Kamis, 20 November 2014

Hukum kerjasama dengan Yahudi

Jangan Berikan Rasa Sayang dan Kasihan Kepada Orang Kafir

[Ayat ke-5]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا بِمَا جَاءَكُمْ مِنَ الْحَقِّ يُخْرِجُونَ الرَّسُولَ وَإِيَّاكُمْ أَنْ تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ رَبِّكُمْ إِنْ كُنْتُمْ خَرَجْتُمْ جِهَادًا فِي سَبِيلِي وَابْتِغَاءَ مَرْضَاتِي
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi auliya yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad pada jalan-Ku dan mencari keridaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian)” (QS. Al Mumtahanah: 1).

Para ulama ahli tafsir menjelaskan bahwa sebab turunnya ayat ini adalah kisah Hathib bin Abi Baltha’ah radhiallahu’anhu. Beliau adalah sahabat Nabi yang ikut hijrah, beliau juga mengikuti perang Badar, namun beliau memiliki anak-anak, sanak kerabat dan harta di kota Mekkah yang ia tinggalkan untuk berhijrah. Ketika Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam diperintahkan untuk membuka kota Mekkah dan memerangi orang Musyrikin di sana, Hathib merasa kasihan kepada orang-orang Quraisy di Mekkah. Hathib pun berinisiatif untuk berkomunikasi dengan kaum Quraisy secara diam-diam melalui surat yang dikirimkan melalui seorang wanita. Hathib mengabarkan kedatangan pasukan kaum Muslimin untuk menyerang kaum Quraisy di Mekkah. Bukan karena Hathib berkhianat dan bukan karena ia munafik, namun ia kasihan kepada kaum Quraisy dan berharap mereka mau dirangkul untuk memeluk Islam daripada mereka hancur binasa. Namun para sahabat memergoki wanita yang membawa surat dan melaporkan hal ini kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Lalu turunlah ayat ini sebagai teguran untuk tidak kasihan dan tidak menaruh rasa sayang kepada orang-orang kafir, apalagi dengan menyampaikan kepada mereka kabar-kabar rahasia kaum Muslimin. Namun Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menegur Hathib namun memaafkannya dan memberinya udzur (lihat Tafsir Ibni Katsir 8/82, Tafsir As Sa’di 7/854)
Berikut ini isi surat Hathib:
أَمَّا بَعْدُ يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَاءَكُمْ بِجَيْشٍ كَاللَّيْلِ يَسِيرُ كَالسَّيْلِ فَوَاللَّهِ لَوْ جَاءَكُمْ وَحْدَهُ لَنَصَرَهُ اللَّهُ وَأَنْجَزَ لَهُ وَعْدَهُ فَانْظُرُوا لِأَنْفُسِكُمْ وَالسَّلَامُ
Amma ba’du. Wahai kaum Quraisy, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sedang mendatangi kalian dengan membawa pasukan yang bak gelapnya malam, yang cepat bagaikan air bah. Demi Allah, andaikan Ia (Rasulullah) datang seorang diri pun, Allah akan menolongnya dan memenangkannya atas musuhnya. Maka lihatlah (kasihanilah) diri-diri kalian. Wassalam” (Fathul Baari, 7/520).

As Sa’di menjelaskan: “jangan jadikan musuh Allah dan musuh kalian sebagai auliya, yang engkau berikan rasa sayangmu kepada mereka. Maksudnya jangan kalian terburu-buru memberikan rasa sayangmu kepada mereka ataupun menempuh sebab-sebab yang membuat kalian sayang pada mereka. Karena rasa sayang itu jika muncul akan diikuti oleh nushrah (kecenderungan untuk menolong) dan muwalah (kecenderungan untuk loyal), sehingga akhirnya seseorang pun keluar dari keimanan dan menjadi bagian dari orang-orang kafir meninggalkan ahlul iman” (Tafsir As Sa’di, 854).

[Ayat ke-6]
وَدُّوا لَوْ تَكْفُرُونَ كَمَا كَفَرُوا فَتَكُونُونَ سَوَاءً فَلَا تَتَّخِذُوا مِنْهُمْ أَوْلِيَاءَ حَتَّى يُهَاجِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَخُذُوهُمْ وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ وَلَا تَتَّخِذُوا مِنْهُمْ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا
Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka). Maka janganlah kamu jadikan di antara mereka sebagai auliya bagimu, hingga mereka berhijrah pada jalan Allah. Maka jika mereka berpaling, tawan dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menemuinya, dan janganlah kamu ambil seorang pun di antara mereka auliya, dan jangan (pula) menjadi penolong” (QS. An Nisa: 89)

As Sa’di menjelaskan ayat ini dengan berkata: “ini melazimkan tidak adanya kecintaan terhadap orang kafir, karena wilayah (loyalitas) adalah cabang dari mahabbah (kecintaan). Ini juga melazimkan kita untuk membenci dan memusuhi mereka. Karena larangan terhadap sesuatu berarti perintah untuk melakukan kebalikannya. Dan perlakukan tidak berlaku jika mereka ikut hijrah. Jika mereka ikut hijrah, maka mereka diperlakukan sebagaimana kaum muslimin. Sebagaimana Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam memperlakukan orang-orang yang ikut hijrah bersama beliau sebagaimana perlakuan beliau terhadap orang Islam. Baik mereka yang benar-benar mu’min lahir batin, maupun yang hanya menampakan keimanan secara zhahir. Dan jika mereka berpaling atau tidak mau berhijrah, ‘tawan dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menemuinya‘, maksudnya kapan pun dan dimana pun kau menemui mereka”. (Tafsir As Sa’di, 1/191).
Namun As Sa’di menjelaskan 3 jenis orang kafir yang dikecualikan sehingga tidak diperangi berdasarkan ayat selanjutnya (namun tidak kita bahas panjang lebar di sini), mereka adalah:
  1. Orang-orang kafir yang meminta perlindungan kepada sesuatu kaum, yang antara kamu dan kaum itu telah ada perjanjian damai untuk tidak saling memerangi
  2. Orang-orang kafir yang tidak ingin untuk memerangi kaum Muslimin dan juga tidak memerangi kaumnya, ia memilih untuk tidak memerangi kaum Muslimin maupun kaum kafirin.
  3. Orang-orang munafik yang menampakkan keimanan karena takut diperangi oleh kaum Muslimin (Tafsir As Sa’di, 191).
" Hukum Bekerja dengan Orang Kafir"
Bolehkah bekerja dengan orang kafir dan apakah bekerja dengan orang kafir berarti berloyal dengan mereka?
Jawab:
Untuk menjawabnya, perlu dirinci perihal pekerjaan tersebut, yang terbagi menjadi dua, yaitu:
1. Berserikat dengan orang nonmuslim (kafir) dalam suatu usaha.
2. Orang kafir menyewa tenaga muslim.
Untuk yang kedua ini bisa dalam bentuk:
a. Seorang muslim menjadi pembantu rumah tangga, yang bertugas menyiapkan makan, mencuci, menyapu, membersihkan kotoran, membukakan pintu, dsb.
b. Seorang muslim menjadi tukang dalam suatu pekerjaan, seperti mengecat rumahnya, membuat pagar, dsb.
c. Seorang muslim mendapat pesanan barang atau proyek tertentu, seperti membuat kursi, menjahit pakaian anak-anak, dsb.
Masing-masing gambaran di atas ada hukumnya. Namun, sebelum diterangkan, ada beberapa garis besar perihal bekerjanya seorang muslim untuk orang kafir.
• Tidak diperbolehkan membantu orang kafir, baik secara sukarela (tanpa memungut bayaran) maupun dengan bayaran, dalam hal yang haram menurut agama. Misalnya, memelihara babi dan memasarkannya, memproduksi minuman keras (khamr) dan segala yang memabukkan, transaksi yang mengandung riba, pembangunan gereja, memata-matai muslimin, membantu penyerangan terhadap muslimin, serta yang sejenisnya. Allah l telah berfirman:
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (al-Maidah: 2)
• Tidak boleh memudaratkan muslim itu sendiri atau merugikannya, seperti dilarang melakukan shalat. (Umdatul Qari, syarh Shahih al-Bukhari)
• Tidak diperbolehkan melakukan pekerjaan yang mengandung kehinaan seorang muslim di hadapan orang kafir.
Selanjutnya mari kita simak ulasan hukum pada masalah-masalah di atas.
Berserikat dalam Usaha
Masalah ini diperbolehkan menurut pendapat yang rajih (kuat). Dalilnya, Nabi n pernah melakukan perjanjian dengan Yahudi Khaibar, agar mereka mengelola tanah Khaibar dengan ketentuan separuh hasilnya untuk mereka. Dari Abdullah ibnu Umar, ia berkata:

أَعْطَى رَسُولُ اللهِ n خَيْبَرَ الْيَهُودَ أَنْ يَعْمَلُوهَا وَيَزْرَعُوهَا وَلَهُمْ شَطْرُ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا

Rasulullah n memberikan Khaibar kepada Yahudi agar mereka mengelola dan menanaminya, serta mereka mendapat setengah dari hasilnya.” (Sahih, HR. al-Bukhari, dan beliau memberikan judul yang artinya “Berserikat dengan Orang Kafir Dzimmi dan Musyrik”)
Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan mengatakan, “Seorang muslim diperbolehkan berserikat dengan orang kafir, dengan syarat orang kafir tersebut tidak berkuasa penuh mengaturnya. Bahkan, orang kafir tersebut harus berada di bawah pengawasan muslim agar tidak melakukan transaksi riba atau keharaman yang lain jika ia berkuasa penuh.” (al-Mulakhkhash al-Fiqhi)
Ishaq bin Mansur al-Marwazi bertanya kepada Sufyan, “Apa pandanganmu tentang berserikat dengan seorang Nasrani?”
Beliau menjawab, “Adapun pada sesuatu yang kamu (muslim) tidak lihat, saya tidak menyukainya.”
Al-Imam Ahmad t berkomentar, “Pendapatnya bagus.” (Masail al-Imam Ahmad dan Ibnu Rahuyah)
Orang Kafir Menyewa Tenaga Muslim
Ada beberapa gambaran tentang hal ini.
Gambaran (a) Seorang muslim menjadi pembantu rumah tangga yang menyiapkan makan, mencuci, menyapu, membersihkan kotoran, membukakan pintu, dsb.
Menurut pendapat yang lebih kuat (rajih), tidak boleh karena mengandung kehinaan bagi seorang muslim, padahal Allah l berfirman:
“Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (an-Nisa: 141)
Ini adalah pendapat pengikut mazhab Maliki, Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal (Hanbali) pada salah satu riwayat dari beliau. Namun, riwayat yang lain dari al-Imam Ahmad membolehkan. Adapun pendapat pengikut mazhab Hanafi mengatakan makruh karena mengandung penghinaan.
Al-Muhallab t mengatakan, “Allah l telah memerintahkan hamba-Nya yang beriman agar berada di atas orang-orang musyrik. Allah l berfirman:
‘Janganlah kamu lemah dan meminta damai padahal kamulah yang di atas.’ (Muhammad: 35)
Oleh karena itu, tidak sah bagi seorang muslim untuk menghinakan dirinya dengan menjadi pelayan orang kafir kecuali dalam keadaan terpaksa, maka sah.” (Syarh al-Bukhari karya Ibnu Baththal)
Gambaran (b) Seorang muslim menjadi tukang dalam suatu pekerjaan, seperti mengecat rumahnya, membuat pagar, dsb.
Pekerjaan semacam ini diperbolehkan. Khabbab mengatakan:
“Aku dahulu bekerja sebagai pandai besi pada al-Ash bin Wail. Hingga terkumpullah gajiku dan tertahan pada dirinya. Aku pun mendatanginya untuk menagihnya. Dia justru menjawab, ‘Tidak, demi Allah. Aku tidak akan memberikan upahmu sampai kamu kafir terhadap Muhammad.’ Aku katakan, ‘Demi Allah sampai kamu mati lalu kamu dibangkitkan, aku tidak akan kafir.’ ‘Aku akan mati lalu aku akan dibangkitkan lagi?’ tukasnya. Aku pun menjawab. ‘Ya.’ Dia pun berujar, ‘Kalau begitu nanti aku akan punya harta di sana dan punya anak. Aku akan memberi upahmu di sana.’ Allah l lalu menurunkan ayat, ‘Kabarkan kepadaku tentang seorang yang kafir terhadap ayat-ayat Kami, lalu ia mengatakan, ‘Pasti aku akan diberi harta dan anak’. (Maryam: 77)”
Dalam hadits yang lain dari Ka’b bin Ujrah z:
أَتَيْتُ النَّبِيَّnفَرَأَيْتُهُ مُتَغَيِّراً فَقُلْتُ: بِأَبِي أَنْتَ، مَا لِي أَرَاكَ مُتَغيِّراً؟ قَالَ: مَا دَخَلَ جَوْفِي مَا يَدْخُلُ جَوْفَ ذَاتِ كَبِدٍ مُنْذُ ثَلاَثٍ. قَالَ: فَذَهَبْتُ فَإِذَا يَهُوْدِيٌّ يَسْقِي إِبِلاً لَهُ فَسَقَيْتُ لَهُ عَلَى كُلِّ دَلْوٍ بِتَمْرَةٍ فَجَمَعْتُ تَمْراً فَأَتَيْتُ بِهِ النَّبِيَّnفَقَالَ: مِنْ أَيْنَ لَكَ، يَا كَعْبُ؟ فَأَخْبَرْتُهُ، فَقَالَ النَّبِيُّ n: أَتُحِبُّنِيْ يَا كَعْبُ؟ قُلْتُ: بِأَبِيْ أَنْتَ، نَعَمْ
Aku menghadap Nabi n, aku pun melihat beliau sudah berubah (tubuhnya). “Kutebus engkau dengan ayahku, mengapa kulihat Anda berubah?” Beliau menjawab, “Tidak masuk dalam perutku sesuatu yang masuk ke perut makhluk yang memiliki hati (makhluk hidup) sejak tiga hari.” (Ka’b berkata) Aku pun pergi. Ternyata ada seorang Yahudi yang sedang memberi minum seekor unta miliknya. Aku pun membantunya memberi minum dengan upah satu butir kurma setiap satu timba, hingga aku berhasil mengumpulkan beberapa butir kurma. Lantas aku datang kepada Nabi n. Beliau pun mengatakan, “Dari mana kurma ini, wahai Ka’b?” Aku pun memberitahukan asalnya kepada beliau. Kemudian beliau mengatakan, “Apakah kamu mencintai aku, wahai Ka’b?” “Iya, kutebus engkau dengan ayahku….” (Hasan, HR. ath-Thabarani. Dihasankan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam kitab Shahih at-Targhib 3/150 no. 3271)
Nabi n tidak mengingkari pekerjaan Ka’b.
Demikian pula ayat:
Yusuf berkata, “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir), sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan.” (Yusuf: 55)
Al-Qurthubi t mengatakan, “Dengan ayat ini, para ulama berdalil diperbolehkan bagi orang yang punya keutamaan untuk bekerja pada seorang yang tidak baik serta pada seorang kafir. Dengan syarat, dia mengetahui bahwa akan diserahkan kepadanya pekerjaan yang ia tidak ditentang sehingga ia bisa berbuat baik sekehendaknya. Namun, apabila pekerjaannya itu harus menuruti kemauan orang yang tidak baik tersebut dan seleranya, maka tidak boleh.” (Tafsir al-Qurthubi)
Nabi n juga penah menggembalakan kambing milik orang-orang musyrik. Dari Abu Hurairah z, ia berkata, “Dari Nabi n, beliau bersabda,
مَا بَعَثَ اللهُ نَبِيًّا إِلاَّ رَعَى الْغَنَمَ. فَقَالَ أَصْحَابُهُ: وَأَنْتَ؟ فَقَالَ: نَعَمْ، كُنْتُ أَرْعَاهَا عَلَى قَرَارِيطَ لِأَهْلِ مَكَّةَ
“Tidaklah Allah mengutus seorang nabi melainkan ia pernah menggembala kambing.” Para sahabat beliau bertanya, “Anda juga?” Beliau menjawab, “Ya. Aku dahulu menggembala kambing milik orang Makkah dengan upah beberapa karat emas (dinar)’.” (Sahih, HR. al-Bukhari)
Gambaran (c) Seorang muslim mendapat pesanan barang atau proyek tertentu, seperti membuat kursi, menjahit pakaian anak-anak, dsb.
Yang seperti ini lebih diperbolehkan oleh para ulama, karena ini pekerjaan yang lepas (tidak terikat) dan tidak mengandung kerendahan sama sekali dari seorang muslim terhadap orang kafir.
Ibnul Munayyir t mengatakan, “Mazhab-mazhab menetapkan, para produsen di toko-toko boleh memproduksi sesuatu untuk ahlu dzimmah (orang kafir) yang tinggal bersama muslimin di negeri muslimin. Ini tidak termasuk kerendahan. Berbeda halnya bilamana dia melayaninya di rumahnya dan bergantung kepadanya.” (Umdatul Qari syarh Shahih al-Bukhari)
Ibnu Qudamah t mengatakan, “Adapun jika ia menyewakan dirinya pada seorang kafir dalam sebuah pekerjaan tertentu dalam tanggungannya, semacam menjahitkan baju dan memotongnya, hal itu diperbolehkan tanpa adanya perbedaan pendapat yang kami ketahui.” (al-Mughni)
Dari keterangan di atas, tampak bahwa pekerjaan-pekerjaan yang diperbolehkan tersebut tidak termasuk berloyal kepada orang kafir.
(Dijawab oleh al-Ustadz Qomar Suaidi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar