Jumat, 14 April 2017

Alasan sampainya hadiah pahala kepada mayat

Bismillahirrohmaannirrohiim.
Allahumma Sholli Alaa Muhammad.. Wa ;alaa aali Sayyidina Muhammad.
Ketika berdebat dengan jemaah Salafi terkait perkara yang mereka anggap bid`ah, biasanya ada pertanyaan dan pernyataan mereka yang membuat dada terasa sesak, dan kepala terasa pusing.
Penyebabnya, pertanyaan dan pernyataan itu terlihat sebagai jurus pamungkas dan pukulan andalan mereka, agar lawan debat tumbang tidak berkutik lagi. Ditambah lagi biasanya, dengan diiringi gaya bahasa dan gerak tubuh yang menunjukkan bahwa pemahamannya 'sudah pasti benar'. Ketika lawan tidak bisa menjawab lagi, maka berarti pertarungan sudah usai, dan tropi kebenaran dianggap sudah di tangan.

Pertanyaan dan pernyataan yang saya maksudkan di sini adalah, semisal redaksi berikut:

(1). Apakah Nabi dan para sahabat pernah melakukan amalan seperti itu?,
(2). Kalau itu memang baik, niscaya Nabi otomatis sudah menganjukan umat untuk melakukannya, dan
(3). Kalau itu memang baik, niscaya para sahabat telah lebih dahulu melakukannya.

Kalau pertanyaan dan pernyataan semacam ini dijawab oleh orang awam, ustad atau kiyai, yang mereka nilai sudah tidak 'nyunnah', maka dijamin jawaban tersebut tidak berpengaruh pada diri mereka, bahkan bisa jadi akan membuat mereka semakin merasa di atas angin.
Mari kita ambil satu contoh saja, agar pesan ini menjadi lebih jelas. Ketika memperdebatkan hukum kirim pahala bacaan Quran kepada orang yang meninggal (mayat), pihak salafi akan mudah dan cepat melemparkan pertanyaan atau pernyataan seperti di atas kepada lawan debatnya.
Anda sebagai lawan debat umpamanya, akan diserang dengan redaksi semisal: (1). Apakah Nabi dan para Sahabat pernah mengirimkan pahala bacaan Quran kepada mayat?, (2). Kalau kirim pahala bacaan Quran kepada mayat itu baik, niscaya Nabi otomatis sudah menganjurkan umatnya untuk melakukan itu, dan (3). Kalau kirim pahala bacaan Quran itu baik, niscaya para sahabat telah lebih dahulu melakukannya.
Itulah contoh pertanyaan dan pernyataan yang akan dihadapi dalam masalah ini. Kalau anda jawab sementara anda di mata mereka tidak selevel dengan ustad atau para masyaikh mereka, maka alamat kecaman dan penilaian negatif yang akan anda terima. Kalau diam saja tidak menjawab, maka anda dinilai sudah kalah dan salah.

Apakah memang sedahsyat dan sesakti itu pertanyaan atau pernyataan mereka itu, sehingga dianggap sebagai tolak ukur kebatilan dan ketidakabsahan sebuah amalan?
Sekarang, mari kita lihat pula bagaimana sikap ulama besar semisal Ibnul Qayyim al-Jauziyyah; murid terdekat dari syaikh Ibn Taimiyah, saat dihadapkan pada pertanyaan atau pernyataan seperti di atas; apakah beliau diam menyerah lantaran sudah terdesak oleh 'kebenaran', atau malah tetap menjawab dan mengomentarinya.

Untuk mengetahui hal itu, kita bisa menelaah salahsatu karya tulisnya yang dikenal dengan nama ar-Ruuh. Kabarnya, kitab ini menuai kontroversial di kalangan salafi. Ada yang menerima secara penuh, menolak totalitas, dan ada juga yang menerima dengan catatan. Diantara catatannya, kitab ini dianggap sebagai presentasi dari keilmuan Ibnul Qayyim sebelum berguru kepada syaikh Ibn Taimiyah. Padahal, dalam kitab itu jelas sekali beliau menyebutkan nama sang guru, ditambah lagi adanya kesamaan pandangan yang dikemukakan Ibnul Qayyim di dalamnya, dengan penjelasan oleh Ibn Taimiyah dalam Majmuu` Fataawi-nya.
Dalam kitab ar-Ruuh terkait persoalan amalan kirim pahala bacaan Quran, Ibnul Qayyim terlihat setuju dengan pendapat yang mengatakan amalan itu boleh dilakukan. Bahkan, beliau membantah argumentasi kalangan yang berpendapat sebaliknya.

Nah, salahsatu argumentasi mereka yang beliau bantah adalah seperti berikut ini, yaitu:

فإن قيل : فهذا لم يكن معروفًا في السلف، ولا يمكن نقله عن واحد منهم مع شدة حرصهم على الخير، ولا أرشدهم النبي صلى الله عليه وسلم، وقد أرشدهم إلى الدعاء، والاستغفار، والصدقة، والحج، والصيام؛ فلو كان ثواب القراءة يصل لأرشدهم إليه، ولكانوا يفعلونه.

"Jika ada yang bertanya, amalan kirim pahala bacaan Quran kepada mayat itu tidak dikenal di kalangan Salaf. Tidak ada orang yang bisa menukil keberadaan amalan seperti itu dari satu orang Salaf saja, sementara para Salaf itu sangat kuat perhatiannya dengan amalan yang baik. Dan Nabi pun tidak pernah mengajarkan pada para Salaf tentang amalan kirim pahala bacaan Quran, sementara Nabi jelas pernah mengajarkan pada mereka tentang mendoakan dan memohon ampunan untuk orang mati, bersedekah, menghajikan dan berpuasa untuk orang mati. JADI, KALAU MEMANG KIRIM PAHALA BACAAN QURAN ITU SAMPAI KEPADA MAYAT, MAKA OTOMATIS NABI TELAH MENGAJARKANNYA, DAN MEREKA PUN TENTU MELAKUKANNYA".

Perhatikan, Ibnul Qayyim di sini secara jelas membuat semacam pernyataan yang isinya senada dengan pernyataan yang biasa ditembakkan oleh jemaah salafi, ketika kita berdebat dalam persoalan semacam ini.

Lantas, bagaimana Ibnul Qayyim menyikapi hal ini?

Beliau ternyata menjawab dengan jawaban seperti berikut ini:

فالجواب : أن مورد هذا السؤال إن كان معترفًا بوصول ثواب الحج، والصيام، والدعاء، والاستغفار، قيل له : ما هذه الخاصية التي منعت وصول ثواب القرآن، واقتضت وصول ثواب هذه الأعمال ؟ وهل هذا إلا تفريق بين المتماثلات ؟

"Jawabannya, jika si penanya dengan pertanyaan semacam ini mengakui kiriman pahala haji, puasa, doa dan istighfar itu bisa sampai kepada mayat, maka pertanyaan yang harus dijawab adalah, apa penyebab khusus yang membuat kiriman pahala bacaan Quran tidak sampai, sedangkan kiriman pahala ibadah selain itu justru bisa sampai? Bukankah ini hanya sekedar membeda-bedakan antara perkara-perkara yang serupa?".

وإن لم يعترف بوصول تلك الأشياء إلى الميت، فهو محجوج بالكتاب والسنة والإجماع وقواعد الشرع.

"Tapi kalau si penanya itu tidak mengakui kiriman pahala semua amal ibadah tadi itu bisa sampai, maka orang seperti ini bisa ditundukkan terkait hal ini dengan merujuk pada dalil Quran, Sunnah, Ijmak dan kaidah-kaidah Syariat".

Lalu, Ibnul Qayyim menjelaskan kenapa amalan kirim pahala bacaan Quran itu tidak terlacak di kalangan salaf. Beliau mengatakan:

وأما السبب الذي لأجله [ لا ] يظهر ذلك في السلف، فهو أنهم لم يكن لهم أوقاف على من يقرأ ويهدي إلى الموتى، ولا كانوا يعرفون ذلك ألبتة، ولا كانوا يقصدون القبر للقراءة عنده كما يفعله الناس اليوم، ولا كان أحدهم يشهد من حضره من الناس على أن ثواب هذه القراءة لفلان الميت، ولا ثواب هذه الصدقة والصوم.

"Penyebab amalan kirim pahala bacaan Quran itu tidak nampak di masa salaf adalah, karena mereka tidak memiliki harta wakaf untuk diberikan pada orang yang baca Quran dan menghadiahkannya kepada orang-orang yang telah wafat. Bahkan, salaf samasekali tidak mengenali kegiatan seperti itu. Mereka juga tidak mendatangi kuburan untuk membaca Quran seperti yang dilakukan oleh masyarakat saat ini. Mereka juga tidak pernah memberitahukan pada rekannya, bahwa pahala bacaan Quran-nya saat itu ditujukan untuk mayat si anu, begitu pula dengan pahala ibadah sedekah dan puasanya".

Ibnul Qayyim menambahkan:

ثم يقال لهذا القائل : لو كلفت أن تنقل عن واحد من السلف أنه قال : اللهم ثواب هذا الصوم لفلان، لعجزت؛ فإن القوم كانوا أحرص شيئ على كتمان أعمال البر، فلم يكونوا ليشهدوا على الله بإيصال ثوابها إلى أمواتهم.

"Sampaikan pada si penanya, andai anda ditugaskan untuk mencari keterangan dari satu orang salaf saja, yang pernah mengatakan: Ya Allah, pahala puasa saya ini untuk si Anu, maka dijamin anda tidak akan bisa melakukannya. Sebab, Salaf itu sangat suka menyembunyikan amal kebaikannya, sehingga mereka tidak pernah memberitahukan bahwa bahwa pahala amal kebaikannya ditujukan untuk orang-orang yang wafat dari kalangannya".

Tidak hanya sampai di situ, Ibnul Qayyim kembali mengulangi pertanyaan mereka yang serupa, dengan mengatakan:

فإن قيل : فرسول الله صلى الله عليه وسلم أرشدهم إلى الصوم، والصدقة، والحج؛ دون القراءة.

"Jika ada lagi yang bertanya, tapi kan Rasulullah pernah mengajarkan para sahabat terkait berpuasa, bersedekah, dan berhaji untuk orang yang mati, sedangkan membaca Quran untuk orang mati Rasulullah tidak pernah mengajarkan pada mereka".

Ibnul Qayyim kembali menjawab:

قيل : هو صلى الله عليه وسلم [ لا] يبتدئهم بذلك، بل خرج ذلك منه مخرج الجواب لهم، فهذا سألهم عن الحج عن ميته فأذن له، وهذا سأله عن الصيام عنه فأذن له، وهذا سأله عن الصدقة فأذن له، ولم يمنعهم مما سوى ذلك. وأي فرق بين وصول ثواب الصوم الذي هو مجرد نية وإمساك؛ بين وصول ثواب القراءة والذكر؟!

"Jawabannya, bukan Nabi yang memulai membahas hal itu, melainkan penjelasan Nabi terkait itu merupakan jawaban dari pertanyaan mereka. Ada sahabat bertanya tentang menghajikan keluarganya yang telah wafat, lalu Nabi mengizinkan. Ada pula sahabat bertanya tentang berpuasa untuk orang yang wafat, lalu Nabi lagi-lagi membolehkan. Ada lagi sahabat bertanya tentang bersedekah untuk orang mati, lantas Nabi juga mengizinkan. Dan Nabi samasekali tidak melarang mereka melakukan yang lainnya. Apa sih bedanya, antara sampainya kiriman pahala puasa yang hanya berupa niat dan menahan diri, dengan sampainya kiriman pahala bacaan Quran dan zikir?!".

Ibnul Qayyim secara tegas lagi mengatakan:

والقائل إن أحدًا من السلف لم يفعل ذلك قائل ما لا علم له له، فإن هذه شهادة على نفي ما لم يعلمه، فما يدريه أن السلف كانوا يفعلون ذلك ولا يشهدون من حضرهم عليه؟ بل يكفي اطلاع علام الغيوب على نياتهم ومقاصدهم، لا سيما والتلفظ بنية الإهداء لا يشترط كما تقدم.

"Orang yang mengatakan bahwa tidak ada satu pun dari kalangan Salaf yang melakukan pengiriman pahala bacaan Quran, pada hakikatnya dia itu telah mengatakan sesuatu yang tidak diketahuinya. Sebab, ucapan seperti itu menunjukkan bahwa dirinya bersaksi atas sesuatu yang dia sendiri belum ketahui. Bisa jadi, dia tidak tahu bahwa Salaf justru pernah mengirimkan pahala bacaan Quran-nya, tanpa memberitahukan hal itu kepada sesamanya. Padahal, dengan menyampaikan niat dan tujuan kepada Allah saja, itu sudah cukup. Terlebih lagi, melafalkan niat menghadiahkan pahala amal ibadah itu bukanlah sebuah syarat yang mesti dilakukan.

[Wallaahua`lam]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar