Jumat, 21 April 2017

Pernikahan Zaid dengan Zainab

Zaid memiliki sikap patriot yang diabadikan dalam buku-buku sejarah…
Satu-satunya seorang sahabat nabi yang namanya tercatat dalam Al Qur'an.

Ketaatannya kepada Allah

Zaid adalah salah seorang hamba sahaya milik Khadijah binti Khuwailid. Ketika Rasulullah menikahi Khadijah, dia memberikan Zaid binti Haritsah kepada beliau. Dan itu terjadi sebelum masa kenabian Muhammad. Zaid kemudian tinggal di rumah Nabi Muhammad. Kemudian keluarga Zaid mencarinya ke Makkah, dan ingin menebusnya. Mereka datang kepada Nabi untuk memintanya dari beliau. Kemudian beliau memberi pilihan kepadanya antara tetap tinggal bersama beliau atau ikut keluarganya. Zaid lebih memilih untuk bersama Nabi daripada harus bersama keluarganya.

Suatu ketika Rasulullah lantas keluar ke tempat Hajar Aswad, dan bersabda, “Wahai hadirin sekalian, saksikanlah bahwa Zaid adalah anakku, dia mewarisiku dan aku mewarisinya.” Beliau memanggilnya dengan Zaid bin Muhammad, hingga sampai turunlah firman Allah:

ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ ۚ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ ۚ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَٰكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ ۚ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(Al-Ahzab 5).

Nabi Muhammad sangat menyayangi Zaid. Ketika Zaid telah memasuki usia menikah, beliau memilihkan Umamah (Zainab), anak perempuan dari bibinya. Namun Zainab dan saudaranya, Abdullah, tidak menyetujui pernikahan itu. Zainab berkata kepada Rasulullah, “Aku tidak rela akan diriku, sedangkan aku adalah gadis Quraisy.” Namun Nabi menghendaki agar Zainab dan Abdullah mau menerima pernikahan itu.

Zaid melamar Zainab.

Sebagai seorang pemuda Zaid ingin menikah maka dia berkata kepada nabi,
"Ya Rasulullah, saya ingin menikah".
"Siapa pilihanmu?"
"Zainab", Kata Zaid.
Kemudian rasulullah mengutus sahabat untuk meminang Zainab. Sebelumnya ada keluarga Zaenab yang tidak setuju, namun karena ketaatan Zaenab kepada Allah dan Rasulnya maka lamaran itu diterima Walaupun sebenarnya mereka tidak cocok dalam status sosial(Hamba sahaya dan Bangsawan). Kalau dalam ilmu fikih disebut "Tidak Khufu"
Dan itu terbukti setelah perkawinan mereka berlangsung dalam kehidupan hubungan sehari-hari sering tidak nyambung baik itu dalam komunikasi, tingkahlaku dll.
Sehingga akhirnya Zaid memutuskan untuk menceraikan Zainab.

Ketaatan, keridhaan, dan keikhlasan Zainab merefleksikan kekuatan iman dan relasinya yang baik dengan Allah…

Nabi berkata kepada Zainab, “Nikahilah dia, sesungguhnya aku telah meridhainya untukmu.” Sebelum Zainab ragu tentang pernikahan ini, Allah menurunkan firman-Nya:

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata” (Al-Ahzab 36).

Setelah ayat tersebut diturunkan, Zainab dan saudaranya berkata, “Kami menyetujui, wahai Rasulullah.” Zainab berkata, “Aku telah menyetujui untuk dinikahkan, wahai Rasulullah.” Beliau kemudian bersabda, “Aku Telah merestuimu.” Zainab kembali berkata, “Jadi, aku tidak berbuat maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, karena engkau telah menikahkannya denganku.”
Dengan sikapnya ini, Zainab telah memberikan contoh yang terbaik bagi kita dalam melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya.

Demikian, seharusnya sikap yang wajib dilakukan terhadap Allah dan Rasul-Nya. Menolak ketetapan dan hukum yang ditentukan Allah dan Rasul-Nya merupakan perilaku yang buruk, keras hati, serta tidak sesuai dengan sikap yang diajarkan Islam. Ketaatan, keridhaan, dan keikhlasan Zainab merefleksikan kekuatan iman dan relasinya yang baik dengan Allah.

Zainab telah memberikan teladan terbaik dalam melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya. Demikian, seharusnya sikap yang wajib dilakukan terhadap Allah dan Rasul-Nya...

Perceraian Zaid dan Zainab

Tahun sebelumnya hubungan mereka harmonis, namun karena tidak ada kecocokan kebiasaan sehari-hari(Zaenab seorang bangsawan sementara Zaid orang biasa) maka ketidak cocokan kkomunikasi mulai timbul.
Sehingga suatu hari Zaid bilang kepada rasulullah untuk menceraikan Zaenab.

Menjaga Lisan dari Kesalahan

Setelah berpisah dengan Zaid, Zainab kemudian dinikahi oleh Rasulullah. Dengan demikian, dia menempati kedudukan mulia, karena menjadi bagian dari Ummahatul Mukminin. Bahkan, Aisyah pernah berkata, “Tidak ada seorang pun dari istri-istri Nabi yang kedudukannya menyamaiku di sisi beliau selain Zainab.”
Sekalipun tampak ada persaingan antara Zainab dan Aisyah dalam mendapatkan kasih sayang Rasulullah, namun Zainab tetap membela Aisyah pada peristiwa tuduhan kebohongan (haditsul-ifki). Aisyah berkata, “Tidak ada seorang pun dari istri-istri Nabi yang kedudukannya menyamaiku di sisi beliau selain Zainab. Zainab telah dilindungi Allah dalam agama, sehingga dia tidak mengatakan kecuali yang baik.
Dalam suatu riwayat dari Aisyah, dia berkata, “Rasulullah bertanya kepada Zainab binti Jahsy tentang masalahku, dan beliau berkata kepada Zainab, “Apa yang engkau ketahui atau bagaimana pendapatmu?” Dia menjawab, “Wahai Rasulullah, aku melindungi pendengaranku dan penglihatanku. Demi Allah, aku tidak mengetahui kecuali yang baik.” Aisyah berkata, “Dialah yang menyamaiku dari istri-istri Nabi, maka Allah melindunginya dengan sikap wara’.”
Memang Allah telah melindunginya dan menjaga lisannya dari berkomentar buruk tentang Aisyah. Sikap ini merupakan sikap patriotik yang sungguh luar biasa. Kendati antara Aisyah dan Zainab seakan-akan terselip persaingan dalam mendapatkan kasih sayang Rasulullah, namun Zainab dengan besar hati membela madunya. Dia tidak menggunakan kesempatan itu untuk berkomentar tentang kehormatan Aisyah, dan tidak pula ada keinginan untuk menjelek-jelekkannya. Hendaknya muslimah belajar darinya bagaimana seharusnya menjalin hubungan dengan sesamanya.

Zainab tidak memiliki kedengkian. Hendaknya muslimah belajar darinya bagaimana seharusnya menjalin hubungan dengan sesamanya..
Zainab tidak memiliki kedengkian kepada Aisyah. Islam telah mengajarkan kepada kita untuk toleran. Dengan kata lain, hubungan dengan sesama harus dibangun di atas dasar cinta, hormat, kasih sayang, dan keikhlasan. Dengan demikian, kehidupan akan berjalan sesuai dengan yang diridhai Allah dan Rasulullah.

Berinfaq di Jalan Allah

Setelah Rasulullah wafat, Zainab konsisten untuk tetap tinggal di rumahnya untuk beribadah kepada Allah. Dia mengalami masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Khalifah Umar bin Al-Khatthab., Umar kerap memberikan tunjangan hidup kepada setiap istri Rasulullah sebanyak dua belas ribu Dirham.
Ketika Ummul Mukminin Zainab menerima tunjangan itu dari Umar, dia tidak menyisakan satu Dirham pun untuk dirinya. Dia menginfakkannya secara keseluruhan kepada kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin. Suatu ketika Umar bin Al-Khatthab mengirimkan kepadanya harta dalam jumlah banyak. Zainab lalu berkata, “Semoga Allah mengampuni Umar. Ummahatul Mukminin selain aku, lebih dermawan dalam membagi-bagikan harta ini.” Dikatakan kepadanya, “Semua harta ini untukmu.”
Zainab kemudian berkata, “Mahasuci Allah Yang Mahaagung.” Dia lalu menutupi harta itu dengan sebuah kain. Dia berkata, “Bungkuslah dengan kain.” Dia lalu menyuruh Barzah binti Rafi’, sembari berkata, “Wahai Barzah, masukkan tanganmu, lalu ambillah segenggam darinya dan bawalah kepada Fulan, kemudian kepada Bani Fulan.”
Zainab kemudian menyebutkan orang-orang dari kerabatnya, anak-anak yatim yang dikenalnya, dan orang-orang miskin. Barzah binti Rafi’ berkata, “Semoga Allah mengampuni dosamu, wahai Ummul Mukminin. Demi Allah sesungguhnya kita memiliki hak dalam dirham-dirham itu.” Zainab berkata, “Apa yang ada di bawah kain itu adalah milik kalian.”
Barzah berkata, “Kami lalu menghitung harta itu dan kami mendapatkannya sejumlah 1285 Dirham.” Zainab kemudian mengangkat tangannya ke langit dan berkata, “Ya Allah, semoga aku tidak lagi mendapatkan pemberian Umar setelah tahun ini.” Allah mengabulkan doa kezuhudannya, dan dia pun wafat pada tahun itu.

Zainab dikenal sebagai wanita yang mulia, dermawan, dan selalu berlomba-lomba dalam kebaikan. Keagungan sikapnya mengindikasikan kekuatan iman dan hubungannya dengan Allah…

Demikianlah, kita menyaksikan sosok Zainab yang melihat harta sebagai fitnah. Dia dikenal sebagai wanita yang mulia, dermawan, dan selalu berlomba-lomba dalam kebaikan. Dia juga menjalin hubungan baik dengan para kerabat dan sanak keluarganya. Alangkah agung sikapnya dalam kehidupan. Hal itu mengindikasikan kekuatan iman dan hubungannya dengan Allah.

Wallahu 'alam.

Jumat, 14 April 2017

Alasan sampainya hadiah pahala kepada mayat

Bismillahirrohmaannirrohiim.
Allahumma Sholli Alaa Muhammad.. Wa ;alaa aali Sayyidina Muhammad.
Ketika berdebat dengan jemaah Salafi terkait perkara yang mereka anggap bid`ah, biasanya ada pertanyaan dan pernyataan mereka yang membuat dada terasa sesak, dan kepala terasa pusing.
Penyebabnya, pertanyaan dan pernyataan itu terlihat sebagai jurus pamungkas dan pukulan andalan mereka, agar lawan debat tumbang tidak berkutik lagi. Ditambah lagi biasanya, dengan diiringi gaya bahasa dan gerak tubuh yang menunjukkan bahwa pemahamannya 'sudah pasti benar'. Ketika lawan tidak bisa menjawab lagi, maka berarti pertarungan sudah usai, dan tropi kebenaran dianggap sudah di tangan.

Pertanyaan dan pernyataan yang saya maksudkan di sini adalah, semisal redaksi berikut:

(1). Apakah Nabi dan para sahabat pernah melakukan amalan seperti itu?,
(2). Kalau itu memang baik, niscaya Nabi otomatis sudah menganjukan umat untuk melakukannya, dan
(3). Kalau itu memang baik, niscaya para sahabat telah lebih dahulu melakukannya.

Kalau pertanyaan dan pernyataan semacam ini dijawab oleh orang awam, ustad atau kiyai, yang mereka nilai sudah tidak 'nyunnah', maka dijamin jawaban tersebut tidak berpengaruh pada diri mereka, bahkan bisa jadi akan membuat mereka semakin merasa di atas angin.
Mari kita ambil satu contoh saja, agar pesan ini menjadi lebih jelas. Ketika memperdebatkan hukum kirim pahala bacaan Quran kepada orang yang meninggal (mayat), pihak salafi akan mudah dan cepat melemparkan pertanyaan atau pernyataan seperti di atas kepada lawan debatnya.
Anda sebagai lawan debat umpamanya, akan diserang dengan redaksi semisal: (1). Apakah Nabi dan para Sahabat pernah mengirimkan pahala bacaan Quran kepada mayat?, (2). Kalau kirim pahala bacaan Quran kepada mayat itu baik, niscaya Nabi otomatis sudah menganjurkan umatnya untuk melakukan itu, dan (3). Kalau kirim pahala bacaan Quran itu baik, niscaya para sahabat telah lebih dahulu melakukannya.
Itulah contoh pertanyaan dan pernyataan yang akan dihadapi dalam masalah ini. Kalau anda jawab sementara anda di mata mereka tidak selevel dengan ustad atau para masyaikh mereka, maka alamat kecaman dan penilaian negatif yang akan anda terima. Kalau diam saja tidak menjawab, maka anda dinilai sudah kalah dan salah.

Apakah memang sedahsyat dan sesakti itu pertanyaan atau pernyataan mereka itu, sehingga dianggap sebagai tolak ukur kebatilan dan ketidakabsahan sebuah amalan?
Sekarang, mari kita lihat pula bagaimana sikap ulama besar semisal Ibnul Qayyim al-Jauziyyah; murid terdekat dari syaikh Ibn Taimiyah, saat dihadapkan pada pertanyaan atau pernyataan seperti di atas; apakah beliau diam menyerah lantaran sudah terdesak oleh 'kebenaran', atau malah tetap menjawab dan mengomentarinya.

Untuk mengetahui hal itu, kita bisa menelaah salahsatu karya tulisnya yang dikenal dengan nama ar-Ruuh. Kabarnya, kitab ini menuai kontroversial di kalangan salafi. Ada yang menerima secara penuh, menolak totalitas, dan ada juga yang menerima dengan catatan. Diantara catatannya, kitab ini dianggap sebagai presentasi dari keilmuan Ibnul Qayyim sebelum berguru kepada syaikh Ibn Taimiyah. Padahal, dalam kitab itu jelas sekali beliau menyebutkan nama sang guru, ditambah lagi adanya kesamaan pandangan yang dikemukakan Ibnul Qayyim di dalamnya, dengan penjelasan oleh Ibn Taimiyah dalam Majmuu` Fataawi-nya.
Dalam kitab ar-Ruuh terkait persoalan amalan kirim pahala bacaan Quran, Ibnul Qayyim terlihat setuju dengan pendapat yang mengatakan amalan itu boleh dilakukan. Bahkan, beliau membantah argumentasi kalangan yang berpendapat sebaliknya.

Nah, salahsatu argumentasi mereka yang beliau bantah adalah seperti berikut ini, yaitu:

فإن قيل : فهذا لم يكن معروفًا في السلف، ولا يمكن نقله عن واحد منهم مع شدة حرصهم على الخير، ولا أرشدهم النبي صلى الله عليه وسلم، وقد أرشدهم إلى الدعاء، والاستغفار، والصدقة، والحج، والصيام؛ فلو كان ثواب القراءة يصل لأرشدهم إليه، ولكانوا يفعلونه.

"Jika ada yang bertanya, amalan kirim pahala bacaan Quran kepada mayat itu tidak dikenal di kalangan Salaf. Tidak ada orang yang bisa menukil keberadaan amalan seperti itu dari satu orang Salaf saja, sementara para Salaf itu sangat kuat perhatiannya dengan amalan yang baik. Dan Nabi pun tidak pernah mengajarkan pada para Salaf tentang amalan kirim pahala bacaan Quran, sementara Nabi jelas pernah mengajarkan pada mereka tentang mendoakan dan memohon ampunan untuk orang mati, bersedekah, menghajikan dan berpuasa untuk orang mati. JADI, KALAU MEMANG KIRIM PAHALA BACAAN QURAN ITU SAMPAI KEPADA MAYAT, MAKA OTOMATIS NABI TELAH MENGAJARKANNYA, DAN MEREKA PUN TENTU MELAKUKANNYA".

Perhatikan, Ibnul Qayyim di sini secara jelas membuat semacam pernyataan yang isinya senada dengan pernyataan yang biasa ditembakkan oleh jemaah salafi, ketika kita berdebat dalam persoalan semacam ini.

Lantas, bagaimana Ibnul Qayyim menyikapi hal ini?

Beliau ternyata menjawab dengan jawaban seperti berikut ini:

فالجواب : أن مورد هذا السؤال إن كان معترفًا بوصول ثواب الحج، والصيام، والدعاء، والاستغفار، قيل له : ما هذه الخاصية التي منعت وصول ثواب القرآن، واقتضت وصول ثواب هذه الأعمال ؟ وهل هذا إلا تفريق بين المتماثلات ؟

"Jawabannya, jika si penanya dengan pertanyaan semacam ini mengakui kiriman pahala haji, puasa, doa dan istighfar itu bisa sampai kepada mayat, maka pertanyaan yang harus dijawab adalah, apa penyebab khusus yang membuat kiriman pahala bacaan Quran tidak sampai, sedangkan kiriman pahala ibadah selain itu justru bisa sampai? Bukankah ini hanya sekedar membeda-bedakan antara perkara-perkara yang serupa?".

وإن لم يعترف بوصول تلك الأشياء إلى الميت، فهو محجوج بالكتاب والسنة والإجماع وقواعد الشرع.

"Tapi kalau si penanya itu tidak mengakui kiriman pahala semua amal ibadah tadi itu bisa sampai, maka orang seperti ini bisa ditundukkan terkait hal ini dengan merujuk pada dalil Quran, Sunnah, Ijmak dan kaidah-kaidah Syariat".

Lalu, Ibnul Qayyim menjelaskan kenapa amalan kirim pahala bacaan Quran itu tidak terlacak di kalangan salaf. Beliau mengatakan:

وأما السبب الذي لأجله [ لا ] يظهر ذلك في السلف، فهو أنهم لم يكن لهم أوقاف على من يقرأ ويهدي إلى الموتى، ولا كانوا يعرفون ذلك ألبتة، ولا كانوا يقصدون القبر للقراءة عنده كما يفعله الناس اليوم، ولا كان أحدهم يشهد من حضره من الناس على أن ثواب هذه القراءة لفلان الميت، ولا ثواب هذه الصدقة والصوم.

"Penyebab amalan kirim pahala bacaan Quran itu tidak nampak di masa salaf adalah, karena mereka tidak memiliki harta wakaf untuk diberikan pada orang yang baca Quran dan menghadiahkannya kepada orang-orang yang telah wafat. Bahkan, salaf samasekali tidak mengenali kegiatan seperti itu. Mereka juga tidak mendatangi kuburan untuk membaca Quran seperti yang dilakukan oleh masyarakat saat ini. Mereka juga tidak pernah memberitahukan pada rekannya, bahwa pahala bacaan Quran-nya saat itu ditujukan untuk mayat si anu, begitu pula dengan pahala ibadah sedekah dan puasanya".

Ibnul Qayyim menambahkan:

ثم يقال لهذا القائل : لو كلفت أن تنقل عن واحد من السلف أنه قال : اللهم ثواب هذا الصوم لفلان، لعجزت؛ فإن القوم كانوا أحرص شيئ على كتمان أعمال البر، فلم يكونوا ليشهدوا على الله بإيصال ثوابها إلى أمواتهم.

"Sampaikan pada si penanya, andai anda ditugaskan untuk mencari keterangan dari satu orang salaf saja, yang pernah mengatakan: Ya Allah, pahala puasa saya ini untuk si Anu, maka dijamin anda tidak akan bisa melakukannya. Sebab, Salaf itu sangat suka menyembunyikan amal kebaikannya, sehingga mereka tidak pernah memberitahukan bahwa bahwa pahala amal kebaikannya ditujukan untuk orang-orang yang wafat dari kalangannya".

Tidak hanya sampai di situ, Ibnul Qayyim kembali mengulangi pertanyaan mereka yang serupa, dengan mengatakan:

فإن قيل : فرسول الله صلى الله عليه وسلم أرشدهم إلى الصوم، والصدقة، والحج؛ دون القراءة.

"Jika ada lagi yang bertanya, tapi kan Rasulullah pernah mengajarkan para sahabat terkait berpuasa, bersedekah, dan berhaji untuk orang yang mati, sedangkan membaca Quran untuk orang mati Rasulullah tidak pernah mengajarkan pada mereka".

Ibnul Qayyim kembali menjawab:

قيل : هو صلى الله عليه وسلم [ لا] يبتدئهم بذلك، بل خرج ذلك منه مخرج الجواب لهم، فهذا سألهم عن الحج عن ميته فأذن له، وهذا سأله عن الصيام عنه فأذن له، وهذا سأله عن الصدقة فأذن له، ولم يمنعهم مما سوى ذلك. وأي فرق بين وصول ثواب الصوم الذي هو مجرد نية وإمساك؛ بين وصول ثواب القراءة والذكر؟!

"Jawabannya, bukan Nabi yang memulai membahas hal itu, melainkan penjelasan Nabi terkait itu merupakan jawaban dari pertanyaan mereka. Ada sahabat bertanya tentang menghajikan keluarganya yang telah wafat, lalu Nabi mengizinkan. Ada pula sahabat bertanya tentang berpuasa untuk orang yang wafat, lalu Nabi lagi-lagi membolehkan. Ada lagi sahabat bertanya tentang bersedekah untuk orang mati, lantas Nabi juga mengizinkan. Dan Nabi samasekali tidak melarang mereka melakukan yang lainnya. Apa sih bedanya, antara sampainya kiriman pahala puasa yang hanya berupa niat dan menahan diri, dengan sampainya kiriman pahala bacaan Quran dan zikir?!".

Ibnul Qayyim secara tegas lagi mengatakan:

والقائل إن أحدًا من السلف لم يفعل ذلك قائل ما لا علم له له، فإن هذه شهادة على نفي ما لم يعلمه، فما يدريه أن السلف كانوا يفعلون ذلك ولا يشهدون من حضرهم عليه؟ بل يكفي اطلاع علام الغيوب على نياتهم ومقاصدهم، لا سيما والتلفظ بنية الإهداء لا يشترط كما تقدم.

"Orang yang mengatakan bahwa tidak ada satu pun dari kalangan Salaf yang melakukan pengiriman pahala bacaan Quran, pada hakikatnya dia itu telah mengatakan sesuatu yang tidak diketahuinya. Sebab, ucapan seperti itu menunjukkan bahwa dirinya bersaksi atas sesuatu yang dia sendiri belum ketahui. Bisa jadi, dia tidak tahu bahwa Salaf justru pernah mengirimkan pahala bacaan Quran-nya, tanpa memberitahukan hal itu kepada sesamanya. Padahal, dengan menyampaikan niat dan tujuan kepada Allah saja, itu sudah cukup. Terlebih lagi, melafalkan niat menghadiahkan pahala amal ibadah itu bukanlah sebuah syarat yang mesti dilakukan.

[Wallaahua`lam]

Kitab al-Isti’ab fi Ma’rifat al-Ashab dan download

Untuk saudaraku yang suka akan sejarah Nabi beserta Sahabatnya ini kami berikan link nya untuk bisa mempelajari serajarah-sejarah Islam.
Rangkuman Kitab al-Isti’ab fi Asma’ al-Ashhab

Ulumul Hadis adalah ilmu yang sangat penting untuk dipelajari, karena keberadaan sunah atau hadis itu sendiri telah memberikan kontribusi yang besar dalam memahami al-Qur’an. Pertama, hadis digunakan sebagai penjelas atas ayat-ayat yang bersifat global. Kedua, petunjuk batasan-batasan hukum. Ketiga, penafsir al-Qur’an. Keempat, petunjuk ke jalan yang lurus, yakni jalan Allah.

Adapun di antara cara memahami sunah adalah mengetahui orang-orang yang meriwayatkan sunah tersebut dari Nabi Muhammad saw. yaitu sahabat-sahabatnya. Mereka adalah orang-orang yang menjaga sunah dan menyampaikannya kepada manusia seluruhnya. Oleh karena itu, mereka dianggap ‘adil semuanya, sebagaimana firman Allah:

Para sahabat mempunyai keutamaan sendiri-sendiri dihadapan Allah, hal ini terbukti dengan adanya predikat al-Sabiqun al-Awwalun yang disematkan oleh Allah untuk sahabat yang menjalankan sholat dua qiblat, yaitu qiblat baitul maqdis dan baitul haram (ka’bah). Ada riwayat lain yang mengatakan bahwa al-Sabiqun al-Awwalun adalah sahabat yang mengikuti bai’at al-Ridlwan.

Sahabat yang mengikuti perang badar telah dijamin oleh Allah bebas dari neraka, sedangkan jumlah dari mereka adalah tiga ratus empat belas orang, delapan puluh tiga dari kaum muhajirin, enam puluh satu dari suku Aus dan seratus tujuh puluh dari suku Khazraj. Maka karena keutamaan-keutamaan inilah yang akhirnya Nabi Muhammad saw. melarang siapa saja untuk mencela sahabat. Hadis Nabi : 
 

لا تسبوا أصحابي فلوأن أحدكم أنفق مثل أحد ذهبا ما بلغ مد أحدهم ولا نصيفه

Artinya :
“Janganlah kalian mencela sahabat-sahabatku, seandainya kalian menginfakkan emas sebesar uhud niscaya kalian tidak bisa membayar satu mud salah satu dari mereka atau setengahnya”.
 
Dan karena keutamaan ini pula Nabi Muhammad menyatakan bahwa masa yang terbaik adalah masaku, masa setelahnya dan masa setelahnya lagi. Satu masa adalah seratus dua puluh tahun.

Menurut Abu Umar Yusuf al-Qurthuby bahwa semua sahabat itu adil, maka wajib bagi kita untuk hanya memfokuskan pada nama, membahas sejarah hidup dan perilakunya agar kita mendapat petunjuk dari mereka. Adapun dalam menyusun sejarah hidup para sahabat, beliau menggunakan metode mu’jam (alphabetis).

Dalam kitabnya ini pula Abu Umar Yusuf memulai dengan memaparkan sejarah hidup Nabi Muhammad saw. Ahlu ilmi sepakat tentang nasab Nabi Muhammad saw. yaitu Muhammad ibn Abdullah ibn Abd al-Muthallib ibn Hasyim ibn Abd Manaf ibn Qushay ibn Kilab ibn Murrah ibn Ka’ab ibn Lu’ay ibn Ghalib ibn Fihr ibn Malik ibn Nadlr ibn Kinanah ibn Khuzaimah ibn Mudrikah ibn Ilyas ibn Mudzor ibn Nizar ibn Ma’ad ibn ‘Adnan. Silsilah ini tidak diperselisihkan oleh Ulama, dalam hadis ahad Nabi Muhammad saw. pernah menyatakan sendiri nasabnya sampai ‘Adnan. Ulama berselisih pendapat tentang nasab Nabi Muhammad saw. dari ‘Adnan sampai Isma’il ibn Ibrahim, dari Ibrahim sampai Sam ibn Nuh.
 
Kitab al-Isti’ab fi Makrifat al-Ashab (الإستيعا ب في معرفة الأصحاب) ini disusun oleh Abu ‘Umar Yusuf bin ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abd al-Barr al-Andalusi (w. 463H).

Kitab ini mengandungi lebih kurang 3,500 biografi para sahabat Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia juga merupakan sebuah kitab terbaik dalam lapangan biografi para sahabat Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam, jika tidak disebutkan perselisihan di kalangan para sahabat serta mementingkan penjagaan dari aspek periwayatan sesetengah orang yang tidak terkenal dan juga cerita-cerita yang tidak diketahui.

Hal ini dijelaskan oleh al-Nawawi apabila dinyatakan tentang kitab biografi ini, jelasnya: Seandainya ia tidak menyebutkan kisah pertelingkahan para sahabat dan cerita-cerita yang dibawa oleh tukang cerita, pasti ia lebih menarik dan boleh didapati banyak faedah daripada kitab ini.

Beliau menyatakan sumber ambilan daripada penceritaannya ini dari beberapa buah kitab seperti hasil karya Musa bin ‘Uqbah, Muhammad bin Ishaq, al-Waqidi, Khalifah bin Khayyath, al-Zubair bin Bekkar, kitab Tarikh al-Kabir oleh al-Bukhari, Tarikh ibn Khaitsamah, Zail al-Muzil oleh al-Thabari, al-Maulid wa al-Wafat oleh al-Dulabi, kitab al-Ahad oleh Ibn al-Jarud, al-Tasanif karya Ibn Abi Hatim al-Razi, karya al-‘Uqaili dan juga al-Baghawi mengenai para sahabat radhiyallahu ‘anhum.

Namun, penulisan di dalam lapangan ini lebih sistematik yang dipergunakan dengan sebaiknya oleh penulis di dalam kitab ini sebagaimana berikut:

Hanya mengandungi biografi sahabat Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam.
Beliau turut menyebutkan sahabat yang pasti dan sahih bertemu dengan Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam. Malah beliau juga turut menyebutkan di kalangan para sahabat yang bertemu dengan Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam walaupun hanya sekali.
Diterangkan juga mengenai keturunan (nasab) para sahabat serta peristiwa yang disaksikan oleh mereka pada zaman Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kadangkala dia turut menceritakan beberapa hadis Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh periwayat tersebut serta mereka iaitu anak-anak muridnya yang meriwayatkan hadis tersebut daripadanya secara langsung.
Penyusunan dan penulisan nama perawinya berdasarkan susunan huruf Hija`iyyah (huruf Mu’jam) dan dalam rangkaian penulisannya pun tidak terlalu memperhatikan susunan huruf keduanya, hanya melihat huruf awal dari nama perawi saja, seperti berikut:

Menyebutkan perawi dari kalangan Sahabat.
Menyebutkan perawi Sahabat yang lebih dikenal dengan nama Kuniyahnya seperti Abu al-Darda`, Abu Hurairah, Abu Salamah dll.
Menyebutkan nama dari kalangan Sahabiyat.
Menyebutkan perawi sahabat wanita yang lebih dikenal dengan Kuniyahnya seperti Umm Sulaim, Umm Salamah dll.

Unsur-unsur yang terdapat dalam penyusunannya antara lain adalah dengan menerangkan tentang biografi dan sejarah ringkas kesahabatannya dengan Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kitab ini telah dicetak dengan pelbagai cetakan dan penerbitan, tetapi antara cetakan terbaik yang diberitahu oleh guru saya iaitu Dr. Abu Yasir Hasan el-Alamie ialah cetakan yang ditahqiq (disemak terlebih dahulu) oleh syeikh Muhammad al-al-Bijawi.

Moga kita beroleh sedikit pengetahuan dari hal ini…
Link Kitab dan bisa didownload :

https://archive.org/stream/AlIsteeab/Isteeab01#page/n12/mode/2up

Cover: https://archive.org/details/AlIsteeab
Jilid 1 : https://ia800504.us.archive.org/8/items/AlIsteeab/Isteeab01.pdf
Jilid 2 : https://ia800504.us.archive.org/8/items/AlIsteeab/Isteeab02.pdf
Jilid 3 : https://ia800504.us.archive.org/8/items/AlIsteeab/Isteeab03.pdf
Jilid 4 : https://ia600504.us.archive.org/8/items/AlIsteeab/Isteeab04.pdf

Jilid 5 : https://ia800504.us.archive.org/8/items/AlIsteeab/Isteeab05.pdf

Semoga bermanfaat.

Kamis, 13 April 2017

Pernikahan Nabi dengan Zaenab

Sebelum terjadi perang Khondaq ada peristiwa yaitu penikahan nabi dengan Zainab binti Jahsy
Zainab: Wanita yang Dinikahkan Langsung oleh Allah
Nama dan Nasab Zainab

Dia adalah Ummul Mu’minin Zainab bintu Jahsy bin Riab bin Ya’mar bin Shabirah bin Murrah Al-Asadiyyah. Ibunya adalah Umaimah bintu Abdul Muthallib bin Hasyim bibi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari pihak ayahnya.

Sifat-sifatnya

Dia adalah seorang wanita yang cantik parasnya, merupakan penghulu para wanita dalam hal agamanya, wara’nya, kezuhudannya, kedermawanannya, dan kebaikannya.

Pernikahannya dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

Sebelum menikah dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Zainab telah menikah dengan Zaid bin Haritsah, maula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang kemudian dijadikan anak angkat oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Zaid bin Harist merupakan budak dari Jusbul Qomar(Orang Hitam) pemberian dari istri pertama nabi yaitu Siti Khodijah.
Zaid bin Haris watat di perang Mu'tah.

Dialah satu-satunya sahabat nabi yang namanya tertulis dan diceritakan oleh Allah dalam Al Qur'an.
QS. Al-Ahzab: 37,

Zaid adalah salah seorang hamba sahaya milik Khadijah binti Khuwailid. Ketika Rasulullah menikahi Khadijah, dia memberikan Zaid binti Haritsah kepada beliau. Dan itu terjadi sebelum masa kenabian Muhammad. Zaid kemudian tinggal di rumah Nabi Muhammad. Kemudian keluarga Zaid mencarinya ke Makkah, dan ingin menebusnya. Mereka datang kepada Nabi untuk memintanya dari beliau. Kemudian beliau memberi pilihan kepadanya antara tetap tinggal bersama beliau atau ikut keluarganya. Zaid lebih memilih untuk bersama Nabi daripada harus bersama keluarganya.

Bahkan suatu ketika bapaknya Zaid ingin menebusnya namun Zaid tetap kokoh suka tinggal bersama rasulullah.
Kata bapaknya, "Nak, kamu milih tinggal bersama bapak apa tinggal bersama Muhammad?"
Jawab Zaid, "Aku tetap akan tinggal bersama rasulullah ayah".
Bapaknya merasa aneh dan menyelidiku, Namun dia setelah mengetahui ahlaq rasulullah yang begitu mulia, maka dia sadar akan pilihan anaknya seraya berkata,
"Pantas anakku lebih memilih tinggal bersama Muhammad, orangnya begitu mulia dan agung"

Apa tidak bangga menjadi anak seorang yang disegani, namun Allah berkehendak lain, Karena anak angkat tidak boleh dinisbatkan atau dibinkan kepada bapak angkat (Hukum Tabani = larangan menisbatkan anak angkat ke bapak angkat).

Rasulullah mengumumkan Zaid sebagai anak angkat

Rasulullah lantas keluar ke tempat Hajar Aswad, dan bersabda, “Wahai hadirin sekalian, saksikanlah bahwa Zaid adalah anakku, dia mewarisiku dan aku mewarisinya.” Beliau memanggilnya dengan Zaid bin Muhammad, hingga turunlah firman Allah:

مَّاكَانَ مُحَمَّدٌ أَبَآ أَحَدٍ مِّن رِّجَالِكُمْ وَلَكِن رَّسُولَ اللهِ

“Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu” (Al-Ahzab 5).

Nabi Muhammad sangat menyayangi Zaid. Ketika Zaid telah memasuki usia menikah, beliau memilihkan Umamah (Zainab), anak perempuan dari bibinya. Namun Zainab dan saudaranya, Abdullah, tidak menyetujui pernikahan itu. Zainab berkata kepada Rasulullah, “Aku tidak rela akan diriku, sedangkan aku adalah gadis Quraisy.” Namun Nabi menghendaki agar Zainab dan Abdullah mau menerima pernikahan itu.

Zaid melamar Zainab.

Sebagai seorang pemuda Zaid ingin menikah maka bilang kepada Rasulullah,
"Ya Rasulullah, saya ingin menikah".
"Siapa pilihanmu?"
"Zainab", Kata Zaid.

Keluarga Zainab sempat tidak setuju.

Kemudian rasulullah mengutus sahabat untuk meminang Zainab. Awalnya ada keluarga Zaenab yang tidak setuju, namun karena ketaatan Zaenab kepada Allah dan Rasulnya maka lamaran itu diterima Walaupun sebenarnya mereka tidak cocok dalam status sosial(Hamba sahaya dan Bangsawan). Kalau dalam ilmu fikih disebut "Tidak Khufu" atau "Kurang Cocok".

Dan itu terbukti setelah perkawinan mereka berlangsung dalam kehidupan hubungan sehari-hari sering tidak nyambung baik itu dalam komunikasi, tingkahlaku dll.
Sehingga akhirnya Zaid memutuskan untuk menceraikan Zainab, Walau sebetulnya Zaid masih cinta namun apadaya.

Untuk menghapun rasa kecewa Zaid, Allah SWT mencantumkan namanya didalam Al Qur'an.
QS. Al-Ahzab: 37,

وَإِذْ تَقُولُ لِلَّذِي أَنْعَمَ اللهُ عَلَيْهِ وَأَنعَمْتَ عَلَيْهِ أَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوْجَكَ وَاتَّقِ اللهَ وَتُخْفِي فِي نَفْسِكَ مَااللهُ مُبْدِيهِ وَتَخْشَى النَّاسَ وَاللهُ أَحَقُّ أَن تَخْشَاهُ فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِّنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لاَيَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَآئِهِمْ إِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَرًا وَكَانَ أَمْرُ اللهِ مَفْعُولاً

“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: ‘Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah,” sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap isterinya (menceraikannya). Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.” (QS. Al-Ahzab: 37)


Ketaatan, keridhaan, dan keikhlasan Zainab merefleksikan kekuatan iman dan relasinya yang baik dengan Allah…

Nabi berkata kepada Zainab, “Nikahilah dia, sesungguhnya aku telah meridhainya untukmu.” Sebelum Zainab ragu tentang pernikahan ini, Allah menurunkan firman-Nya:

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata” (Al-Ahzab 36).

Setelah ayat tersebut diturunkan, Zainab dan saudaranya berkata, “Kami menyetujui, wahai Rasulullah.” Zainab berkata, “Aku telah menyetujui untuk dinikahkan, wahai Rasulullah.” Beliau kemudian bersabda, “Aku Telah merestuimu.” Zainab kembali berkata, “Jadi, aku tidak berbuat maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, karena engkau telah menikahkannya denganku.”

Dengan sikapnya ini, Zainab telah memberikan contoh yang terbaik bagi kita dalam melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya.
Demikian, seharusnya sikap yang wajib dilakukan terhadap Allah dan Rasul-Nya. Menolak ketetapan dan hukum yang ditentukan Allah dan Rasul-Nya merupakan perilaku yang buruk, keras hati, serta tidak sesuai dengan sikap yang diajarkan Islam. Ketaatan, keridhaan, dan keikhlasan Zainab merefleksikan kekuatan iman dan relasinya yang baik dengan Allah.

Zainab telah memberikan teladan terbaik dalam melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya. Demikian, seharusnya sikap yang wajib dilakukan terhadap Allah dan Rasul-Nya...


Mu'jizat pernikahan dengan Zaenab


Maka Allah nikahkan Zainab dengan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan nash Kitab-Nya tanpa wali dan tanpa saksi. Dan Zainab biasa membanggakan hal itu di hadapan Ummahatul Mukminin (istr-istri Nabi) yang lain, dengan mengatakan, “Kalian dinikahkan oleh wali-wali kalian, sementara aku dinikahkan oleh Allah dari atas ‘Arsy-Nya.”
(Diriwayatkan oleh Zubair bin Bakar dalam Al-Muntakhob min Kitab Azwajin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 1:48 dan Ibnu Sa’d dalam Thabaqah Kubra, 8:104-105 dengan sanad yang shahih).

Bukti Allah SWT yang menikahkah rasulullah dengan Zainab di surat Ah Ahzab : 37 :

فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِّنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لاَيَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَآئِهِمْ إِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَرًا وَكَانَ أَمْرُ اللهِ مَفْعُولاً

Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap isterinya (menceraikannya). Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.” (QS. Al-Ahzab: 37)

Di saat pernikahan Zainab dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terjadi keajaiban yang merupakan mukjizat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana diceritakan oleh Anas bin Malik,

“Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikah dengan Zainab, ibuku berkata kepadaku, ‘Wahai Anas sesungguhnya hari ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjadi pengantin dalam keadaan tidak punya hidangan siang, maka ambilkan wadah itu kepadaku!’ Maka aku berikan kepadanya wadah dengan satu mud kurma, kemudian dia membuat hais dalam wadah itu, kemudian ibuku berkata, ‘Wahai Anas berikan ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan istrinya!’ Kemudian datanglah aku kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa hais tersebut dalam sebuah bejana kecil yang terbuat dari batu, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Wahai Anas letakkan dia di sisi rumah dan undanglah Abu Bakar, Umar, Ali, Utsman, dan beberapa orang lain!’ Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata lagi, ‘Undang juga penghuni masjid dan siapa saja yang engkau temui di jalan!’ Aku berkata, ‘Aku merasa heran dengan banyaknya orang yang diundang padahal makanan yang ada sedikit sekali, tetapi aku tidak suka membantah perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka aku undanglah orang-orang itu sampai penuhlah rumah dan kamar dengan para undangan.’ Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggilku seraya berkata, ‘Wahai Anas apakah engkau melihat orang yang melihat kita?’ Aku berkata, ‘Tidak wahai Nabiyullah’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Bawa kemari bejana itu!’ Aku ambil bejana yang berisi hais itu dan aku letakkan di depannya. Kemudian Rasulullah membenamkan ketiga jarinya ke dalam bejana dan jadilah kurma dalam bejana itu menjadi banyak sampai makanlah semua undangan dan keluar dari rumah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan kenyang.”
(Diriwayatkan oleh Firyabi dalam Dalail Nubuwwah, 1:40-41 dan Ibnu Sa’d dalam Thabaqah Kubra 8:104-105).

Orang munafiq menggunjing

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Zainab orang-orang munafiq menggunjingnya dengan mengatakan: ‘Muhammad telah mengharamkan menikahi istri-istri anak dan sekarang dia menikahi istri anaknya!, maka turunlah ayat Allah,

مَّاكَانَ مُحَمَّدٌ أَبَآ أَحَدٍ مِّن رِّجَالِكُمْ وَلَكِن رَّسُولَ اللهِ

“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi.” (QS. Al-Ahzab: 40)

Dan Allah berfirman,

ادْعُوهُمْ لأَبَآئِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِندَ اللهِ

“Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah.” (QS. Al-Ahzab: 5)

Maka sejak saat itu Zaid dipanggil dengan Zaid bin Haritsah yang dia sebelumnya biasa dipanggil dengna Zaid bin Muhammad (Al-Isti’ab, 4:1849-1850)
Sehingga dalam hukum fiqih anak angkat tidak boleh dinisbatkan atau dibinkan kepada bapak angkat.


Turunnya Ayat Hijab

Anas bin Malik berkata, “Aku adalah orang yang paling tahu tentang turunnya ayat hijab, ketika terjadi pernikahan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Zainab, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyiapkan hidangan dan mengundang para sahabat sehingga mereka datang dan masuk ke rumahnya. Ketika itu Zainab sedang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam rumah, kemudian para sahabat berbincang-bincang, saat itu keluarlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kemudian kembali dalam keadaan para sahabat duduk-duduk di rumahnya, saat itu turunlah firman Allah,

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتَدْخُلُوا بُيُوتَ النَّبِيِّ إِلآَّ أَن يُؤْذَنَ لَكُمْ إِلَى طَعَامٍ غَيْرَ نَاظِرِينَ إِنَاهُ وَلَكِنْ إِذَا دُعِيتُمْ فَادْخُلُوا فَإِذَا طَعِمْتُمْ فَانتَشِرُوا وَلاَمُسْتَئْنِسِينَ لِحَدِيثٍ إِنَّ ذَلِكُمْ كَانَ يُؤْذِي النَّبِيَّ فَيَسْتَحْيِ مِنكُمْ وَاللهُ لاَيَسْتَحْيِ مِنَ الْحَقِّ وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَسْئَلُوهُنَّ مِن وَرَآءِ حِجَابٍ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya), tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu ke luar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang hijab (tabir).” (QS. Al-Ahzab: 53)
Saat itu berdirilah para sahabat dan diulurkan hijab. (Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d dalam Thabaqoh Kubra, 8:105-106 dengan sanad yang shahih)


Keutamaan-keutamaan Zainab

Aisyah berkata, “Zainab binti Jahsyi yang selalu menyaingiku di dalam kedudukannya di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak pernah aku melihat wanita seperti Zainab dalam hal kebaikan agamanya, ketaqwaannya kepada Allah, kejujurannya, silaturrahimnya, dan banyaknya shadaqahnya.” (Al-Isti’ab, 4:1851)

Ini Link Kitabnya :
https://archive.org/stream/AlIsteeab/Isteeab01#page/n12/mode/2up


Zainab istri nabi yang paling panjang tanganya atau suka bersedekah


Aisyah berkata, “Suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada istri-istrinya, ‘yang paling cepat menyusulku dari kalian adalah yang paling panjang tangannya,’ Aisyah berkata, ‘Maka kami setelah itu jika berkumpul saling mengukur tangan-tangan kami di tembok sambil melihat mana yang paling panjang, tidak henti-hentinya kami melakukan hal itu sampai saat meninggalnya Zainab, padahal dia adalah wanita yang pendek dan tidaklah tangannya paling panjang di antara kami, maka tahulah kami saat itu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memaksudkan panjang tangan adalah yang paling banyak bershadaqah. Adalah Zainab seorang wanita yang biasa bekerja dengan tangannya, dia biasa menyamak dan menjahit kemudian menshadaqahkan hasil kerjanya itu di jalan Allah’,” (Muttafaq Alaih)
Suatu saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Umar, “Sesungguhnya Zainab adalah wanita yang awwahah.” Seseorang bertanya, “Apa yang dimaksud dengan awwahah wahai Rasulullah?” Rasulullahs shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Yang khusyu lagi merendahkan diri di hadapan Allah.” (Al-Isti’ab, 4:1852)

Karomah do'a Zainab menjelang wafatnya


Dari Barzah binti Rofi dia berkata, “Suatu saat Umar mengirimkan sejumlah uang kepada Zainab, ketika sampai kepadanya Zainab berkata, ‘Semoga Allah mengampuni Umar, sebenarnya selain aku lebih bisa membagi-bagikan ini,’ mereka berkata, ‘Ini semua untukmu,’ Zainab berkata, ‘Subhanallah, letakkanlah uang-uang itu dan tutupilah dengan selembar kain!’ kemudian dia bagi-bagikan uang itu kepada kerabatnya dan anak-anak yatimnya dan dia berikan sisanya kepadaku yang berjumlah delapan puluh lima dirham, kemudian dia mengangkat kedua tangannya ke langit dan berdoa, ‘Ya Allah jangan sampai aku mendapati pemberian Umar lagi setelah tahun ini.’ Tidak lama kemudian dia meninggal dunia.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d dalam Thabaqoh Kubra, 8:105-106)

Peran Zainab di Dalam syiar Islam

Zainab binti Jahsyi termasuk deretan istri-istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjaga dan menyampaikan sunah-sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara deretan perawi yang meriwayatkan hadis dari beliau adalah saudaranya Muhammad bin Abdullah bin Jahsyi, Ummul Mu’minin Ummu Habibah bintu Abi Sufyan, Zainab bintu Abi Salamah, dan selain mereka dari kalangan shahabat dan tabi’in.

Wafatnya

Zainab binti Jahsyi wafat di Madinah pada tahun 20 Hijriyyah di masa kekhilafahan Umar, saat Mesir ditaklukkan oleh kaum muslimin, waktu itu beliau berusia 53 tahun. Beliau dikuburkan di pekuburan Baqi. Semoga Allah meridhainya dan membalasnya dengan kebaikan yang melimpah.

Rujukan:
Thabaqoh Kubra oleh Ibnu Sa’ad (8:101-1150, Al-Muntakhob min Kitab Azwajin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam oleh Zubair bin Bakar (1:48), Dalail Nubuwwah 1:40-41 oleh Firyabi, Siyar A’lamin Nubala oleh Adz-Dzahabi (2:211-218), Al-Ishabah oleh Ibnu Hajar (7:667-669), dan Al-Isti’ab oleh Ibnu Abdil Barr. (4/1849-1452).

Ummahatul Mu'minin (Para istri Muhammad)

Khadijah binti Khuwailid
Saudah binti Zum'ah
Aisyah binti Abu Bakar
Hafshah binti Umar
Zainab binti Khuzaimah
Hindun binti Abi Umayyah
Zainab binti Jahsy
Juwairiyah binti al-Harits
Ramlah binti Abu Sufyan
Shafiyah binti Huyay
Maimunah binti al-Harits
Maria Qipty binti Syama’un

Zainab binti Jahsy bin Ri`ab al-Asadiyyah



 زينب بنت جحش بن رئاب الأسدية


atau lebih dikenal dengan Zainab binti Jahsy (lahir pada tahun 33 Sebelum H/590, wafat di Madinah pada tahun 20 H/641) adalah sepupu dan istri dari Nabi Muhammad S.A.W, dan termasuk dari Ibu Para Mukminin.

Daftar isi

1 Nasabnya
2 Kehidupannya
3 Wafat
4 Referensi

Nasabnya

Ayahnya: Jahsyi bin Ri`ab bin Yu'ammar bin Shabrah bin Kabir bin Ghanam bin Dudan bin Asad bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma'ad bin Adnan. Jahsyi adalah sekutu bagi pembesar Quraisy, Abdul Muthalib.[1]
Ibunya: Umaimah binti Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdu Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka'ab bin Lu`ay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin an-Nadhar bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma'ad bin Adnan. Umaimah adalah bibi dari Nabi Muhammad S.A.W.[2]

Kehidupannya

Ia masuk Islam sejak lama, kemudian hijrah bersama Nabi Muhammad S.A.W ke Madinah, setelah itu menikah dengan Zaid bin Haritsah, kemudian diceraikan oleh Zaid, maka turunlah ayat di al-Qur'an surat al-Ahzab mengenai pernikahan nabi Muhammad S.A.W dengan Zainab, maka menikahlah nabi dengannya, pada awalnya ia bernama Barrah, kemudian namanya diganti menjadi Zainab, dan karenanyalah turun ayat mengenai hijab. Ia dikenal sebagai pribadi yang sering bersedekah.
Wafat

Ia merupakan istri nabi yang paling pertama wafat setelah kematian nabi, tepatnya pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab di tahun 20 H. Ia wafat pada usia 53 tahun dan dimakamkan di Jannatul Baqi
Referensi

^ Sirah Ibnu Hisyam
^ Sirah Ibnu Hisyam


Zainab binti Jahsy alias Barroh : Muslimah Patriotik, Berjiwa Besar dan Dermawan

DIA ADALAH Zainab binti Jahsy bin Riab bin Ya’mar Al-Asadiyah, dari Bani Asad bin Khuzaimah Al-Mudhari. Ibunya bernama Umayyah binti Abdul Muthalib bin Hasyim, dan paman-pamannya adalah Hamzah dan Al-Abbas, keduanya adalah anak Abdul Muthalib.
Zainab termasuk wanita yang taat dalam beragama, wara’, dermawan, dan baik. Selain itu, dia juga dikenal mulia dan cantik, serta termasuk wanita terpandang di Makkah. Nama aslinya adalah Barrah, namun Nabi Muhammad SAW menyebutnya Zainab. Dinyatakan dalam hadits Al-Bukhari dan Muslim, dari Zainab binti Abu Salamah, dia berkata,

“Namaku adalah Barrah, akan tetapi Rasulullah kemudian memberiku nama Zainab.”
(HR. Muslim dalam Al-Adab, 14/140).

Zainab memeluk Islam di Makkah dan sempat mengalami siksaan dari orang-orang kafir Quraisy. Namun dia tetap bersabar dan mengharapkan ridha Allah, hingga akhirnya dia ikut berhijrah ke Habasyah (Ethiopia). Bersama kaum muslimin lainnya, Zainab kembali ke Makkah, hingga akhirnya Allah mengizinkannya untuk berhijrah ke Madinah Al-Munawwarah. Zainab termasuk wanita yang pertama kali berhijrah dan memiliki sikap patriot yang diabadikan dalam buku-buku sejarah.


Pernikahan Zaid dengan Zainab

…Zainab memiliki sikap patriot yang diabadikan dalam buku-buku sejarah…

Ketaatannya kepada Allah

Zaid adalah salah seorang hamba sahaya milik Khadijah binti Khuwailid. Ketika Rasulullah menikahi Khadijah, dia memberikan Zaid binti Haritsah kepada beliau. Dan itu terjadi sebelum masa kenabian Muhammad. Zaid kemudian tinggal di rumah Nabi Muhammad. Kemudian keluarga Zaid mencarinya ke Makkah, dan ingin menebusnya. Mereka datang kepada Nabi untuk memintanya dari beliau. Kemudian beliau memberi pilihan kepadanya antara tetap tinggal bersama beliau atau ikut keluarganya. Zaid lebih memilih untuk bersama Nabi daripada harus bersama keluarganya.

Rasulullah lantas keluar ke tempat Hajar Aswad, dan bersabda, “Wahai hadirin sekalian, saksikanlah bahwa Zaid adalah anakku, dia mewarisiku dan aku mewarisinya.” Beliau memanggilnya dengan Zaid bin Muhammad, hingga turunlah firman Allah:

“Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu” (Al-Ahzab 5).

Nabi Muhammad sangat menyayangi Zaid. Ketika Zaid telah memasuki usia menikah, beliau memilihkan Umamah (Zainab), anak perempuan dari bibinya. Namun Zainab dan saudaranya, Abdullah, tidak menyetujui pernikahan itu. Zainab berkata kepada Rasulullah, “Aku tidak rela akan diriku, sedangkan aku adalah gadis Quraisy.” Namun Nabi menghendaki agar Zainab dan Abdullah mau menerima pernikahan itu.

Zaid melamar Zainab.

Sebagai seorang pemuda Zaid ingin menikah maka bilang kepada nabi,
"Ya Rasulullah, saya ingin menikah".
"Siapa pilihanmu?"
"Zainab", Kata Zaid.
Kemudian rasulullah mengutus sahabat untuk meminang Zainab. Sebelumnya ada keluarga Zaenab yang tidak setuju, namun karena ketaatan Zaenab kepada Allah dan Rasulnya maka lamaran itu diterima Walaupun sebenarnya mereka tidak cocok dalam status sosial(Hamba sahaya dan Bangsawan). Kalau dalam ilmu fikih disebut "Tidak Khufu"
Dan itu terbukti setelah perkawinan mereka berlangsung dalam kehidupan hubungan sehari-hari sering tidak nyambung baik itu dalam komunikasi, tingkahlaku dll.
Sehingga akhirnya Zaid memutuskan untuk menceraikan Zainab.

…Ketaatan, keridhaan, dan keikhlasan Zainab merefleksikan kekuatan iman dan relasinya yang baik dengan Allah…

Nabi berkata kepada Zainab, “Nikahilah dia, sesungguhnya aku telah meridhainya untukmu.” Sebelum Zainab ragu tentang pernikahan ini, Allah menurunkan firman-Nya:

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata” (Al-Ahzab 36).

Setelah ayat tersebut diturunkan, Zainab dan saudaranya berkata, “Kami menyetujui, wahai Rasulullah.” Zainab berkata, “Aku telah menyetujui untuk dinikahkan, wahai Rasulullah.” Beliau kemudian bersabda, “Aku Telah merestuimu.” Zainab kembali berkata, “Jadi, aku tidak berbuat maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, karena engkau telah menikahkannya denganku.”
Dengan sikapnya ini, Zainab telah memberikan contoh yang terbaik bagi kita dalam melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya.
Demikian, seharusnya sikap yang wajib dilakukan terhadap Allah dan Rasul-Nya. Menolak ketetapan dan hukum yang ditentukan Allah dan Rasul-Nya merupakan perilaku yang buruk, keras hati, serta tidak sesuai dengan sikap yang diajarkan Islam. Ketaatan, keridhaan, dan keikhlasan Zainab merefleksikan kekuatan iman dan relasinya yang baik dengan Allah.

…Zainab telah memberikan teladan terbaik dalam melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya. Demikian, seharusnya sikap yang wajib dilakukan terhadap Allah dan Rasul-Nya...

Menjaga Lisan dari Kesalahan

Setelah berpisah dengan Zaid, Zainab kemudian dinikahi oleh Rasulullah. Dengan demikian, dia menempati kedudukan mulia, karena menjadi bagian dari Ummahatul Mukminin. Bahkan, Aisyah pernah berkata, “Tidak ada seorang pun dari istri-istri Nabi yang kedudukannya menyamaiku di sisi beliau selain Zainab.”
Sekalipun tampak ada persaingan antara Zainab dan Aisyah dalam mendapatkan kasih sayang Rasulullah, namun Zainab tetap membela Aisyah pada peristiwa tuduhan kebohongan (haditsul-ifki). Aisyah berkata, “Tidak ada seorang pun dari istri-istri Nabi yang kedudukannya menyamaiku di sisi beliau selain Zainab. Zainab telah dilindungi Allah dalam agama, sehingga dia tidak mengatakan kecuali yang baik.
Dalam suatu riwayat dari Aisyah, dia berkata, “Rasulullah bertanya kepada Zainab binti Jahsy tentang masalahku, dan beliau berkata kepada Zainab, “Apa yang engkau ketahui atau bagaimana pendapatmu?” Dia menjawab, “Wahai Rasulullah, aku melindungi pendengaranku dan penglihatanku. Demi Allah, aku tidak mengetahui kecuali yang baik.” Aisyah berkata, “Dialah yang menyamaiku dari istri-istri Nabi, maka Allah melindunginya dengan sikap wara’.”
Memang Allah telah melindunginya dan menjaga lisannya dari berkomentar buruk tentang Aisyah. Sikap ini merupakan sikap patriotik yang sungguh luar biasa. Kendati antara Aisyah dan Zainab seakan-akan terselip persaingan dalam mendapatkan kasih sayang Rasulullah, namun Zainab dengan besar hati membela madunya. Dia tidak menggunakan kesempatan itu untuk berkomentar tentang kehormatan Aisyah, dan tidak pula ada keinginan untuk menjelek-jelekkannya. Hendaknya muslimah belajar darinya bagaimana seharusnya menjalin hubungan dengan sesamanya.

…Zainab tidak memiliki kedengkian. Hendaknya muslimah belajar darinya bagaimana seharusnya menjalin hubungan dengan sesamanya..
Zainab tidak memiliki kedengkian kepada Aisyah. Islam telah mengajarkan kepada kita untuk toleran. Dengan kata lain, hubungan dengan sesama harus dibangun di atas dasar cinta, hormat, kasih sayang, dan keikhlasan. Dengan demikian, kehidupan akan berjalan sesuai dengan yang diridhai Allah dan Rasulullah.

Berinfaq di Jalan Allah

Setelah Rasulullah wafat, Zainab konsisten untuk tetap tinggal di rumahnya untuk beribadah kepada Allah. Dia mengalami masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Khalifah Umar bin Al-Khatthab., Umar kerap memberikan tunjangan hidup kepada setiap istri Rasulullah sebanyak dua belas ribu Dirham.
Ketika Ummul Mukminin Zainab menerima tunjangan itu dari Umar, dia tidak menyisakan satu Dirham pun untuk dirinya. Dia menginfakkannya secara keseluruhan kepada kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin. Suatu ketika Umar bin Al-Khatthab mengirimkan kepadanya harta dalam jumlah banyak. Zainab lalu berkata, “Semoga Allah mengampuni Umar. Ummahatul Mukminin selain aku, lebih dermawan dalam membagi-bagikan harta ini.” Dikatakan kepadanya, “Semua harta ini untukmu.”
Zainab kemudian berkata, “Mahasuci Allah Yang Mahaagung.” Dia lalu menutupi harta itu dengan sebuah kain. Dia berkata, “Bungkuslah dengan kain.” Dia lalu menyuruh Barzah binti Rafi’, sembari berkata, “Wahai Barzah, masukkan tanganmu, lalu ambillah segenggam darinya dan bawalah kepada Fulan, kemudian kepada Bani Fulan.”
Zainab kemudian menyebutkan orang-orang dari kerabatnya, anak-anak yatim yang dikenalnya, dan orang-orang miskin. Barzah binti Rafi’ berkata, “Semoga Allah mengampuni dosamu, wahai Ummul Mukminin. Demi Allah sesungguhnya kita memiliki hak dalam dirham-dirham itu.” Zainab berkata, “Apa yang ada di bawah kain itu adalah milik kalian.”
Barzah berkata, “Kami lalu menghitung harta itu dan kami mendapatkannya sejumlah 1285 Dirham.” Zainab kemudian mengangkat tangannya ke langit dan berkata, “Ya Allah, semoga aku tidak lagi mendapatkan pemberian Umar setelah tahun ini.” Allah mengabulkan doa kezuhudannya, dan dia pun wafat pada tahun itu.

…Zainab dikenal sebagai wanita yang mulia, dermawan, dan selalu berlomba-lomba dalam kebaikan. Keagungan sikapnya mengindikasikan kekuatan iman dan hubungannya dengan Allah…
Demikianlah, kita menyaksikan sosok Zainab yang melihat harta sebagai fitnah. Dia dikenal sebagai wanita yang mulia, dermawan, dan selalu berlomba-lomba dalam kebaikan. Dia juga menjalin hubungan baik dengan para kerabat dan sanak keluarganya. Alangkah agung sikapnya dalam kehidupan. Hal itu mengindikasikan kekuatan iman dan hubungannya dengan Allah.

Wallahu 'alam.

Perang Khandaq(Parit)

Perang Khandaq adalah perang umat Islam melawan pasukan sekutu yang terdiri dari Bangsa Quraisy, Yahudi, dan Gatafan yang terjadi pada tahun ke-5 setelah Hijrah ke Madinah (Tahun 627 Masehi).

Perang Khandaq disebut juga Perang Ahzab, yang artinya Perang Gabungan. Muaranya adalah ketidakpuasan beberapa orang Yahudi dari Bani Nadir dan Bani Wa’il akan keputusan Rasulullah SAW yang menempatkan mereka di luar Madinah. Dari Bani Nadir adalah Abdullah bin Sallam bin Abi Huqaiq; Huyayy bin Akhtab; dan Kinanah ar-Rabi bin Abi Huqaiq. Sedangkan dari Bani Wa’il adalah Humazah bin Qais dan Abu Ammar.

Dalam Al-Quran digambarkan seperti berikut:
Ertinya: "Ketika mereka datang kepada kamu dari atas dan dari bawah, dan ketika pandangan telah suram, dan hati telah naik sampai kekerongkongan. Dan ketika itu kamu berprasangka kepada Allah dengan prasangka yang salah. Dikala itu orang-orang beriman mendapat ujian dan perasaan mereka digongang dengan goncangan yang hebat". (Al-Ahzab:10-11)

Surat Al-Ahzab Ayat 10

إِذْ جَاءُوكُمْ مِنْ فَوْقِكُمْ وَمِنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَإِذْ زَاغَتِ الْأَبْصَارُ وَبَلَغَتِ الْقُلُوبُ الْحَنَاجِرَ وَتَظُنُّونَ بِاللَّهِ الظُّنُونَا

(Yaitu) ketika mereka datang kepadamu dari atas dan dari bawahmu, dan ketika tidak tetap lagi penglihatan(mu) dan hatimu naik menyesak sampai ke tenggorokan dan kamu menyangka terhadap Allah dengan bermacam-macam purbasangka.

Surat Al-Ahzab Ayat 11

هُنَالِكَ ابْتُلِيَ الْمُؤْمِنُونَ وَزُلْزِلُوا زِلْزَالًا شَدِيدًا

"Disitulah diuji orang-orang mukmin dan digoncangkan (hatinya) dengan goncangan yang sangat".


Sebab utamanya adalah berpunca dari hasutan kaum Yahudi. Sebahagian pemuka Yahudi Banu Nadlir dan Banu Wa'il datang kepadabangsa Quraisy di Mekah. Mereka mencadangkan kaum Quraisy untuk memerangi Rasulullah saw. Sebelum itu mereka telah mencuba untuk berhadapan dengan kaum Muslimin. Namun mereka merasa tidak mampu. Utusan kaum Yahudi itu memujuk kaumQuraisy dengan berbagai cara. Kata kaum Yahudi : " Kami akan bersama-sama dengan kamu sehingga kami dapat menumpaskan Muhammad."
Awal Mula Peperangan disebabkan orang-orang Yahudi melihat kemenangan kaum musyrikin atas kaum muslimin pada perang Uhud, dan mengetahui janji Abu Sufyan untuk memerangi muslimin pada tahun depan (sejak peristiwa itu), berangkatlah sejumlah tokoh mereka seperti Sallam bin Abil Huqaiq, Sallam bin Misykam, Kinanah bin Ar-Rabi’, dan lain-lain ke Makkah menjumpai beberapa tokoh kafir Quraisy untuk menghasut mereka agar memerangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan mereka menjamin akan membantu dan mendukung kaum Quraisy dalam rencana itu. Quraisy pun menyambut hasutan itu.

Kekuatan Pasukan Quraisy

Pasukan begitu banyak dan peralatan begitu lengkap, suku Quraisy yang dipimpin oleh Abu Sufyan bin Harb, suku Gotofahn di pimpin oleh Uyaynah bin Hisn bin Hudzaifah bin Badr pada Bani Fazarah, Bani Murrah di pimpin oleh Harits bin Auf, Bani Asyja’ di pimpin oleh Mas’ud bin Rakhilah bin Nuwairah bin Tharif bin Samhah bin Gotofahn. Mereka bergerak dengan jumlah yang banyak dan peralatan yang lengkap untuk satu tujuan; perang melawan Rasulullah SAW. Mereka bersepakat untuk berkumpul di Khaibar, dan jumlah mereka dari berbagai kelompok dan suku adalah 10 ribu pasukan, adapun pucuk pimpinan dalam perang tersebut dipegang oleh Abu Sufyan bin Harb

Salman Al-Farisi dan Strategi Perang Khandaq

Ketika Rasulullah melakukan musyawarah dengan para sahabat untuk menghadapi pasukan yang banyak tersebut. Pada saat itu jumlah umat Islam masih sedikit; hanya sekitar 3 ribu personil, padahal jumlah pasukan musuh telah mencapai 10 ribu personil. Kekuatan yang tentu tidak berimbang hingga Salman Al-Farisi menawarkan ide. Beliau berkata: ”Wahai Rasulullah, sewaktu kami di Persia, jika kami diserang, kami membuat parit, alangkah baik jika kita juga membuat Parit sehingga dapat menghalangi dari melakukan serangan”.

Seketika itu Nabi saw menyutujui pendapat Salman. Maka dari itu, membuat parit menjadi peristiwa pertama yang disaksikan oleh Arab dan umat Islam, karena mereka belum pernah menyaksikan sebelumnya parit sebagai sarana untuk berperang.

Inilah asal muasal nama Perang Khandaq.

Permulaan Konstruksi penggalian Parit

Rasulullah dan para sahabat keluar dari kota Madinah dan berkemah di salah satu tempat di bukit gunung Sala’ sehingga membelakangi kota Madinah. Selama membangun parit dalam waktu 6 hari, pertahanan kota di bagian lain juga diperkuat. Wanita dan anak-anak dipindahkan ke rumah yang kokoh dan dijaga ketat. Bongkahan batu-batu diletakkan di samping parit untuk melempari pasukan lawan. Sementara sisi kota yang tidak dibuat parit, diserahkan pengamanannya pada Bani Quraizhah. Strategi ini sangat tepat sebab pasukan lawan tidak mengetahui pertahanan menggunakan parit. Sebelumnya, mereka biasa berperang dengan tenik maju-mundur; menyerang, dan lari. Terbukti strategi ini cukup bisa membendung para sekutu. Selama satu bulan penuh, tidak ada kontak langsung antara kedua pihak kecuali saling lempar panah.

Umat Islam bersama Rasulullah saw mulai bekerja membuat parit dan mereka menganggapnya sebagai ibadah yang akan ada ganjarannya kelak, mereka saling bergotong royong dan saling membantu. Rasulullah saw begitu giat bekerja sehingga umat Islampun semangat melakukannya. Namun berbeda dengan kaum munafiqin melakukan manuver untuk memperlambat pekerjaan, mereka kadang lamban bekerja, pergi lalu lalang kesana kemari tanpa tujuan yang jelas dan bahkan mereka sengaja pergi ke keluarga mereka tanpa sepengetahuan Rasulullah saw.

Senandung Sya'ir para sahabat saat pembuatan parit

Dan diriwayatkan oleh Anas ra bahwa kaum Anshar dan Muhajirin mensenandungkan syair saat menggali parit dan memindahkan tanda dari tempatnya:

نحن الذين بايعوا محمدا على الإسلام ما بقينا أبدا

"Kamilah yang telah membai’at nabi Muhammad Sehingga Islam menjadi keyakinan kami selamanya".

Maka nabipun menjawab senandung mereka dengan ungkapan

إِنَّ الْخَيْرَ خَيْرُ الآخِرَةِ أَوْ قَالَ اللَّهُمَّ لاَ خَيْرَ إِلاَّ خَيْرُ الآخِرَهْ فَاغْفِرْ لِلاَْنْصَارِ وَالْمُهَاجِرَة

“Sesungguhnya kebaikan itu adalah kebaikan akhirat, atau dalam ungkapan lain : Sesungguhnya tidak ada kebaikan kecuali kebaikan akhirat, Ya Allah ampunilah kaum muhajirin dan anshar” [6]

Jiwa Kebersamaan Diantara Kaum Muslimin
Rasulullah ikut sama menggali parit itu agar kaum Muslimin ikut berlumba-lumba dalam mencari pahala. Keran itulah kaum Muslimin beramai-ramai ikut bekerja bersama beliau.
Waktu itu Kota Madinah sedang mengalami musim yang sangat dingin. Sedangkan kaum Muslimin banyak yang tidak mempunyai makanan yang secukupnya. Bahkan adakalanya sehungga tidak mempunyai apa-apa makanan. Kata Abu Thalhah : " Kami pernah mengeluh kepada Rasulullah tentang rasa lapar yang kami deritai. Dan kami selalu mengikat perut kami dengan batu.Manakala Nabi pula mengikat perut baginda dengan dua batu.
Kata Anas: "Waktu itu ketika Nabi keluar beliau saksikan kaum Muhajirin dan kaum Ansar bersama-sama menggali parit disuatu pagi yang amat dingin sekali sedangkan keadaan mereka amat lapar.

Mukjizat Nabi di Khandaq

BUKTI KENABIAN DALAM PERANG KHANDAQ

Pada edisi sebelumnya disebutkan keputusan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menggali khandaq (parit) untuk menghambat gerakan musuh. Di saat pengagalian parit inilah terlihat beberapa mu’jizat Rasûlullâh yang menguatkan dan membuktikan bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam benar-benar utusan Allâh sebagai nabi dan rasul. Diantara bukti-bukti tersebut :

1. HIDANGAN JABIR RADHIYALLAHU ANHU
Jabir Radhiyallahu anhu bercerita, “Ketika kami menggali parit pada peristiwa khandaq, sebongkah batu yang sangat keras menghalangi kami, lalu para sahabat menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya mengatakan, ‘Batu yang sangat keras ini menghalangi kami menggali parit,’ Lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku sendiri yang akan turun.” Kemudian beliau berdiri (dalam parit), sementara perut beliau diganjal dengan batu (karena lapar). Tiga hari (terakhir) kami (para shahabat) belum merasakan makanan, lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil kampak dan memukul batu tersebut hingga pecah berkeping-keping. Lalu aku berkata, “Wahai Rasûlullâh, izinkanlah aku pulang ke rumah.” Sesampaiku di rumah, aku bercerita kepada isteriku, “Aku tidak tega melihat kondisi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , apakah kamu memiliki sesuatu (makanan) ?” Isteriku menjawab, “Aku memiliki gandum dan anak kambing.” Kemudian ia meyembelih anak kambing tersebut dan membuat adonan gandum hingga menjadi makanan dalam tungku. Ketika adonan makanan tersebut hampir matang dalam bejana yang masih di atas tungku, aku menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan aku berkata, “Wahai Rasûlullâh, aku memiliki sedikit makanan. Datanglah ke rumahku dan ajaklah satu atau dua orang saja.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Untuk berapa orang ?” Lalu aku beritahukan kepada beliau. Beliau bersabda, “lebih banyak yang datang lebih baik.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda lagi, “Katakan kepada isterimu, jangan ia angkat bejananya dan adonan roti dari tungku api sampai aku datang.” Setelah itu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bangunlah kalian semua.” Kaum Muhâjirin dan Anshâr yang mendengar perintah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu langsung berdiri dan berangkat. Jabir Radhiyallahu anhu menemui isterinya (dengan cemas), dia mengatakan, “Celaka, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang bersama kaum Muhâjirîn dan Anshâr serta orang-orang yang bersama mereka.” Isteri Jabir bertanya, “Apa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bertanya (tentang jumlah makanan kita) ?” Jâbir z menjawab, “Ya. ” Lalu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Masuklah dan jangan berdesak-desakan.” Kemudian Rasûlullâh mencuil-cuil roti dan ia tambahkan dengan daging, dan ia tutup bejana dan tungku api. Selanjutnya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambilnya dan mendekatkannya kepada para sahabatnya. Lantas beliau mengambil kembali bejana itu dan terus-menerus beliau lakukan itu hingga semua sahabat merasa kenyang dan makanan masih tersisa. Setelah itu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (kepada istri Jabir Radhiyallahu anhu), “Sekarang kamu makanlah ! Dan hadiahkanlah kepada orang lain, karena masih banyak orang yang kelaparan.”[1][1]. HR. Bukhari, no.(Fathul Bâri, ta’liq Syekh bin Baz, Bâb Ghazwatil Khandaq, 7/395).

KABAR PENAKLUKAN KERAJAAN-KERAJAAN BESAR
Ketika para sahabat mendapatkan batu besar yang tidak bisa dipecahkan, maka Rasûlullâh mulai memukul batu tersebut. Beliau memulainya dengan membaca, “Bismillah.” Lalu memukul dan berhasil menghancurkan sepertiganya dan beliu n mengucapkan, “Allâhu akbar ! aku telah di beri kunci-kunci Syam. Demi Allâh, sekarang saya melihat istana yang merah.” Beliau melanjutkan dengan pukulan kedua. Kali ini, , beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berhasil menghancurkan sepertiga berikutnya dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan, “Allâhu akbar ! aku telah di beri kunci-kunci Paris. Demi Allâh ! Saya melihat istananya yang putih.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan dengan pukulan ketiga dan akhirnya batu yang tersisa berhasil dipecahkan. Setelah pukulan ketiga, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan, “Allâhu akbar ! aku telah di beri kunci-kunci Yaman. Demi Allâh aku melihat pintu-pintu Shan’a dari tempatku ini.”[2][2]. Musnad Imam Ahmad:(30/626), Fathul Bâri, ta’liq Syekh bin Baz, Bâb Ghazwatil Khandaq, 7/397

Ketika Peperangan dimulai

Pertempuran sahabat Ali dengan ‘Amr bin ‘Abdi Wadd

Ketika kaum musyrikin sampai di kota Madinah, mereka terkejut melihat pertahanan yang dibuat kaum muslimin. Belum pernah hal ini terjadi pada bangsa Arab. Akhirnya mereka membuat perkemahan mengepung kaum muslimin. Tidak terjadi pertempuran berarti di antara mereka kecuali lemparan panah dan batu. Namun sejumlah ahli berkuda musyrikin Quraisy, di antaranya ‘Amr bin ‘Abdi Wadd, ‘Ikrimah dan lainnya berusaha mencari jarak lompat yang lebih sempit. Beberapa orang berhasil menyeberangi parit. Merekapun menantang para pahlawan muslimin untuk perang tanding.
Kata ‘Amr bin ‘Abdi Wadd, "Adakah kalian berani menghadapi ku?"
Di masa perang Khandaq, umat Islam pernah ditantang duel Amr bin Abd Wad al-Amiri, dedengkot musyrikin Quraisy yang sangat ditakuti.

Nabi bertanya kepada para sahabat tentang siapa yang akan memenuhi tantangan ini. "Siapa yang akan menerima tantangannya?"

Para sahabat terlihat gentar. Nyali mereka surut. Dalam situasi ini Sayyidina Ali bin Abi Thalib maju, menyanggupi ajakan duel Amr bin Abd Wad.
Ali berkata, "Aku Ya Rasulullah".

Melihat Ali yang masih terlalu muda, Nabi lantas mengulangi tawarannya kepada para sahabat. Hingga tiga kali, memang hanya Ali yang menyatakan berani melawan jawara Quraisy itu.
Rasulullah pun mengizinkan.

Amr bin Abd Wad menanggapinya dengan tertawa mengejek.

‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu menyambut tantangan tersebut. ‘Ali berkata: “Wahai ‘Amr, kau pernah menjanjikan kepada Allah, bahwa tidak seorangpun lelaki Quraisy yang menawarkan pilihan kepadamu salah satu dari dua hal melainkan kau terima hal itu darinya.”
Kata ‘Amr: “Betul.”
Kata ‘Ali: “Maka sungguh, saya mengajakmu kepada Allah dan Rasul-Nya, serta kepada Islam.”
‘Amr menukas: “Aku tidak membutuhkan hal itu.”
Kata ‘Ali pula: “Kalau begitu saya menantangmu agar turun (bertanding).”
Kata ‘Amr: “Wahai anak saudaraku, demi Allah. Aku tidak suka membunuhmu.”
‘Ali menjawab tegas: “Tapi saya demi Allah, ingin membunuhmu.”
‘Amr terpancing, diapun turun dan membunuh kudanya, lalu menghadapi ‘Ali.
Mulailah keduanya saling serang, tikam menikam dengan serunya. Pertempuran ini berlangsung selama 1 jam tanpa henti. yang terlihat hanya pasir beterbangan menutupi pertempuran mereka.
Tiba-tiba terdengan teriakan, "Allahu Akbar".
Debu pun surut maka terlihat Amr bin Abdl Wad terkapar karena pahanya terkena sabetan pedang sayidina Ali.

Usai paha kekarnya disabet pedang, Amr bin Abd Wad pun tumbang ke tanah. Kemenagan Ali sudah di depan mata. Hanya dengan sedikit gerakan saja, nyawa musuh dipastikan melayang.
Ali berteriak lagi, "Allahu Akbar...!!". Nabi dan umat Islam ikut menyambut teriak takbir.
Dalam situasi terpojok Amr bin Abd Wad masih menyempatkan diri membrontak. Tiba-tiba ia meludahi wajah sepupu Rasulullah itu. Menaggapi hinaan ini, Ali justru kian pasif(Cuek). Ali menyingkir dan mengurungkan niat membunuh hingga beberapa saat.
Karena merasa diremehkan Ali, maka Amr Abd Wad meludahi wajah sayidina Ali.
”Saat dia meludahi wajahku, aku marah. Aku tidak ingin membunuhnya lantaran amarahku. Aku tunggu sampai lenyap kemarahanku dan membunuhnya semata karena Allah SWT,” kata Ali menjawab kegelisahan sebagian sahabat atas sikapnya.
Meskipun Amr bin Abd Wad akhirnya tewas di tangan Ali.

Karena sangat marah Amr bin Abd Wad serentak menyerang Ali, Namun dengan satu gerakan pedang ‘Ali bin Abi Thalib berhasil membunuh ‘Amr. Akhirnya para prajurit berkuda kafir Quraisy lainnya melarikan diri.

Saat Wajah Sayyidina Ali Diludahi.(Kejadian di perang Khondaq)

Di masa perang Khandaq, umat Islam pernah ditantang duel Amr bin Abd Wad al-Amiri, dedengkot musyrikin Quraisy yang sangat ditakuti. Nabi bertanya kepada para sahabat tentang siapa yang akan memenuhi tantangan ini.

Para sahabat terlihat gentar. Nyali mereka surut. Dalam situasi ini Sayyidina Ali bin Abi Thalib maju, menyanggupi ajakan duel Amr bin Abd Wad. Melihat Ali yang masih terlalu muda, Nabi lantas mengulangi tawarannya kepada para sahabat. Hingga tiga kali, memang hanya Ali yang menyatakan berani melawan jawara Quraisy itu.
Amr bin Abd Wad menanggapinya dengan tertawa mengejek. Namun faktanya, selama perkelahian nasib mujur tetap ada di tangan Ali. Usai paha kekarnya disabet pedang, Amr bin Abd Wad pun tumbang ke tanah. Kemenagan Ali sudah di depan mata. Hanya dengan sedikit gerakan saja, nyawa musuh dipastikan melayang.
Dalam situasi terpojok Amr bin Abd Wad masih menyempatkan diri membrontak. Tiba-tiba ia meludahi wajah sepupu Rasulullah itu. Menaggapi hinaan ini, Ali justru kian pasif. Ali menyingkir dan mengurungkan niat membunuh hingga beberapa saat.
”Saat dia meludahi wajahku, aku marah. Aku tidak ingin membunuhnya lantaran amarahku. Aku tunggu sampai lenyap kemarahanku dan membunuhnya semata karena Allah SWT,” kata Ali menjawab kegelisahan sebagian sahabat atas sikapnya.
Meskipun Amr bin Abd Wad akhirnya tewas di tangan Ali.
-----------------------------------------------------------

Proses peperangan ini memberikan beberapa pelajaran. Perjuangan dan syi'ar Islam harus didasarkan pada ketulusan iman, bukan kebencian dan kemarahan. Sahabat Rasulullah yang kelak menjadi khalifah keempat ini juga menjernihkan bahwa spirit keimanan dan ihlas adalah satu-satunya landasan, mengalahan nafsu keinginan di balik ego pribadi dan golongan.


PERANG KHANDAQ

Perang Khandaq atau Perang Al-Ahzab telah berlaku pada bulan Syawal tahun kelima Hijrah. Perang tersebut adalah kejadian penting sekali dalam sejarah Islam. Oleh kerana perang tersebut merupakan titik penentuan kelanjutan Agama Islam.dalam peperangan tersebut kaum Muslimin ditimpa dengan pelbagai cubaan dan dugaan yang sangat hebat.

Dalam Al-Quran digambarkan seperti berikut:
Ertinya: "Ketika mereka datang kepada kamu dari atas dan dari bawah, dan ketika pandangan telah suram, dan hati telah naik sampai kekerongkongan. Dan ketika itu kamu berprasangka kepada Allah dengan prasangka yang salah. Dikala itu orang-orang beriman mendapat ujian dan perasaan mereka digongang dengan goncangan yang hebat". (Al-Ahzab:10-11)

Surat Al-Ahzab Ayat 10

إِذْ جَاءُوكُمْ مِنْ فَوْقِكُمْ وَمِنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَإِذْ زَاغَتِ الْأَبْصَارُ وَبَلَغَتِ الْقُلُوبُ الْحَنَاجِرَ وَتَظُنُّونَ بِاللَّهِ الظُّنُونَا

(Yaitu) ketika mereka datang kepadamu dari atas dan dari bawahmu, dan ketika tidak tetap lagi penglihatan(mu) dan hatimu naik menyesak sampai ke tenggorokan dan kamu menyangka terhadap Allah dengan bermacam-macam purbasangka.

Surat Al-Ahzab Ayat 11

هُنَالِكَ ابْتُلِيَ الْمُؤْمِنُونَ وَزُلْزِلُوا زِلْزَالًا شَدِيدًا

Disitulah diuji orang-orang mukmin dan digoncangkan (hatinya) dengan goncangan yang sangat.


Sebab utamanya adalah berpunca dari hasutan kaum Yahudi. Sebahagian pemuka Yahudi Banu Nadlir dan Banu Wa'il datang kepadabangsa Quraisy di Mekah. Mereka mencadangkan kaum Quraisy untuk memerangi Rasulullah saw. Sebelum itu mereka telah mencuba untuk berhadapan dengan kaum Muslimin. Namun mereka merasa tidak mampu. Utusan kaum Yahudi itu memujuk kaumQuraisy dengan berbagai cara. Kata kaum Yahudi : " Kami akan bersama-sama dengan kamu sehingga kami dapat menumpaskan Muhammad."

Ucapan kaum Yahudi itu membuat hati bangsa Quraisy senang dan mereka segera mengadakan persiapan untuk berperang. Kemudian utusan Yahudi itu pergi ke Banu Ghatfan untuk menghasut mereka agar bersedia memerangi Rasulullah. Utusan kau mYahudi pergi mengelilingi ke seluruh kabilah bangsa Arab dan mengajukan rencana penyerbuan Kota Madinah yang telah disepakati oleh kaum Quraisy.

Hasutan kaum Yahudi itu menghasilkan perjanjian angkatan perang bersama antara kaum Yahudi, Quraisy dan Banu Ghatfan dalam satu kekuatan. untuk itu mereka saling mengikat perjanjian. Sebagai ganjarannya kaum Yahudi diwajibkan menyerahkan seluruh hasil kurma Khaibar selama setahun penuh. Kaum Quraisy keluar dengan pasukannya sebanyak empat ribu orang. Manakala Banu Ghatfan keluar dengan pasukannya sebanyak enam ribu orang. pimpinan tertinggi dipegang oleh Abu Sufyan bin Harb.

Kebijaksanaan Sandaran Kaum Muslimin
Ketika Rasulullah mendengar berita akan terjadinya penyerbuan terhadap Kota Madinah dan Gabungan pasukan sekutu untuk memerangi kaum Muslimin, untuk menumpas mereka hingga ke akarnya. Lalu baginda menyuruh kaum Muslimin untuk mengadakan persiapan perang.Dan diputuskan pula untuk mengadakan pertahanan dalam Kota madinah. Jumlah tentera kaum Muslimin hanya terkumpul sebanyak tiga ribu orang sahaja. Dalam kesempatan itulah Salman Al-Farsi mengisyratkan agar membuat parit disekitar Kota Madinah.

Cara pertahanan sedemikian itu merupakan cara yang biasa dipakai oleh bangsa Parsi
Kata Salman:
Artinya:" Ya Rasulullah .. dahulu ketika kami di Parsi jika takut akan serbuan tentera kuda maka kami akan menggali parit disekitar kami."

Pendapat Salman tersebut diterima baik oleh Nabi dan segera beliau memerintahkan para sahabatnya untuk menggali parit di sebelah barat daya Madinah iaitu dibahagian yang terbuka yang di khuatiri musuh akan datang dari arah sana. Rasulullah membahagikan tugas penggalian parit. setiap sepuluh orang sahabat ditugaskan untuk menggali sepuluh hasta. Panjangnya parit itu kira-kira lima ribu hasta, dalam sampai sepuluh hasta sedang lebarnya sembilan hasta keatas.

Jiwa Kebersamaan Diantara Kaum Muslimin
Rasulullah ikut sama menggali parit itu agar kaum Muslimin ikut berlumba-lumba dalam mencari pahala. Keran itulah kaum Muslimin beramai-ramai ikut bekerja bersama beliau.
Waktu itu Kota Madinah sedang mengalami musim yang sangat dingin. Sedangkan kaum Muslimin banyak yang tidak mempunyai makanan yang secukupnya. Bahkan adakalanya sehungga tidak mempunyai apa-apa makanan. Kata Abu Thalhah : " Kami pernah mengeluh kepada Rasulullah tentang rasa lapar yang kami deritai. Dan kami selalu mengikat perut kami dengan batu.Manakala Nabi pula mengikat perut baginda dengan dua batu.
Kata Anas: "Waktu itu ketika Nabi keluar beliau saksikan kaum Muhajirin dan kaum Ansar bersama-sama menggali parit disuatu pagi yang amat dingin sekali sedangkan keadaan mereka amat lapar.


Mukjizat Nabi di Khandaq

Makan-makan dirumah sahabat jabir

Pada waktu penggalian Khandaq ini ada mukjizat Nabi yang timbul, iaitu sedang kaum Muslimin sedang menghadapi kesukaran untuk menghancurkan bungkahan batu keras. Nabi menyuruh membawa sebejana air. Kemudian nabi meludah pada air itu dan beliau berdoa kepada Allah, lalu air tersebut disiramkan pada bongkahan batu itu mak batu itu segera hancur seperti pasir.
Selain itu ada juga mukjizat nabi yang lain iaitu timbulnya berkat pada makanan yang sedikit dapat mengenyangkan orang ramai dan mencukupi seluruh pasukan yang ada.
Kata Jabir:" Aku katakan pada Rasulullah :"Ya Rasulullah... izinkan aku untuk pulang sebentar."
Sesampaiku dirumah aku katakan pada isteriku:" Aku lihat sesuatu pada diri beliau yang tidak boleh kita lewatkan. Adakah kamu mempunyai sesuatu?
Jawab isteriku:" Ya aku mempunyai gandum dan seekor anak kambing."

Kemudian anak kambing itu segera kusembelih dan gandum itu ku tumbuk. Daging itu ku masak dalam kuali dan tepung gandum kumasukkan dalam pembakar roti. Aku kembali ke tempat Nabidan kukatakan: "Ya Rasulullah aku ada sedikit makanan marilah engkau datang ke rumahku bersama seorang atau dua orang sahabatmu."

Tanya Nabi: " Berapa banyakkah makanan itu"
Setelah ku sebutkan jumlah makanan itu beliau berkata "Itu cukup banyak. Katakan kepada isterimu jangan diangkat masakan itu dari atas tungku dan roti itu pula jangan sampai dikeluarkan dari tempat pembakarannya sebelum aku datang kesana."
Beliau berseru kepada para sahabatnya " Bangun kamu sekalian"
Seluruh kaum Muhajirin dan Ansar bangkit bersama-sama mengikut Nabi.

Ketika aku masuk ke tempat isteriku ku katakan kepadanya "Nabi datang bersama kaum Muhajirin dan Ansar dan orang yang bersama mereka.
Nabi berkata " Masuklah kamu semua dan jangan berebut"

Kemudian Nabi memotong-motong roti dan dicampurkan pada daging serta kuah yang ada di kuali. Kemudian beliau mendekatkan hidangan pada sahabat sedangkan baginda tetap memotong-motong roti itu sedangkan para sahabat makan sehingga kenyang.
Setelah mereka makan hingga kenyang, masih lagi terdapat roti dan kuah yang masih bersisa. Baginda berkata: "Berikan makanan itu kepada orang kerana sekarang ini musim sejuk"

Pasukan musuh datang dari segenap penjuru
Kaum Quraisy dan Bani Ghatfan dtang bersama tentera-tenteranya, dihadapan Kota Madinah. Nabi juga keluar bersama pasukannya yang berjumlah tiga ribu orang. Kedua pasukan ini hanya dipisahkan oleh parit yang digali oleh kaum Muslimin.

Antara kaum Muslimin dan kaum Yahudi Banu Quraizah telah terjali perjanjian persahabatan. Pada hari itu Huyay bin Akhtab seorang pemuka Yahudi Bani Nadlir datang kepada mereka dan memujuk agar mereka mahu melanggari perjanjian yang telah diikat bersama dengan kaum Muslimin. Pada mulanya mereka enggan untuk melaksanakan cadangan Huyay bin Akhtab. Namun akhirnya mereka menyatakan persetujuan untuk melanggar perjanjian dengan Kaum Muslimin. Pernyataan kaum Yahudi banu Quraizah itu menyebabkan menjadi kucar kacir.

Disamping itu kaum Munafiqin mula memainkan peranan mereka. Hampir saja mengadakan perdamaian dengan kabilah Banu Ghatfan dengan memberi sepertiga hasil kurma Madinah. kerana Nabi merasa sayang kepada kaum Ansar kerana mereka telah menanggng bebanan yang berat.
Namun Nabi memendamkan niatnya setelah mengetahui akan ketabahan dan ketetapan hati kedua sahabat Ansar baginda iaitu Saad bin Muaz dan Saad bin Ubadah untuk menghadapi musuh. Kata Saad bin Muaz " Ya Rasulullah dahulu ketika kami dan mereka masih dalam keadaan menyengutukan Allah dan menyembah berhala dan tidak menyembah Allah mahu mengenalnya, mereka tidak pernah menerima kurma dari kami selain dengan jalan hutang atau beli.Apakah kini setelah Allah memuliakan kami dengan Islam dengan memberi petunjuk kami kepada Islam serta kami bangga dengan engkau dan Allah akan kami berikan harta kami kepada mereka? Demi Allah kamu\i tidak perlu berdamai. Demi Allah kami tidak rela memberikan kepada mereka sesuatu selain pedang sampai Allah memutuskan sesuatu antara kami dan mereka."
Ucapan Saad ini dijawab oleh Nabi: "Terpulang mengikut kehendakmu"

Perbedaan Tentera Islam dan Kafir
Rasullah dan kaum Muslimin tetap berada di medan Khandaq. Begitu juga dengan tentera musuh. Antara kedua pasukan itu tidak terjadi peperangan besar selain beberapa orang tentera mereka yang cuba untuk melepasi parit pemisah dengan menggunakan kuda mereka.

Namun mereka hanya terhenti dipinggir parit. Ketika mereka melihat parit yang dibuat oleh kaum Muslimin mereka berkata " Sebenarnya ini adalah taktik pertahan yang tidak pernah dikenal oleh bangsa Arab"

Kemudian mereka mencari jarak parit yang paling sempit. Setelah itu mereka berusaha untuk melepasi parit itu dengan kuda mereka dan mereka pun berhasil masuk ke Madinah. Salah seorang dari mereka yang berhasil melepasi parit itu adalah pahlawan mereka yang terkenal iaitu Amru bin Abdu Wudin. Ia mampu mengetuai seribu orang tentera Quraisy. Ketika ia sampai berhampiran barisan Islam ia berteriak minta bertanding.
Ali maju kehadapan dan berkata ' Hai Amru! Kamu telah berjanji kepada Allah jika ada seorang Quraisy yang menawarkan kepadamu dua perkara pasti kamu akan menerima salah satu darinya."
Jawab Amru " Benar"
Kata Ali: " Aku mengajak kamu kembali kepada Allah dan RasulNya serta masuk kedalam Islam"
Jawab Amru aku tidak perlu kepada ajakanmu."
Jawab Ali: " Kalau begitu aku ajak kamu untuk bertanding."
Jawab Amru: " Mengapakah kamu mengajak ku demikian wahai anak saudaraku? Demi Allah aku tidak ingin untuk membunuhmu"
Jawab Ali: " Akan tetapi aku ingin sekali untuk membunuhmu"
Mendengar ucapanm Ali bin Abi Thalib, Amru naik pitam dan kudanya dibunuh kemudian ia maju ke hadapan Ali untuk bertanding. Keduanya saling beradu kekuatan sampai Ali bin Abi Thalib dapat membunuh Amru.
------------------------------------------------
SIKAP KAUM MUNAFIQIN
1. Mengingkari janji Allâh dan Rasul-nya
Kaum Muslimin mengimani dan membenarkan berita Rasûlullâh yang mengabarkan tentang hal-hal yang akan terjadi, termasuk kabar tentang beberapa penaklukan. Sikap kaum Muslimin ini sesuai dengan firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala dalam al-Qur’ân.

وَلَمَّا رَأَى الْمُؤْمِنُونَ الْأَحْزَابَ قَالُوا هَٰذَا مَا وَعَدَنَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَصَدَقَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ ۚ وَمَا زَادَهُمْ إِلَّا إِيمَانًا وَتَسْلِيمًا


“Dan tatkala kaum Mukminin melihat golongan-golongan yang bersekutu itu, mereka berkata, “Inilah yang dijanjikan Allâh dan Rasûl-Nya kepada kita.” Dan benarlah Allâh dan Rasûl-Nya. Dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan. [al-Ahzâb/33:22]

Sikap ini bertolak belakang dengan sikap orang-orang munafiq yang menganggap janji itu sebagai tipu daya belaka. Allah wa Jalla berfirman :

وَإِذْ يَقُولُ الْمُنَافِقُونَ وَالَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ مَا وَعَدَنَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ إِلَّا غُرُورًا


Dan (ingatlah) ketika orang-orang munafiq dan orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya berkata, “Allâh dan rasul-Nya tidak menjanjikan kepada kami melainkan tipu daya.” [al-Ahzâb/33:22]

2. Mencari-cari alasan supaya bisa tidak ikut berperang dan memendam keinginan untuk mengacaukan barisan kaum Muslimin
Inilah diantara sikap orang-orang munafiq saat kaum Muslimin berhadapan dengan musuh yang berlipat ganda jumlah dan kekuatannya. Tidak hanya itu, mereka juga berusaha melemahkan semangat kaum Muslimin dari dalam.Namun, Allâh k menyelamatkan kaum Muslimin dari akibat buruk ulah mereka dengan menyebutkan niat buruk mereka dalam al-Qur’ân.[3]

KEINGINAN RASULULLAH BERDAMAI DENGAN KABILAH GATHAFAN
Setelah penggalian parit tuntas, tidak lama setelah itu, pasukan gabungan yang berjumlah sepuluh ribu pasukan tiba di kota Madinah, sementara kaum Muslimin sudah bersiap di seberang parit.

Melihat pasukan musuh dalam jumlah yang sangat besar dan kuat, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berniat untuk memperkecil kekuatan musuh agar bisa mengurangi beban kaum Muslimin akibat perang. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berniat mengadakan perdamaian dengan kabilah Gathafan dengan syarat sebagai berikut :

1. Qabilah Gathafan harus menarik kembali pasukannya dari medan perang

2. Sebagai imbalannya, Rasûlullâh menyerahkan sepertiga hasil panen kaum Anshâr.

Namun keinginan ini dibatalkan setelah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar pendapat dua tokoh Anshâr yaitu Sa’ad bin Muâ’z dan Sa’ad bin Ubâdah yang tidak menyetujuinya. Keduanya menolak setelah tahu dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa niat perdamaian ini semata mata keinginan Rasûlullâh dan bukan wahyu dari Allâh Azza wa Jalla.[4]

PENGKHIANATAN BANI QURAIZHAH
Beban yang dirasakan oleh kaum Muslimin semakin bertambah berat setelah mendengar bani Quraizhah melanggar perjanjian damai. Dan yang sangat mengkhawatirkan kaum Muslimin adalah kemungkinan mereka akan menyerang dari belakang, karena pemukiman bani Quraizhah terletak di sebelah timur daya Madinah. Kondisi genting ini di abadikan dalam al-Qur’ân.

إِذْ جَاءُوكُمْ مِنْ فَوْقِكُمْ وَمِنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَإِذْ زَاغَتِ الْأَبْصَارُ وَبَلَغَتِ الْقُلُوبُ الْحَنَاجِرَ وَتَظُنُّونَ بِاللَّهِ


“Ketika mereka datang kepadamu dari atas dan dari bawahmu, dan ketika tidak tetap lagi penglihatan(mu) dan hatimu naik menyesak sampai ke tenggorokan dan kamu menyangka yang bukan-bukan terhadap Allâh.[al-Ahzaab/33:10]

Untuk memastikan berita tersebut, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menawarkan kepada para shahabat untuk mencari kabar tentang bani Quraizhah. Tawaran Rasûlullâh ini direspon oleh Zubair bin Awwam. Setelah mendapatkan kabar yang pasti dari Zubair tentang pengkhiatan bani Quraizhah, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh setiap nabi memiliki penolong dan penolongku adalah Zubair.”[5]

Pengkhianatan bani Quraizhah ini tidak lepas dari bujukan seorang Yahudi bernama Hayyi bin Akhtab yang berhasil meyaqinkan Ka’ab bin As’ad untuk membatalkan perjanjian dengan kaum Muslimin.[6]
_______
Footnote
[1]. HR. Bukhari, no.(Fathul Bâri, ta’liq Syekh bin Baz, Bâb Ghazwatil Khandaq, 7/395).
[2]. Musnad Imam Ahmad:(30/626), Fathul Bâri, ta’liq Syekh bin Baz, Bâb Ghazwatil Khandaq, 7/397.
[3]. Baca al-Qur’an Surat al-Ahzâb/33 ayat ke-13 sampai 20.
[4]. Lihat As-Sîratun Nabawiyah fi Dhau’il Mashâdiril Ashliyyah, hlm. 450 dan as-Sîratun Nabawiyyah as-Shahîhah, 427
[5]. Fathul Bâri, ta’liq Syekh bin Baz, Bâb Ghazwatil Khandaq, 7/406 dan Shahîh Muslim, 7/127.
[6]. As-Sîratun Nabawiyah, Ibnu Hisyâm, 2/220; As-Sîratun Nabawiyah fi Dhau’il Mashâdiril Ashliyyah, hlm. 451; as-Sîratun Nabawiyyah as-Shahîhah, 427).

Siasat nabi dalam perang Khondaq
Milik Allah Segala Tentera Langit dan Bumi
Pasukan Musyrikin mengadakan pengepungan terhadap pasukan Islam dengan ketat sekali. Seolah-olah bagaikan satu benteng. Mereka mengadakan pengepungan dari segenap penjuru selama sebulan. Sehinggakan kaum Muslimin merasa semakin sukar dan tersepit. Pada masa itula kaum Munafiqin bersiap-siap untuk menjalankan taktik-taktik jahatnya. Ketika Rasulullah dan Para sahabatnya sedang dicekam oleh rasa takut tiba-tiba datang seorang yang bernama Nuiam bin Masud berkata kepada Rasulullah:
Artinya: " Ya Rasulullah sesungguhnya aku telah masuk Islam. dan kaumku tidak tahu keislamanku. kerana itu perntahkan padaku sesukamu"
Jawab Nabi: " Sebenarnya kamu termasuk dari golongan kami.

Berusahalah mengikut kehendakmu untuk meringankan kami, sesungguhnya perang itu adalah tipu muslihat"
kemudian Nuaim mula menjalankan muslihatnya. Beliau datang ke tempat kaum Yahudi Banu Quraizah untuk menimbulkan keraguan didalam hati orang Yahudi tentangkeikhlasan kaum uaraisy dan Banu Ghatfan untuk berperang disamping mereka. dan diterangkan pula bahaya yang akan menimpa mereka jika mereka berperang disamping kaum Quraisy dan Banu Ghatfan untuk memerangi kaum Muhajirin dan kaum Ansar yang menjadi tetangga kaum Yahudi. Kerana itu beliau menganjurkan mereka agar tidak jadi perang disamping kaum Quraisy dan Banu Ghatfan sebelum mereka memberikan beberapa orang yang terkemuka dari kaumnya untuk dijadikan sebagai tanggungan ditangan mereka. Cadangan Nuiam bin Masud diterima oleh kaum Yahudi dengan baik.

Selanjutnya Nuaim bin Masud pergi ketempat kaum Qurausy dengan pura-pura menunjukkan keikhlasannya serta memberikan nasihat. Beliau mengatakan bahawa kaum Yahudi menyesal atas perjanjian yang telah dibuat dengan kaum Quraisy dan mereka pasti akan meminta beberapa orang yang terkemuka sebagai tanggungan untuk mereka agar dapat diserahkan kepada Nabi dan kaum Muslimin untuk dibunuh. Setelah itu Nuaim juga pergi ke tempat Banu Ghatfan untuk menghasut mereka seperti yang dilakukannya kepada kaum Quraisy.
Hasil daripada hasutan Nuaim tersebut kedua suku itu mula merasa ragu-ragu dan benci terhadap kaum Yahudi. Perpecahan dikalangan tentera sekutu mulai timbul. Setiap golongan merasa khuatir terhadap kawan sendiri.

Ketika Abu Sufyan dan pemuka-pemuka kaum Ghatfan menuntut untuk segera memulai penyerangan secara terbuka terhadap kaum Muslimin, kaum Yahudi mulai merasa enggan. Bahkan kaum Yahudi menuntut dari merka untuk diserahkan beberapa orang sebagai tanggungan buat mereka. Dengan ini kaum Qurausy dan kaum Ghatfan merasa yakin dengan apa yang diperkatakan oleh Nuaim bin Mas'ud. Kerana itu mereka tidak bersedia untuk memenuhi permintaan kaum Yahudi. Demikian pula kaum Yahudi pun juga yakin akan kebenaran apa yang dikatakan oleh Nuaim bin Mas'ud. Sehingga kedua belah pihak saling mencela dan berpecah belah.


Kejadian dahsyat pada perang Khondaq

Allah menolong Nabi Muhammad saw dengan mengirimkan angin yang berhembus dimalam hari yang amat dingin kepada pihak musuhnya. Angin tersebut dapat memporak-perandakan kuali-kuali dan khemah-khemah mereka. Abu Syufyan bangun dan berkata kepada pasukannya:
Artinya: 
"Hai kaum Quarisy! Sesungguhnya kamu sekarang tidak mampu lagi untuk bertahan disini kerana kambing-kambing dan unta-unta kami telah habis, kaumYahudi Banu Quraiza pun telah mengingkari janjinya dan telah sampai kepada kami berita yang tidak kami ingini dari mereka. Kami juga diserang oleh anginkencang seperti yang kalian lihat seperti yang kamu semua lihat. Oleh itu beredar(bubarlah) kamu dan aku juga akan segera beredar".

Kemudian Abu Sufyan bangun menuju kepada untanya yang tertambat dan segera berlalu. Ketika kaum Ghatfan mendengar kaum Quraisy telah pun beredar mereka pun segera kembali ketempat asal mereka. 

Ketika Khudaifah Ibnul Yaman yang diutuskan oleh Nabi untuk mengitip ditengah-tengah barisan musuh datang memberitahu kepada baginda apa yang dilakukan oleh pasukan musuh waktu itu baginda sedang bersolat.

Pada waktu paginya Nabi beserta seluruh pasukannya segera meninggalkan medan peperangan Kahndaq menuju Madinah untuk meletak senjata.
Peperangan itu berakhir dengan bermundurnya bangsa Quraisy untuk selama-lamanya dan mereka tidak pernah datang lagi untuk memerangi kaum Muslimin selepas itu. Dalam peperangan Khandaq ini kaum Muslimin yang terbunuh sebanyak tujuh orang sedangkan pasukan musuh ada empat orang.

Semoga bermanfaat.