Kamis, 09 April 2015

Renovasi Ka'bah, Peletakan Hajar Aswad & Wahyu pertama Iqro'

Renovasi Ka'bah


Ketika usia beliau sekitar 35 atau 37, terjadi renovasi bangunan Ka’bah. Penyebabnya adalah bangunan Ka’bah mengalami kerusakan parah akibat banjir besar, maka orang-orang Quraisy sepakat untuk merenovasi bangunan Ka’bah.

Namun, ada beberapa permasalahan.

Permasalahan pertama, Ka’bah ini terbuat dari batu.
Sedangkan di Mekkah terbiasa membuat bangunan rumah dari tanah. Batunya ada, tapi arsiteknya tidak ada, karena di Mekkah tidak ada bangunan dari batu, semua dari tanah.

Alhamdulillah, setelah dicari-cari siapa yang bisa jadi arsiteknya, maka ditemukanlah seorang budak, namanya Amir al Qibti. Budak ini berasal dari Syria, dan di Syria terbiasa membuat bangunan rumah dari batu. Setelah dipastikan bahwa Amir menguasai caranya membuat bangunan dari batu, maka Amir pun dibeli oleh orang-orang Mekkah.
Selesailah permasalahan pertama.

Permasalahan ke-2, Ka’bah ini di dalamnya ada pondasi-pondasi kayu.
Sedangkan di Mekkah, tidak ada kayu.

Alhamdulillah, tidak berapa lama, terdengar kabar bahwa ada perahu yang hancur di tengah laut dan kayunya terdampar di Jeddah. Maka diambillah kayu itu.
Selesailah permasalahan kedua.

Permasalahan ke-3, kalau mau membangun, lebih baik mana, meneruskan bangunan dengan membiarkan pondasi yang rusak atau merobohkannya, lalu membangun dari pondasi awal. Tentu yang membangun dari pondasi awal.

Artinya, bangunan Ka’bah harus dirobohkan dulu.

Semua pun sepakat.

Namun ketika akan memulai pekerjaan merobohkan bangunan Ka’bah, tiba-tiba ada yang berseru,

“Tunggu! Tunggu!”

“Ada apa?”

“Ingat tidak, ketika dulu raja Abrahah mau menghancurkan Ka’bah lalu datang burung ababil?”

Masih ingat kan dengan beberapa chapter yang lalu tentang “Hancurnya Abrahah dan Pasukannya” (episode 2.5)

“Waduh, saya tidak mau itu terjadi”

Sehingga semua mundur, tidak ada yang mau melakukan pekerjaan merobohkan bangunan Ka’abah.

Akhirnya, Al-Walid bin Al-Mughirah Al-Makhzumy berkata,
“Kita merobohkan bangunan Ka’bah ini bukan untuk meniadakan Ka’bah, namun untuk membangunnya kembali.”

Tapi semua tetap tidak mau, tidak ambil resiko kalau tiba-tiba datang burung ababil.
“Kau sendiri saja yang melakukannya,” kata mereka.

Akhirnya Al-Walid bin Al-Mughirah maju sendiri, dan mulai mengayunkan kapaknya untuk merobohkan bangunan Ka’bah. Jeder! Jeder! Beberapa bagian Ka’bah pun roboh, tapi belum semua.

Orang-orang Mekkah hanya melihat dari rumahnya masing-masing, semua kawatir, ada burung ga ya?
Tapi tidak ada. Ditunggu sampai di penghujung hari, tetap tidak ada burung datang.
Besoknya, hari ke-2, orang Mekkah tetap tidak mau turun tangan membantu Al-Walid bin Al-Mughirah,
“Kita tunggu sampai 3 hari, kalau sudah 3 hari tidak terjadi apa-apa, berarti memang aman.”

Maka hari ke-2 itu Al-Walid bin Al-Mughirah meneruskan merobohkan bangunan Ka’bah hanya dibantu oleh anak-anaknya saja.
Hari itu berlalu dengan aman, tidak ada burung.

Tibalah hari ke-3.

Pada hari ke-3, Al-Walid bin Al-Mughirah meneruskan pekerjaan merobohkan bangunan Ka’bah dibantu oleh anak-anaknya dan beberapa orang.

Dengan was-was, orang-orang Mekkah menanti sampai di penghujung hari itu. Ternyata tetap tidak ada burung datang.

Akhirnya, hari ke-4 semua orang Mekkah turun membantu, maka tak lama kemudian, bangunan Ka’bah pun rata dengan tanah, dan mulai dibangun pondasi baru.
Selesailah permasalahan ketiga.

Permasalahan ke-4, kurangnya dana.

Subhanallah.. walalupun mereka adalah kaum jahiliyah, tapi demikian tinggi penghormatannya terhadap Ka’bah, sehingga mereka sepakat tidak boleh ada dana yang haram yang masuk untuk dana pembangunan, subhanallah, syarat yang luar biasa:

Tidak boleh uang hasil riba
Tidak boleh uang hasil judi
Tidak boleh uang hasil curian (korupsi)
Tidak boleh uang hasil menzhalimi orang lain

Suhanallah..

Allah MahaBaik, maka tidak menerima kecuali yang baik.

Tapi ternyata dana halal yang terkumpul tidak cukup untuk membangun Ka’bah dalam pondasi seperti semula. Maka apa yang dilakukan?

Ka’bah yang tadinya empat persegi panjang, dengan bagian Hijr Ismail menempel di Ka’bah, dimana cukup satu orang untuk masuk di situ, maka bagian itu dikeluarkan, sehingga bangunan Ka’bah kini berbentuk kubus.

Oleh karena itu, Rasulullah SAW bersabda,
“Barang siapa yang ingin melaksanakan sholat di dalam Ka’bah, maka sholatlah di Hijr Ismail”
Kenapa demkian?
Karena memang Hijr Ismail ini tadinya bagian dari Ka’bah.

Demikianlah, Ka’bah yang awalnya berbentuk persegi panjang, setelah renovasi, maka berubah bangunannya menjadi berbentuk kubus.
Apa hikmahnya?

Ka’bah saja, rumah Allah SWT yang hakiki, yang memang asli dibangun karena perintah Allah SWT secara langsung kepada nabi Ibrahim as, diperkecil bangunannya, karena terbatasnya dana yang halal.

Hal ini sebagai momentum pengingat, “utamakan halal”, betapa pentingnya kehalalan harta. Bukan banyaknya, tapi halal tidak. Yang penting adalah harta yang halal, suci, bersih dari yang haram.
Demikian pula masjid, tidak perlu megahnya, ataupun besarnya, tetapi yang penting dana yang digunakan untuk membangunnya adalah berasal dari yang halal, yang haq.

Karena sesungguhnya Allah SWT itu MahaBaik, maka hanya menerima yang baik-baik saja, subhanallah..

Peletakan Hajar Aswad


Setelah renovasi bangunan Ka’bah rampung, timbul permasalahan baru, yaitu siapa yang berhak mendapat kehormatan menyimpan Hajar Aswad di tempatnya semula.

Karena semua kabilah merasa paling berhak sehingga hampir menjurus kepada pertumpahan darah.

Kabilah Abu Dzar, dengan membawa darah di sebuah wadah, menyatakan,
“Kalau seandainya bukan aku yang meletakkan Hajar Aswad ke tempatnya,” dia masukkan tangannya ke wadah yang berisi darah, lalu memperlihatkan tangannya yang berlumuran darah, “berarti perang.”

Kabilah Bani Makhzum juga melakukan hal yang sama, beberapa kabilah yang lain juga demikian, semua membawa darah, siap perang.

Akhirnya, Abu Umayyah bin Al-Mughirah Al-Makhzumy, seorang pemuka Mekkah yang sudah berusia sekitar 120 tahun berkata,

“Wahai pemuka-pemuka Arab, kalau kalian terus-menerus berkelahi, berantem, perang, lalu siapa yang akan mengurus Mekkah? Bagaimana Mekkah akan terbangun kalau pemimpinnya tidak bersatu? Lebih mendahulukan kepentingan masing-masing?”

“Saya menawarkan satu jalan keluar. Bagaimana kalau masalah ini kita serahkan kepada orang yang pertama kali masuk ke sini melalui pintu Syaibah itu, setuju?”

Semua setuju. Maka mereka menunggu dengan berdebar siapa yang akan masuk pertama kali.

Tiba-tiba ada seseorang yang masuk dari pintu Syaibah, ternyata orang itu adalah Rasulullah SAW, subhanallah.. Allah menghendaki orang yang berhak tersebut adalah Rasulullah SAW.

Begitu melihat beliau, semua langsung berujar,

“Dia Al-Amin. Kami ridho dengan hukumnya Muhammad Al-Amin, Muhammad yang terpercaya”
Subhanallah..

Lalu Rasulullah SAW duduk di antara mereka.

“Wahai Muhammad, kami ada masalah. Kami ingin menyimpan Hajar Aswad di tempatnya semula, tapi kami berbeda pendapat, masing-masing kami ingin mempunyai kemuliaan tersebut. Bagaimana menurutmu?”
“Begini saja,” beliau membuka sorbannya, menggelarnya di tengah, lalu meletakkan Hajar Aswad tepat di tengah-tengah sorbannya.

“Wahai seluruh kabilah, silakan setiap pimpinan kabilah memegang ujung sorban ini.”

Maka setiap pimpinan kabilah memegang ujung sorban yang di tengahnya diletakkan Hajar Aswad itu, lalu bersama-sama mengangkat sorban tersebut dan berjalan menuju tempat Hajar Aswad yang semula.
Sesampainya di sana, beliau mengambil Hajar Aswad, lalu disimpan oleh tangannya Rasulullah SAW ke tempatnya semula. Subhanallah..

Maka permasalahan perbedaan pendapat pada waktu itu dapat diselesaikan oleh Rasulullah SAW dengan cara yang sangat jitu dan diridhoi semua orang. Maka terbuktilah bahwa beliau bisa menyelesaikan permasalahan umat. Ini terjadi ketika usia beliau belum mencapai 40 tahun.

Malaikat Jibril turun ke bumi


Ketika usia Rasulullah SAW hampir mencapai 40 tahun, hal yang paling beliau sukai adalah uzlah, menyendiri, mengasingkan diri. Dengan membawa bekal roti gandum dan air, beliau pergi ke gua Hira’ di Jabal nur, yang jaraknya kira-kira 2 mil dari Mekkah, suatu gua yang sederhana, tidak terlalu besar, kira-kira panjangnya 4 hasta dan lebarnya 3/4 hingga 1 hasta. Perjalanan dari bawah sampai ke gua Hira’ di atas ini sekitar 1.5 sampai 2 jam.

Di gua Hira’, beliau diam bertafakur-bertadabur, sebagaimana ketika masih menggembala, beliau juga sering bertafakur-bertadabur. Itulah yang menjadikan tafakur nantinya menjadi keutamaan. Beliau memikirkan situasi keadaan kota Mekkah yang penuh kemusyrikan dan tak pernah lepas dari tahayul.
Pilihan beliau untuk mengasingkan diri ini termasuk satu sisi dari ketentuan Allah atas diri beliau, sebagai langkah persiapan untuk menerima urusan besar yang sedang ditunggunya.

Ruh manusia manapun yang realitas kehidupannya akan disusupi suatu pengaruh dan dibawa ke arah lain, maka ruh itu harus dibuat kosong dan mengasingkan diri untuk beberapa saat, dipisahkan dari berbagai kesibukan duniawi dan gejolak kehidupan serta kebisingan manusia yang membuatnya sibuk pada urusan kehidupan.

Begitulah Allah mengatur dan mempersiapkan kehidupan Rasulullah SAW, untuk mengemban amanat yang besar. Subhanallah.. Rasulullah ber-uzlah, sering bertafakur di gua Hira’ sekitar 2 tahun, di usia 38 tahun atau 39 tahun.

Subhanallah..

Malam itu di bulan Ramadhan, dalam terang bulan purnama, saat beliau dalam kesendirian, turunlah makhluk yang luar biasa besar. Kaget sekali beliau dibuatnya.
Makhluk ini tak lain tak bukan adalah Malaikat Jibril as.
Tanpa basi-basi, Jibril langsung berkata, “Iqro’”, artinya Bacalah.
“Aku tidak bisa membaca,” jawab Rasulullah SAW dalam keterkejutannya.
Jibril mengulang, “Iqro’”
“Aku tidak bisa membaca”

Tiba-tiba Jibril mendekap erat beliau, sampai-sampai kata beliau, “Hampir saja seolah-olah aku melihat kematian,” karena saking sesaknya, saking eratnya Jibril mendekap beliau.
Jibril melepaskan dekapannya terhadap beliau, lalu berkata, “Iqro’”
“Aku tidak bisa membaca,” jawab Rasulullah SAW dalam rasa bercampur terkejut, takjub, takut.

Beliau dipeluk lagi oleh Jibril dengan kuat, lalu dilepas lagi.

Apa rahasianya, kenapa Jibril memeluk-melepas memeluk-melepas Rasulullah SAW?
Jawabannya adalah, karena Jibril mencintai Rasulullah SAW dan sudah sangat rindu pada beliau.

Analoginya begini, misal, kita sangat sayang dengan seorang anak kecil lucu banget imut nggemesin, apakah itu anak saudara atau anak teman, atau keponakan kesayangan kita, trus baru bertemu setelah beberapa lama, pasti kan kita kangen banget dengan anak itu.

Saat ketemu, pasti kita akan memeluknya, menciuminya, sampai kadang anak itu nangis ketakutan pun, kita seakan-akan ga peduli, kita tetap memeluknya dan menciuminya. Saking sayangnya, saking rindunya pada anak itu. Begitu kan?

Sedangkan si anak kecil, yang dipeluk diciumi, tidak tahu itu, bahkan jadi ketakutan, jadi nangis. Padahal kita sama sekali tidak bermaksud menyakitinya ataupun membuatnya takut, itu semata-mata karena kita sangat rindu padanya sehingga tidak bisa menahan diri untuk tidak memeluk dia, gitu..

Demikian pula dengan Jibril ini. Saking rindunya pada Rasulullah SAW, Jibril pun memeluk erat beliau, sementara beliau tidak tahu tentang Jibril ini. Subhanallah..

Kenapa Jibril begitu rindu pada Rasulullah SAW?

Karena selama 600 tahun setelah nabi Isa as, di muka bumi ini tak ada nabi dan rasul, baru kali ini ada Rasulullah Muhammad SAW.

Hal ini tidak pernah terjadi sebelumnya.

Sejak zaman nabi Nuh, selalu ada nabi, tidak pernah terputus di muka bumi ini dengan keberadaan nabi. Bahkan kadang ada 2 nabi dalam 1 masa, seperti Nabi Musa dan nabi Harun, keduanya kakak-beradik.
Kadang-kadang 1 masa ada 4 nabi, itu wajar. Seperti nabi Yahya itu adalah anaknya nabi Zakaria, ayah-anak jadi nabi. Nabi Yahya juga masih sepupu-an dengan nabi Isa.

Tapi setelah nabi Isa diangkat, di muka bumi ini tidak ada lagi nabi dan rasul selama 600 tahun (sebagian ulama mengatakan 580 tahun).

Maka pepohonan merindukan Rasulullah, batu merindukan Rasulullah, pasir-pasir pun merindukan Rasulullah. Subhanallah, saat Rasulullah berjalan semuanya mengucapkan salam, “Assalamu ‘alayka ya Rasulullah.” Beliau mendengar salam itu, tapi tak tahu dari siapa, karena dilihatnya tak ada seorang pun.
Begitupun dengan malaikat Jibril juga sangat merindukan Rasulullah SAW.

Maka, ketika turun ke bumi ini, menyampaikan wahyu yang pertama kali kepada beliau, Jibril pun memeluk beliau dengan erat, sampai beliau susah bernapas, saking eratnya, saking rindunya Jibril pada Rasulullah SAW. Subhanallah..

..rindu kami padamu ya Rasul, rindu tiada terperi..

Wahyu pertama Iqro'


Di gua Hira’ yang sederhana itulah wahyu Allah SWT turun untuk pertama kalinya.
Di gua Hira’ yang penuh dengan  ketawadhuan itulah tempat sinyal yang kuat antara langit dan bumi.
Di tempat yang tawadhu itulah pertama kalinya cahaya islam berkembang, bukan di istana mewah, bukan di bangunan megah, tapi di tempat yang sederhana, gua Hira’. Subhanallah..

Apa hikmahnya?
Hikmahnya adalah bahwa belajar, mencari ilmu itu tidak harus berada di tempat yang mewah, gedung yang megah, bagus.
Jadi kita tidak usah tergiur dengan fisiknya, bangunannya, ruangannya, asesorisnya, hiasannya, tapi lihatlah isinya.

Iqro’ saja, ayat Al Quran yang pertama kali saja turunnya tidak di istana. Padahal saat itu, banyak tempat-tempat megah, namun Allah SWT tidak menurunkan Al Quran di sana, tetapi hanya di gua sederhana.

Lihatlah ke-tawadhu-annya. Subhanallah..

Wahyu yang pertama kali turun adalah 5 ayat pertama surat Al ‘Alaq, yang dimulai dengan kata “Iqro'”, bacalah.

Apa hikmahnya?
Kenapa harus iqro - bacalah - yang pertama kali turun?
Mari gunakan hati kita untuk memahami hal ini.
Allah SWT hendak menegaskan bahwa umat Rasulullah SAW adalah umat akhir zaman.

Artinya, sudah bukan masanya mukjizat kehancuran umat, seperti masa nabi Nuh dengan air bah, atau nabi Musa dengan laut yang terbelah, atau nabi Luth dengan hujan batu.

Tapi di masa umat Rasulullah SAW ini seolah-olah Allah SWT menegaskan bahwa mukjizatmu sekarang ini bukan yang begitu lagi, tapi mukjizatmu sekarang ini adalah ilmu, berpikir dengan akal yang dianugerahkan.

Subhanallah..

Maka sudah tidak ada lagi penghancuran umat, sehingga wahyu yang pertama kali turun pun adalah iqro’, bacalah.

Wahyu yang pertama kali turun adalah 5 ayat pertama surat Al-Alaq:

(1) Iqro’. Bacalah dengan (menyebut) nama Rabbmu Yang menciptakan,
(2) Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
(3) Iqro’. Bacalah, dan Rabbmulah Yang Maha Pemurah,
(4) Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam*
(5) Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.

*Maksudnya: Allah mengajar manusia dengan perantaraan tulis baca.
Subhanallah.. Dalam 5 ayat Al Qur’an yang pertama kali diturunkan itu, tersirat bahwa kita harus membaca, belajar, belajar dan belajar. Subhanallah..

Terakhir, yang ingin disampaikan di sini adalah bahwa sesungguhnya mulai sejak itulah, sejak pertama kali turunnya wahyu, maka mulailah terbukanya hubungan Allah dan Rasulullah SAW.

Dalam pengertian lain, mulai ada “benang” penghubung antara langit dan bumi, yaitu dengan wahyu.

Maka setelah itu, malaikat Jibril pun bolak-balik mondar-mandir langit-bumi untuk menyampaikan wahyu kepada Rasulullah SAW, selama 23 tahun masa kenabian.

Subhanallah..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar