   karena aku memerdekakan  Tsuwaibah. 

وأرضعته أمه أياما ثم أرضعته ثويبة الأسلمية

Selanjatnya

عَطِّرِ اللَّهُمَّ قَبْرَهُ الْكَرِيْمَ * بِعَرْفٍ شَذِيٍّ مِنْ صَلاَةٍ وَتَسْلِيْم
 
وأرضعته أمه أياما ثم أرضعته ثويبة الأسلمية * التي اعتقها أبو لهب حين وافته عند ميلاده عليه الصلاة والسلام ببشراه * فأرضعته مع ابنها مسروح وأبي سلمة وهي به حفية * وأرضعت قبله حمزة الذي حمد في نصرة الدين سراه * وكان صلي الله عليه وسلم يبعث إليها من المدينة بصلة وكسوة هي بها حرية * إلي أن أورد هيكلها رائد المنون الضريح وواراه * قيل علي دين قومها الفئة الجاهلية * وقيل أسلمت أثبت الخلاف ابن منده وحكاه * ثم أرضعته الفتاة الحليمة السعدية * وكان قد ردّ كل من القوم ثديها لفقرها وأباه * فأخصب عيشها بعد المحل قبل العشية * ودرّ ثدياها بدر در لبنه اليمين منهما ولبن الأخر أخاه * وأصبحت بعد الهزال والفقر غنية * وسمنت الشارف لديها والشياه * وانجاب عن جانبها كل ملمة ورزية * وطرز السعد برد عيشها الهني ووشاه *

Selama bebrapa hari bliau SAW di susui oleh ibunya, kemudian di susui oleh ibu Tsuwaibah Al-Aslamiyyah. Ia adalah mantan budak milik Abu Lahab yang di merdekakan oleh majikannya sejak ia datang padanya memberi kabar gembira tentang kelahiran Nabi SAW. Ia menyusui baginda bersama putranya yang bernama Masruh dan Abi Salamah dengan sangat senang. Sebelum itu ia menyusui Hamzah yang dapat sanjungan di dalam pembelaannya pada Islam.
Dan setelah Nabi SAW berada di Madinah, beliau memberinya pakaian yang layak dan sesuatu yang lain, sampai sepeninggalnya. Adapun agama yang ia anut, ada yang menceritakan bahwa ia tetap memeluk agama kaumnya, yaitu Jahiliyyah. Dan ada pula yang mengatakan bahwa ia telah masuk Islam, sebagaimana yang telah di ceritakan oleh ‘Ulama yang bernama Ibnu Mandah.
Kemudian ( setelah beliau selesai di susui oleh Tsuwaibah ), beliau di susui oleh seorang yang masih muda. Yaitu Halimah Assa’diyyah. Sebelum itu, ia tidak laku sebagai penyusu karena saking fakirnya. Namun setelah ia menyusui Nabi SAW, langsung ia menjadi kaya di sore harinya. Sampai air susunya mengalir dengan deras dan hingga susu yang lain di pakai menyusui saudara Nabi SAW. Dan ( berkah dari menyusui Nabi SAW ) ia menjadi gemuk dan kaya, begitu juga onta dan kambing yang ada di dekatnya, dan setiap musibah terhindar dari dirinya dan ahirnya hidupnya menjadi enak.

عطر اللهم قبره الكريم * بعرف شذي من صلاة وتسليم

وكان صلي الله عليه وسلم يشب في اليوم شباب الصبي في الشهر بعناية ربانية * فقام علي قدميه في ثلاث ومشي في خمس وقويت في تسع من الشهور بفصيح النطق قواه * وشق الملكان صدره الشريف لديها وأخرجا منه علقة دموية * وأزالا منه حظ الشيطان وبالثلج غسلاه * وملئاه حكمة ومعاني إيمانية * ثم خاطاه وبخاتم النبوة ختماه * ووزناه فرجح بألف من أمته الأمة الخيرية * ونشأ صلي الله عليه وسلم علي أكمل الأوصاف من حال صباه * ثم ردته صلي الله عليه وسلم إلي أمه وهي به غير سخية * حذرا من أن يصاب بمصاب حادث تخشاه * ووفدت عليه حليمة في أيام خديجة السيدة الوضية * فحباه من حبائه الوافر بحباه * وقدمت عليه يوم حنين فقام إليها وأخذته الأريحية * وبسط لها من ردائه الشريف بساط بره ونداه * والصحيح أنها أسلمت مع زوجها والبنين والذرية * وقد عدهما في الصحابة جمع من ثقاة الرواة *
Semenjak masih kecil, Nabi SAW berkembang sehari sebagaimana umumnya anak selama satu bulan, dengan pertolongan Tuhan. Maka dalam tempo tiga bulan, beliau sudah bisa berdiri di dua kakinya. Bisa berjalan pada usia lima bulan, dan menjadi kuat fisiknya di usianya yang ke sembilan bulan, dengan di sertai pembicaraan yang terampil. Di saat itu juga ada dua Malaikat melakukan pembedahan pada dada beliau yang mulya dan mengeluarkan segumpal darahnya, yang mana darah itu merupakan bagian setan, lalu membasuhnya dengan salju. Keduanya mengisinya dengan hikmah dan keimanan. Kemudian keduanya menjahitnya dan ahirnya memberikan cap kenabian. Keduanya juga menimbangnya dengan seribu dari ummat beliau yang terbaik, namun beliau lebih berat dari semuanya. Sejak beliau masih kecil sudah berada di dalam peringai yang sangat sempurna.
Kemudian, setelah peristiwa pembedahan tersebut ibu Halimah mengembalikannya pada ibu beliau dalam keadaan tiada tega, karena hawatir terjadi sesuatu yang tidak ia inginkan. Kemudian, pada saat setelah beliau nikah dengan Khodijah, seorang besar yang bersinar, ibu halimah pernah berkunjung pada Nabi SAW. Lalu beliau memberinya dengan pemberian yang besar. Dan di saat terjadi perang Hunain, ibu Halimah juga perna menemui Nabi SAW. Lalu beliau menghormatinya dengan pemberian dan mempersilahkan duduk di atas selendang yang sengaja beliau gelar untuknya. Sedangkan agama yang ia peluk menurut qoul yang sohih adalah Islam, ia masuk Islam bersama anak cucunya, sebagaimana ia di katagorikan sebagai Sohabat oleh sekelompok perowi yang bisa di percaya.


Kamis, 06 November 2014

Lafal SAYYIDINA sudah mendunia

MEMBUMIKAN SAYYIDINA MUHAMMAD DI BUMI NUSANTARA

Dalam setiap khutbah jumah, ceramah, pengajian-pengajian khususnya di Indonesia, sering ditemukan bahwa sang Khatib dan penceramah  tidak mengunakan Lafadz ‘’Sayyidina’’. Sebagian lagi selalu dan selalu menggunakan ''Sayyidina Muhammad''. Bahkan, ada yang menambahi dengan ''Sayyidina, wa Maulana, wa Habibibina, Wa Syafiiina Muhammad''. Penggunaan  istilah ''Sayyidina'' itu menjadi sebuah identitas. Tetapi menariknya, perbedaan itu tidak membuat orang-orang berselilih faham, karena keduanya saling memamahami indahnya sebuah perbedaan.

Ketika mendengarkan sebuah khutah atau ceramah dengan tanpa menggunakan ''Sayyidina'' persepsi yang muncul adalah ‘’ini masjid Muhammadiyah atau Wahabi salafi’’. Sebab, sebagian dari Muhammadiyah dan wahabisme, tidak terbiasa dengan mengucapkan ‘’Sayyidina Muhammad’’ dengan alasan bahwa Nabi SAW tidak menganjurkannya. Ada juga yang berpendapat bahwa Nabi SAW tidak mau diagungkan secara berlebih-lebihan.

Sedangkan sebagian lagi dari warga Muhammadiyah sudah terbiasa dengan menggunakan ''Sayyidina'' dalam khutbah, ceramah, karena menang KH Ahmad Dahlan dalam kitab Fikihnya selalu mengunakan lafadz (sayyidina), baik dalam sholat maupun di luar sholat. Begitu juga dengan muqoddimah Putusan Tarjih, tahun 1968-1969 juga menggunakan ‘’Sayyidina’’. Dengan begitu, anggapan bahwa Muhammadiyah tidak mau mengunakan sayyidina itu terbantahkan. Hanya saja, dalam berbagai kesempatan, baik ceramah, khutbah, sebagian dari mereka tidak menggunakan ‘’sayyidina’’.

Biasanya hadis yang dipergunakan untuk melarang (doktrin) tidak diperkenankan membaca ‘’sayyidina Muhammad’’ itu sebagai berikut: “Jangan kamu agungkan aku sebagaimana orang-orang Nasrani mengagungkan ‘Isa bin Maryan.Sesungguhnya saya adalah hamba Allah S.W.T maka panggilah saya ‘Abdullah wa Rasulullah.”. (H.R Ahmad).

Ada juga sebuah pernyataan bahwa Rosulullah SAW itu tidak mau di puji dengan berlebihan, dan kalimat ‘’Sayyidina’’  dalam bahasa Arab itu merupakan bentuk memuji secara berlebihan. Orang yang berpendapat seperti lupa, bahwa dalam ceramah, khutbah sering memuji Rosulullah SAW dengan istilah bahasa Indonesia ‘’Nabi besar/mulia’’ Muhammad SAW. Bukankan sebutan Nabi besar/mulia itu bagian dari pujian kepada Rosulullah SAW?

Arab Saudi yang paling tidak suka dan tidak setuju dengan penggunaan tambahan lafadz ‘’sayyidina’’ baik dalam sholat maupun diluar sholat sudah berubah. Zam-Zam Tower sebuah ikon baru di tanah suci Makkah sudah ada tulisan اللهم صلى على سيدنا محمد. Bangunan raksasa itu menarik perhatian jamaah umrah dan haji, sehingga kadang lebih menarik dari pada Baitullah. Bagi siapa saja yang melihat pucuk bangunan itu, akan melihat tulisan sholawat yang berwarna terang ‘’Allahumma Solli Ala Sayyidina Muhammad’’.

 Saat ini, para pengajar di Masjidilharam, dan khotib jumat juga terbiasa mengunakan ‘’sayyidina’’. Ini saya rasakan ketika umrah pada bulan Ramadhan (2013), dan umrah pada februari 2014, khotib jumat berkali-kali mengunakan sayyidina Muhammad dalam sebuah khutbah ber-ulang-ulang.

Dulu, pada awal-awal berdirinya Arab Saudi, hingga ahir tahun 2004, penggunaan ‘’sayyidina Muhammad’’ masih sangat tabu, bahkan terkesan aneh. Sebagian orang, khususnya jamaah haji dan umrah selalu mengatakan:’’ di Makkah saja, sholawatanya tidak ada ‘’Sayyidina Muhammad’’.  Al-Fatihanya juga tidak diawali dengan ‘’basmallah’’.Padahal, Makkah dan Madinah menjadi rujukan dan kiblat Islam dunia.

Bahkan saking ga suka dengan Sayyidina, sampai-sampai ada ustad di Indonesia mengatakan ‘’Sayyidina itu bukan dari nabi, tetapi tambahan dari ulama’’. Apalagi ketika mendengarkan orang islam Jawa yang mengatakan’’Kanjeng Nabi Muhammad’’  dikritik abis-habisan, karena telaha melakukan sesuatu yang tidak pernah di lakukan dan di ajarkan Nabi SAW.

Rupanya, sang ustad yang bilang seperti ini belum khatam ngajinya. Seolah-olah tidak pernah membaca hadis Rosulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori, bahwasanya Rosulullah SAW mengatakan:’’ Ana Sayyidul Kaum Yauma Al-Qiyamah (HR Bukhori). Sedangkan dalam hadis muslim, Rosulullah SAW mengatakan:’’ Ana sayyidu waladi Adam yaumi Al-Qiyamah (HR Muslim).

Dalil dan pendapat ini tersebut di dalam hadith Bukhari dan Muslim bahwa pada suatu ketika Nabi Muhammad SAW tidak ada dalam kota dikarekan sedang pergi ke suatu tempat untuk mendamaikan dua kaum yang berselisih.

"أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَهَبَ إِلَى بَنِيْ عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ، لِيُصْلِحَ بَيْنَهُمْ، فَحَانَتِ الصَّلَاةُ، فَجَاءَ الْمُؤَذِّنُ إِلَى أَبِيْ بَكْرٍ، فَقَالَ: أَتُصَلِّيْ لِلنَّاسِ فَأُقِيْمَ؟ قَالَ: نَعَمْ، فَصَلَّى أَبُوْ بَكْرٍ، فَجَاءَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالنَّاسُ يُصَلُّوْنَ، فَتَخَلَّصَ حَتَّى وَقَفَ فِي الصَّفِّ، فَصَفَّقَ النَّاسُ حَتَّى اِلْتَفَتَ أَبُوْ بَكْرٍ فَرَأَى النَّبِـيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَشَارَ إِلَيْهِ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ امْكُثْ مَكَانَكَ، فَرَفَعَ أَبُوْ بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يَدَيْهِ فَحَمِدَ اللهَ عَلَى مَا أَمَرَهُ بِهِ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ ذَلِكَ، ثُـمَّ اسْتَأْخَرَ حَتَّى اسْتَوَى فِي الصَّفِّ، وَتَقَدَّمَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَلَّى. فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ: يَا أَبَا بَكْرٍ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَثْبُتَ إِذْ أَمَرْتُكَ؟ فَقَالَ أَبُوْ بَكْرٍ: مَا كَانَ لِابْنِ أَبِيْ قُحَافَةَ أَنْ يُصَلِّيَ بَيْنَ يَدَيْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ".) رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ، ابن حبان، الشافعى، الطبرانى (

 “Nabi SAW pergi ke tempat Bani Amru bin `Auf untuk memperbaiki hubungan antara sesama mereka. Kemudian masuklah waktu sholat. Lalu seorang muadzin datang kepada Abu Bakar seraya berkata: Bolehkah engkau meng-imamkan sholat, kalau boleh saya hendak iqamah? Abu Bakar menjawab: Ya. Lalu Abu Bakar pun sholat (sebagai imam]. Kemudian Rasulullah SAW datang ketika mereka sedang melaksanakan sholat. Rasulullah SAW masuk ke dalam kerumunan sahabat  sehingga sampai ke dalam saf. Orang pun menepuk tangan [sebagai memberikan isyarat] sehingga Abu Bakar ra menoleh, lalu dilihatnya Nabi SAW. Rasulullah SAW memberikan isyarat kepada Abu Bakar supaya tetap berada di tempatnya [meneruskan tugasnya sebagai imam], tetapi Abu Bakar menolak kedua tangannya seraya memuji Allah atas perintah Rasulullah SAW itu. Kemudian Abu Bakar berundur ke belakang sehingga sama dengan saf, dan Rasulullah SAW pun tampil ke hadapan lalu bersembahyang, baginda bersabda: Wahai Abu Bakar, apakah yang menghalangi engkau supaya tetap di tempatmu apabila aku menyuruh engkau? Abu Bakar menjawab: Tidak layak bagi anak Abu Quhafah untuk melaksanakan di hadapan Rasulullah SAW ”. (HR-Bukhari)

Dalam penjelasan ini, Abu Bakar ra mengutamakan tingkah laku yang sopan daripada melaksanakan perintah Rasulullah SAW menjadi Imam sholat, sementara Nabi SAW ada dibelakangnya. Inilah sikap yang tepat bagi seorang sahabat terhadap junjunganya Rosulullah SAW. Sangat tepat, jika para ulama menyebutkan ‘’sayyidina’’ baik dalam sholat maupun diluar sholat, karena memulyakan manusia yang dimulyakan Allah SWT.

Beberapa hadis yang mengisaratkan bahwa Rosulullah SAW mengatakan kalau dirinya itu ‘’sayyid’’ sebagai berikut:

"أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ ءَادَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ فَخْرَ". رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ

Artinya:’’aya adalah pemimpin bagi sekalian anak Adam di hari kiamat kelak dan bukanlah untuk berbangga-bangga”.  (HR at-Tirmizi).

Di dalam Redaksi lain, Rosulullah SAW bersabada:’’

عَن أبي هُرَيْرَةَ  رضي الله عنه، قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَوَّلُ مَنْ يَنْشَقُّ عَنْهُ الْقَبْرُ وَأَوَّلُ شَافِعٍ وَأَوَّلُ مُشَفَّع( رواه مسلم، أَبُو دَاوُدَ)

Artinya:’’ dari Abu Hurairah ra, dia berkata, Rosulullah SAW bersabda:’’Saya adalah pemimpin (sayyid) anak Adam di hari kiamat kelak dan bukanlah untuk berbangga-bangga dan orang yang pertama akan bangkit dari kubur dan orang yang pertama memberi syafaat dan orang yang pertama dibenarkan memberi syafaat” (HR Muslim dan Abu Dawud).

Dalam hadis lain Rasulullah SAW bersabda:

عَنْ أَبِى سَعِيدٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ فَخْرَ وَبِيَدِى لِوَاءُ الْحَمْدِ وَلاَ فَخْرَ وَمَا مِنْ نَبِىٍّ يَوْمَئِذٍ آدَمُ فَمَنْ سِوَاهُ إِلاَّ تَحْتَ لِوَائِى وَأَنَا أَوَّلُ مَنْ تَنْشَقُّ عَنْهُ الأَرْضُ وَلاَ فَخْرَ(رواه الترمذى)

 Artinya:’’Dari Abu Said, beliau berkata, Rosulullah SAW bersabda:’’ Saya adalah penghulu anak Adam [di hari akhirat kelak] dan di tangan saya panji-panji kepujian dan bukan untuk berbangga-bangga, nabi-nabi bermula dari nabi Adam sehinggalah ke bawah adalah dibawah naungan benderaku dan akulah orang yang mula-mula akan dikeluarkan dari kubur” (HR Al-Tirmidzi).

Lafal Siyadah Dalam Adzan & Iqomah


الله أكبر الله أكبر


الله أكبر الله أكبر

أشهد أن لا إله إلا الله

أشهد أن لا إله إلا الله

أشهد أن سيدنا محمدا رسول الله

أشهد أن سيدنا محمدا رسول الله

حي على الصلاة

حي على الصلاة

حي على الفلاح

حي على الفلاح

الله أكبر الله أكبر

لا إله إلا الله

Demikian bunyi adzan yang dikumandangkan oleh kaum sufi di Mesir dan di beberapa negara lain, tidak sama dengan adzan-adzan yang sering kita dengarkan… Tepatnya pada tambahan lafaz Sayyidana; cukup menarik perhatian setiap pendengar baru… Ada apa dengan tambahan itu? sejak kapan tambahan itu ada? dan mengapa tidak selalu ada di setiap adzan dan setiap tempat? bid’ahkah? sunnahkah? mubah? atau malah wajib ????

Iqomahnya pun tak lepas juga dari lafaz siyadah itu…

الله أكبر الله أكبر

أشهد أن لا إله إلا الله

أشهد أن سيدنا محمدا رسول الله

حي على الصلاة

حي على الفلاح

قد قامت الصلاة قد قامت الصلاة

الله أكبر الله أكبر

لا إله إلا الله

Menurut jumhur ulama’ dan fuqaha’, tambahan siyadah itu boleh-boleh saja sebab adab lebih didahulukan daripada imtitsal, artinya; mendahulukan etika itu lebih penting dari sekedar menjalankan perintah. Suatu ketika Rasulullah Saw. memerintahkan Saidina Abu Bakr Ra. untuk menjadi imam solat, beliau pun melaksanakan perintah Rasul dan menjadi imam solat, namun di tengah-tengah solat, Rasulullah memasuki masjid untuk ikut solat menjadi ma’mum di belakang Saidina Abu Bakr, Saidina Abu Bakr setelah merasakan kedatangan Baginda Rasul, beliau segera mundur untuk menyerahkan posisi imam kepada Rasul, akhirnya baliaulah yang menjadi ma’mum di belakang Rasul. Selepas solat, Rasulullah bertanya kepada Saidina Abu Bakr: “Mengapa kau mundur sementara Aku sendiri yang menyuruhmu menjadi imam?” beliau menjawab: “Tidak pantas Abu Bakr menjadi imam dan Rasulullah menjadi ma’mum” !! Dari riwayat ini jelas sekali bahwa Saidina Abu Bakr Ra. mendahulukan etikanya kepada Rasul daripada sekedar menjalankan perintah Rasul.

Suatu ketika juga Rasulullah Saw. memasuki sebuah masjid, sejumlah sahabat yang ada dalam masjid berdiri (sebagai penghormatan) menyambut kedatangan Baginda, orang-orang munafik saat itu berkata: “Ngapain mereka berdiri menyambut Muhammad sebagaimana orang-orang ajam menyambut raja-raja mereka?”, Rasulullah pun bersabda kepada para sahabat: “Lain kali jangan berdiri kalau Aku datang !!”, di waktu yang lain Beliau datang menjumpai para sahabat yang sedang kumpul duduk di masjid, di antara para sahabat itu ada Saidina Hassan bin Tsabit Ra., para sahabat itupun berdiri menyambut sebagaimana biasa, Beliau lalu bersabda: “Bukankah Aku telah melarang kalian berdiri kala Aku datang?”, Saidina Hassan menjawab:

قيامي للعزيز علي فرض # وترك الفرض ما هو مستقيم

عجبت لمن له عقل وفهم # يرى هذا الجمال ولا يقوم

Di sini jelas sekali Saidina Hassan mengedepankan etika daripada menjalankan perintah. Oleh karena itu apabila Rasul memerintahkan kita untuk berselawat dengan Allahumma shalli ala Muhammad maka adab kita adalah berselawat dengan Allahumma shalli ala Sayyidina Muhammad. Begitu juga bila Rasul memerintahkan kita adzan dengan lafaz Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah maka etika kita adalah adzan dengan Asyhadu anna Sayyidana Muhammadan Rasulullah.

Kemudian tambahan siyadah itu bukanlah tambahan yang merubah esensi, misalnya si Ahmad bertanya kepada kawannya: siapa namamu? kawannya menjawab: nama saya Muhammad Ali, lalu si Ahmad memanggilnya dengan panggilan Ustadz Muhammad Ali, tambahan ustadz itu bukanlah tambahan atas nama si Muhammad namun sebagai adab dari si Ahmad. Begitu juga bila kita mengucap Allahumma shalli ala Sayyidina Muhhamad atau Asyhadu anna Sayyidana Muhammadan Rasulullah bukanlah tambahan tapi hanya sebagai etika yang harus diutamakan.

Kata mereka; adzan adalah lafaz-lafaz yang sudah terbatas dan tidak boleh dirubah dengan ditambah atau dikurangi, sebab bila dirubah maka bukan adzan lagi namanya, karena Rasul telah mengajarkan adzan seperti itu (tidak kurang tidak lebih). Jawaban kita adalah: apabila memang tidak boleh ditambah atau dikurangi lalu mengapa Saidina Bilal menambah al-Shalatu khairun min al-naum pada adzan subuh? bukankah itu tambahan dari beliau dan bukan dari Rasul? Dan bukankah Saidina Abdullah bin Abbas pernah memerintahkan mu’adzin untuk menggantikan Hayya ala al-shalah dengan Shallu fi buyutikum (solatlah di rumahmu) dengan sebab turunnya hujan? Dan bukankah dulu di anatara lafaz-lafaz adzan ada Hayya ala khairil-amal kemudian dirubah oleh Saidina Umar? Apabila adzan tidak boleh ditambah atau dikurangi (secara mutlak) lalu mengapa Saidina Bilal menambah? mengapa Saidina Ibnu Abbas mengurangi bahkan mengganti dengan lafaz yang lain? mengapa Saidina Umar merubah? Apabila adzan dan iqomah sudah tetap dan baku jumlah kalimatnya, tidaklah mungkin kita menemukan perbedaan dalam mazhab-mazhab fiqh yang mu’tabar. Misalnya dalam mazhab Hanbali takbir di awal adzan sebanyak empat kali, sedangkan dalam mazhab Maliki takbir dua kali saja, dalam mazhab lain adzan boleh diterjemahkan ke bahasa lain, boleh diganti lafaznya, boleh ditambah dan boleh dikurangi bila dipandang perlu… Pertanyaanya: mengapa lafaz siyadah saja yang terlarang ?!?!?!

Dengan demikian maka lafaz-lafaz adzan dan iqomah tidaklah bersifat tauqifi ta’abbudi karena para sahabat telah berkali-kali merubahnya dengan maksud-maksud dan sebab-sebab yang dipandang perlu. Tentunya apabila adzan dan iqomah diberi tambahan lafaz siyadah sebelum menyebut nama Rasul merupakan suatu hal yang sangat mulia dan terpuji. Lafaz-lafaz adzan dan iqomah tidak seperti Qur’an yang turun dari langit dan tidak boleh diganggu gugat, melainkan adzan dan iqomah merupakan hasil mimpi seorang sahabat yang kemudian pelaksanaannya disetujui oleh Baginda Rasul Saw.

Adzan dan iqomah disamping mengajak keapda solat, ia juga merupakan pengumuman dan persaksian dari sang mu’adzin, ia bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah, akan lebih baik dan lebih etis lagi apabila ia juga bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah tuan dan penghulu kita semua; dengan ucapan Asyhadu anna Sayyidana Muhammadan Rasulullah. Karena adzan merupakan persaksian si mu’adzin itu (secara pribadi) maka Rasulullah bersabda: “Bila mendengar adzan, ikutilah kata-kata mu’adzin itu” maksudnya: ikutlah bersaksi !!

Fungsi mu’adzin ketika adzan adalah mengumumkan kepada orang-orang bahwa waktu solat telah tiba, ia juga menyeru untuk solat berjamaah, ia juga mengumumkan persaksiannya bahwa tiada tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah… Apakah semua itu menghalanginya untuk beretika kepada Rasulullah? Apa sih salahnya memuliakan Rasulullah disamping tujuan-tujuan di atas? apalagi adzan dikumandangkan dengan suara keras dan tinggi dan didengarkan oleh banyak orang baik muslim maupun non-muslim, bukankah etika amat diperlukan?

Kata mereka: memuliakan Rasulullah dengan lafaz siyadah adalah berlebihan !! karena yang sayyid itu hanyalah Allah !! dan Rasulullah menjadi sayyid hanya di akhirat saja dan tidak di dunia !! Sungguh mereka amat benci kepada Rasulullah !! Bukankah Saidina Abu Tsabit pernah memanggil Rasulullah dengan panggilan “Ya Sayyidi”? Bukankah Rasulullah sendiri bersabda: “al-Hasan wal-Husain Sayyida syababi ahlil-jannah”? Bukankah Allah sendiri berfirman bahwa Nabi Yahya adalah “Sayyidan wa hashuran wa nabiyyan minal-shalihin”? Bukankah orang kafir juga sayyid sebagaimana firman-Nya “Wa alfaya sayyidaha”? Bukankah Rasulullah juga menyatakan bahwa Saidina Sa’d bin Mu’adz adalah sayyid “Qumu lisayyidikum”? Bukankah Saidina Umar juga menyatakan bahwa Saidina Abu Bakr adalah sayyid dan Saidina Bilal juga sayyid “A’taqa sayyiduna sayyidana”? Mengapa keberatan dengan siyadah Rasulullah Saw. sementara beliau adalah makhluk Allah yang teragung, tertinggi, tersuci dan termulia ?!? Bukankah Rasulullah sendiri bersabda: “Ana sayyidu waladi Adam wala fakhr”? Adapun hadits “La tusayyiduni” adalah hadits maudhu’ dan kontra dengan kaidah bahasa arab, karena yang benar adalah La tusawwiduni bukan La tusayyiduni !!

Fatwa Dr. Ali Jum’ah (mufti Mesir) dalam masalah ini sebagai berikut :

أما حكم تسويده صلى الله عليه وسلم في الصلاة والأذان وغيرهما من العبادات فاختلف الفقهاء في حكم هذه المسألة وقد نقل في كتب المذاهب الفقهية المعتمدة ندب الإتيان بلفظ سيدنا قبل إسمه الشريف حتى في العبادات كالصلاة والأذان

Beliau juga menambahkan :

ذهب إلى استحباب تقديم لفظة سيدنا قبل إسمه الشريف في الصلاة والأذان وغيرهما من العبادات كثيرٌ من فقهاء المذاهب الفقهية، كالعز بن عبد السلام والرملي والقليوبي والشرقاوي من الشافعية، والحصفكي وابن عابدين من الحنفية، وغيرهم كالشوكاني

al-Arif billah al-Muhaddits al-Hafiz al-Sayyid al-Syarif al-Faqih al-Shufi al-Syaikh Ahamd bin Muhammad bin al-Shiddiq al-Ghumari al-Hasani Ra. (meninggal tahun 1960 M.) pernah menulis kitab berjudul Tasyniful-adzan bi adillati istihbab al-siyadah inda ismihi alaih al-shalatu wal-salam fil-shalati wal-iqamati wal-adzan, kitab ini khusus membahas tentang bolehnya mengucapkan lafaz siyadah ketika penyebutan nama Rasulullah Saw. baik dalam solat, adzan maupun iqomah. Kitab ini penuh dengan dalil-dalil yang kuat dan telah dimuraja’ah dan diakui kebenarannya oleh mufti Mesir Dr. Ali Jum’ah al-Syafi’i serta ulama’-ulama’ yang lain.

Apabila siyadah dalam adzan dan iqomah dianggap bid’ah, maka bid’ah tersebut adalah hasanah. Bila ditanya: mengapa para sahabat dulu tidak mengucap Sayyidana dalam adzan dan iqomah? Syekh Ahmad al-Ghumari Ra. menjawab bahwa etika berubah-ubah setiap zaman, mungkin etika zaman dulu tidak menuntut kesitu, namun keadaan zaman sekarang sangat menuntut itu, apalagi melihat banyaknya artis-artis dan pejabat-pejabat yang disanjung-sanjung dan mendapat banyak penghormatan yang berlebihan, sangatlah hina bila menyebut nama sang penghulu alam hanya dengan sebutan “Muhammad” !! Kalaupun zaman dulu tidak ada sahabat yang mengucapkan Sayyidana dalam adzan dan iqomah, tidak berarti hal tersebut dilarang oleh syari’at, bila saat itu ada sahabat yang mengucapkannya Baginda pasti membenarkannya, karena beliau tidak pernah melarang sebelumnya, dan pernah memerintahkan sesudahnya; sebagaimana riwayat Bani Amir yang mengatakan kepada Rasulullah: “Anta waliyyuna wa anta sayyiduna” Rasul lalu bersabda: “Qulu qaulakum”. Asal hukum setiap sesuatu adalah mubah, kecuali ada nash yang dengan tegas mengharamkan, lafaz siyadah kepada Rasul dalam adzan maupun iqomah sangat mustahab, baik dilakukan oleh orang-orang dahulu ataupun tidak dilakukan.

Sekali lagi, etika lebih penting dari segalanya, tanpa etika hancurlah semuanya. Allah berfirman: “Janganlah menyebut nama Rasul seperti menyebut nama sesamamu” Allah juga berfirman: “Janganlah berpendapat di atas pendapat Rasul dan janganlah meninggikan suaramu di atas suara Rasul sebagaimana tinggi dan kerasnya suara sebagianmu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak terhapus amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari”. Etika menyebut nama orang tua dan guru tidaklah lebih penting dari etika menyebut nama sang penghulu dan pemberi syafa’at di hari jitu !!

Hukum Sebut Sayyidina

Bersopan santun dan beradab dengan Baginda saw baik dalam menyebut nama atau memanggilnya, kerana
Allah swt telah berfirman:

لا تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا ۚ قَدْ يَعْلَمُ اللهُ الَّذِينَ يَتَسَلَّلُونَ مِنْكُمْ لِوَاذًا ۚ فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

{Janganlah kamu jadikan panggilan (kepada) Rasulullah saw di antara kamu seperti panggilan sesama kamu. Sesungguhnya Allah telah mengetahui orang-orang yang menarik diri (dari majlis Nabi saw) di antara kamu secara berselindung dan bersembunyi, maka hendaklah orang-orang yang mengikari perintah-Nya beringat serta berjaga-jaga, jangan mereka ditimpa bala bencana atau ditimpa azab yang pedih}.
[Surah An-Nuur: 63].


Fuqaha' Syafi'iyah berpendapat sunat menyebut sayyidina ketika berselawat atas alasan penghormatan dan adab. Imam Asnawi di dalam kitab Al-Muhimmaat mengemukakan ucapan Syeikh Izzud-din bin Abdus-salam, dia berkata : “Pada prinsipnya pembacaan selawat di dalam tasyahhud itu hendaklah ditambah dengan lafaz “sayyidina”, demi mengikuti adab dan menjalankan perintah. Atas yang pertama hukumnya mustahab (sunat). Dengan demikian di dalam membaca shalawat boleh bagi kita mengucapkan “Allahumma Shalli ‘Ala Sayyidina Muhammad”, meskipun tidak ada pada lafazh-lafazh shalawat yang diajarkan oleh Nabi (ash-Shalawat al Ma'tsurah) dengan penambahan kata “Sayyid”. Karena menyusun dzikir tertentu yang tidak ma'tsur boleh selama tidak bertentangan dengan yang ma'tsur. Sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim menambah lafazh talbiyah dari yang sudah diajarkan oleh Rasulullah. Lafazh talbiyah yang diajarkan oleh Nabi adalah:

 لَبَّيْكَ اللّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ، لاَ شَرِيْكَ لَكَ


Namun kemudian sabahat Umar ibn al-Khaththab menambahkannya. Dalam bacaan beliau:

 لَبَّيْكَ اللّهُمَّ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ ، وَالْخَيْرُ فِيْ يَدَيْكَ، وَالرَّغْبَاءُ إِلَيْكَ وَالْعَمَلُ


Dalil lainnya adalah dari sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar bahwa beliau membuat kalimat tambahan pada Tasyahhud di dalamnya shalatnya. Kalimat Tasyahhud dalam shalat yang diajarkan Rasulullah adalah “Asyhadu An La Ilaha Illah, Wa Asyhadu Anna Muhammad Rasulullah”. Namun kemudian ‘Abdullah ibn ‘Umar menambahkan Tasyahhud pertamanya menjadi:

 أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ


Tambahan kalimat “Wahdahu La Syarika Lah” sengaja diucapkan oleh beliau. Bahkan tentang ini ‘Abdullah ibn ‘Umar berkata: “Wa Ana Zidtuha...”. Artinya: “Saya sendiri yang menambahkan kalimat “Wahdahu La Syarika Lah”. (HR Abu Dawud) Dalam sebuah hadits shahih, Imam al-Bukhari meriwayatkan dari sahabat Rifa'ah ibn Rafi', bahwa ia (Rifa'ah ibn Rafi’) berkata: “Suatu hari kami shalat berjama'ah di belakang Rasulullah. Ketika beliau mengangkat kepala setelah ruku' beliau membaca: “Sami’allahu Liman Hamidah”, tiba-tiba salah seorang makmum berkata:

 رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ


Setelah selesai shalat Rasulullah bertanya: “Siapakah tadi yang mengatakan kalimat-kalimat itu?".
Orang yang yang dimaksud menjawab: “Saya Wahai Rasulullah...”. Lalu Rasulullah berkata:

 رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِيْنَ مَلَكًا يَبْتَدِرُوْنَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلَ “


Aku melihat lebih dari tiga puluh Malaikat berlomba untuk menjadi yang pertama mencatatnya”. al-Imam al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam kitab Fath al-Bari, dalam menjelaskan hadits sahabat Rifa’ah ibn Rafi ini menuliskan sebagai berikut: “Hadits ini adalah dalil yang menunjukkan kepada beberapa perkara.

Pertama; Menunjukan kebolehan menyusun dzikir yang tidak ma'tsur di dalam shalat selama tidak menyalahi yang ma'tsur.

Dua; Boleh mengeraskan suara dzikir selama tidak mengganggu orang lain di dekatnya.

Tiga; Bahwa orang yang bersin di dalam shalat diperbolehkan baginya mengucapkan “al-Hamdulillah” tanpa adanya hukum makruh” (Fath al-Bari, j. 2, h. 287).

Dengan demikian boleh hukumnya dan tidak ada masalah sama sekali di dalam bacaan shalawat menambahkan kata “Sayyidina”, baik dibaca di luar shalat maupun di dalam shalat. Karena tambahan kata “Sayyidina” ini adalah tambahan yang sesuai dengan dasar syari’at, dan sama sekali tidak bertentangan dengannya. Asy-Syaikh al’Allamah Ibn Hajar al-Haitami dalam kitab al-Minhaj al-Qawim, halaman 160, menuliskan sebagai berikut:

 وَلاَ بَأْسَ بِزِيَادَةِ سَيِّدِنَا قَبْلَ مُحَمَّدٍ، وَخَبَرُ"لاَ تُسَيِّدُوْنِي فِيْ الصَّلاَةِ" ضَعِيْفٌ بَلْ لاَ أَصْلَ لَهُ “


Dan tidak mengapa menambahkan kata “Sayyidina” sebelum Muhammad. Sedangkan hadits yang berbunyi “La Tusyyiduni Fi ash-Shalat” adalah hadits dha'if bahkan tidak memiliki dasar (hadits maudlu/palsu)”.
Di antara hal yang menunjukan bahwa hadits “La Tusayyiduni Fi ash-Shalat” sebagai hadits palsu (Maudlu’) adalah karena di dalam hadits ini terdapat kaedah kebahasaan yang salah (al-Lahn). Artinya, terdapat kalimat yang ditinjau dari gramatika bahasa Arab adalah sesuatu yang aneh dan asing. Yaitu pada kata “Tusayyiduni”. Di dalam bahasa Arab, dasar kata “Sayyid” adalah berasal dari kata “Saada, Yasuudu”, bukan “Saada, Yasiidu”. Dengan demikian bentuk fi’il Muta'addi (kata kerja yang membutuhkan kepada objek) dari “Saada, Yasuudu” ini adalah “Sawwada, Yusawwidu”, dan bukan “Sayyada, Yusayyidu”.

Dengan demikian, -seandainya hadits di atas benar adanya-, maka bukan dengan kata “La Tasayyiduni”, tapi harus dengan kata “La Tusawwiduni”. Inilah yang dimaksud dengan al-Lahn. Sudah barang tentu Rasulullah tidak akan pernah mengucapkan al-Lahn semacam ini, karena beliau adalah seorang Arab yang sangat fasih (Afshah al-‘Arab). Bahkan dalam pendapat sebagian ulama, mengucapkan kata “Sayyidina” di depan nama Rasulullah, baik di dalam shalat maupun di luar shalat lebih utama dari pada tidak memakainya. Karena tambahan kata tersebut termasuk penghormatan dan adab terhadap Rasulullah. Dan pendapat ini dinilai sebagai pendapat mu’tamad. Asy-Syaikh al-‘Allamah al-Bajuri dalam kitab Hasyiah al-Bajuri, menuliskan sebagai berikut:

 الأوْلَى ذِكْرُ السِّيَادَةِ لأَنّ الأفْضَلَ سُلُوْكُ الأدَبِ، خِلاَفًا لِمَنْ قَالَ الأوْلَى تَرْكُ السّيَادَةِ إقْتِصَارًا عَلَى الوَارِدِ، وَالمُعْتَمَدُ الأوَّلُ، وَحَدِيْثُ لاَ تُسَوِّدُوْنِي فِي صَلاتِكُمْ بِالوَاوِ لاَ بِاليَاءِ بَاطِلٌ“

Yang lebih utama adalah mengucapkan kata “Sayyid”, karena yang lebih afdlal adalah menjalankan adab. Hal ini berbeda dengan pendapat orang yang mengatakan bahwa lebih utama meninggalkan kata “Sayyid” dengan alasan mencukupkan di atas yang warid saja. Dan pendapat mu’tamad adalah pendapat yang pertama. Adapun hadits “La Tusawwiduni Fi Shalatikum”, yang seharusnya dengan “waw” (Tusawwiduni) bukan dengan “ya” (Tusayyiduni) adalah hadits yang batil” (Hasyiah al-Bajuri, j. 1, h. 156).

Wallahu 'alam.
Hukum Sebut Sayyidina * Fuqaha' Syafi'iyah berpendapat sunat menyebut sayyidina ketika berselawat atas alasan penghormatan dan adab. Imam Asnawi di dalam kitab Al-Muhimmaat mengemukakan ucapan Syeikh Izzud-din bin Abdus-salam, dia berkata : “Pada prinsipnya pembacaan selawat di dalam tasyahhud itu hendaklah ditambah dengan lafaz “sayyidina”, demi mengikuti adab dan menjalankan perintah. Atas yang pertama hukumnya mustahab (sunat). Dengan demikian di dalam membaca shalawat boleh bagi kita mengucapkan “Allahumma Shalli ‘Ala Sayyidina Muhammad”, meskipun tidak ada pada lafazh-lafazh shalawat yang diajarkan oleh Nabi (ash-Shalawat al Ma'tsurah) dengan penambahan kata “Sayyid”. Karena menyusun dzikir tertentu yang tidak ma'tsur boleh selama tidak bertentangan dengan yang ma'tsur. Sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim menambah lafazh talbiyah dari yang sudah diajarkan oleh Rasulullah. Lafazh talbiyah yang diajarkan oleh Nabi adalah: لَبَّيْكَ اللّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ، لاَ شَرِيْكَ لَكَNamun kemudian sabahat Umar ibn al-Khaththab menambahkannya. Dalam bacaan beliau: لَبَّيْكَ اللّهُمَّ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ ، وَالْخَيْرُ فِيْ يَدَيْكَ، وَالرَّغْبَاءُ إِلَيْكَ وَالْعَمَلُDalil lainnya adalah dari sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar bahwa beliau membuat kalimat tambahan pada Tasyahhud di dalamnya shalatnya. Kalimat Tasyahhud dalam shalat yang diajarkan Rasulullah adalah “Asyhadu An La Ilaha Illah, Wa Asyhadu Anna Muhammad Rasulullah”. Namun kemudian ‘Abdullah ibn ‘Umar menambahkan Tasyahhud pertamanya menjadi: أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُTambahan kalimat “Wahdahu La Syarika Lah” sengaja diucapkan oleh beliau. Bahkan tentang ini ‘Abdullah ibn ‘Umar berkata: “Wa Ana Zidtuha...”. Artinya: “Saya sendiri yang menambahkan kalimat “Wahdahu La Syarika Lah”. (HR Abu Dawud) Dalam sebuah hadits shahih, Imam al-Bukhari meriwayatkan dari sahabat Rifa'ah ibn Rafi', bahwa ia (Rifa'ah ibn Rafi’) berkata: “Suatu hari kami shalat berjama'ah di belakang Rasulullah. Ketika beliau mengangkat kepala setelah ruku' beliau membaca: “Sami’allahu Liman Hamidah”, tiba-tiba salah seorang makmum berkata: رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ Setelah selesai shalat Rasulullah bertanya: “Siapakah tadi yang mengatakan kalimat-kalimat itu?". Orang yang yang dimaksud menjawab: “Saya Wahai Rasulullah...”. Lalu Rasulullah berkata: رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِيْنَ مَلَكًا يَبْتَدِرُوْنَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلَ “Aku melihat lebih dari tiga puluh Malaikat berlomba untuk menjadi yang pertama mencatatnya”. al-Imam al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam kitab Fath al-Bari, dalam menjelaskan hadits sahabat Rifa’ah ibn Rafi ini menuliskan sebagai berikut: “Hadits ini adalah dalil yang menunjukkan kepada beberapa perkara. Pertama; Menunjukan kebolehan menyusun dzikir yang tidak ma'tsur di dalam shalat selama tidak menyalahi yang ma'tsur. Dua; Boleh mengeraskan suara dzikir selama tidak mengganggu orang lain di dekatnya. Tiga; Bahwa orang yang bersin di dalam shalat diperbolehkan baginya mengucapkan “al-Hamdulillah” tanpa adanya hukum makruh” (Fath al-Bari, j. 2, h. 287). Dengan demikian boleh hukumnya dan tidak ada masalah sama sekali di dalam bacaan shalawat menambahkan kata “Sayyidina”, baik dibaca di luar shalat maupun di dalam shalat. Karena tambahan kata “Sayyidina” ini adalah tambahan yang sesuai dengan dasar syari’at, dan sama sekali tidak bertentangan dengannya. Asy-Syaikh al’Allamah Ibn Hajar al-Haitami dalam kitab al-Minhaj al-Qawim, halaman 160, menuliskan sebagai berikut: وَلاَ بَأْسَ بِزِيَادَةِ سَيِّدِنَا قَبْلَ مُحَمَّدٍ، وَخَبَرُ"لاَ تُسَيِّدُوْنِي فِيْ الصَّلاَةِ" ضَعِيْفٌ بَلْ لاَ أَصْلَ لَهُ “Dan tidak mengapa menambahkan kata “Sayyidina” sebelum Muhammad. Sedangkan hadits yang berbunyi “La Tusyyiduni Fi ash-Shalat” adalah hadits dha'if bahkan tidak memiliki dasar (hadits maudlu/palsu)”. Di antara hal yang menunjukan bahwa hadits “La Tusayyiduni Fi ash-Shalat” sebagai hadits palsu (Maudlu’) adalah karena di dalam hadits ini terdapat kaedah kebahasaan yang salah (al-Lahn). Artinya, terdapat kalimat yang ditinjau dari gramatika bahasa Arab adalah sesuatu yang aneh dan asing. Yaitu pada kata “Tusayyiduni”. Di dalam bahasa Arab, dasar kata “Sayyid” adalah berasal dari kata “Saada, Yasuudu”, bukan “Saada, Yasiidu”. Dengan demikian bentuk fi’il Muta'addi (kata kerja yang membutuhkan kepada objek) dari “Saada, Yasuudu” ini adalah “Sawwada, Yusawwidu”, dan bukan “Sayyada, Yusayyidu”. Dengan demikian, -seandainya hadits di atas benar adanya-, maka bukan dengan kata “La Tasayyiduni”, tapi harus dengan kata “La Tusawwiduni”. Inilah yang dimaksud dengan al-Lahn. Sudah barang tentu Rasulullah tidak akan pernah mengucapkan al-Lahn semacam ini, karena beliau adalah seorang Arab yang sangat fasih (Afshah al-‘Arab). Bahkan dalam pendapat sebagian ulama, mengucapkan kata “Sayyidina” di depan nama Rasulullah, baik di dalam shalat maupun di luar shalat lebih utama dari pada tidak memakainya. Karena tambahan kata tersebut termasuk penghormatan dan adab terhadap Rasulullah. Dan pendapat ini dinilai sebagai pendapat mu’tamad. Asy-Syaikh al-‘Allamah al-Bajuri dalam kitab Hasyiah al-Bajuri, menuliskan sebagai berikut: الأوْلَى ذِكْرُ السِّيَادَةِ لأَنّ الأفْضَلَ سُلُوْكُ الأدَبِ، خِلاَفًا لِمَنْ قَالَ الأوْلَى تَرْكُ السّيَادَةِ إقْتِصَارًا عَلَى الوَارِدِ، وَالمُعْتَمَدُ الأوَّلُ، وَحَدِيْثُ لاَ تُسَوِّدُوْنِي فِي صَلاتِكُمْ بِالوَاوِ لاَ بِاليَاءِ بَاطِلٌ“Yang lebih utama adalah mengucapkan kata “Sayyid”, karena yang lebih afdlal adalah menjalankan adab. Hal ini berbeda dengan pendapat orang yang mengatakan bahwa lebih utama meninggalkan kata “Sayyid” dengan alasan mencukupkan di atas yang warid saja. Dan pendapat mu’tamad adalah pendapat yang pertama. Adapun hadits “La Tusawwiduni Fi Shalatikum”, yang seharusnya dengan “waw” (Tusawwiduni) bukan dengan “ya” (Tusayyiduni) adalah hadits yang batil” (Hasyiah al-Bajuri, j. 1, h. 156). Wallahu 'alam.

Make money by copying the best: http://bit.ly/best_tips
Hukum Sebut Sayyidina * Fuqaha' Syafi'iyah berpendapat sunat menyebut sayyidina ketika berselawat atas alasan penghormatan dan adab. Imam Asnawi di dalam kitab Al-Muhimmaat mengemukakan ucapan Syeikh Izzud-din bin Abdus-salam, dia berkata : “Pada prinsipnya pembacaan selawat di dalam tasyahhud itu hendaklah ditambah dengan lafaz “sayyidina”, demi mengikuti adab dan menjalankan perintah. Atas yang pertama hukumnya mustahab (sunat). Dengan demikian di dalam membaca shalawat boleh bagi kita mengucapkan “Allahumma Shalli ‘Ala Sayyidina Muhammad”, meskipun tidak ada pada lafazh-lafazh shalawat yang diajarkan oleh Nabi (ash-Shalawat al Ma'tsurah) dengan penambahan kata “Sayyid”. Karena menyusun dzikir tertentu yang tidak ma'tsur boleh selama tidak bertentangan dengan yang ma'tsur. Sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim menambah lafazh talbiyah dari yang sudah diajarkan oleh Rasulullah. Lafazh talbiyah yang diajarkan oleh Nabi adalah: لَبَّيْكَ اللّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ، لاَ شَرِيْكَ لَكَNamun kemudian sabahat Umar ibn al-Khaththab menambahkannya. Dalam bacaan beliau: لَبَّيْكَ اللّهُمَّ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ ، وَالْخَيْرُ فِيْ يَدَيْكَ، وَالرَّغْبَاءُ إِلَيْكَ وَالْعَمَلُDalil lainnya adalah dari sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar bahwa beliau membuat kalimat tambahan pada Tasyahhud di dalamnya shalatnya. Kalimat Tasyahhud dalam shalat yang diajarkan Rasulullah adalah “Asyhadu An La Ilaha Illah, Wa Asyhadu Anna Muhammad Rasulullah”. Namun kemudian ‘Abdullah ibn ‘Umar menambahkan Tasyahhud pertamanya menjadi: أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُTambahan kalimat “Wahdahu La Syarika Lah” sengaja diucapkan oleh beliau. Bahkan tentang ini ‘Abdullah ibn ‘Umar berkata: “Wa Ana Zidtuha...”. Artinya: “Saya sendiri yang menambahkan kalimat “Wahdahu La Syarika Lah”. (HR Abu Dawud) Dalam sebuah hadits shahih, Imam al-Bukhari meriwayatkan dari sahabat Rifa'ah ibn Rafi', bahwa ia (Rifa'ah ibn Rafi’) berkata: “Suatu hari kami shalat berjama'ah di belakang Rasulullah. Ketika beliau mengangkat kepala setelah ruku' beliau membaca: “Sami’allahu Liman Hamidah”, tiba-tiba salah seorang makmum berkata: رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ Setelah selesai shalat Rasulullah bertanya: “Siapakah tadi yang mengatakan kalimat-kalimat itu?". Orang yang yang dimaksud menjawab: “Saya Wahai Rasulullah...”. Lalu Rasulullah berkata: رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِيْنَ مَلَكًا يَبْتَدِرُوْنَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلَ “Aku melihat lebih dari tiga puluh Malaikat berlomba untuk menjadi yang pertama mencatatnya”. al-Imam al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam kitab Fath al-Bari, dalam menjelaskan hadits sahabat Rifa’ah ibn Rafi ini menuliskan sebagai berikut: “Hadits ini adalah dalil yang menunjukkan kepada beberapa perkara. Pertama; Menunjukan kebolehan menyusun dzikir yang tidak ma'tsur di dalam shalat selama tidak menyalahi yang ma'tsur. Dua; Boleh mengeraskan suara dzikir selama tidak mengganggu orang lain di dekatnya. Tiga; Bahwa orang yang bersin di dalam shalat diperbolehkan baginya mengucapkan “al-Hamdulillah” tanpa adanya hukum makruh” (Fath al-Bari, j. 2, h. 287). Dengan demikian boleh hukumnya dan tidak ada masalah sama sekali di dalam bacaan shalawat menambahkan kata “Sayyidina”, baik dibaca di luar shalat maupun di dalam shalat. Karena tambahan kata “Sayyidina” ini adalah tambahan yang sesuai dengan dasar syari’at, dan sama sekali tidak bertentangan dengannya. Asy-Syaikh al’Allamah Ibn Hajar al-Haitami dalam kitab al-Minhaj al-Qawim, halaman 160, menuliskan sebagai berikut: وَلاَ بَأْسَ بِزِيَادَةِ سَيِّدِنَا قَبْلَ مُحَمَّدٍ، وَخَبَرُ"لاَ تُسَيِّدُوْنِي فِيْ الصَّلاَةِ" ضَعِيْفٌ بَلْ لاَ أَصْلَ لَهُ “Dan tidak mengapa menambahkan kata “Sayyidina” sebelum Muhammad. Sedangkan hadits yang berbunyi “La Tusyyiduni Fi ash-Shalat” adalah hadits dha'if bahkan tidak memiliki dasar (hadits maudlu/palsu)”. Di antara hal yang menunjukan bahwa hadits “La Tusayyiduni Fi ash-Shalat” sebagai hadits palsu (Maudlu’) adalah karena di dalam hadits ini terdapat kaedah kebahasaan yang salah (al-Lahn). Artinya, terdapat kalimat yang ditinjau dari gramatika bahasa Arab adalah sesuatu yang aneh dan asing. Yaitu pada kata “Tusayyiduni”. Di dalam bahasa Arab, dasar kata “Sayyid” adalah berasal dari kata “Saada, Yasuudu”, bukan “Saada, Yasiidu”. Dengan demikian bentuk fi’il Muta'addi (kata kerja yang membutuhkan kepada objek) dari “Saada, Yasuudu” ini adalah “Sawwada, Yusawwidu”, dan bukan “Sayyada, Yusayyidu”. Dengan demikian, -seandainya hadits di atas benar adanya-, maka bukan dengan kata “La Tasayyiduni”, tapi harus dengan kata “La Tusawwiduni”. Inilah yang dimaksud dengan al-Lahn. Sudah barang tentu Rasulullah tidak akan pernah mengucapkan al-Lahn semacam ini, karena beliau adalah seorang Arab yang sangat fasih (Afshah al-‘Arab). Bahkan dalam pendapat sebagian ulama, mengucapkan kata “Sayyidina” di depan nama Rasulullah, baik di dalam shalat maupun di luar shalat lebih utama dari pada tidak memakainya. Karena tambahan kata tersebut termasuk penghormatan dan adab terhadap Rasulullah. Dan pendapat ini dinilai sebagai pendapat mu’tamad. Asy-Syaikh al-‘Allamah al-Bajuri dalam kitab Hasyiah al-Bajuri, menuliskan sebagai berikut: الأوْلَى ذِكْرُ السِّيَادَةِ لأَنّ الأفْضَلَ سُلُوْكُ الأدَبِ، خِلاَفًا لِمَنْ قَالَ الأوْلَى تَرْكُ السّيَادَةِ إقْتِصَارًا عَلَى الوَارِدِ، وَالمُعْتَمَدُ الأوَّلُ، وَحَدِيْثُ لاَ تُسَوِّدُوْنِي فِي صَلاتِكُمْ بِالوَاوِ لاَ بِاليَاءِ بَاطِلٌ“Yang lebih utama adalah mengucapkan kata “Sayyid”, karena yang lebih afdlal adalah menjalankan adab. Hal ini berbeda dengan pendapat orang yang mengatakan bahwa lebih utama meninggalkan kata “Sayyid” dengan alasan mencukupkan di atas yang warid saja. Dan pendapat mu’tamad adalah pendapat yang pertama. Adapun hadits “La Tusawwiduni Fi Shalatikum”, yang seharusnya dengan “waw” (Tusawwiduni) bukan dengan “ya” (Tusayyiduni) adalah hadits yang batil” (Hasyiah al-Bajuri, j. 1, h. 156). Wallahu 'alam.

Make money by copying the best: http://bit.ly/best_tips