Kamis, 13 April 2017

Antara Uhud dan Perang Khondag(Ahzab-Parit)

Sebelum terjadi perang Khondag banyak peristiwa yang dialami oleh para sahabat, Seperti sahabat diutus nabi kemudian dibunuh oleh orang kafir, karana katanya mereka ingin belajar Islam, tapi setelah ditempatnya bukanya dilndungi malah dibunuh. dan kejadian lain. Termasuk wafatnya para sahabat akibat cidera dalam perang.

Wafatnya Abu Salamah

Abu Salamah radhiyallahu ‘anhu adalah saudara sepersusuan Nabi. Beliau berdua pernah disusui oleh Tsuwaibah, bekas budak wanita Abu Lahab. Abu Salamah pernah melakukan 2 kali hijrah (ke Habasyah dan ke Madinah). Beliau juga pernah ikut dalam perang Badr dan perang Uhud, kemudian meninggal setelah perang Uhud.

Setelah Perang Uhud, semua dunia tahu kalau kaum Muslim mendapat musibah, bahwa Muslim kalah dan  lemah, tidak memiliki kekuatan. Berita ini tersebar kemnana-mana.

Adalah satu kabilah, yaitu Bani Asad bin Khuzaimah, mereka sedang menggalang kekuatan bersama kaumnya dan mereka yang patuh kepada mereka untuk menyerang Madinah.

Mendengar hal tersebut maka rasulullah memerintahkan dan bersabda, :
“Kita jangan kalah gertak,” kata Rasulullah saw, “Sebelum mereka menyerang, kita serang lebih dulu.”

Maka seketika itu pula beliau mengirim satuan pasukan dengan kekuatan 150 personil dari Muhajirin dan Anshar.
Beliau menunjuk Abu Salamah sebagai komandan dan sekaligus pembawa benderanya. Kemudian berangkat dan  Abu Salamah dan langsung menggulung Bani Asad di perkampungan mereka sebelum mereka bangkit melakukan serangan ke Madinah. Karena tak menyangka akan mendapat serangan yang mendadak seperti itu, akhirnya mereka kocar-kacir. Alhasil, orang-orang Muslim bisa mendapatkan kemenangan dan harta rampasan yang banyak. Setelah itu, pasukan Muslimin kembali lagi ke Madinah dalam keadaan utuh dengan membawa harta rampasan tanpa harus berperang.

Peristiwa ini terjadi tepat munculnya hilal bulan Muharram 4 H. Karena ada infeksi pada luka yang didapatkannya sewaktu Perang Uhud, maka tak lama kemudian setelah itu Abu Salamah meninggal dunia.

Betapa sedihnya Umi Salamah. Kemudian warga Madinah pun menguburkan jenazahnya termasuk rasulullah menghadiri serta mendo'akan.

وَعَنْ أُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: ( دَخَلَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَلَى أَبِي سَلَمَةَ رضي الله عنه وَقَدْ شُقَّ بَصَرُهُ فَأَغْمَضَهُ, ثُمَّ قَالَ: "إِنَّ اَلرُّوحَ إِذَا قُبِضَ, اتَّبَعَهُ الْبَصَرُ" فَضَجَّ نَاسٌ مِنْ أَهْلِهِ, فَقَالَ: "لَا تَدْعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ إِلَّا بِخَيْرٍ. فَإِنَّ اَلْمَلَائِكَةَ تُؤَمِّنُ عَلَى مَا تَقُولُونَ". ثُمَّ قَالَ: "اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِأَبِي سَلَمَةَ, وَارْفَعْ دَرَجَتَهُ فِي اَلْمَهْدِيِّينَ, وَافْسِحْ لَهُ فِي قَبْرِهِ, وَنَوِّرْ لَهُ فِيهِ, وَاخْلُفْهُ فِي عَقِبِهِ ) رَوَاهُ مُسْلِمٌ

Doa Nabi s.a.w. kepada Abi Salamah r.a. ketika kematiannya sebagaimana yang diriwayatkan dari Ummu Salamah r.a.:
“Rasulullah s.a.w. masuk kepada jenazah Abu Salamah (pada hari kematiannya) dan sesungguhnya matanya terbuka, lalu baginda memejamkannya (yakni baginda menutup kelopak matanya dengan tangan baginda). Kemudian Nabi bersabda: “Sesungguhnya ruh ketika dicabut, diperhatikan oleh mata (yakni ketika ruh ditarik keluar dari badan, mata melihat ke mana ruh pergi)”. Lalu beberapa orang dari keluarganya berpekikan(menjerit). Maka Nabi bersabda: “Janganlah kamu menyeru kepada mayat-mayat kamu melainkan dengan suatu kebaikan kerana sesungguhnya para malaikat mengaminkan apa yang kamu ucapkan”. Kemudian Nabi s.a.w. berdoa:

اللَّهمَّ اغْفِرْ لأَبِي سَلَمَةَ، وَارْفَعْ دَرَجَتَهُ فِي الْمَهْدِيِّينَ، وَاخْلُفْهُ فِي عَقِبِهِ فِي الْغَابِرِينَ، وَاغْفِرْ لَنَا وَلَهُ يَا رَبَّ الْعَالَمِينَ، وَافْسَحْ لَهُ فِي قَبْرِهِ، وَنَوِّرْ لَهُ فِيهِ

“Ya Allah! Berilah keampunan kepada Abi Salamah. Angkatlah darjatnya di kalangan orang-orang yang diberi petunjuk. Jadilah penggantinya bagi anak-anaknya yang masih tinggal. Kurniakanlah ampunan untuk kami dan untuknya, wahai Tuhan sekelian alam. Lapangkanlah untuknya di dalam kuburnya dan terangilah untuknya di dalam kuburnya”.(Riwayat Imam Muslim)

Begitulah berkat doa Baginda Rasulullah s.a.w yang Ummu Salamah ucapkan selepas dari pada kematian suami tersayangnya. Doa apa?

إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ اللَّهُمَّ أْجُرْ نِيْ فِيْ مُصِيْبَتِيْ وَأَخْلِفْ لِيْ خَيْرًا مِنْهَا

Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun, allahumma ajurni fii musiibatii wakhlufli khoiron minhaa
“Sesungguhnya kami milik Allah dan sesungguhnya kepada-Nyalah kami akan kembali. Ya Allah, berilah pahala atas musibah yang menimpaku dan berilah saya ganti yang lebih baik darinya.”(Muslim).

Hadis di atas menjadi dalil bahawa do'a orang hidup akan memberi manfaat kepada si mati sekalipun doa itu bukan datang dari anaknya.

Berdasarkan hadis ini, para ulama’ tersebut menyimpulkan; ‘Bacaan al-Quran jika diqasadkan(diperuntukkan, dihadiahkan) untuk manfaat orang hidup (seperti untuk menyembuhkan penyakit dalam hadis di atas), maka surah itu memberi manfaat kepadanya dan diakui oleh Nabi dengan kata baginda; ‘Bagaimana kamu tahu bahawa ia (yakni surah al-Fatihah) adalah jampi?’, maka tidak ada sebab untuk kita menafikan manfaatnya untuk orang mati, malah ia lebih aula (utama)’. (Lihat; Al-Fiqhul-Islami wa Adillatuhu, Syeikh Wahbah az-Zuhaili, jil. 2, hlm. 552).

Selain itu dikiaskan juga masalah ini kepada doa, istighfar, dan sedekah tadi yang disepakati oleh sekelian ulamak bahawa ia akan sampai kepada si mati dan memberi faedah untuknya. Jika doa, istighfar dan sedekah akan sampai kepada si mati maka tidak mustahil bahawa bacaan al-Quran, zikir dan tahlil juga akan sampai dan memberi manfaat kepadanya lebih-lebih lagi jika amalan-amalan tersebut disusuli dengan doa selepasnya. Ini sebagaimana yang disarankan oleh Imam Ibnu as-Sholah; “Hendaklah bacaan al-Quran atau zikir itu diakhiri dengan ucapan:

اَللَّهُمَّ أَوْصِلْ ثَوَابَ مَا قَرَأْنَاهُ لِفُلاَنٍ

“Ya Allah! Sampaikanlah pahala apa yang telah kami bacanya kepada si fulan…”.

Di mana dengan ucapan tersebut, kita menjadikannya sebagai doa untuk si mati dan telah dinyatakan tadi bahawa doa orang hidup bermanfaat untuk si mati. Hal ini telah dipersetujui oleh sekelian ulama’.

Kemudian,
Ummu Salamah, istri Abu Salamah, teringat doa Abu Salamah ketika mau berangkat ke medan perang,

اللهم اجعل فى بيتى بدلا خيرا منى

“Ya Allah, jadikanlah seorang pengganti di rumah ini yang lebih baik daripadaku.”

Ummu Salamah berpikir, siapa yang lebih baik daripada Abu Salamah ya? Karena saat itu, kalau sudah ditinggal mati suaminya, maka tidak ada lagi yang menanggungnya.

Datanglah Umar bin Khaththab melamarnya, karena Umar adalah teman baik Abu Salamah. Lihatlah, zaman itu, para sahabat menikah dengan tujuan mulia, untuk menanggung beban hidup seorang wanita. Namun Ummu Salamah menolaknya. Datang Abu Bakar melamarnya, Ummu Salamah juga menolaknya.

Sampai akhirnya Rasulullah saw yang datang melamarnya,
“Saya memerlukan Anda, Ya Ummu Salamah.”
“Ya Rasulullah, saya ini perempuan yang gampang marah dan cemburu. Kalau seandainya nanti aku marah, kau akan menjadi marah padaku. Jika kau marah padaku, nanti Allah akan murka kepadaku. Itu yang aku takutkan,” jawab Ummu Salamah.
“Aku akan berdoa kepada Allah, agar kau menjadi wanita yang paling sabar,” kata beliau.

Maka wanita yang paling sabar di antara istri-istri Rasulullah saw adalah Ummu Salamah.
“Bagaimana dengan anak-anakku?” tanya Ummu Salamah.
“Anak-anakmu adalah anak-anakku juga, anak-anakku adalah anak-anakmu juga,” jawab beliau.

Rasulullah juga menjawab tentang calon istrinya yang merasa sudah berusia, bahwa beliau pun telah berusia bahkan lebih. Jelas jauh berbeda, karena saat itu Rasul telah berusia 57 tahun. Setidaknya terpaut 30 tahun beda dengan Ummu Salamah.

Kecemburuan A'isyah kepada Umu Salamah

Berita tentang kecantikan Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha sempat meletupkan kecemburuan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Ketika itu ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha sangat bersedih. Dia menahan diri sampai memiliki kesempatan melihat Ummu Salamah.
Tatkala datang kesempatan itu, ‘Aisyah melihat kecantikan Ummu Salamah berkali lipat daripada gambaran yang sampai padanya. Dia beritahukan hal itu kepada Hafshah radhiyallahu ‘anha.
Hafshah pun menjawab, “Tidak, demi Allah. Itu tidak lain hanya karena kecemburuanmu saja. Dia tidaklah seperti yang kaukatakan, namun dia memang cantik.”
‘Aisyah pun mengisahkan, “Setelah itu, aku sempat melihatnya lagi dan dia memang seperti yang dikatakan oleh Hafshah.”

Maka menikahlah Rasulullah saw dengan Ummu Salamah. Saat itu Ummu Salamah diberikan gelar, Ummul Mukminin, ibu kaum mukminin.

Disalin dari buku "Tata Cara Mengurus Jenazah Sesuai Sunnah Nabi Shollallaahu Alaihi Wasallam (Syarh Kitab al-Janaiz Min Bulughil Maram)". Penerbit Pustaka Hudaya, halaman 30-33.

Berlanjut...


Catatan :

Do’a Ketika Menutup Mata Orang Mati
Kesunnahan Setelah Ruh Dicabut

1. Memejamkan kedua matanya dengan mengusap wajahnya sambil membaca do'a :

بسم الله وعلى ملة رسول الله صلى الله عليه وسلم

"Dengan menyebut nama Allah semoga tetap berada dalam agama rasulillahi sholallahu 'alaihi wasalam".
(Kitab Nihayatu Zain)

Bila belum berhasil maka tariklah kedua lengan dan ibu jari kakinya secara bersamaan.


1. MEMEJAMKAN MATA MAYIT YANG TERBUKA

429- وَعَنْ أُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: ( دَخَلَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَلَى أَبِي سَلَمَةَ رضي الله عنه وَقَدْ شُقَّ بَصَرُهُ فَأَغْمَضَهُ, ثُمَّ قَالَ: "إِنَّ اَلرُّوحَ إِذَا قُبِضَ, اتَّبَعَهُ الْبَصَرُ" فَضَجَّ نَاسٌ مِنْ أَهْلِهِ, فَقَالَ: "لَا تَدْعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ إِلَّا بِخَيْرٍ. فَإِنَّ اَلْمَلَائِكَةَ تُؤَمِّنُ عَلَى مَا تَقُولُونَ". ثُمَّ قَالَ: "اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِأَبِي سَلَمَةَ, وَارْفَعْ دَرَجَتَهُ فِي اَلْمَهْدِيِّينَ, وَافْسِحْ لَهُ فِي قَبْرِهِ, وَنَوِّرْ لَهُ فِيهِ, وَاخْلُفْهُ فِي عَقِبِهِ ) رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Dari Ummu Salamah Radliyallaahu 'anha ia berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam masuk ke rumah Abu Salamah sewaktu matanya masih terbuka, lalu beliau memejamkan matanya. Kemudian berkata: "Sesungguhnya ruh itu bila dicabut maka pandangannya mengikutinya." Maka menjeritlah orang-orang dari keluarganya, lalu beliau bersabda: "Janganlah kamu berdoa untuk dirimu sendiri kecuali demi kebaikan, karena sesungguhnya Malaikat itu mengamini apa yang kamu ucapkan." Kemudian beliau berdoa: "Ya Allah berilah ampunan kepada Abu Salamah, tinggikanlah derajatnya ke tingkat orang-orang yang mendapat petunjuk, lapangkanlah baginya dalam kuburnya, terangilah dia di dalamnya, dan berilah penggantinya dalam turunannya." (Riwayat Muslim).

PENJELASAN:
Salah satu bentuk kemuliaan akhlaq Nabi adalah beliau biasa mengunjungi orang sakit. Nabi mengunjugi Abu Salamah yang sakit. Ketika dijenguk Nabi, Abu Salamah meninggal dunia dalam keadaan matanya terbuka. Kemudian Nabi menutup mata Abu Salamah, sambil berkata: Sesungguhnya ruh jika dicabut, akan diikuti oleh pandangan.
Mendengar sabda Nabi demikian, para kerabat dan keluarga yang berada di dekat jenazah Abu Salamah berteriak. Mereka baru tahu bahwa Abu Salamah telah meninggal. Mengetahui hal itu, Nabi membimbingkan kepada mereka untuk tidak mendoakan keburukan untuk diri mereka seperti kebiasaan Jahiliyyah, karena para Malaikat mengaminkan doa tersebut.
Kemudian Nabi mendoakan Abu Salamah dengan doa yang sangat indah, yaitu : permohonan ampunan Allah untuk Abu Salamah, pengangkatan derajatnya, perluasan dan penerangan di kuburnya, dan agar diberi pengganti yang baik untuk keluarga yang ditinggalkan (istri dan anak-anaknya).
Abu Salamah radhiyallahu ‘anhu adalah saudara sepersusuan Nabi. Beliau berdua pernah disusui oleh Tsuwaibah, bekas budak wanita Abu Lahab. Abu Salamah pernah melakukan 2 kali hijrah (ke Habasyah dan ke Madinah). Beliau juga pernah ikut dalam perang Badr dan perang Uhud, kemudian meninggal setelah perang Uhud.
Beberapa faidah yang bisa diambil dari hadits ini:
1. Disunnahkan memejamkan mata mayit yang terbuka dengan lemah lembut.
2. Larangan mendoakan keburukan seperti yang dilakukan orang-orang jahiliyyah. Jika mereka mendapatkan musibah, akan mengatakan : ‘duhai celaka’, atau ‘terputus tulang punggungnya…’ dan ucapan-ucapan keburukan semisalnya. Seorang muslim hendaknya hanya mengucapkan ucapan yang baik saja.
3. Disunnahkan mendoakan ampunan Allah bagi seorang muslim yang baru meninggal dunia, sebagaimana yang dilakukan Nabi shollallaahu alaihi wasallam.
Ummu Salamah pernah mendengar sabda Nabi shollallaahu alaihi wasallam bahwa tidaklah seseorang muslim mendapatkan musibah, kemudian berdoa dengan suatu doa, kecuali Allah akan menggantikan musibah itu dengan yang lebih baik baginya. Doa itu adalah:

إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ اللَّهُمَّ أْجُرْنِي فِي مُصِيبَتِي وَأَخْلِفْ لِي خَيْرًا مِنْهَا
Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepadaNya kami kembali. Ya Allah, berikan aku pahala atas musibah ini, dan beri ganti aku dengan yang lebih baik (H.R Muslim 1525)
Ummu Salamah membaca doa itu sebagai bentuk pengamalan terhadap Sunnah Nabi. Kemudian dalam hati ia bertanya: Siapakah gerangan yang lebih baik dari Abu Salamah?
Ternyata, setelah berakhir masa iddahnya, Nabi mengutus Hathib bin Abi Balta’ah untuk melamar Ummu Salamah menjadi istri Nabi. Hal itu juga merupakan terkabulnya doa Nabi kepada Allah untuk memberi ganti yang baik bagi keluarga dan keturunan Abu Salamah.
〰〰〰
Disalin dari buku "Tata Cara Mengurus Jenazah Sesuai Sunnah Nabi Shollallaahu Alaihi Wasallam (Syarh Kitab al-Janaiz Min Bulughil Maram)". Penerbit Pustaka Hudaya, halaman 30-33.

2. Kisah Abu Salamah dan Umi Salamah
Abu Salamah dan Ummu Salamah adalah pasangan yang saangat ideal, saangat caring, saangat terbaik. Ummu Salamah memandang suaminya seperti suami yang saangat hebat, saangat tampan, saangat baik, saangat lemah lembut kepadanya manakala Abu Salamah memandang isterinya sebagai wanita yag saangat ayu, saangat baik budi pekertinya, saangat cantik tak terkira..
Suatu hari, semua muslimin dipanggil untuk berjuang dalam perang Uhud. Abu Salamah cedera parah dan beliau telah dirawat berbulan2 dengan penuh kasih sayang oleh isteri kesayangannya Ummu Salamah. Akhirnya, suami kecintaan Ummu Salamah meninggal dunia. Ummu Salamah sangat sedih dengan kehilangan suami kecintaannya. Siapa lagi dapat menandingi kehenseman, ketampanan, kegagahan, kebijaksanaan suaminya?
Ummu Salamah membaca doa yang beliau dengar semasa Baginda menyampaikan kuliah di masjid.Doa ini bertentangan dari apa yang dia sedang hadapi. Mana mungkin ada orang yang lebih baik dari suami kecintaannya? Tetapi Ummu Salamah tekad juga membaca doa ini kerana yakin asbab baca doa yang Rasullullah ajarnya, dia akan 'dapat' sesuatu kebaikan.insyaAllah.
Di pendekkan cerita, selepas habis eddah, seorang sahabat Rasulullah s.a.w, Abu Bakr telah mendatangi Ummu Salamah berhajat untuk masuk meminang. Namun, hampa. Ummu Salamah mengatakan kepadanya suaminya jauh lebih hebat dari Abu Bakr. (padahal menurut Ahlul Sunnah Wal Jamaah Abu Bakr lebih baik dari Abu Salamah) Abu Bakr memandang Ummu Salamah adalah wanita yang sangat hebat, baik tutur kata, cantik dan sebagainya. Abu Bakr beredar hampa.
Datang kemudian seorang lagi sahabat Baginda s.a.w, Ummar alKhattab. Ummu Salamah menoak lamaran sahabat Rsulullah yang kedua ini.
Maka yang terakhir, datanglah manusia paling hebat di dunia, Rasulullah s.a.w datang meminang Ummu Salamah. Mampukah Ummu Salamah menolak pinangan Baginda s.a.w? Tidak. Ummu Salamah berasa bertuah atas pinangan tersebut dan menerima pinangan dengan lapang dada, berbesar hati.
Begitulah berkat doa Baginda Rasulullah s.a.w yang Ummu Salamah ucapkan selepas dari pada kematian suami tersayangnya. Doa apa?
إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ اللَّهُمَّ أْجُرْ نِيْ فِيْ مُصِيْبَتِيْ وَأَخْلِفْ لِيْ خَيْرًا مِنْهَا
Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun, allahumma ajurni fii musiibatii wakhlufli khoiron minhaa
“Sesungguhnya kami milik Allah dan sesungguhnya kepada-Nyalah kami akan kembali. Ya Allah, berilah pahala atas musibah yang menimpaku dan berilah saya ganti yang lebih baik darinya.”(Muslim).
Ummu Salamah, Janda dengan Tiga Masalah
Ketika Abu Salamah radhiallahu anhu sedang sakaratul maut, Ummu Salamah yang ada di sampingnya bertanya sedih: Kepada siapa kau serahkan diriku? Abu Salamah menjawab dengan doa: Ya Allah, sesungguhnya Engkau bagi Ummu Salamah lebih baik dari Abu Salamah. (HR. Abu Ya’la, dishahihkan oleh Al Albani dalam Silsilah Shahihah)
Setelah Abu Salamah meninggal, Rasulullah melamar Ummu Salamah.
Berikut penuturan langsung Ummu Salamah tentang kisahnya dilamar Rasulullah,
“Aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: Tidaklah seorang muslim ditimpa musibah dan berkata sebagaimana yang diperintahkan Allah (innalillahi wa inna ilaihi rajiun), ya Allah beri aku pahala dalam musibah ini dan berilah ganti yang lebih baik darinya, kecuali Allah akan memberinya ganti yang lebih baik.
Ummu salamah berkata: Ketika Abu Salamah meninggal, aku berkata: adakah muslimin yang lebih baik dari Abu Salamah? Keluarga pertama yang hijrah menuju Rasulullah. Kemudian aku membaca doa tersebut dan Allah mengganti untukku Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Ummu Salamah berkata: Rasulullah mengutus Hathib bin Abi Balta’ah untuk melamarkanku untuk beliau.
Aku pun berkata: Aku ini mempunyai anak dan aku wanita yang sangat pencemburu.
Rasul menjawab: Adapun anakmu kita berdoa semoga Allah memberinya kecukupan dan aku berdoa kepada Allah agar menghilangkan cemburu itu.” (HR. Muslim)
Dalam Al Ishobah, Ibnu Hajar menambahi kisah di atas. Ummu Salamah berkata:
“Ketika Nabi shallallahu alaihi wasallam melamarku, aku berkata kepada beliau: aku punya tiga masalah: Aku sudah berusia, aku wanita banyak anak dan aku sangat pencemburu.
Beliau menjawab: Aku lebih berusia darimu, adapun anak-anak serahkan kepada Allah dan adapun cemburu aku berdoa kepada Allah agar Dia menghilangkannya darimu.
Dan Nabi pun menikahinya.”
Dalam Al Ishobah karya Ibnu Hajar dan Ma’rifatush Shahabah karya Abu Nu’aim, disebutkan bahwa Ummu Salamah menuturkan,
“Ketika selesai masa iddahku, beliau minta izin untuk menemuiku. Saat itu saya sedang menyamak kulit. Akupun mencuci kedua tanganku. Aku kemudian mengizinkan beliau. Aku letakkan bantal kulit berisi serat kulit pohon. Beliau duduk di atasnya. Beliau melamarku.
Ketika beliau selesai bicara aku berkata: Ya Rasulullah, aku tidak setara denganmu, adapun aku tertarik kepadamu. Tetapi aku ini seorang wanita yang sangat cemburu, aku takut engkau melihat dariku sesuatu yang tidak kau sukai hingga kelak Allah akan mengadzabku karenanya. Aku seorang wanita yang sudah berusia. Dan aku mempunyai anak-anak.
Rasul menjawab:
Adapun yang kau sebutkan tentang cemburu, Allah akan menghilangkannya darimu. Sedangkan usia, aku pun berusia sepertimu. Dan tentang anak-anak, anak-anakmu adalah anak-anakku.
Ummu Salamah menjawab: Aku terima ya Rasulullah.
Rasul pun menikahi menikahinya. Ummu Salamah berkata: Allah telah menggantikan Abu Salamah dengan yang lebih baik darinya.”
Ummu Salamah dilamar Nabi setelah selesai masa iddahnya. Tak perlu ditanyakan persetujuan dan bahagianya Ummu Salamah. Tetapi dia merasa bahwa dirinya tidak setara dengan beliau. Dia khawatir hanya akan menjadi beban bagi Rasulullah. Karena sadar ketidaksetaraan itu.
Karena Ummu Salamah mempunyai tiga masalah besar:
Ummu Salamah mempunyai sifat cemburu yang besar. Sebagai wanita mulia, dia sangat khawatir akan membuat suaminya kelak murka dan karena itu ia akan mendapatkan adzab Allah. Begitulah wanita shalihah. Dia khawatir kecemburuan menjerumuskannya berbuat perbuatan yang membuat suaminya marah dan kemudian Allah pun murka karenanya.
Ummu Salamah merasa telah berusia. Walaupun sebenarnya saat itu usianya baru di kisaran 27 tahun. Tetapi Ummu Salamah sedang membandingkan dirinya dengan Aisyah (9 tahun) dan Hafshah (21 tahun) yang telah dinikahi Nabi.
Ummu Salamah mempunyai anak-anak. Disebutkan dalam sejarah bahwa Ummu Salamah mempunyai tiga anak: Salamah, Umar dan Zainab. Anak-anak yang masih kecil ini akan menjadi beban bagi suaminya kelak.
Ummu Salamah memang wanita cerdas. Ia yang senang dilamar Rasul, menjelaskan di depan semua masalah tentang dirinya. Hingga kelak suaminya tidak terkejut dengan keadaan dirinya dan telah siap menghadapi semuanya. Mengingat Ummu Salamah bukanlah seorang gadis yang hadir seorang diri tanpa beban dan masalah.
Ini menjadi pelajaran mahal bagi siapapun akan menjalani hal serupa. Seorang wanita janda yang telah berpengalaman berumah tangga dengan laki-laki sebelumnya, hendaknya mengisahkan semua hal yang berpotensi menimbulkan masalah bagi rumah tangga barunya. Pun laki-laki yang ingin menikahinya harus mengukur kemampuan dirinya dan kesiapannya menghadapi semua masalah tersebut.
Rasulullah memiliki jawaban untuk ketiga masalah yang disampaikan oleh Ummu Salamah. Menunjukkan kesiapan beliau.
Rasulullah menjawab tentang calon istrinya yang merasa sudah berusia, bahwa beliau pun telah berusia bahkan lebih. Jelas jauh berbeda, karena saat itu Rasul telah berusia 57 tahun. Setidaknya terpaut 30 tahun beda dengan Ummu Salamah.
Selesai satu permasalahan, berikut jawaban untuk masalah kedua.
Rasulullah menjawab tentang anak-anak Ummu Salamah, bahwa beliau mengajak Ummu Salamah untuk menyerahkan kepada Allah. Ini menarik. Karena pembahasan tentang anak-anak, apalagi seorang ibu janda yang membawa anaknya dan anak-anak akan mendapatkan ayat tiri. Jika kita mengukur hari ini, kata tiri sering kali menjadi momok. Maka, kata yang sangat tepat bicara tentang anak-anak dan masa depan mereka adalah menyerahkan kepada Allah yang Maha Memelihara, Mengetahui masa depan, dan Maha Pemberi Rizki.
Tapi Rasul pun memberikan jaminan sebagai manusia: Anakmu adalah anakku. Begitulah yang harus dilakukan. Inilah yang harus disadari oleh seorang laki-laki yang mau menikahi seorang janda dengan membawa anak. Ia tidak boleh hanya mencintai ibunya tapi mengabaikan anak-anak. Karena kebahagiaan seorang ibu tak hanya pada dirinya yang diperhatikan, tapi juga pada anak-anaknya yang dibahagiakan. Membahagiakan anak-anaknya berarti melengkapi kebahagiaan ibunya. Rasul bertanggung jawab penuh terhadap anak-anak Ummu Salamah. Walau mereka bukan anak kandung Nabi.
Dan masalah ketiga, berbeda dengan dua masalah di atas.
Rasulullah menjawab tentang sifat cemburu Ummu Salamah yang besar. Apalagi dia bukan istri satu-satunya. Sudah ada istri-istri sebelumnya. Pasti posisi Ummu Salamah yang sangat pencemburu itu tidak mudah. Dia membayangkan ketidaknyamanannya terhadap keberadaan wanita-wanita yang lebih dahulu telah ada di kehidupan Nabi. Yang bisa jadi hadir di benak Ummu Salamah adalah bahwa dia hanyalah seorang wanita baru di keluarga Nabi. Dia pasti sudah membayangkan perilaku Nabi di antara istri-istrinya akan membuatnya cemburu. Sebagai wanita mukminah yang baik, dia tidak mau berbuat maksiat karena cemburu yang akan menimbulkan tindakan tidak nyaman darinya kepada calon suaminya.
Dan ternyata, Rasul tidak punya jawaban.
Tidak ada jaminan dari diri beliau sebagai manusia. Tidak sama dengan dua masalah di atas yang beliau memberikan jawaban dari diri beliau sebagai seorang makhluk. Dalam bab cemburu, Nabi hanya bisa berkata: Semoga Allah menghilangkannya darimu. Beliau hanya bisa menyerahkan kepada Allah. Mengapa? Jawabnya jelas, karena itu urusan hati. Dan bukankah beliau sendiri yang mengatakan bahwa hati ada di antara jari-jari Allah yang Maha Rahman. Bukan beliau sendiri yang berdoa: “Ya Allah inilah pembagianku di antara istri-istriku yang sanggup aku lakukan, maka janganlah Kau hukum aku pada sesuatu yang tidak aku miliki dan itu Kau miliki.” Nabi sedang membicarakan tentang pembagian fisik yang harus adil dan beliau sanggup melakukannya. Tetapi tentang pembagian hati, beliau harus menyerahkan kepada Allah.
Keluhan Ummu Salamah tentang cemburu hanya mendapat jawaban doa. Pelajaran bagi setiap keluarga tentang cemburu yang diduga akan merusak jika telah melampaui batas. Meringankannya dengan mengadu kepada yang Maha Menggenggam hati.
Dengan semua jawaban dan jaminan Nabi sebagai manusia itu, pernikahan berkah itupun berlangsung. Dan benar-benar Ummu Salamah adalah pendamping Nabi yang luar biasa. Membaca sejarah keluarga mulia ini, kita bisa belajar peran Ummu Salamah yang dahsyat dalam kebesaran kehidupan Rasulullah.
Untuk urusan cemburu yang Nabi tidak bisa memberikan jaminan, apakah kekhawatiran Ummu Salamah terjadi. Ternyata Rasul hidup nyaman bersama Ummu Salamah. Menunjukkan bahwa Rasul dan Ummu Salamah berhasil dalam doanya. Untuk meredam cemburu yang melampaui batas.
Tapi bacalah kisah dalam Ath Thabaqat Al Kubra karya Ibnu Saad berikut ini. Dari Abdurrahman bin Al Harits,
“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sedang di perjalanannya. Dalam perjalanan itu beliau bersama Shafiyyah binti Huyay dan Ummu Salamah. Rasulullah mendekat ke Haudaj (ruangan di atas punggung unta) yang dihuni oleh Shafiyyah binti Huyay. Sementara Rasul menduga bahwa itu adalah Haudaj Ummu Salamah. Dan hari itu adalah jatah Ummu Salamah. Rasulullah pun berbincang dengan Shafiyyah (karena salah duga haudaj). Maka Ummu Salamah pun cemburu. Setelah Rasul tahu bahwa ternyata ia berbincang dengan Shafiyyah, maka beliau mendatangi Ummu Salamah. Dan Ummu Salamah berkata: Engkau berbincang dengan putri yahudi di hari jatahku, padahal engkau Rasulullah!
Tapi setelah itu Ummu Salamah menyesal dengan kalimatnya. Dan memohon ampun pada Allah atas ucapan itu.
Dan Ummu Salamah berkata: Ya Rasulullah mohonkan ampun untukku. Yang membuatku seperti itu adalah kecemburuan.”
Dari kisah tersebut, ternyata Ummu Salamah tetap mempunyai rasa cemburu. Maka berarti yang disampaikan Nabi semoga Allah menghilangkannya adalah kecemburuan yang salah dan menyebabkan keburukan. Adapun kecemburuan bukti cinta ia akan tetap ada. Dan justru menjadi bukti cinta.

Ummu Salamah yang cantik.

Kecantikan dan kemuliaan berpadu dalam dirinya. Cinta, kesetiaan, dan ketaatannya pada pendamping hidupnya membawanya untuk memperoleh sebentuk doa. Doa yang berbuah keindahan hidup tiada tara, bersisian dengan hamba Rabb-nya yang paling mulia.

Hindun bintu Abi Umayyah bin al-Mughirah bin ‘Abdillah bin ‘Umar bin Makhzum bin Yaqzhah bin Murrah al-Qurasyiyyah al-Makhzumiyah radhiyallahu ‘anha. Dia lebih dikenal dengan kunyahnya, Ummu Salamah.
Dia seorang istri yang penuh cinta bagi suaminya, Abu Salamah ‘Abdullah bin ‘Abdil Asad bin Hilal bin ‘Abdillah bin ‘Umar bin Makhzum bin Yaqzhah bin Murrah bin Ka’b al-Makhzumi radhiyallahu ‘anhu. Dalam beratnya cobaan dan gangguan, mereka meninggalkan negeri Makkah menuju Habasyah untuk berhijrah, membawa keimanan. Di negeri inilah Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha melahirkan anak-anaknya, Salamah, ‘Umar, Durrah, dan Zainab.
Tatkala terdengar kabar tentang Islamnya penduduk Makkah, mereka pun kembali bersama kaum muslimin yang lain. Namun, ternyata semua itu berita hampa semata, hingga mereka pun harus beranjak hijrah untuk kedua kalinya menuju Madinah. Di sanalah mereka membangun hidup bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Selang beberapa lama di Madinah, seruan perang Badr bergema. Abu Salamah radhiyallahu ‘anhu masuk dalam barisan para sahabat yang terjun dalam kancah pertempuran. Begitu pula ketika perang Uhud berkobar, Abu Salamah radhiyallahu ‘anhu ada di sana, hingga mendapatkan luka-luka.
Tak lama Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha berdampingan dengan kekasihnya, karena Abu Salamah harus kembali ke hadapan Rabb-nya akibat luka-luka yang dideritanya. Ummu Salamah melepas kepergian Abu Salamah pada bulan Jumadits Tsaniyah tahun keempat Hijriyah dengan pilu.
Dia mengatakan, “Siapakah yang lebih baik bagiku daripada Abu Salamah?”
Berulang kali dia berucap demikian. Hingga akhirnya diucapkannya doa yang pernah diajarkan oleh kekasihnya, Abu Salamah, jauh hari sebelum Abu Salamah tiada.
Kala itu, Ummu Salamah berkata kepada suaminya, “Aku telah mendengar bahwa seorang wanita yang suaminya tiada dan suaminya itu termasuk ahli surga, kemudian dia tidak menikah lagi sepeninggalnya, Allah subhanahu wa ta’ala mengumpulkan mereka berdua di surga. Mari kita saling berjanji agar engkau tidak menikah lagi sepeninggalku dan aku tidak akan menikah lagi sepeninggalmu.”
Mendengar perkataan istrinya, Abu Salamah mengatakan, “Apakah engkau mau taat kepadaku?”
Kata Ummu Salamah, “Ya.”
Abu Salamah berkata lagi, “Kalau aku kelak tiada, menikahlah! Ya Allah, berikan pada Ummu Salamah sepeninggalku nanti seseorang yang lebih baik dariku, yang tak akan membuatnya berduka, dan tak akan menyakitinya.”

Waktu terus berjalan. Ummu Salamah pun telah melalui masa ‘iddahnya sepeninggal Abu Salamah.
Datang seorang yang paling mulia setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu untuk meminang Ummu Salamah. Namun, Ummu Salamah menolaknya.
Setelah itu, datang pula ‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu, menawarkan pinangan ke hadapan Ummu Salamah. Kembali Ummu Salamah menyatakan penolakannya.
Ternyata Allah subhanahu wa ta’ala hendak menganugerahkan sesuatu yang lebih besar daripada itu semua. Datanglah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, membuka pintu baginya untuk memasuki rumah tangga nubuwwah.
Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha menjawab tawaran itu, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku adalah wanita yang sudah cukup berumur dan memiliki anak-anak yatim, lagi pula aku wanita yang sangat pencemburu.”
Dari balik tabir, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menanggapi, “Adapun masalah umur, sesungguhnya aku lebih tua darimu. Adapun anak-anak, maka Allah subhanahu wa ta’ala akan mencukupinya. Sedangkan kecemburuanmu, maka aku akan berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar Allah subhanahu wa ta’ala menghilangkannya.”

Tak ada lagi yang memberatkan langkah Ummu Salamah untuk menyambut uluran tangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bulan Syawwal tahun keempat setelah hijrah adalah saat-saat yang indah bagi Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, mengawali hidupnya di samping seorang yang paling mulia, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Berita tentang kecantikan Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha sempat meletupkan kecemburuan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Ketika itu ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha sangat bersedih. Dia menahan diri sampai memiliki kesempatan melihat Ummu Salamah.
Tatkala datang kesempatan itu, ‘Aisyah melihat kecantikan Ummu Salamah berkali lipat daripada gambaran yang sampai padanya. Dia beritahukan hal itu kepada Hafshah radhiyallahu ‘anha.
Hafshah pun menjawab, “Tidak, demi Allah. Itu tidak lain hanya karena kecemburuanmu saja. Dia tidaklah seperti yang kaukatakan, namun dia memang cantik.”
‘Aisyah pun mengisahkan, “Setelah itu, aku sempat melihatnya lagi dan dia memang seperti yang dikatakan oleh Hafshah.”

Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha memulai rangkaian kehidupannya di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Banyak rentetan peristiwa dilaluinya bersama beliau. Satu dialaminya dalam Perjanjian Hudaibiyah.
Kala itu, pada bulan Dzulqa’dah tahun keenam setelah hijrah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama 1.400 orang muslimin ingin menunaikan ‘umrah di Makkah sembari melihat kembali tanah air mereka yang sekian lama ditinggalkan.

Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha turut menyertai perjalanan beliau ini. Namun, setiba beliau dan para sahabat di Dzul Hulaifah untuk berihram dan memberi tanda hewan sembelihan, kaum musyrikin Quraisy menghalangi kaum muslimin. Dari peristiwa ini tercetuslah perjanjian Hudaibiyah.
Perjanjian itu di antaranya berisi larangan bagi kaum muslimin memasuki Makkah hingga tahun depan. Betapa kecewanya para sahabat saat itu, karena mereka urung memasuki Makkah.
Usai menyelesaikan penulisan perjanjian itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memerintahkan kepada para sahabat, “Bangkitlah, sembelihlah hewan kalian, kemudian bercukurlah!”
Namun, tak satu pun dari mereka yang bangkit. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulangi perintahnya hingga ketiga kalinya, namun tetap tak ada satu pun yang beranjak.
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha dan menceritakan apa yang terjadi. Ummu Salamah pun memberikan gagasan kepada beliau, “Wahai Rasulullah, apakah engkau ingin agar mereka melakukannya? Bangkitlah, jangan berbicara kepada siapa pun hingga engkau menyembelih hewan dan memanggil seseorang untuk mencukur rambutmu.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri, kemudian segera melaksanakan usulan Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha. Seketika itu juga, para sahabat yang melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembelih hewannya dan menyuruh seseorang untuk mencukur rambutnya serta-merta bangkit untuk memotong hewan sembelihan mereka dan saling mencukur rambut, hingga seakan-akan mereka akan saling membunuh karena riuhnya.
Semenjak bersama Abu Salamah radhiyallahu ‘anhu, Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha meraup banyak ilmu. Terlebih lagi setelah berada dalam naungan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di bawah bimbingan nubuwwah, Ummu Salamah mendulang ilmu. Juga dari putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Fathimah radhiyallahu ‘anha.
Ummu Salamah menyampaikan apa yang ada pada dirinya hingga bertaburanlah riwayat dari dirinya. Tercatat deretan panjang nama-nama ulama besar dari generasi pendahulu yang mengambil ilmu darinya. Dia termasuk fuqaha dari kalangan shahabiyah.
Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha telah melalui rentang panjang masa hidupnya dengan menebarkan banyak faedah. Masa-masa kekhalifahan pun dia saksikan hingga masa pemerintahan Yazid bin Mu’awiyah. Pada masa inilah terjadi pembunuhan cucu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, al-Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhuma. Ummu Salamah sangat berduka mendengar berita itu. Dia benar-benar merasakan kepiluan.
Tak lama setelah itu, Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha kembali menghadap Rabb-nya. Tergurat peristiwa itu pada tahun ke-61 setelah hijrah.
Terkenang selalu kesetiaan yang pernah dia berikan bagi pendamping hidupnya. Terngiang selalu sebutan namanya dalam kitab-kitab besar para ulama. Ummu Salamah, semoga Allah subhanahu wa ta’ala meridhainya…
Alqur'an Adalah Jawaban Dari Smua Masalah
8 Desember 2012 ·
. Doa Nabi s.a.w. kepada Abi Salamah r.a. ketika kematiannya sebagaimana yang diriwayatkan dari Ummu Salamah r.a.:
“Rasulullah s.a.w. masuk kepada jenazah Abu Salamah (pada hari kematiannya) dan sesungguhnya matanya terbuka, lalu baginda memejamkannya (yakni baginda menutup kelopak matanya dengan tangan baginda). Kemudian Nabi bersabda: “Sesungguhnya ruh ketika dicabut, diperhatikan oleh mata (yakni ketika ruh ditarik keluar dari badan, mata melihat ke mana ruh pergi)”. Lalu beberapa orang dari keluarganya berpekikan. Maka Nabi bersabda: “Janganlah kamu menyeru kepada mayat-mayat kamu melainkan dengan suatu kebaikan kerana sesungguhnya para malaikat mengaminkan apa yang kamu ucapkan”. Kemudian Nabi s.a.w. berdoa:
اللَّهمَّ اغْفِرْ لأَبِي سَلَمَةَ، وَارْفَعْ دَرَجَتَهُ فِي الْمَهْدِيِّينَ، وَاخْلُفْهُ فِي عَقِبِهِ فِي الْغَابِرِينَ، وَاغْفِرْ لَنَا وَلَهُ يَا رَبَّ الْعَالَمِينَ، وَافْسَحْ لَهُ فِي قَبْرِهِ، وَنَوِّرْ لَهُ فِيهِ
“Ya Allah! Berilah keampunan kepada Abi Salamah. Angkatlah darjatnya di kalangan orang-orang yang diberi petunjuk. Jadilah penggantinya bagi anak-anaknya yang masih tinggal. Kurniakanlah keampunan untuk kami dan untuknya, wahai Tuhan sekelian alam. Lapangkanlah untuknya di dalam kuburnya dan terangilah untuknya di dalam kuburnya”.
(Riwayat Imam Muslim)
Hadis di atas menjadi dalil bahawa doa orang hidup akan memberi manfaat kepada si mati sekalipun doa itu bukan datang dari anaknya.
3. Diriwayatkan dari Saidatina Aishah r.a. menceritakan: “Seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah s.a.w.; ‘Sesungguhnya ibuku telah mati. Aku mendapatinya jika sekiranya ia berpeluang bercakap (ketika hampir matinya) nescaya ia akan bersedekah (yakni menyuruh agar dikeluarkan sedekah dari hartanya). Maka apakah baginya pahala jika aku bersedekah bagi pihaknya?’. Jawab baginda s.a.w.; ‘Ya’. (Riwayat Imam Bukhari dan Muslim)
Hadis di atas menjadi dalil bahawa sedekah orang hidup memberi manfaat untuk si mati.
4. Diceritakan oleh Ibnu ‘Abbas r.a.; “Seorang perempuan datang kepada Nabi s.a.w. lalu berkata; “Sesungguhnya ibuku telah mati dan tertanggung di atasnya puasa sebulan”. Lalu baginda bersabda: “Apa pandangan kamu jika tertanggung di atas bahunya suatu hutang, apakah kamu akan membayarnya?’. Jawab perempuan itu: “Ya”. Jawab Nabi: “Maka hutang Allah lebih berhak dibayar”. (Riwayat Imam Muslim)
5. Ibnu ‘Abbas r.a. menceritakan; “Seorang perempuan dari Juhainah datang kepada Nabi s.a.w. dan berkata: ‘Sesungguhnya ibuku telah bernazar untuk menunaikan haji, lalu ia mati sebelum sempat mengerjakannya. Apakah aku boleh mengerjakan untuknya?’. Jawab Nabi; ‘Tunaikanlah haji bagi pihaknya. Bukankah jika ibumu menanggung hutang kamu yang akan membayarnya? Tunaikanlah (hutang dengan Allah) kerana Allah lebih berhak (ditunaikan hutang dengannya)’. (Riwayat Imam Bukhari)
Adapun perkara yang diikhtilafkan di antara para ulama’ apakah ia akan sampai kepada si mati atau tidak ialah ibadah-ibadah yang bersifat badaniyah semata-mata seperti bacaan al-Quran, zikir dan sebagainya. Dalam hal ini terdapat dua pandangan;
Pertama: Pandangan jumhur ulamak yang terdiri dari ulamak-ulamak mazhab Hanafi, Hanbali dan golongan mutaakhirin dari mazhab Syafi’ie dan mazhab Maliki dan juga Imam Ibnu Taimiyyah. Mereka berpandangan; bacaan al-Quran dan zikir yang dibaca oleh orang hidup kepada si mati adalah sampai kepadanya dan memberi manfaat untuknya.
Antara dalil mereka ialah hadis dari Abi Said Al-Khudri r.a yang menceritakan; “Beberapa orang sahabat Nabi telah keluar dalam satu perjalanan. Mereka berhenti di satu kawasan penempatan Arab dan minta jadi tetamu. Namun penduduk kawasan itu enggan untuk menerima mereka sebagai tetamu. Kebetulan ketua bagi penduduk kawasan itu disengat binatang. Mereka telah berusaha mengubatinya dengan pelbagai cara namun tidak berjaya. Lalu beberapa orang di kalangan penduduk itu mencadangkan; ‘Kalau kamu pergi kepada mereka itu (yakni kumpulan sahabat Nabi tadi) mungkin mereka mempunyai sesuatu untuk mengubati ketua kita’. Lalu mereka pergi kepada kumpulan sahabat tadi dan bertanya; ‘Wahai saudara sekelian! Ketua kami disengat binatang. Kami telah berusaha pelbagai cara namun tak berhasil. Adakah di antara kamu yang pandai mengubati?’. Jawab seorang sahabat; ‘Ya, aku boleh menjampi. Akan tetapi kami telah meminta dari kamu semua sebentar tadi untuk menjadi tetamu tetapi kamu sekelian enggan menerima kami. Jadi aku tidak akan menjampinya melainkan jika kamu sanggup memberi sesuatu kepada kami’. Mereka bersetuju untuk memberi hadiah dengan sebahagian daging kambing. Lalu sahabat itu merawati ketua kaum itu dengan menjampinya dengan membaca surah al-Fatihah. Berkat al-Fatihah itu, ketua kaum itu terus sembuh dan bingkas bangun seperti orang yang terlepas dari ikatan, seolah-olah tidak pernah sakit. Apabila sahabat-sahabat tadi ingin membahagikan daging kambing yang dihadiahkan kepada mereka, berkata sahabat yang menjampi tadi; ‘Jangan kita bahagikan lagi sehingga kita bertanya Nabi terlebih dahulu’. Apabila mereka menceritakan kepada Nabi s.a.w., baginda berkata; “Bagaimana kamu tahu bahawa ia (yakni surah al-Fatihah) adalah jampi?”. Baginda berkata lagi ; “Apa yang kamu lakukan itu adalah betul (sah / halal). Bahagikanlah daging itu dan jadikanlah dalam pembahagian itu satu bahagian untukku”. (Hadis riwayat Imam Bukhari dan Muslim)
Berdasarkan hadis ini, para ulama’ tersebut menyimpulkan; ‘Bacaan al-Quran jika diqasadkan untuk manfaat orang hidup (seperti untuk menyembuhkan penyakit dalam hadis di atas), maka surah itu memberi manfaat kepadanya dan diakui oleh Nabi dengan kata baginda; ‘Bagaimana kamu tahu bahawa ia (yakni surah al-Fatihah) adalah jampi?’, maka tidak ada sebab untuk kita menafikan manfaatnya untuk orang mati, malah ia lebih aula (utama)’. (Lihat; Al-Fiqhul-Islami wa Adillatuhu, Syeikh Wahbah az-Zuhaili, jil. 2, hlm. 552).
Selain itu dikiaskan juga masalah ini kepada doa, istighfar, dan sedekah tadi yang disepakati oleh sekelian ulamak bahawa ia akan sampai kepada si mati dan memberi faedah untuknya. Jika doa, istighfar dan sedekah akan sampai kepada si mati maka tidak mustahil bahawa bacaan al-Quran, zikir dan tahlil juga akan sampai dan memberi manfaat kepadanya lebih-lebih lagi jika amalan-amalan tersebut disusuli dengan doa selepasnya. Ini sebagaimana yang disarankan oleh Imam Ibnu as-Sholah; “Hendaklah bacaan al-Quran atau zikir itu diakhiri dengan ucapan:
اَللَّهُمَّ أَوْصِلْ ثَوَابَ مَا قَرَأْنَاهُ لِفُلاَنٍ
“Ya Allah! Sampaikanlah pahala apa yang telah kami bacanya kepada si fulan…”.
Di mana dengan ucapan tersebut, kita menjadikannya sebagai doa untuk si mati dan telah dinyatakan tadi bahawa doa orang hidup bermanfaat untuk si mati. Hal ini telah dipersetujui oleh sekelian ulama’.
Selain itu bacaan al-Quran dan zikir yang dilakukan untuk si mati dapat juga kita anggap sebagai tawassul dari orang hidup kepada Allah untuk mendoakan kesejahteraan si mati di alam kuburnya. Terdapat nas dari al-Quran dan juga as-Sunnah membenarkan kita bertawassul dengan amal-amal soleh kita untuk memohon agar doa dan permohonan kita di makbulkan Allah.
Dalam soheh Imam al-Bukhari dan Muslim terdapat hadis di mana Rasulullah s.a.w. menceritakan kisah tiga orang pemuda yang terperangkap di dalam sebuah gua dan baginda tidak membantah perlakuan mereka yang berdoa dengan bertawassulkan amalan soleh sehinggalah Allah memakbulkan doa mereka dan menyelamatkan mereka dari kecelakaan. (Lihat hadis ini dalam Riyadhus-Salihin, bab al-Ikhlas).
Pandangan kedua: Padangan dari golongan awal (mutaqaddimin) dari ulamak-ulamak mazhab Maliki dan Syafi’ie. Mereka berpandangan; bacaan al-Quran dan zikir (serta semua ibadah-ibadah badaniyyah yang lain seperti sembahyang) tidak akan sampai kepada si mati. Pahalanya hanya untuk orang yang melakukannya sahaja, tidak akan sampai kepada si mati. Dalil mereka ialah firman Allah:
“Dan bahawa sesungguhnya tidak ada (balasan) bagi seseorang melainkan (balasan) apa yang diusahakannya”. (an-Najm: 38)
Namun dijawab oleh ulamak-ulamak yang berpandangan pertama tadi; ayat di atas adalah umum dan keumumannya telah ditakhsiskan oleh hadis-hadis sahih yang menyebutkan tentang doa, istighfar dan sebagainya tadi yang sampai kepada si mati sekalipun bukan datang dari amalan atau usaha darinya. Ada ulamak berpendapat; ayat tersebut ditujukan untuk orang kafir iaitu balasan siksa terhadap mereka tidak lain adalah akibat dari usaha dan perbuatan mereka di dunia. (Lihat; At-Tajul-Jami’ Lil-Ushul Fi Ahadis ar-Rasul, Syeikh Manshur ‘Ali Nashif, jil. 1, hlm. 384, Subulus-Salam, Kitab al-Janaiz dan kitab al-Hajj)
Wallahu A’lam.

Rujukan;
1. At-Tajul-Jami’ Lil Ushul Fi Ahadis ar-Rasul, Syeikh Mansur Ali Nasif, Dar al-Fikr, Beirut-Lubnan (1992).
2. Subulus-Salam, (Kitab al-Janaiz dan kitab al-Hajj), Dar al-Furqan, Jordan.
3. AL-Fiqh Islami Wa Adillatuhu, Dr. Wahbah az-Zuhaili, Dar al-Fikr, Damsyiq-Syria (1985).

Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.

Catatan :

Kesunnahan Setelah Ruh Dicabut

1. Memejamkan kedua matanya dengan mengusap wajahnya sambil membaca do'a :

بسم الله وعلى ملة رسول الله صلى الله عليه وسلم

"Dengan menyebut nama Allah semoga tetap berada dalam agama rasulillahi sholallahu 'alaihi wasalam".

bila belum berhasil maka tariklah kedua lengan dan ibu jari kakinya secara bersamaan.
2. Kedua rahangnya hingga kepala bagian atas diikat dengan kain yang lebar agar mulut tidak terbuka.
3. Sendi-sendi tulang dilemaskan dengan cara melekukkan tangan pada lengan, betis pada paha, paha pada perut agar mudah didalam memandikan dan mengkafaninya
4. Pakaian mayit dilepas dengan pelan, lalu mayit ditutupi dengan kain yang tipis, ujungnya diselipkan dibawah kepala dan kedua kaki. Keterangan;
a. Untuk mayit laki-laki yang dalam keadaan ihrom maka kepalanya harus terbuka (tidak boleh ditutupi)
b. Untuk mayit perempuan yang sedang ihrom maka wajahnya tidak boleh ditutupi.
5. Mayit diletakkan ditempat yang agak tinggi, sekira tidak menyentuh tanah, seperti di atas dipan (amben), agar tanah yang basah tidak mengenainya (supaya tidak segera membusuk) 6. Membakar dupa atau menaburkan wewangian disekitar mayit, agar bau yang tak sedap menjadi hilang
7. Meletakkan sesuatu (selain mushaf) yang agak berat di perut mayit, dengan cara benda tersebut di bujurkan dan diikat agar perutnya tidak mengembang. Untuk beratnya kira-kira 54,3 gram atau 0,5 ons 8. Segera melunasi hutang dan melaksanakan wasiatnya

Sumber kitab :

[4] Al mahalli juz 1 hal; 321
[5] Nihayatuz zain 147
[6] Qulyubi juz 1 hal;321
[7] Nihayatuz zain hal; 147


Ada juga do'a lain :

Do’a Ketika Menutup Mata Orang Mati

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِ- فلان باسمه- وَارْفَعْ دَرَجَتََهُ فِي الْمَهْدِيِّيْنَ وَاخْلُفْهُ فِي عَقِبِهِ فِي الْغَابِرِيْنَ وَاغْفِرْ لَنَا وَلَهُ يَارَبِّ الْعَالَمِيْنَ وَافْسَحْ لَهُ فِي قَبْرِهِ وَنَوِّرْ لَهُ فِيْهِ


Allahummaghfir li -Fulan- warfa’ darajatahu fil mahdiyyiin wakhlufhu fi ‘aqibihi fil ghoobiriina waghfir lanaa wa lahu ya Rabbil ‘aalamiin wafsah lahu fi qobrihi wa nawwir lahu fiihi

Artinya :”Ya Allah ampunilah (dosa) – Fulan(sebukan namanya) – dan angkatlah derajatnya ke dalam golongan orang-orang yang utama dan gantilah siksanya, dan ampunilah (dosa) kami dan (dosa)-nya ya Tuhan Semesta alam. Lapangkanlah liang kuburnya dan terangilah ia di dalamnya”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar