Kamis, 13 April 2017

Pernikahan Nabi dengan Zaenab

Sebelum terjadi perang Khondaq ada peristiwa yaitu penikahan nabi dengan Zainab binti Jahsy
Zainab: Wanita yang Dinikahkan Langsung oleh Allah
Nama dan Nasab Zainab

Dia adalah Ummul Mu’minin Zainab bintu Jahsy bin Riab bin Ya’mar bin Shabirah bin Murrah Al-Asadiyyah. Ibunya adalah Umaimah bintu Abdul Muthallib bin Hasyim bibi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari pihak ayahnya.

Sifat-sifatnya

Dia adalah seorang wanita yang cantik parasnya, merupakan penghulu para wanita dalam hal agamanya, wara’nya, kezuhudannya, kedermawanannya, dan kebaikannya.

Pernikahannya dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

Sebelum menikah dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Zainab telah menikah dengan Zaid bin Haritsah, maula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang kemudian dijadikan anak angkat oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Zaid bin Harist merupakan budak dari Jusbul Qomar(Orang Hitam) pemberian dari istri pertama nabi yaitu Siti Khodijah.
Zaid bin Haris watat di perang Mu'tah.

Dialah satu-satunya sahabat nabi yang namanya tertulis dan diceritakan oleh Allah dalam Al Qur'an.
QS. Al-Ahzab: 37,

Zaid adalah salah seorang hamba sahaya milik Khadijah binti Khuwailid. Ketika Rasulullah menikahi Khadijah, dia memberikan Zaid binti Haritsah kepada beliau. Dan itu terjadi sebelum masa kenabian Muhammad. Zaid kemudian tinggal di rumah Nabi Muhammad. Kemudian keluarga Zaid mencarinya ke Makkah, dan ingin menebusnya. Mereka datang kepada Nabi untuk memintanya dari beliau. Kemudian beliau memberi pilihan kepadanya antara tetap tinggal bersama beliau atau ikut keluarganya. Zaid lebih memilih untuk bersama Nabi daripada harus bersama keluarganya.

Bahkan suatu ketika bapaknya Zaid ingin menebusnya namun Zaid tetap kokoh suka tinggal bersama rasulullah.
Kata bapaknya, "Nak, kamu milih tinggal bersama bapak apa tinggal bersama Muhammad?"
Jawab Zaid, "Aku tetap akan tinggal bersama rasulullah ayah".
Bapaknya merasa aneh dan menyelidiku, Namun dia setelah mengetahui ahlaq rasulullah yang begitu mulia, maka dia sadar akan pilihan anaknya seraya berkata,
"Pantas anakku lebih memilih tinggal bersama Muhammad, orangnya begitu mulia dan agung"

Apa tidak bangga menjadi anak seorang yang disegani, namun Allah berkehendak lain, Karena anak angkat tidak boleh dinisbatkan atau dibinkan kepada bapak angkat (Hukum Tabani = larangan menisbatkan anak angkat ke bapak angkat).

Rasulullah mengumumkan Zaid sebagai anak angkat

Rasulullah lantas keluar ke tempat Hajar Aswad, dan bersabda, “Wahai hadirin sekalian, saksikanlah bahwa Zaid adalah anakku, dia mewarisiku dan aku mewarisinya.” Beliau memanggilnya dengan Zaid bin Muhammad, hingga turunlah firman Allah:

مَّاكَانَ مُحَمَّدٌ أَبَآ أَحَدٍ مِّن رِّجَالِكُمْ وَلَكِن رَّسُولَ اللهِ

“Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu” (Al-Ahzab 5).

Nabi Muhammad sangat menyayangi Zaid. Ketika Zaid telah memasuki usia menikah, beliau memilihkan Umamah (Zainab), anak perempuan dari bibinya. Namun Zainab dan saudaranya, Abdullah, tidak menyetujui pernikahan itu. Zainab berkata kepada Rasulullah, “Aku tidak rela akan diriku, sedangkan aku adalah gadis Quraisy.” Namun Nabi menghendaki agar Zainab dan Abdullah mau menerima pernikahan itu.

Zaid melamar Zainab.

Sebagai seorang pemuda Zaid ingin menikah maka bilang kepada Rasulullah,
"Ya Rasulullah, saya ingin menikah".
"Siapa pilihanmu?"
"Zainab", Kata Zaid.

Keluarga Zainab sempat tidak setuju.

Kemudian rasulullah mengutus sahabat untuk meminang Zainab. Awalnya ada keluarga Zaenab yang tidak setuju, namun karena ketaatan Zaenab kepada Allah dan Rasulnya maka lamaran itu diterima Walaupun sebenarnya mereka tidak cocok dalam status sosial(Hamba sahaya dan Bangsawan). Kalau dalam ilmu fikih disebut "Tidak Khufu" atau "Kurang Cocok".

Dan itu terbukti setelah perkawinan mereka berlangsung dalam kehidupan hubungan sehari-hari sering tidak nyambung baik itu dalam komunikasi, tingkahlaku dll.
Sehingga akhirnya Zaid memutuskan untuk menceraikan Zainab, Walau sebetulnya Zaid masih cinta namun apadaya.

Untuk menghapun rasa kecewa Zaid, Allah SWT mencantumkan namanya didalam Al Qur'an.
QS. Al-Ahzab: 37,

وَإِذْ تَقُولُ لِلَّذِي أَنْعَمَ اللهُ عَلَيْهِ وَأَنعَمْتَ عَلَيْهِ أَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوْجَكَ وَاتَّقِ اللهَ وَتُخْفِي فِي نَفْسِكَ مَااللهُ مُبْدِيهِ وَتَخْشَى النَّاسَ وَاللهُ أَحَقُّ أَن تَخْشَاهُ فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِّنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لاَيَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَآئِهِمْ إِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَرًا وَكَانَ أَمْرُ اللهِ مَفْعُولاً

“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: ‘Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah,” sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap isterinya (menceraikannya). Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.” (QS. Al-Ahzab: 37)


Ketaatan, keridhaan, dan keikhlasan Zainab merefleksikan kekuatan iman dan relasinya yang baik dengan Allah…

Nabi berkata kepada Zainab, “Nikahilah dia, sesungguhnya aku telah meridhainya untukmu.” Sebelum Zainab ragu tentang pernikahan ini, Allah menurunkan firman-Nya:

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata” (Al-Ahzab 36).

Setelah ayat tersebut diturunkan, Zainab dan saudaranya berkata, “Kami menyetujui, wahai Rasulullah.” Zainab berkata, “Aku telah menyetujui untuk dinikahkan, wahai Rasulullah.” Beliau kemudian bersabda, “Aku Telah merestuimu.” Zainab kembali berkata, “Jadi, aku tidak berbuat maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, karena engkau telah menikahkannya denganku.”

Dengan sikapnya ini, Zainab telah memberikan contoh yang terbaik bagi kita dalam melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya.
Demikian, seharusnya sikap yang wajib dilakukan terhadap Allah dan Rasul-Nya. Menolak ketetapan dan hukum yang ditentukan Allah dan Rasul-Nya merupakan perilaku yang buruk, keras hati, serta tidak sesuai dengan sikap yang diajarkan Islam. Ketaatan, keridhaan, dan keikhlasan Zainab merefleksikan kekuatan iman dan relasinya yang baik dengan Allah.

Zainab telah memberikan teladan terbaik dalam melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya. Demikian, seharusnya sikap yang wajib dilakukan terhadap Allah dan Rasul-Nya...


Mu'jizat pernikahan dengan Zaenab


Maka Allah nikahkan Zainab dengan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan nash Kitab-Nya tanpa wali dan tanpa saksi. Dan Zainab biasa membanggakan hal itu di hadapan Ummahatul Mukminin (istr-istri Nabi) yang lain, dengan mengatakan, “Kalian dinikahkan oleh wali-wali kalian, sementara aku dinikahkan oleh Allah dari atas ‘Arsy-Nya.”
(Diriwayatkan oleh Zubair bin Bakar dalam Al-Muntakhob min Kitab Azwajin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 1:48 dan Ibnu Sa’d dalam Thabaqah Kubra, 8:104-105 dengan sanad yang shahih).

Bukti Allah SWT yang menikahkah rasulullah dengan Zainab di surat Ah Ahzab : 37 :

فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِّنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لاَيَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَآئِهِمْ إِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَرًا وَكَانَ أَمْرُ اللهِ مَفْعُولاً

Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap isterinya (menceraikannya). Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.” (QS. Al-Ahzab: 37)

Di saat pernikahan Zainab dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terjadi keajaiban yang merupakan mukjizat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana diceritakan oleh Anas bin Malik,

“Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikah dengan Zainab, ibuku berkata kepadaku, ‘Wahai Anas sesungguhnya hari ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjadi pengantin dalam keadaan tidak punya hidangan siang, maka ambilkan wadah itu kepadaku!’ Maka aku berikan kepadanya wadah dengan satu mud kurma, kemudian dia membuat hais dalam wadah itu, kemudian ibuku berkata, ‘Wahai Anas berikan ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan istrinya!’ Kemudian datanglah aku kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa hais tersebut dalam sebuah bejana kecil yang terbuat dari batu, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Wahai Anas letakkan dia di sisi rumah dan undanglah Abu Bakar, Umar, Ali, Utsman, dan beberapa orang lain!’ Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata lagi, ‘Undang juga penghuni masjid dan siapa saja yang engkau temui di jalan!’ Aku berkata, ‘Aku merasa heran dengan banyaknya orang yang diundang padahal makanan yang ada sedikit sekali, tetapi aku tidak suka membantah perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka aku undanglah orang-orang itu sampai penuhlah rumah dan kamar dengan para undangan.’ Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggilku seraya berkata, ‘Wahai Anas apakah engkau melihat orang yang melihat kita?’ Aku berkata, ‘Tidak wahai Nabiyullah’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Bawa kemari bejana itu!’ Aku ambil bejana yang berisi hais itu dan aku letakkan di depannya. Kemudian Rasulullah membenamkan ketiga jarinya ke dalam bejana dan jadilah kurma dalam bejana itu menjadi banyak sampai makanlah semua undangan dan keluar dari rumah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan kenyang.”
(Diriwayatkan oleh Firyabi dalam Dalail Nubuwwah, 1:40-41 dan Ibnu Sa’d dalam Thabaqah Kubra 8:104-105).

Orang munafiq menggunjing

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Zainab orang-orang munafiq menggunjingnya dengan mengatakan: ‘Muhammad telah mengharamkan menikahi istri-istri anak dan sekarang dia menikahi istri anaknya!, maka turunlah ayat Allah,

مَّاكَانَ مُحَمَّدٌ أَبَآ أَحَدٍ مِّن رِّجَالِكُمْ وَلَكِن رَّسُولَ اللهِ

“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi.” (QS. Al-Ahzab: 40)

Dan Allah berfirman,

ادْعُوهُمْ لأَبَآئِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِندَ اللهِ

“Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah.” (QS. Al-Ahzab: 5)

Maka sejak saat itu Zaid dipanggil dengan Zaid bin Haritsah yang dia sebelumnya biasa dipanggil dengna Zaid bin Muhammad (Al-Isti’ab, 4:1849-1850)
Sehingga dalam hukum fiqih anak angkat tidak boleh dinisbatkan atau dibinkan kepada bapak angkat.


Turunnya Ayat Hijab

Anas bin Malik berkata, “Aku adalah orang yang paling tahu tentang turunnya ayat hijab, ketika terjadi pernikahan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Zainab, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyiapkan hidangan dan mengundang para sahabat sehingga mereka datang dan masuk ke rumahnya. Ketika itu Zainab sedang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam rumah, kemudian para sahabat berbincang-bincang, saat itu keluarlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kemudian kembali dalam keadaan para sahabat duduk-duduk di rumahnya, saat itu turunlah firman Allah,

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتَدْخُلُوا بُيُوتَ النَّبِيِّ إِلآَّ أَن يُؤْذَنَ لَكُمْ إِلَى طَعَامٍ غَيْرَ نَاظِرِينَ إِنَاهُ وَلَكِنْ إِذَا دُعِيتُمْ فَادْخُلُوا فَإِذَا طَعِمْتُمْ فَانتَشِرُوا وَلاَمُسْتَئْنِسِينَ لِحَدِيثٍ إِنَّ ذَلِكُمْ كَانَ يُؤْذِي النَّبِيَّ فَيَسْتَحْيِ مِنكُمْ وَاللهُ لاَيَسْتَحْيِ مِنَ الْحَقِّ وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَسْئَلُوهُنَّ مِن وَرَآءِ حِجَابٍ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya), tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu ke luar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang hijab (tabir).” (QS. Al-Ahzab: 53)
Saat itu berdirilah para sahabat dan diulurkan hijab. (Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d dalam Thabaqoh Kubra, 8:105-106 dengan sanad yang shahih)


Keutamaan-keutamaan Zainab

Aisyah berkata, “Zainab binti Jahsyi yang selalu menyaingiku di dalam kedudukannya di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak pernah aku melihat wanita seperti Zainab dalam hal kebaikan agamanya, ketaqwaannya kepada Allah, kejujurannya, silaturrahimnya, dan banyaknya shadaqahnya.” (Al-Isti’ab, 4:1851)

Ini Link Kitabnya :
https://archive.org/stream/AlIsteeab/Isteeab01#page/n12/mode/2up


Zainab istri nabi yang paling panjang tanganya atau suka bersedekah


Aisyah berkata, “Suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada istri-istrinya, ‘yang paling cepat menyusulku dari kalian adalah yang paling panjang tangannya,’ Aisyah berkata, ‘Maka kami setelah itu jika berkumpul saling mengukur tangan-tangan kami di tembok sambil melihat mana yang paling panjang, tidak henti-hentinya kami melakukan hal itu sampai saat meninggalnya Zainab, padahal dia adalah wanita yang pendek dan tidaklah tangannya paling panjang di antara kami, maka tahulah kami saat itu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memaksudkan panjang tangan adalah yang paling banyak bershadaqah. Adalah Zainab seorang wanita yang biasa bekerja dengan tangannya, dia biasa menyamak dan menjahit kemudian menshadaqahkan hasil kerjanya itu di jalan Allah’,” (Muttafaq Alaih)
Suatu saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Umar, “Sesungguhnya Zainab adalah wanita yang awwahah.” Seseorang bertanya, “Apa yang dimaksud dengan awwahah wahai Rasulullah?” Rasulullahs shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Yang khusyu lagi merendahkan diri di hadapan Allah.” (Al-Isti’ab, 4:1852)

Karomah do'a Zainab menjelang wafatnya


Dari Barzah binti Rofi dia berkata, “Suatu saat Umar mengirimkan sejumlah uang kepada Zainab, ketika sampai kepadanya Zainab berkata, ‘Semoga Allah mengampuni Umar, sebenarnya selain aku lebih bisa membagi-bagikan ini,’ mereka berkata, ‘Ini semua untukmu,’ Zainab berkata, ‘Subhanallah, letakkanlah uang-uang itu dan tutupilah dengan selembar kain!’ kemudian dia bagi-bagikan uang itu kepada kerabatnya dan anak-anak yatimnya dan dia berikan sisanya kepadaku yang berjumlah delapan puluh lima dirham, kemudian dia mengangkat kedua tangannya ke langit dan berdoa, ‘Ya Allah jangan sampai aku mendapati pemberian Umar lagi setelah tahun ini.’ Tidak lama kemudian dia meninggal dunia.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d dalam Thabaqoh Kubra, 8:105-106)

Peran Zainab di Dalam syiar Islam

Zainab binti Jahsyi termasuk deretan istri-istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjaga dan menyampaikan sunah-sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara deretan perawi yang meriwayatkan hadis dari beliau adalah saudaranya Muhammad bin Abdullah bin Jahsyi, Ummul Mu’minin Ummu Habibah bintu Abi Sufyan, Zainab bintu Abi Salamah, dan selain mereka dari kalangan shahabat dan tabi’in.

Wafatnya

Zainab binti Jahsyi wafat di Madinah pada tahun 20 Hijriyyah di masa kekhilafahan Umar, saat Mesir ditaklukkan oleh kaum muslimin, waktu itu beliau berusia 53 tahun. Beliau dikuburkan di pekuburan Baqi. Semoga Allah meridhainya dan membalasnya dengan kebaikan yang melimpah.

Rujukan:
Thabaqoh Kubra oleh Ibnu Sa’ad (8:101-1150, Al-Muntakhob min Kitab Azwajin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam oleh Zubair bin Bakar (1:48), Dalail Nubuwwah 1:40-41 oleh Firyabi, Siyar A’lamin Nubala oleh Adz-Dzahabi (2:211-218), Al-Ishabah oleh Ibnu Hajar (7:667-669), dan Al-Isti’ab oleh Ibnu Abdil Barr. (4/1849-1452).

Ummahatul Mu'minin (Para istri Muhammad)

Khadijah binti Khuwailid
Saudah binti Zum'ah
Aisyah binti Abu Bakar
Hafshah binti Umar
Zainab binti Khuzaimah
Hindun binti Abi Umayyah
Zainab binti Jahsy
Juwairiyah binti al-Harits
Ramlah binti Abu Sufyan
Shafiyah binti Huyay
Maimunah binti al-Harits
Maria Qipty binti Syama’un

Zainab binti Jahsy bin Ri`ab al-Asadiyyah



 زينب بنت جحش بن رئاب الأسدية


atau lebih dikenal dengan Zainab binti Jahsy (lahir pada tahun 33 Sebelum H/590, wafat di Madinah pada tahun 20 H/641) adalah sepupu dan istri dari Nabi Muhammad S.A.W, dan termasuk dari Ibu Para Mukminin.

Daftar isi

1 Nasabnya
2 Kehidupannya
3 Wafat
4 Referensi

Nasabnya

Ayahnya: Jahsyi bin Ri`ab bin Yu'ammar bin Shabrah bin Kabir bin Ghanam bin Dudan bin Asad bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma'ad bin Adnan. Jahsyi adalah sekutu bagi pembesar Quraisy, Abdul Muthalib.[1]
Ibunya: Umaimah binti Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdu Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka'ab bin Lu`ay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin an-Nadhar bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma'ad bin Adnan. Umaimah adalah bibi dari Nabi Muhammad S.A.W.[2]

Kehidupannya

Ia masuk Islam sejak lama, kemudian hijrah bersama Nabi Muhammad S.A.W ke Madinah, setelah itu menikah dengan Zaid bin Haritsah, kemudian diceraikan oleh Zaid, maka turunlah ayat di al-Qur'an surat al-Ahzab mengenai pernikahan nabi Muhammad S.A.W dengan Zainab, maka menikahlah nabi dengannya, pada awalnya ia bernama Barrah, kemudian namanya diganti menjadi Zainab, dan karenanyalah turun ayat mengenai hijab. Ia dikenal sebagai pribadi yang sering bersedekah.
Wafat

Ia merupakan istri nabi yang paling pertama wafat setelah kematian nabi, tepatnya pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab di tahun 20 H. Ia wafat pada usia 53 tahun dan dimakamkan di Jannatul Baqi
Referensi

^ Sirah Ibnu Hisyam
^ Sirah Ibnu Hisyam


Zainab binti Jahsy alias Barroh : Muslimah Patriotik, Berjiwa Besar dan Dermawan

DIA ADALAH Zainab binti Jahsy bin Riab bin Ya’mar Al-Asadiyah, dari Bani Asad bin Khuzaimah Al-Mudhari. Ibunya bernama Umayyah binti Abdul Muthalib bin Hasyim, dan paman-pamannya adalah Hamzah dan Al-Abbas, keduanya adalah anak Abdul Muthalib.
Zainab termasuk wanita yang taat dalam beragama, wara’, dermawan, dan baik. Selain itu, dia juga dikenal mulia dan cantik, serta termasuk wanita terpandang di Makkah. Nama aslinya adalah Barrah, namun Nabi Muhammad SAW menyebutnya Zainab. Dinyatakan dalam hadits Al-Bukhari dan Muslim, dari Zainab binti Abu Salamah, dia berkata,

“Namaku adalah Barrah, akan tetapi Rasulullah kemudian memberiku nama Zainab.”
(HR. Muslim dalam Al-Adab, 14/140).

Zainab memeluk Islam di Makkah dan sempat mengalami siksaan dari orang-orang kafir Quraisy. Namun dia tetap bersabar dan mengharapkan ridha Allah, hingga akhirnya dia ikut berhijrah ke Habasyah (Ethiopia). Bersama kaum muslimin lainnya, Zainab kembali ke Makkah, hingga akhirnya Allah mengizinkannya untuk berhijrah ke Madinah Al-Munawwarah. Zainab termasuk wanita yang pertama kali berhijrah dan memiliki sikap patriot yang diabadikan dalam buku-buku sejarah.


Pernikahan Zaid dengan Zainab

…Zainab memiliki sikap patriot yang diabadikan dalam buku-buku sejarah…

Ketaatannya kepada Allah

Zaid adalah salah seorang hamba sahaya milik Khadijah binti Khuwailid. Ketika Rasulullah menikahi Khadijah, dia memberikan Zaid binti Haritsah kepada beliau. Dan itu terjadi sebelum masa kenabian Muhammad. Zaid kemudian tinggal di rumah Nabi Muhammad. Kemudian keluarga Zaid mencarinya ke Makkah, dan ingin menebusnya. Mereka datang kepada Nabi untuk memintanya dari beliau. Kemudian beliau memberi pilihan kepadanya antara tetap tinggal bersama beliau atau ikut keluarganya. Zaid lebih memilih untuk bersama Nabi daripada harus bersama keluarganya.

Rasulullah lantas keluar ke tempat Hajar Aswad, dan bersabda, “Wahai hadirin sekalian, saksikanlah bahwa Zaid adalah anakku, dia mewarisiku dan aku mewarisinya.” Beliau memanggilnya dengan Zaid bin Muhammad, hingga turunlah firman Allah:

“Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu” (Al-Ahzab 5).

Nabi Muhammad sangat menyayangi Zaid. Ketika Zaid telah memasuki usia menikah, beliau memilihkan Umamah (Zainab), anak perempuan dari bibinya. Namun Zainab dan saudaranya, Abdullah, tidak menyetujui pernikahan itu. Zainab berkata kepada Rasulullah, “Aku tidak rela akan diriku, sedangkan aku adalah gadis Quraisy.” Namun Nabi menghendaki agar Zainab dan Abdullah mau menerima pernikahan itu.

Zaid melamar Zainab.

Sebagai seorang pemuda Zaid ingin menikah maka bilang kepada nabi,
"Ya Rasulullah, saya ingin menikah".
"Siapa pilihanmu?"
"Zainab", Kata Zaid.
Kemudian rasulullah mengutus sahabat untuk meminang Zainab. Sebelumnya ada keluarga Zaenab yang tidak setuju, namun karena ketaatan Zaenab kepada Allah dan Rasulnya maka lamaran itu diterima Walaupun sebenarnya mereka tidak cocok dalam status sosial(Hamba sahaya dan Bangsawan). Kalau dalam ilmu fikih disebut "Tidak Khufu"
Dan itu terbukti setelah perkawinan mereka berlangsung dalam kehidupan hubungan sehari-hari sering tidak nyambung baik itu dalam komunikasi, tingkahlaku dll.
Sehingga akhirnya Zaid memutuskan untuk menceraikan Zainab.

…Ketaatan, keridhaan, dan keikhlasan Zainab merefleksikan kekuatan iman dan relasinya yang baik dengan Allah…

Nabi berkata kepada Zainab, “Nikahilah dia, sesungguhnya aku telah meridhainya untukmu.” Sebelum Zainab ragu tentang pernikahan ini, Allah menurunkan firman-Nya:

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata” (Al-Ahzab 36).

Setelah ayat tersebut diturunkan, Zainab dan saudaranya berkata, “Kami menyetujui, wahai Rasulullah.” Zainab berkata, “Aku telah menyetujui untuk dinikahkan, wahai Rasulullah.” Beliau kemudian bersabda, “Aku Telah merestuimu.” Zainab kembali berkata, “Jadi, aku tidak berbuat maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, karena engkau telah menikahkannya denganku.”
Dengan sikapnya ini, Zainab telah memberikan contoh yang terbaik bagi kita dalam melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya.
Demikian, seharusnya sikap yang wajib dilakukan terhadap Allah dan Rasul-Nya. Menolak ketetapan dan hukum yang ditentukan Allah dan Rasul-Nya merupakan perilaku yang buruk, keras hati, serta tidak sesuai dengan sikap yang diajarkan Islam. Ketaatan, keridhaan, dan keikhlasan Zainab merefleksikan kekuatan iman dan relasinya yang baik dengan Allah.

…Zainab telah memberikan teladan terbaik dalam melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya. Demikian, seharusnya sikap yang wajib dilakukan terhadap Allah dan Rasul-Nya...

Menjaga Lisan dari Kesalahan

Setelah berpisah dengan Zaid, Zainab kemudian dinikahi oleh Rasulullah. Dengan demikian, dia menempati kedudukan mulia, karena menjadi bagian dari Ummahatul Mukminin. Bahkan, Aisyah pernah berkata, “Tidak ada seorang pun dari istri-istri Nabi yang kedudukannya menyamaiku di sisi beliau selain Zainab.”
Sekalipun tampak ada persaingan antara Zainab dan Aisyah dalam mendapatkan kasih sayang Rasulullah, namun Zainab tetap membela Aisyah pada peristiwa tuduhan kebohongan (haditsul-ifki). Aisyah berkata, “Tidak ada seorang pun dari istri-istri Nabi yang kedudukannya menyamaiku di sisi beliau selain Zainab. Zainab telah dilindungi Allah dalam agama, sehingga dia tidak mengatakan kecuali yang baik.
Dalam suatu riwayat dari Aisyah, dia berkata, “Rasulullah bertanya kepada Zainab binti Jahsy tentang masalahku, dan beliau berkata kepada Zainab, “Apa yang engkau ketahui atau bagaimana pendapatmu?” Dia menjawab, “Wahai Rasulullah, aku melindungi pendengaranku dan penglihatanku. Demi Allah, aku tidak mengetahui kecuali yang baik.” Aisyah berkata, “Dialah yang menyamaiku dari istri-istri Nabi, maka Allah melindunginya dengan sikap wara’.”
Memang Allah telah melindunginya dan menjaga lisannya dari berkomentar buruk tentang Aisyah. Sikap ini merupakan sikap patriotik yang sungguh luar biasa. Kendati antara Aisyah dan Zainab seakan-akan terselip persaingan dalam mendapatkan kasih sayang Rasulullah, namun Zainab dengan besar hati membela madunya. Dia tidak menggunakan kesempatan itu untuk berkomentar tentang kehormatan Aisyah, dan tidak pula ada keinginan untuk menjelek-jelekkannya. Hendaknya muslimah belajar darinya bagaimana seharusnya menjalin hubungan dengan sesamanya.

…Zainab tidak memiliki kedengkian. Hendaknya muslimah belajar darinya bagaimana seharusnya menjalin hubungan dengan sesamanya..
Zainab tidak memiliki kedengkian kepada Aisyah. Islam telah mengajarkan kepada kita untuk toleran. Dengan kata lain, hubungan dengan sesama harus dibangun di atas dasar cinta, hormat, kasih sayang, dan keikhlasan. Dengan demikian, kehidupan akan berjalan sesuai dengan yang diridhai Allah dan Rasulullah.

Berinfaq di Jalan Allah

Setelah Rasulullah wafat, Zainab konsisten untuk tetap tinggal di rumahnya untuk beribadah kepada Allah. Dia mengalami masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Khalifah Umar bin Al-Khatthab., Umar kerap memberikan tunjangan hidup kepada setiap istri Rasulullah sebanyak dua belas ribu Dirham.
Ketika Ummul Mukminin Zainab menerima tunjangan itu dari Umar, dia tidak menyisakan satu Dirham pun untuk dirinya. Dia menginfakkannya secara keseluruhan kepada kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin. Suatu ketika Umar bin Al-Khatthab mengirimkan kepadanya harta dalam jumlah banyak. Zainab lalu berkata, “Semoga Allah mengampuni Umar. Ummahatul Mukminin selain aku, lebih dermawan dalam membagi-bagikan harta ini.” Dikatakan kepadanya, “Semua harta ini untukmu.”
Zainab kemudian berkata, “Mahasuci Allah Yang Mahaagung.” Dia lalu menutupi harta itu dengan sebuah kain. Dia berkata, “Bungkuslah dengan kain.” Dia lalu menyuruh Barzah binti Rafi’, sembari berkata, “Wahai Barzah, masukkan tanganmu, lalu ambillah segenggam darinya dan bawalah kepada Fulan, kemudian kepada Bani Fulan.”
Zainab kemudian menyebutkan orang-orang dari kerabatnya, anak-anak yatim yang dikenalnya, dan orang-orang miskin. Barzah binti Rafi’ berkata, “Semoga Allah mengampuni dosamu, wahai Ummul Mukminin. Demi Allah sesungguhnya kita memiliki hak dalam dirham-dirham itu.” Zainab berkata, “Apa yang ada di bawah kain itu adalah milik kalian.”
Barzah berkata, “Kami lalu menghitung harta itu dan kami mendapatkannya sejumlah 1285 Dirham.” Zainab kemudian mengangkat tangannya ke langit dan berkata, “Ya Allah, semoga aku tidak lagi mendapatkan pemberian Umar setelah tahun ini.” Allah mengabulkan doa kezuhudannya, dan dia pun wafat pada tahun itu.

…Zainab dikenal sebagai wanita yang mulia, dermawan, dan selalu berlomba-lomba dalam kebaikan. Keagungan sikapnya mengindikasikan kekuatan iman dan hubungannya dengan Allah…
Demikianlah, kita menyaksikan sosok Zainab yang melihat harta sebagai fitnah. Dia dikenal sebagai wanita yang mulia, dermawan, dan selalu berlomba-lomba dalam kebaikan. Dia juga menjalin hubungan baik dengan para kerabat dan sanak keluarganya. Alangkah agung sikapnya dalam kehidupan. Hal itu mengindikasikan kekuatan iman dan hubungannya dengan Allah.

Wallahu 'alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar