Allah swt telah berfirman:
لا تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا ۚ قَدْ يَعْلَمُ اللهُ الَّذِينَ يَتَسَلَّلُونَ مِنْكُمْ لِوَاذًا ۚ فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
{Janganlah kamu jadikan
panggilan (kepada) Rasulullah saw di antara kamu seperti panggilan
sesama kamu. Sesungguhnya Allah telah mengetahui orang-orang yang
menarik diri (dari majlis Nabi saw) di antara kamu secara berselindung
dan bersembunyi, maka hendaklah orang-orang yang mengikari perintah-Nya
beringat serta berjaga-jaga, jangan mereka ditimpa bala bencana atau
ditimpa azab yang pedih}.
[Surah An-Nuur: 63].
[Surah An-Nuur: 63].
Fuqaha' Syafi'iyah berpendapat sunat menyebut sayyidina ketika berselawat atas alasan penghormatan dan adab. Imam Asnawi di dalam kitab Al-Muhimmaat mengemukakan ucapan Syeikh Izzud-din bin Abdus-salam, dia berkata : “Pada prinsipnya pembacaan selawat di dalam tasyahhud itu hendaklah ditambah dengan lafaz “sayyidina”, demi mengikuti adab dan menjalankan perintah. Atas yang pertama hukumnya mustahab (sunat). Dengan demikian di dalam membaca shalawat boleh bagi kita mengucapkan “Allahumma Shalli ‘Ala Sayyidina Muhammad”, meskipun tidak ada pada lafazh-lafazh shalawat yang diajarkan oleh Nabi (ash-Shalawat al Ma'tsurah) dengan penambahan kata “Sayyid”. Karena menyusun dzikir tertentu yang tidak ma'tsur boleh selama tidak bertentangan dengan yang ma'tsur. Sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim menambah lafazh talbiyah dari yang sudah diajarkan oleh Rasulullah. Lafazh talbiyah yang diajarkan oleh Nabi adalah:
لَبَّيْكَ اللّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ، لاَ شَرِيْكَ لَكَ
Namun kemudian sabahat Umar ibn al-Khaththab menambahkannya. Dalam bacaan beliau:
لَبَّيْكَ اللّهُمَّ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ ، وَالْخَيْرُ فِيْ يَدَيْكَ، وَالرَّغْبَاءُ إِلَيْكَ وَالْعَمَلُ
Dalil lainnya adalah dari sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar bahwa beliau membuat kalimat tambahan pada Tasyahhud di dalamnya shalatnya. Kalimat Tasyahhud dalam shalat yang diajarkan Rasulullah adalah “Asyhadu An La Ilaha Illah, Wa Asyhadu Anna Muhammad Rasulullah”. Namun kemudian ‘Abdullah ibn ‘Umar menambahkan Tasyahhud pertamanya menjadi:
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ
Tambahan kalimat “Wahdahu La Syarika Lah” sengaja diucapkan oleh beliau. Bahkan tentang ini ‘Abdullah ibn ‘Umar berkata: “Wa Ana Zidtuha...”. Artinya: “Saya sendiri yang menambahkan kalimat “Wahdahu La Syarika Lah”. (HR Abu Dawud) Dalam sebuah hadits shahih, Imam al-Bukhari meriwayatkan dari sahabat Rifa'ah ibn Rafi', bahwa ia (Rifa'ah ibn Rafi’) berkata: “Suatu hari kami shalat berjama'ah di belakang Rasulullah. Ketika beliau mengangkat kepala setelah ruku' beliau membaca: “Sami’allahu Liman Hamidah”, tiba-tiba salah seorang makmum berkata:
رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ
Setelah selesai shalat Rasulullah bertanya: “Siapakah tadi yang mengatakan kalimat-kalimat itu?".
Orang yang yang dimaksud menjawab: “Saya Wahai Rasulullah...”. Lalu Rasulullah berkata:
رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِيْنَ مَلَكًا يَبْتَدِرُوْنَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلَ “
Aku melihat lebih dari tiga puluh Malaikat berlomba untuk menjadi yang pertama mencatatnya”. al-Imam al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam kitab Fath al-Bari, dalam menjelaskan hadits sahabat Rifa’ah ibn Rafi ini menuliskan sebagai berikut: “Hadits ini adalah dalil yang menunjukkan kepada beberapa perkara.
Pertama; Menunjukan kebolehan menyusun dzikir yang tidak ma'tsur di dalam shalat selama tidak menyalahi yang ma'tsur.
Dua; Boleh mengeraskan suara dzikir selama tidak mengganggu orang lain di dekatnya.
Tiga; Bahwa orang yang bersin di dalam shalat diperbolehkan baginya mengucapkan “al-Hamdulillah” tanpa adanya hukum makruh” (Fath al-Bari, j. 2, h. 287).
Dengan demikian boleh hukumnya dan tidak ada masalah sama sekali di dalam bacaan shalawat menambahkan kata “Sayyidina”, baik dibaca di luar shalat maupun di dalam shalat. Karena tambahan kata “Sayyidina” ini adalah tambahan yang sesuai dengan dasar syari’at, dan sama sekali tidak bertentangan dengannya. Asy-Syaikh al’Allamah Ibn Hajar al-Haitami dalam kitab al-Minhaj al-Qawim, halaman 160, menuliskan sebagai berikut:
وَلاَ بَأْسَ بِزِيَادَةِ سَيِّدِنَا قَبْلَ مُحَمَّدٍ، وَخَبَرُ"لاَ تُسَيِّدُوْنِي فِيْ الصَّلاَةِ" ضَعِيْفٌ بَلْ لاَ أَصْلَ لَهُ “
Dan tidak mengapa menambahkan kata “Sayyidina” sebelum Muhammad. Sedangkan hadits yang berbunyi “La Tusyyiduni Fi ash-Shalat” adalah hadits dha'if bahkan tidak memiliki dasar (hadits maudlu/palsu)”.
Di antara hal yang menunjukan bahwa hadits “La Tusayyiduni Fi ash-Shalat” sebagai hadits palsu (Maudlu’) adalah karena di dalam hadits ini terdapat kaedah kebahasaan yang salah (al-Lahn). Artinya, terdapat kalimat yang ditinjau dari gramatika bahasa Arab adalah sesuatu yang aneh dan asing. Yaitu pada kata “Tusayyiduni”. Di dalam bahasa Arab, dasar kata “Sayyid” adalah berasal dari kata “Saada, Yasuudu”, bukan “Saada, Yasiidu”. Dengan demikian bentuk fi’il Muta'addi (kata kerja yang membutuhkan kepada objek) dari “Saada, Yasuudu” ini adalah “Sawwada, Yusawwidu”, dan bukan “Sayyada, Yusayyidu”.
Dengan demikian, -seandainya hadits di atas benar adanya-, maka bukan dengan kata “La Tasayyiduni”, tapi harus dengan kata “La Tusawwiduni”. Inilah yang dimaksud dengan al-Lahn. Sudah barang tentu Rasulullah tidak akan pernah mengucapkan al-Lahn semacam ini, karena beliau adalah seorang Arab yang sangat fasih (Afshah al-‘Arab). Bahkan dalam pendapat sebagian ulama, mengucapkan kata “Sayyidina” di depan nama Rasulullah, baik di dalam shalat maupun di luar shalat lebih utama dari pada tidak memakainya. Karena tambahan kata tersebut termasuk penghormatan dan adab terhadap Rasulullah. Dan pendapat ini dinilai sebagai pendapat mu’tamad. Asy-Syaikh al-‘Allamah al-Bajuri dalam kitab Hasyiah al-Bajuri, menuliskan sebagai berikut:
الأوْلَى ذِكْرُ السِّيَادَةِ لأَنّ الأفْضَلَ سُلُوْكُ الأدَبِ، خِلاَفًا لِمَنْ قَالَ الأوْلَى تَرْكُ السّيَادَةِ إقْتِصَارًا عَلَى الوَارِدِ، وَالمُعْتَمَدُ الأوَّلُ، وَحَدِيْثُ لاَ تُسَوِّدُوْنِي فِي صَلاتِكُمْ بِالوَاوِ لاَ بِاليَاءِ بَاطِلٌ“
Yang lebih utama adalah mengucapkan kata “Sayyid”, karena yang lebih afdlal adalah menjalankan adab. Hal ini berbeda dengan pendapat orang yang mengatakan bahwa lebih utama meninggalkan kata “Sayyid” dengan alasan mencukupkan di atas yang warid saja. Dan pendapat mu’tamad adalah pendapat yang pertama. Adapun hadits “La Tusawwiduni Fi Shalatikum”, yang seharusnya dengan “waw” (Tusawwiduni) bukan dengan “ya” (Tusayyiduni) adalah hadits yang batil” (Hasyiah al-Bajuri, j. 1, h. 156).Wallahu 'alam.
Hukum Sebut Sayyidina
*
Fuqaha' Syafi'iyah berpendapat sunat menyebut sayyidina ketika
berselawat atas alasan penghormatan dan adab.
Imam Asnawi di dalam kitab Al-Muhimmaat mengemukakan ucapan Syeikh
Izzud-din bin Abdus-salam, dia berkata : “Pada prinsipnya pembacaan
selawat di dalam tasyahhud itu hendaklah ditambah dengan lafaz
“sayyidina”, demi mengikuti adab dan menjalankan perintah. Atas yang
pertama hukumnya mustahab (sunat).
Dengan demikian di dalam membaca shalawat boleh bagi kita mengucapkan
“Allahumma Shalli ‘Ala Sayyidina Muhammad”, meskipun tidak ada pada
lafazh-lafazh shalawat yang diajarkan oleh Nabi (ash-Shalawat al
Ma'tsurah) dengan penambahan kata “Sayyid”. Karena menyusun dzikir
tertentu yang tidak ma'tsur boleh selama tidak bertentangan dengan yang
ma'tsur.
Sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim menambah lafazh talbiyah dari yang sudah diajarkan oleh
Rasulullah. Lafazh talbiyah yang diajarkan oleh Nabi adalah:
لَبَّيْكَ اللّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ،
إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ، لاَ شَرِيْكَ لَكَNamun
kemudian sabahat Umar ibn al-Khaththab menambahkannya. Dalam bacaan
beliau:
لَبَّيْكَ اللّهُمَّ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ ، وَالْخَيْرُ فِيْ يَدَيْكَ،
وَالرَّغْبَاءُ إِلَيْكَ وَالْعَمَلُDalil lainnya adalah dari sahabat
‘Abdullah ibn ‘Umar bahwa beliau membuat kalimat tambahan pada Tasyahhud
di dalamnya shalatnya. Kalimat Tasyahhud dalam shalat yang diajarkan
Rasulullah adalah “Asyhadu An La Ilaha Illah, Wa Asyhadu Anna Muhammad
Rasulullah”. Namun kemudian ‘Abdullah ibn ‘Umar menambahkan Tasyahhud
pertamanya menjadi:
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُTambahan
kalimat “Wahdahu La Syarika Lah” sengaja diucapkan oleh beliau. Bahkan
tentang ini ‘Abdullah ibn ‘Umar berkata: “Wa Ana Zidtuha...”. Artinya:
“Saya sendiri yang menambahkan kalimat “Wahdahu La Syarika Lah”. (HR Abu
Dawud)
Dalam sebuah hadits shahih, Imam al-Bukhari meriwayatkan dari sahabat
Rifa'ah ibn Rafi', bahwa ia (Rifa'ah ibn Rafi’) berkata: “Suatu hari
kami shalat berjama'ah di belakang Rasulullah. Ketika beliau mengangkat
kepala setelah ruku' beliau membaca: “Sami’allahu Liman Hamidah”,
tiba-tiba salah seorang makmum berkata:
رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ
Setelah selesai shalat Rasulullah bertanya: “Siapakah tadi yang
mengatakan kalimat-kalimat itu?". Orang yang yang dimaksud menjawab:
“Saya Wahai Rasulullah...”. Lalu Rasulullah berkata:
رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِيْنَ مَلَكًا يَبْتَدِرُوْنَهَا أَيُّهُمْ
يَكْتُبُهَا أَوَّلَ “Aku melihat lebih dari tiga puluh Malaikat berlomba
untuk menjadi yang pertama mencatatnya”.
al-Imam al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam kitab Fath al-Bari, dalam
menjelaskan hadits sahabat Rifa’ah ibn Rafi ini menuliskan sebagai
berikut: “Hadits ini adalah dalil yang menunjukkan kepada beberapa
perkara. Pertama; Menunjukan kebolehan menyusun dzikir yang tidak
ma'tsur di dalam shalat selama tidak menyalahi yang ma'tsur. Dua; Boleh
mengeraskan suara dzikir selama tidak mengganggu orang lain di dekatnya.
Tiga; Bahwa orang yang bersin di dalam shalat diperbolehkan baginya
mengucapkan “al-Hamdulillah” tanpa adanya hukum makruh” (Fath al-Bari,
j. 2, h. 287).
Dengan demikian boleh hukumnya dan tidak ada masalah sama sekali di
dalam bacaan shalawat menambahkan kata “Sayyidina”, baik dibaca di luar
shalat maupun di dalam shalat. Karena tambahan kata “Sayyidina” ini
adalah tambahan yang sesuai dengan dasar syari’at, dan sama sekali tidak
bertentangan dengannya.
Asy-Syaikh al’Allamah Ibn Hajar al-Haitami dalam kitab al-Minhaj
al-Qawim, halaman 160, menuliskan sebagai berikut:
وَلاَ بَأْسَ بِزِيَادَةِ سَيِّدِنَا قَبْلَ مُحَمَّدٍ، وَخَبَرُ"لاَ
تُسَيِّدُوْنِي فِيْ الصَّلاَةِ" ضَعِيْفٌ بَلْ لاَ أَصْلَ لَهُ “Dan tidak
mengapa menambahkan kata “Sayyidina” sebelum Muhammad. Sedangkan hadits
yang berbunyi “La Tusyyiduni Fi ash-Shalat” adalah hadits dha'if bahkan
tidak memiliki dasar (hadits maudlu/palsu)”.
Di antara hal yang menunjukan bahwa hadits “La Tusayyiduni Fi
ash-Shalat” sebagai hadits palsu (Maudlu’) adalah karena di dalam hadits
ini terdapat kaedah kebahasaan yang salah (al-Lahn). Artinya, terdapat
kalimat yang ditinjau dari gramatika bahasa Arab adalah sesuatu yang
aneh dan asing. Yaitu pada kata “Tusayyiduni”. Di dalam bahasa Arab,
dasar kata “Sayyid” adalah berasal dari kata “Saada, Yasuudu”, bukan
“Saada, Yasiidu”. Dengan demikian bentuk fi’il Muta'addi (kata kerja
yang membutuhkan kepada objek) dari “Saada, Yasuudu” ini adalah
“Sawwada, Yusawwidu”, dan bukan “Sayyada, Yusayyidu”. Dengan demikian,
-seandainya hadits di atas benar adanya-, maka bukan dengan kata “La
Tasayyiduni”, tapi harus dengan kata “La Tusawwiduni”. Inilah yang
dimaksud dengan al-Lahn. Sudah barang tentu Rasulullah tidak akan pernah
mengucapkan al-Lahn semacam ini, karena beliau adalah seorang Arab yang
sangat fasih (Afshah al-‘Arab).
Bahkan dalam pendapat sebagian ulama, mengucapkan kata “Sayyidina” di
depan nama Rasulullah, baik di dalam shalat maupun di luar shalat lebih
utama dari pada tidak memakainya. Karena tambahan kata tersebut termasuk
penghormatan dan adab terhadap Rasulullah. Dan pendapat ini dinilai
sebagai pendapat mu’tamad.
Asy-Syaikh al-‘Allamah al-Bajuri dalam kitab Hasyiah al-Bajuri,
menuliskan sebagai berikut:
الأوْلَى ذِكْرُ السِّيَادَةِ لأَنّ الأفْضَلَ سُلُوْكُ الأدَبِ، خِلاَفًا
لِمَنْ قَالَ الأوْلَى تَرْكُ السّيَادَةِ إقْتِصَارًا عَلَى الوَارِدِ،
وَالمُعْتَمَدُ الأوَّلُ، وَحَدِيْثُ لاَ تُسَوِّدُوْنِي فِي صَلاتِكُمْ
بِالوَاوِ لاَ بِاليَاءِ بَاطِلٌ“Yang lebih utama adalah mengucapkan kata
“Sayyid”, karena yang lebih afdlal adalah menjalankan adab. Hal ini
berbeda dengan pendapat orang yang mengatakan bahwa lebih utama
meninggalkan kata “Sayyid” dengan alasan mencukupkan di atas yang warid
saja. Dan pendapat mu’tamad adalah pendapat yang pertama. Adapun hadits
“La Tusawwiduni Fi Shalatikum”, yang seharusnya dengan “waw”
(Tusawwiduni) bukan dengan “ya” (Tusayyiduni) adalah hadits yang batil”
(Hasyiah al-Bajuri, j. 1, h. 156).
Wallahu 'alam.
Make money by copying the best: http://bit.ly/best_tips
Make money by copying the best: http://bit.ly/best_tips
Hukum Sebut Sayyidina
*
Fuqaha' Syafi'iyah berpendapat sunat menyebut sayyidina ketika
berselawat atas alasan penghormatan dan adab.
Imam Asnawi di dalam kitab Al-Muhimmaat mengemukakan ucapan Syeikh
Izzud-din bin Abdus-salam, dia berkata : “Pada prinsipnya pembacaan
selawat di dalam tasyahhud itu hendaklah ditambah dengan lafaz
“sayyidina”, demi mengikuti adab dan menjalankan perintah. Atas yang
pertama hukumnya mustahab (sunat).
Dengan demikian di dalam membaca shalawat boleh bagi kita mengucapkan
“Allahumma Shalli ‘Ala Sayyidina Muhammad”, meskipun tidak ada pada
lafazh-lafazh shalawat yang diajarkan oleh Nabi (ash-Shalawat al
Ma'tsurah) dengan penambahan kata “Sayyid”. Karena menyusun dzikir
tertentu yang tidak ma'tsur boleh selama tidak bertentangan dengan yang
ma'tsur.
Sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim menambah lafazh talbiyah dari yang sudah diajarkan oleh
Rasulullah. Lafazh talbiyah yang diajarkan oleh Nabi adalah:
لَبَّيْكَ اللّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ،
إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ، لاَ شَرِيْكَ لَكَNamun
kemudian sabahat Umar ibn al-Khaththab menambahkannya. Dalam bacaan
beliau:
لَبَّيْكَ اللّهُمَّ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ ، وَالْخَيْرُ فِيْ يَدَيْكَ،
وَالرَّغْبَاءُ إِلَيْكَ وَالْعَمَلُDalil lainnya adalah dari sahabat
‘Abdullah ibn ‘Umar bahwa beliau membuat kalimat tambahan pada Tasyahhud
di dalamnya shalatnya. Kalimat Tasyahhud dalam shalat yang diajarkan
Rasulullah adalah “Asyhadu An La Ilaha Illah, Wa Asyhadu Anna Muhammad
Rasulullah”. Namun kemudian ‘Abdullah ibn ‘Umar menambahkan Tasyahhud
pertamanya menjadi:
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُTambahan
kalimat “Wahdahu La Syarika Lah” sengaja diucapkan oleh beliau. Bahkan
tentang ini ‘Abdullah ibn ‘Umar berkata: “Wa Ana Zidtuha...”. Artinya:
“Saya sendiri yang menambahkan kalimat “Wahdahu La Syarika Lah”. (HR Abu
Dawud)
Dalam sebuah hadits shahih, Imam al-Bukhari meriwayatkan dari sahabat
Rifa'ah ibn Rafi', bahwa ia (Rifa'ah ibn Rafi’) berkata: “Suatu hari
kami shalat berjama'ah di belakang Rasulullah. Ketika beliau mengangkat
kepala setelah ruku' beliau membaca: “Sami’allahu Liman Hamidah”,
tiba-tiba salah seorang makmum berkata:
رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ
Setelah selesai shalat Rasulullah bertanya: “Siapakah tadi yang
mengatakan kalimat-kalimat itu?". Orang yang yang dimaksud menjawab:
“Saya Wahai Rasulullah...”. Lalu Rasulullah berkata:
رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِيْنَ مَلَكًا يَبْتَدِرُوْنَهَا أَيُّهُمْ
يَكْتُبُهَا أَوَّلَ “Aku melihat lebih dari tiga puluh Malaikat berlomba
untuk menjadi yang pertama mencatatnya”.
al-Imam al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam kitab Fath al-Bari, dalam
menjelaskan hadits sahabat Rifa’ah ibn Rafi ini menuliskan sebagai
berikut: “Hadits ini adalah dalil yang menunjukkan kepada beberapa
perkara. Pertama; Menunjukan kebolehan menyusun dzikir yang tidak
ma'tsur di dalam shalat selama tidak menyalahi yang ma'tsur. Dua; Boleh
mengeraskan suara dzikir selama tidak mengganggu orang lain di dekatnya.
Tiga; Bahwa orang yang bersin di dalam shalat diperbolehkan baginya
mengucapkan “al-Hamdulillah” tanpa adanya hukum makruh” (Fath al-Bari,
j. 2, h. 287).
Dengan demikian boleh hukumnya dan tidak ada masalah sama sekali di
dalam bacaan shalawat menambahkan kata “Sayyidina”, baik dibaca di luar
shalat maupun di dalam shalat. Karena tambahan kata “Sayyidina” ini
adalah tambahan yang sesuai dengan dasar syari’at, dan sama sekali tidak
bertentangan dengannya.
Asy-Syaikh al’Allamah Ibn Hajar al-Haitami dalam kitab al-Minhaj
al-Qawim, halaman 160, menuliskan sebagai berikut:
وَلاَ بَأْسَ بِزِيَادَةِ سَيِّدِنَا قَبْلَ مُحَمَّدٍ، وَخَبَرُ"لاَ
تُسَيِّدُوْنِي فِيْ الصَّلاَةِ" ضَعِيْفٌ بَلْ لاَ أَصْلَ لَهُ “Dan tidak
mengapa menambahkan kata “Sayyidina” sebelum Muhammad. Sedangkan hadits
yang berbunyi “La Tusyyiduni Fi ash-Shalat” adalah hadits dha'if bahkan
tidak memiliki dasar (hadits maudlu/palsu)”.
Di antara hal yang menunjukan bahwa hadits “La Tusayyiduni Fi
ash-Shalat” sebagai hadits palsu (Maudlu’) adalah karena di dalam hadits
ini terdapat kaedah kebahasaan yang salah (al-Lahn). Artinya, terdapat
kalimat yang ditinjau dari gramatika bahasa Arab adalah sesuatu yang
aneh dan asing. Yaitu pada kata “Tusayyiduni”. Di dalam bahasa Arab,
dasar kata “Sayyid” adalah berasal dari kata “Saada, Yasuudu”, bukan
“Saada, Yasiidu”. Dengan demikian bentuk fi’il Muta'addi (kata kerja
yang membutuhkan kepada objek) dari “Saada, Yasuudu” ini adalah
“Sawwada, Yusawwidu”, dan bukan “Sayyada, Yusayyidu”. Dengan demikian,
-seandainya hadits di atas benar adanya-, maka bukan dengan kata “La
Tasayyiduni”, tapi harus dengan kata “La Tusawwiduni”. Inilah yang
dimaksud dengan al-Lahn. Sudah barang tentu Rasulullah tidak akan pernah
mengucapkan al-Lahn semacam ini, karena beliau adalah seorang Arab yang
sangat fasih (Afshah al-‘Arab).
Bahkan dalam pendapat sebagian ulama, mengucapkan kata “Sayyidina” di
depan nama Rasulullah, baik di dalam shalat maupun di luar shalat lebih
utama dari pada tidak memakainya. Karena tambahan kata tersebut termasuk
penghormatan dan adab terhadap Rasulullah. Dan pendapat ini dinilai
sebagai pendapat mu’tamad.
Asy-Syaikh al-‘Allamah al-Bajuri dalam kitab Hasyiah al-Bajuri,
menuliskan sebagai berikut:
الأوْلَى ذِكْرُ السِّيَادَةِ لأَنّ الأفْضَلَ سُلُوْكُ الأدَبِ، خِلاَفًا
لِمَنْ قَالَ الأوْلَى تَرْكُ السّيَادَةِ إقْتِصَارًا عَلَى الوَارِدِ،
وَالمُعْتَمَدُ الأوَّلُ، وَحَدِيْثُ لاَ تُسَوِّدُوْنِي فِي صَلاتِكُمْ
بِالوَاوِ لاَ بِاليَاءِ بَاطِلٌ“Yang lebih utama adalah mengucapkan kata
“Sayyid”, karena yang lebih afdlal adalah menjalankan adab. Hal ini
berbeda dengan pendapat orang yang mengatakan bahwa lebih utama
meninggalkan kata “Sayyid” dengan alasan mencukupkan di atas yang warid
saja. Dan pendapat mu’tamad adalah pendapat yang pertama. Adapun hadits
“La Tusawwiduni Fi Shalatikum”, yang seharusnya dengan “waw”
(Tusawwiduni) bukan dengan “ya” (Tusayyiduni) adalah hadits yang batil”
(Hasyiah al-Bajuri, j. 1, h. 156).
Wallahu 'alam.
Make money by copying the best: http://bit.ly/best_tips
Make money by copying the best: http://bit.ly/best_tips
Tidak ada komentar:
Posting Komentar