“Dalam buku Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib tertimbun segudang dalil yang bertalian dengan keimanan Abî Thâlib.” [Shâlih al-Wardânî][1]
I. Prolog
Dalam wacana agama yang sudah mapan di tengah ummat Islam Abû Thâlib sering kali diklaim sebagai orang kafir dan kelak di akhirat akan menjadi penghuni setia Neraka, asumsi demikian dapat dimaklumi keberadaannya mengingat para “penganggit” kitab dalam beberapa statemennya seringkali mendaku pendapat tersebut sebagai suara mayoritas.
Sebagai sampel, misalnya Abû Zahrah dalam bukunya yang berjudul Khâtam al-Nabiyyîn Shallallah ‘Alaih wa Âlih wa Sallam menyatakan bahwa, “Abû Thâlib mati dalam keadaan syirik”. Menurutnya pendapat ini dikemukakan oleh suara mayoritas dari ulama` Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah, pakar fikih (fuqahâ`), dan ahli hadis. Sedangkan pendapat yang mewacanakan “keimanan Abû Thâlib dan keselamatannya di akhirat” oleh Abû Zahrah dituding sebagai pendapat ulama` berhaluan Syî’ah.[2]
Syahdan, klaim Abû Zahrah dan ulama` yang sependapat dengannya tak lebih dari “pepesan kosong” karena Ahmad bin Zainî Dahlân atau yang biasa dikenal dengan Zainî Dahlân, salah seorang “penjaga gawang” Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah dan seorang yang rajin mengkritik wahabi, menyatakan sebaliknya, yaitu mayoritas Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah berpendapat bahwa Abû Thâlib merupakan salah seorang yang beriman kepada Allah dan utusan-Nya dan kelak akan dimasukkan ke dalam Surga selama-lamanya.
Pernyataan Zainî Dahlân ini terekam dalam karya intelektualnya yang berjudul Asnâ Al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib. Oleh karena itu kitab ini sangat urgen untuk dikaji mengingat wacana keagamaan yang diyakini oleh umat Islam bertentangan dengan “keyakinan yang sesungguhnya”.
A. Identitas Buku Asnâ Al-Mathâlib Fî Najâh Abî Thâlib
Buku Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib (mempermudah beberapa pencarian dalam keselamatan Abî Thâlib) ditulis oleh ulama` termuka di masanya (farîd al-‘Ashr wa al-awwân), Ahmad bin Zainî Dahlân, yang lahir di Kota Makkah pada 1232 H. (1817 M.) dan wafat di Madinah pada 1304 H. (1886 M.), ia dikenal sebagai orang yang membidangi semua ilmu; fikih, hadis, sejarah, teologi, dan yang lainnya. Buah karyanya sangat banyak sekali, antara lain; al-Futûhât al-Islâmiyyah, al-Jadâwal al-Mardliyyah fî Târîkh al-Dual al-Islâmiyyah, Khulâshah al-Kalâm fî `Umarâ` al-Balad al-Harâm, al-Fath al-Mubîn fî Fadlâ`il al-Khulafâ` al-Râsyidîn wa Ahl al-Bait al-Thâhirîn, al-Sîrah al-Nabawiyyah, Risâlah fi al-Rad ‘ala al-Wahâbiyyah, Asna al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, dan yang lainnya.[3] Selama hidupnya ia hanya digunakan untuk mengabdikan diri kepada ilmu dan masyarakat, belajar, mengajar, dan mengarang. Ia pernah menjadi guru besar di Masjid al-Haram dan menjabat sebagai Mufti madzhab Syafi’î.[4] Sangking banyaknya hafalan hadis yang ia miliki para ulama` memujinya dengan mengatakan, “Kitab Shahîh Bukhâri bagi Zainî Dahlan bagaikan surat al-Fâtihah.”[5]
Di telinga santri nama tersebut tidak asing lagi karena di samping para ulama Nusantara banyak yang berguru kepadanya juga hampir semua ilmu yang diajarkan di pesantren memiliki “genealogi sanad” bersambung kepadanya. Zainî Dahlân dikenal sebagai salah satu ulama` yang memperjuangkan aliran Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah di tengah gebyar aliran wahabiyyah, hal ini tercermin dalam beberapa buah karyanya yang khusus ia sajikan untuk “menelanjangi” dan menyingkirkan paham tersebut, antara lain; Risâlah fi al-Rad ‘ala al-Wahâbiyyah, Fitnah al-Wahâbiyyah, Khulâshah al-Kalâm, dan al-Durar al-Saniyyah fi al-Radd ‘ala al- Wahâbiyyah.
I. Prolog
Dalam wacana agama yang sudah mapan di tengah ummat Islam Abû Thâlib sering kali diklaim sebagai orang kafir dan kelak di akhirat akan menjadi penghuni setia Neraka, asumsi demikian dapat dimaklumi keberadaannya mengingat para “penganggit” kitab dalam beberapa statemennya seringkali mendaku pendapat tersebut sebagai suara mayoritas.
Sebagai sampel, misalnya Abû Zahrah dalam bukunya yang berjudul Khâtam al-Nabiyyîn Shallallah ‘Alaih wa Âlih wa Sallam menyatakan bahwa, “Abû Thâlib mati dalam keadaan syirik”. Menurutnya pendapat ini dikemukakan oleh suara mayoritas dari ulama` Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah, pakar fikih (fuqahâ`), dan ahli hadis. Sedangkan pendapat yang mewacanakan “keimanan Abû Thâlib dan keselamatannya di akhirat” oleh Abû Zahrah dituding sebagai pendapat ulama` berhaluan Syî’ah.[2]
Syahdan, klaim Abû Zahrah dan ulama` yang sependapat dengannya tak lebih dari “pepesan kosong” karena Ahmad bin Zainî Dahlân atau yang biasa dikenal dengan Zainî Dahlân, salah seorang “penjaga gawang” Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah dan seorang yang rajin mengkritik wahabi, menyatakan sebaliknya, yaitu mayoritas Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah berpendapat bahwa Abû Thâlib merupakan salah seorang yang beriman kepada Allah dan utusan-Nya dan kelak akan dimasukkan ke dalam Surga selama-lamanya.
Pernyataan Zainî Dahlân ini terekam dalam karya intelektualnya yang berjudul Asnâ Al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib. Oleh karena itu kitab ini sangat urgen untuk dikaji mengingat wacana keagamaan yang diyakini oleh umat Islam bertentangan dengan “keyakinan yang sesungguhnya”.
A. Identitas Buku Asnâ Al-Mathâlib Fî Najâh Abî Thâlib
Buku Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib (mempermudah beberapa pencarian dalam keselamatan Abî Thâlib) ditulis oleh ulama` termuka di masanya (farîd al-‘Ashr wa al-awwân), Ahmad bin Zainî Dahlân, yang lahir di Kota Makkah pada 1232 H. (1817 M.) dan wafat di Madinah pada 1304 H. (1886 M.), ia dikenal sebagai orang yang membidangi semua ilmu; fikih, hadis, sejarah, teologi, dan yang lainnya. Buah karyanya sangat banyak sekali, antara lain; al-Futûhât al-Islâmiyyah, al-Jadâwal al-Mardliyyah fî Târîkh al-Dual al-Islâmiyyah, Khulâshah al-Kalâm fî `Umarâ` al-Balad al-Harâm, al-Fath al-Mubîn fî Fadlâ`il al-Khulafâ` al-Râsyidîn wa Ahl al-Bait al-Thâhirîn, al-Sîrah al-Nabawiyyah, Risâlah fi al-Rad ‘ala al-Wahâbiyyah, Asna al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, dan yang lainnya.[3] Selama hidupnya ia hanya digunakan untuk mengabdikan diri kepada ilmu dan masyarakat, belajar, mengajar, dan mengarang. Ia pernah menjadi guru besar di Masjid al-Haram dan menjabat sebagai Mufti madzhab Syafi’î.[4] Sangking banyaknya hafalan hadis yang ia miliki para ulama` memujinya dengan mengatakan, “Kitab Shahîh Bukhâri bagi Zainî Dahlan bagaikan surat al-Fâtihah.”[5]
Di telinga santri nama tersebut tidak asing lagi karena di samping para ulama Nusantara banyak yang berguru kepadanya juga hampir semua ilmu yang diajarkan di pesantren memiliki “genealogi sanad” bersambung kepadanya. Zainî Dahlân dikenal sebagai salah satu ulama` yang memperjuangkan aliran Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah di tengah gebyar aliran wahabiyyah, hal ini tercermin dalam beberapa buah karyanya yang khusus ia sajikan untuk “menelanjangi” dan menyingkirkan paham tersebut, antara lain; Risâlah fi al-Rad ‘ala al-Wahâbiyyah, Fitnah al-Wahâbiyyah, Khulâshah al-Kalâm, dan al-Durar al-Saniyyah fi al-Radd ‘ala al- Wahâbiyyah.
Buku Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib
sebagaimana yang tercermin dalam titelnya berisi tentang pembahasan
keimanan Abî Thâlib. Melalui buku ini yang terdiri dari lima pembahasan
pokok (baca: bab); bab menetapkan keimanan (Bâb Itsbât al-Îmân), bab Abû Thâlib dan Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam (Bâb Abû Thâlib wa al-Nabî), bab sya’ir Abû Thâlib (Bâb Syi’r Abû Thâlib), bab Abû Thâlib dan pertolongan (Bâb Abû Thâlib wa al-Syafâ’ah), dan bab keselamatan Abû Thâlib (Bâb Najâh Abû Thâlib), Zainî Dahlân hendak menyatakan bahwa Abû Thâlib termasuk orang yang beriman dan kelak di akhirat akan masuk Surga.
Namun sebagaimana diakuinya sendiri
bahwa buku ini tidak lebih dari komentar (syarh) atas karya al-Barzanjî
(w. 1130 H.)[6] yang membahas tentang “keselamatan kedua orang tua nabi
Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam (Najâh Abawaî al-Nabî Shallallah ‘Alaîh wa Sallam).”[7]
Dalam buku tersebut al-Barzanjî di
samping mengkaji tentang keselamatan kedua orang tua nabi Shollallohu
‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam juga membicarakan keselamatan
paman nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam yang
bernama Abû Thâlib, dan ia berkesimpulan bahwa Abû Thâlib beriman kepada
Allah dan utusan-Nya dan kelak di akhirat akan selamat. Namun karena
–menurut Zainî Dahlân- pengkajian yang dilakukan oleh al-Barzanjî ini
terlalu dalam sehingga menjadikan bukunya sulit dipahami khususnya bagi
para pelajar tingkat pemula, Zainî Dahlân melaui Asna al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib
mengurai pembahasan tersebut dengan bahasa yang mudah dan renyah
sembari membuang pembahasan yang tidak memiliki relevansi dengan tema
terkait serta menambahkan keterangan yang ia ambil dari kitab al-Mawâhib al-Laduniyyah dan al-Sîrah al-Halbiyyah.
B. Konsep Iman Dan Islam
Sebagai pra wacana dalam mengungkap
keimanan Abû Thâlib, Zainî Dahlân mengawali pembahasannya dengan
menyuguhkan konsep iman di bawah judul “Bab menetapkan keimanan (itsbât al-îmân).”
Menurut pendapatnya yang ia copy dari al-Barzanjî, pengertian iman
ialah pembenaran hati terhadap ke-Esaan Tuhan dan risalah nabi
Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam, serta
percaya bahwa semua pesan yang dibawa oleh Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa
Alihi wa Shohbihi wa Sallam berasal dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sedangkan Islam adalah tunduk kepada Allah dengan menjalankan aktifitas
dzahir yang diperintahkan-Nya.[8]
Islam bertali temali dengan anggota
dzahir, sedangkan iman hanya bertalian dengan anggota batin. Kendati
keduanya memiliki wilayah sendiri-sendiri namun dalam tataran praksisnya
keduanya harus saling bertalian intim, bagai dua sisi mata uang yang
dapat dibedakan namun tidak bisa dipisahkan. Untuk menjadi seorang
mukmin harus menjalankan keduanya; percaya terhadap Tuhan yang maha Esa
dan Utusan-Nya, dan mengakui secara lisan dengan mengucapkan dua kalimat
syahadat. Sehingga apabila “Islam” berjauhan dengan “iman” maka
seseorang tidak bisa menjadi “mu’min” sebagaimana yang terjadi pada diri
orang munafiq, mereka mengucapkan dua kalimat syahadat dan tunduk
terhadap hukum Tuhan (baca: berislam), namun di dalam hatinya ia
mengingkari hal tersebut. Begitu juga yang terjadi pada diri orang yang
mengakui ke-Esaan Tuhan dan risalah nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa
Alihi wa Shohbihi wa Sallam (baca: beriman) namun dzahirnya tidak
mengakui, sebagaimana para pembesar Yahudi, hati mereka mengakui risalah
nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam namun
dzahirnya mengingkari.
Keislaman orang munafiq tidak diterima
oleh Tuhan karena di dalam hati mereka terdapat pengingkaran, ia hanya
diakui oleh manusia di sekelilingnya saja. Sedangkan para pembesar
Yahudi walaupun di dalam hati sebenarnya beriman, namun karena dzahirnya
mengingkari padahal dalam kondisi normal maka keimanannya sama seperti
keislaman orang munafiq, di sisi Tuhan tidak diterima.
Berbeda dengan situasi normal sebagaimana permasalahan di atas, apabila keadaan yang dialami seseorang tidak normal (li‘udzr)
seseorang boleh untuk tidak menampakkan keislamannya, cukup Islam di
dalam hati (iman). Beriman namun secara dzahir tidak berislam karena
terdapat halangan yang merintangi, bukan menentang, di sisi Allah dapat
diterima. Kelak di akhirat akan dimasukkan ke dalam golongan orang-orang
yang beriman (mukminîn), namun secara dzahir di dunia ia diperlakukan
sebagaimana orang kafir, singkatnya berlabel kafir di dunia dan muslim
di akhirat.[9]
Halangan dimaksud menurut Zainî Dahlân
memiliki beberapa sebab, di antaranya; khawatir terhadap penganiayaan,
apabila seseorang menampakkan keislamannya di muka umum maka ia akan
disakiti atau dibunuh. Atau khawatir menyakiti salah satu dari anak-anak
atau kerabat-kerabatnya. Dalam kondisi demikian seseorang boleh untuk
menyamarkan keislamannya, bahkan apabila ia dipaksa untuk mengucapkan
perkataan kufur ia diperbolehkan mengatakannya. Hal ini sebagaimana
diisyaratkan oleh Allah Subhanu wa Ta’ala dalam Qur’an Surat an-Nahl
106:
“Barangsiapa yang kufur kepada Allah
sesudah beriman (maka dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang
dipaksa kafir, namun hatinya tetap tenang beriman (dia tidak berdosa),
akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran maka
kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.”
Setelah mengajukan konsep keimanan yang
diramu dari pemikiran al-Barzanjî dan ulama` lain yang seide Zainî
Dahlân segera menerapkannya pada permasalahan yang dikaji, yaitu tentang
keimanan Abû Thâlib. Menurutnya, keislaman Abû Thâlib berada dalam
kondisi ‘udzur. Abû Thâlib sebenarnya beriman, namun ia tidak
menampakkan keislamannya karena merasa khawatir akan terjadi hal-hal
negatif yang menimpa kepada keponakannya, Muhammad Shollallohu ‘Alaihi
wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam.[10]
Pada masa-masa awal berdakwah Nabi
Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam banyak
mendapat serangan dari kafir Quraisy, namun berkat perlindungan
pamannya, Abû Thâlib, serangan tersebut sedikit demi sedikit menjadi
berkurang. Hal ini karena sejak Abdul Muthallib (kakek Nabi Muhammad
Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam/ ayah Abdullah dan
Abû Thâlib) wafat kepemimpinan Quraisy dikendalikan oleh Abû Thâlib,
sehingga Abû Thâlib mendapat tempat yang sangat baik dan berpengaruh di
kalangan suku Quraisy, ia sangat disegani oleh mereka, bahkan
perlindungannya pun kepada nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa
Shohbihi wa Sallam diterima oleh mereka tanpa kecurigaan sedikitpun.
Kafir Quraisy menerima hal tersebut
lantaran mereka beranggapan bahwa Abû Thâlib melindungi Nabi Muhammad
Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam karena didorong oleh
rasa ikatan darah (Himyah), bukan karena membela agama yang dibawanya
(Ittibâ’). Anggapan seperti ini diperkuat dengan kesaksian mereka bahwa
Abû Thâlib masih setia mengikuti agama leluhurnya yang berlaku
dikalangan suku Quraisy.
Oleh karena itu andai masyarakat Quraisy
mengetahui bahwa ternyata Abû Thâlib telah masuk ke agama Islam dan
mengikuti Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa
Sallam maka mereka tidak akan pernah menerima perlindungannya yang
diberikan kepada Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi
wa Sallam, mereka akan membabi buta dalam menyerang Nabi Shollallohu
‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam dan berbuat lebih kasar ketimbang
sebelumnya, bahkan akan segera membunuhnya.
Fenomena demikian jelas menjadi halangan
besar bagi Abû Thâlib untuk berterus terang dalam beragama, sehingga
kepercayaan keagamaannya pun hanya ia semayamkan di dalam hati. Hal ini
pula yang menjadikan Abû Thâlib terkadang “bermuka dua” sesekali ia
menyampaikan perkataan-perkataan yang menunjukkan keislamannya, namun
dalam satu kesempatan terkadang ia menyampaikan perkataan yang
mengindikasikan bahwa dirinya masih tetap berpegang teguh dengan agama
kaum Quraisy dan tidak mengikuti ajakan Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi
wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam.[11]
Sebagai penunjang gagasannya, Zainî
Dahlan mengungkap persoalan yang bertalian dengan pernyataan dua kalimat
syahadat yang telah dibahas oleh al-Barzanjî. Apakah mengucapkan dua
kalimat syahadat termasuk bagian dari ketentuan iman (musammâ al-Îmân), atau hanya sebagai persyaratan pemberlakuan hukum di dunia (al-Ahkâm al-Dunyawiyyah)?
Jika pengucapan tersebut menjadi ketentuan keimanan maka orang yang
tidak mengucapkannya dihukumi kafir dan berhak hidup di Neraka
selama-lamanya. Namun apabila hanya sebagai persyaratan pemberlakuan
hukum di dunia maka di sisi Allah dihukumi sebagai orang yang beriman
dan apabila masuk Neraka hanya bersifat sementara, tidak abadi.[12]
Dalam menjawab persoalan ini Zainî
Dahlan memilih pendapat yang menyatakan bahwa mengucapkan dua kalimat
syahadat hanya sebagai persyaratan pemberlakuan hukum di dunia, bukan
sebagai syarat keabsahan iman. Karena sebagaimana yang dikatakan
Al-Safâqasî dalam Syarh al-Tamhîd bahwa iman adalah membenarkan. Sehingga yang terpenting pengakuan di dalam hati, bukan penampilan luar.[13]
Al-‘Ainî dalam Syarh al-Bukhârî
mengatakan, “pengakuan dengan lisan merupakan syarat pemberlakuan
hukum. Sehingga orang yang membenarkan ajaran yang dibawa Nabi Muhammad
Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam berarti ia mu’min di
sisi Allah walaupun di lisan ia tidak mengakuinya.”
Pendapat seperti ini juga diungkapkan
oleh para pembesar Ahl al-Sunnah lainnya seperti Abû Hanîfah, Abû
al-Hasan al-Asy’arî, Abû Manshûr al-Mâturîdî, ‘Idludd al-Dîn, Imâm
al-Haramain, al-Bâqillânî, Abû Ishâq al-Isfirâyinî, dan yang lainnya.
Bahkan al-Ghazâlî dalam karya monumentalnya, Ihya` ‘Ulûm al-Dîn, dan
al-Taftâzânî, menetapkan pendapat ini sebagai madzhab Ahl al-Sunnah wa
al-Jamâ’ah.[14]
Di samping berpijak pada pendapat para
ulama` Zainî Dahlân -dengan mengutip dari al-Barzanjî- juga mendasarkan
pendapatnya pada beberapa hadis nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa
Alihi wa Shohbihi wa Sallam.[15] Di antaranya hadis yang diriwayatkan
oleh ‘Imrân bin Hushain:
من علم أن الله ربه وإني نبيه صادقا عن قلبه حرم الله لحمه على النار
“Barang siapa mengetahui bahwa
sesungguhnya Allah adalah Tuhannya, dan aku nabinya sembari membenarkan
di dalam hati maka Allah mengharamkan dagingnya masuk Neraka.”
Hadis riwayat Muslim, dari ‘Utsmân bin ‘Affân bahwa Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam bersabda:
من مات وهو يعلم أن لاإله إلاالله دخل الجنة
“Orang yang meninggal dunia dan ia tahu bahwa tiada Tuhan selain Allah maka ia akan masuk Surga.”
Hadis riwayat Thabrânî dari Salmah bin
Nu’aim al-Asyja’î bahwa Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa
Shohbihi wa Sallam bersabda:
من لقى الله لايشرك به شيئا دخل الجنة، قال: قلت يارسول الله وإن زنى وإن سرق؟ قال: وإن زنى وإن سرق.
“Barang siapa bertemu Allah
(meninggal dunia) dan ia tidak mensekutukan-Nya maka ia masuk Surga.
Salmah bertanya: Walaupun ia pernah melakukan zina atau mencuri ya
Rasul? Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam menjawab:
(Ya), walaupun ia pernah berzina dan mencuri.”
Di samping persoalan di atas, masih
dalam Bab pertama dalam bukunya, Zainî Dahlân mendedah permasalahan
apakah dalam mengucapkan dua kalimat syahadat harus menggunakan lafadz
khusus (أشهد أن لاإله إلاالله وأشهد أن محمدا رسول الله) atau boleh
diganti dengan yang lain. Dengan mengutip pernyataan al-Barzanjî ia
mengatakan bahwa pendapat yang kuat (al-Râjih) dikalangan para ‘ulama`
ialah tidak harus menggunakan dua kalimat tersebut, melainkan
menggunakan lafadz lain pun diperbolehkan sebagaimana dalam persaksian
kepada Tuhan menggunakan kata “غير الله”, “ماعدا الله”, “سوى الله”
“إلاالباري” sebagai ganti dari kata “إلاالله”. Dalam bersaksi kepada
nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam sebagai
utusan Allah juga tidak harus menggunakan kalimat “وأشهد أن محمدا رسول
الله” tapi boleh menggunakan lafadz lain seperti “محمد نبي الله”, “محمد
مبعوث الله”, atau “أحمد الماحي.” Begitu juga boleh menggunakan bahasa
lain selain bahasa Arab (al-Lughât al-‘Ajamiyyah).[16]
C. Mengungkap Keimanan Abî Thâlib
Jika dalam bab pertama Zainî Dahlân
mewejangkan konsep iman dan Islam yang kemudian diterapkan pada keimanan
Abû Thâlib, dalam bab kedua di bawah judul Abû Thâlib dan Nabi Muhammad
Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam (Bâb Abû Thâlib wa al-Nabî) dan bab ketiga dengan judul Sya’ir Abû Thâlib (Bâb Syi’r Abû Thâlib) melalui analisanya yang tajam ia membuktikan bahwa Abû Thâlib benar-benar seorang mukmin.
Dengan mengutip perkataan dari
al-Barzanjî, Zainî Dahlân menyatakan bahwa riwayat yang memberikan
informasi tentang kecintaan Abû Thâlib kepada nNabi Muhammad Shollallohu
‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam sangat banyak sekali, antara
lain sya’ir yang dikumandangkan olehnya:
ولقد علمت بأن دين محمد # من خير أديان البرية دينا
“Sesungguhnya aku benar-benar tahu bahwa agama Muhammad merupakan agama terbaik yang dimiliki makhluk di persada bumi ini.”
ألم تعلموا أنا وجدنا محمدا # رسولا كموسى صح ذلك في الكتب
“Apakah kalian tidak tahu bahwa
sesungguhnya aku menemukan Muhammad sebagai utusan Tuhan sebagaimana
Musa, (kerasulan Muhammad) benar adanya dan terungkap dalam semua kitab
suci.”
إذا أجمعت يوما قريش لمفخر # فعبد مناف سرها وصميمها
فإن حصلت أنساب عبد منافها # ففي هاشم أشرافها وقديمها
وإن فخرت يوما فإن محمدا # هو المصطفى من سرها وكريمها
فإن حصلت أنساب عبد منافها # ففي هاشم أشرافها وقديمها
وإن فخرت يوما فإن محمدا # هو المصطفى من سرها وكريمها
“Pada suatu hari ketika kaum Quraisy berkumpul untuk membanggakan diri maka keturunan Abd Manâf menjadi hatinya.
Apabila keturunan Abd Manâf berkumpul maka keturunan Hâsyim orang-orang yang paling mulia (di antara mereka) dan pemimpinnya.
Apabila pada suatu hari nanti keturunan Hâsyim berada pada derajat termulia maka sesungguhnya Muhammad sebagai orang yang terpilih menjadi pemimpinnya dan termulia (di antara mereka).”[17]
Apabila keturunan Abd Manâf berkumpul maka keturunan Hâsyim orang-orang yang paling mulia (di antara mereka) dan pemimpinnya.
Apabila pada suatu hari nanti keturunan Hâsyim berada pada derajat termulia maka sesungguhnya Muhammad sebagai orang yang terpilih menjadi pemimpinnya dan termulia (di antara mereka).”[17]
Sya’ir Abû Thâlib yang terakhir ini
sesuai dengan sabda Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa
Shohbihi wa Sallam yang berbunyi, “Sesungguhnya Allah telah memilihku
dari keturunan Hâsyim.”
Dalam mengomentari hadis Nabi
Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam ini, al-Barzanjî
mengatakan, bahwa sya’ir yang pernah didendangkan oleh Abû Thâlib sesuai
dengan wahyu yang diberikan kepada Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa
Alihi wa Shohbihi wa Sallam, karena beberapa saat setelah itu nabi
mendapatkan wahyu bahwa dirinya telah terpilih menjadi manusia pilihan
(al-Mushthafâ).”[18]
Dalam berbagai kesempatan Abû Thâlib
juga sering berpesan (washiyyah) kepada orang-orang Quraisy untuk
mengikuti nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa
Sallam, ia mengatakan:
والله لكأني به وقد غلب ودانت له العرب ودانت له العرب والعجم فلا يسبقنكم إليه سائر العرب فيكونوا أسعد منكم
“Demi Allah, sesungguhnya aku akan
selalu bersama Muhammad, ia akan menang, orang Arab dan ‘Ajam akan
bersatu karenanya. Oleh karena itu jangan sampai kalian didahului oleh
orang Arab lain untuk mengikuti Muhammad, sehingga mereka lebih bahagia
daripada kalian.”
Wasiat untuk menjadi pengikut Nabi
Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam ini berulang
kali Abû Thâlib sampaikan, baik kepada Banî Hâsyim maupun kepada semua
orang Quraisy lainnya.[19] Dalam satu kesempatan lain Abû Thâlib juga
berkata kepada orang Quraisy:
“Kalian akan selalu mendengarkan
sebaik-baik perkataan dari Muhammad dan sebaik-baik tindakan yang akan
kalian ikuti darinya. Oleh karena itu taatlah kepada Muhammad, niscaya
kalian akan mendapatkan petunjuk.”[20]
Bukan basa basi, bahkan jauh sebelum
Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam diutus
menjadi nabi, Abû Thâlib menyebutkan “kenabian Muhammad Shollallohu
‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam”, yaitu pada saat ia berkhutbah
dalam acara pernikahan Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi
wa Sallam dengan Khadîjah Radhiyallohu ‘Anha.
Dalam khutbahnya Abû Thâlib mengatakan:
الحمد
لله الذي جعلنا من ذرية إبراهيم وزرع إسمعيل وضئضئ معد وعنصر مضر، وجعلنا
حصنة بيته وسواس حرمه، وجعل لنا بيتا محجوبا وحرما أمنا، وجعلنا الحكام على
الناس. ثم إن ابن أخي هذا محمد بن عبد الله لايوزن برجل إلارجح شرفا ونبلا
وفضلا وعقلا وهو والله بعد هذا له نبأ عظيم وخطر جسم.
“Segala puji bagi Allah, Dzat yang
telah menjadikan kita sebagai keturunan nabi Ibrahîm melalui nabi
Isma’îl berpangkal pada Mu’ad dan berasal dari Mudlar, dan Dzat yang
telah menjadikan kita sebagai penjaga rumah-Nya dari syaitan yang berada
di tanah Haram, Dzat yang telah menjadikan rumah tertutup, mulia, dan
aman untuk kita, Dzat yang telah menjadikan kita juru hukum untuk
manusia. Sesungguhnya keponakanku ini, Muhammad bin Abdullah, tidak bisa
dibandingkan dengan siapapun kecuali ia akan unggul kemuliaannya,
kepintarannya, keutamaannya, dan kecerdasannya. Demi Allah, setelah ini
Muhammad akan memiliki cerita yang besar dan derajat yang paling tinggi.”
Khutbah ini disampaikan jauh sebelum
Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam diutus
menjadi nabi dengan selisih lima belas tahun.[21] Bayangkan, jauh-jauh
hari sebelum Nabi Muhammad diutus menjadi nabi, Abû Thâlib sudah melihat
tanda-tanda kebaikan (tafarras) pada diri Muhammad, hal ini sudah cukup
menjadi bukti bahwa ketika Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi
wa Shohbihi wa Sallam diutus Abû Thâlib seketika itu langsung beriman
dan membenarkan risalahnya.
Abû Thâlib juga banyak meriwayatkan
hadiTs Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam
dan beberapa kalimat lain yang mengindikasikan bahwa dirinya beriman,
hatinya dipenuhi dengan keperpacayaan terhadap ke-Esaan Tuhan. Di
antaranya hadiTs yang diriwayatkan oleh al-Khathîb al-Baghdâdî dengan
sanad yang bersambung kepada Ja’far al-Shâdiq, Muhammad al-Bâqir, Zain
al-‘Âbidîn, Husain, Ali bin Abî Thâlib, bahwa Ali bin Abî Thâlib
mengatakan: Aku pernah mendengar Abû Thâlib berkata:
حدثني محمد ابن أخي وكان والله صدوقا. قال: قلت له بم بعثت يامحمد؟ قال: بصلة الأرحام وإقامة الصلاة وإيتاء الزكاة.
“Muhammad, keponakanku, bercerita
kepadaku dan demi Allah dia orang yang sangat jujur. Abî Thâlib berkata:
Aku bertanya kepada Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi
wa Sallam, dengan apa engkau diutus wahai Muhammad? Muhammad menjawab:
Dengan menyambung tali persaudaraan, mendirikan shalat, dan menunaikan
zakat.”
Dalam mengomentari hadits ini, Zainî
Dahlân menafsirkan kata shalat dengan dua macam; pertama, shalat dua
raka’at sebelum matahari terbit dan dua raka’at sebelum matahari
terbenam, shalat ini dilakukan pada masa-masa permulaan Islam. Kedua,
shalat tahajjud, karena sejak nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi
wa Shohbihi wa Sallam diutus beliau diperintahkan Allah untuk
melaksanakannya.
Shalat dalam hadits tersebut tidak boleh
dipahami dengan shalat lima waktu sebagaimana sekarang, karena shalat
lima waktu baru diwajibkan di malam Isrâ`, sementara Isrâ` sendiri baru
dilakukan setelah Abî Thâlib wafat dengan selisih waktu satu tahun
setengah. Abî Thâlib wafat pada pertengahan bulan Syawal tahun kesepuluh
setelah Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam diutus
dalam usia lebih dari delapan puluh tahun.
Kata zakat yang terdapat dalam hadits di
atas juga menurut Zainî Dahlân tidak boleh ditafsirkan dengan zakat
sebagaimana yang ada sekarang (al-Zakâh al-Syar’iyyah), melainkan zakat yang dimaksud adalah shadaqah secara mutlak, memuliakan tamu dan bentuk shadaqah harta lainnya, karena al-Zakâh al-Syar’iyyah
dan zakat fitrah baru disyari’atkan setelah Nabi Muhammad Shollallohu
‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam hijrah ke Madinah, dan ini
terjadi setelah Abû Thâlib wafat.[22]
Al-Khathîb juga meriwayatkan hadits yang
sanadnya berakhir kepada Abû Thâlib. Diceritakan oleh Abî Râfi’, hamba
yang telah dimerdekakan oleh Ummi Hânî` bint Abî Thâlib, bahwa ia
mendengar Abû Thâlib mengatakan:
حدثني محمد ابن أخي أن الله أمره بصلة الأرحام وأن يعبد الله لايعبد معه أحدا. قال ومحمد عندي الصدوق الأمين.
“Muhammad, keponakanku bercerita
kepadaku bahwa Allah telah memerintahkannya untuk menyambung tali
persaudaraan, menyembah kepada-Nya dan tidak menyembah yang lain. Abû
Thâlib mengatakan, Muhammad menurutku adalah orang yang sangat bisa
dipercaya.”[23]
Dalam membuktikan keimanan Abû Thâlib,
Zainî Dahlân di samping menggunakan bukti sejarah tertulis juga
menggunakan telaah kontemplatif dari sejarah hidup Abû Thâlib. Di masa
hidupnya Abû Thâlib sangat mencintai Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi
wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam bahkan sejak Abdul Muthallib wafat Abû
Thâlib selalu mengawal Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa
Sallam, kemanapun beliau pergi Abû Thâlib pasti ada di sisinya.
Diceritakan oleh Ibn ‘Abbâs bahwa,
“Cintanya Abû Thâlib kepada Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi
wa Shohbihi wa Sallam melebihi dari cintanya yang diberikan kepada
anak-anaknya, Abû Thâlib tidak tidur kecuali di sisi Nabi Shollallohu
‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam dan setiap kali Nabi Shollallohu
‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam keluar ia selalu menyertainya.”
Begitu juga sebaliknya, Nabi Muhammad
Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam juga sangat mencintai
Abû Thâlib. Dalam salah satu riwayat diinformasikan bahwa Nabi
Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam tidak pernah
berlindung kepada siapapun kecuali kepada Abû Thâlib, hati Nabi
Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam tidak pernah merasa
tenang kecuali bersamanya. Oleh karena itu Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa
Alihi wa Shohbihi wa Sallam bersabda: “Orang Quraisy tidak pernah menyakitiku lebih kasar sehingga Abû Thâlib wafat.”
Karena begitu dalamnya cinta Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi
wa Shohbihi wa Sallam kepada Abû Thâlib hingga tahun kematiannya
disebut dengan “tahun derita” (‘Âm al-Huzn).[24]
Tak dapat disangkal bahwa Abû Thâlib
sering menyaksikan mukjizat Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa
Shohbihi wa Sallam, bahkan sejak Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa
Shohbihi wa Sallam masih berusia belia ia tidak jarang menjumpai
keajaiban-keajaiban yang terjadi pada diri Rasulullah Shollallohu
‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam. (Khawâriq al-‘Âdah).
Al-Kisah, Abû Thâlib merupakan salah
seorang yang ekonominya pas-pasan sementara keluarga yang menjadi
tanggungannya sangat banyak, setiap kali keluarganya makan
sendiri-sendiri mereka tidak merasa kenyang karena makanan yang
disediakan sangat terbatas. Namun setelah mereka makan bersama Nabi
Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam, mereka merasa
kenyang. Oleh karena itu setiap kali Abû Thâlib hendak memberikan
makanan kepada mereka ia berkata, “Kalian makan harus bersama Muhammad
Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam.” Mereka pun berkenan
menunggu hingga ketika Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa
Shohbihi wa Sallam datang baru dilaksanakan makan bersama. Setiap makan
bersama Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa
Sallam, mereka merasa kenyang, bahkan makanannya terkadang sampai lebih.
Ketika menu hidangan yang diberikan Abû Thâlib berupa susu maka Nabi
Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam mengawali
meminumnya, kemudian baru disusul keluarganya yang lain. Susu yang
berada di dalam gelas bambu itu –dengan lantaran Nabi Muhammad
Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam- tidak akan habis
sebelum semua keluarga Abû Thâlib merasa kenyang walaupun mereka
meminumnya sendiri-sendiri. Abû Thâlib berkata kepada Nabi Muhammad
Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam, “إنك لمبارك
(Sesungguhnya engkau orang yang diberi kebaikan).”[25]
Selama hidupnya Abû Thâlib selalu
melindungi Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa
Sallam baik sebelum nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa
Sallam diutus maupun sesudahnya. Ketika Abû Thâlib bepergian bersama
Nnabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam untuk
berdagang ke kota Syâm, pada saat itu Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi
wa Shohbihi wa Sallam baru berusia sembilan tahun, tiba-tiba di tengah
jalan bertemu dengan seorang pendeta yang bernama Bahîrâ. Bi al-iktifâ
wa al-Ikhtishâr, pendeta melihat bahwa pada diri Muhammad Shollallohu
‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam terdapat tanda-tanda kenabian
hingga kemudian diceritakan kepada Abû Thâlib. Lalu pendeta meminta
kepada Abû Thâlib agar Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi
wa Sallam segera dibawa pulang ke Makkah karena khawatir terjadi
hal-hal yang tidak diinginkan dari perlakuan orang-orang Yahudi. Tanpa
berpikir panjang Abû Thâlib pun segera membawa Nabi Shollallohu ‘Alaihi
wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam pulang karena demi menyelamatkannya.[26]
Sungguh melalui bukti-bukti di atas
tidak dapat diragukan lagi bahwa Abû Thâlib merupakan orang yang beriman
kepada Allah dan utusan-Nya. Abû Thâlib bukan orang kafir, musyrik,
ataupun munafiq, tapi ia adalah orang mukmin dan muslim sejati. Andai
tidak demikian tidak mungkin Abû Thâlib melindungi Nabi Shollallohu
‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam hingga mati-matian, tidak mungkin
ia berpesan kepada masyarakatnya agar mengikuti perintah Nabi
Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam, juga tidak mungkin
pula ia memerintahkan anak-anaknya seperti Ali, Ja’far, untuk mengikuti
Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam, menolong, dan
shalat bersamanya. ‘Imrân bin Hushain menceritakan bahwa Abû Thâlib
memerintahkan puteranya yang bernama Ja’far untuk melaksanakan shalat
bersama Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam:
صل جناح ابن عمك فصلى جعفر مع النبي صلى الله عليه وسلم كما صلى علي رضي الله عنه.
“Shalatlah bersama anak pamanmu
(Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam). Lalu
Ja’far pun shalat bersama Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi
wa Sallam sebagaimana Ali shalat bersamanya.”
Dalam mengomentari riwayat ini,
al-Barzanjî menyatakan, “Andai Abû Thâlib bukan orang yang membenarkan
agama Muhamad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam niscaya
ia tidak rela menyaksikan kedua anaknya bersama Nabi Shollallohu
‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam dan shalat bersamanya, dan ia
tidak mungkin memerintahkan kedua anaknya untuk melakukan shalat, karena
permusuhan sebab beda agama merupakan permusuhan yang sangat tajam (Asyadd al-‘Adâwât) sebagaimana yang terungkap dalam sya’ir berikut:
كل العداوات قد ترجى إمانتها # إلا عداوة من عاداك في الدين
“Semua permusuhan sesungguhnya diharapkan segera reda, kecuali permusuhan orang yang memusuhimu karena persoalan beda agama.”[27]
D. Reinterpretasi Teks-Teks Kontradiktif
Kajian keimanan Abû Thâlib merupakan
salah satu permasalahan yang diperdebatkan oleh para ulama`, di antara
mereka ada yang pro dan ada yang kontra. Zainî Dahlân dan al-Barzanjî
merupakan salah satu dari sederet ulama` yang pro atas keimanan Abû
Thâlib. Salah satu hal yang menarik dalam bukunya Zainî Dahlân ini -yang
tentunya didapat dari al-Barzanjî- ada dalam bab keempat di bawah judul
“Abû Thâlib dan Pertolongan (Bâb Abû Thâlib wa al-Syafâ’ah).”
Dalam bab ini Zainî Dahlân disamping menyatakan bahwa di akhirat Abû
Thâlib akan mendapatkan pertologan dari Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa
Alihi wa Shohbihi wa Sallam (syafâ’ah) juga ia menanggapi pendapat yang
kontra dengan cara menginterpretasikan ulang teks-teks keagamaan
(al-Quran dan al-Hadits) yang dijadikan kaki pijak referensial oleh para
ulama` yang kontra.
Di antara dalil yang dijadikan dasar pemikiran oleh ulama yang kontra ialah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhârî dan Muslim:[28]
عن
العباس بن عبد المطلب رضي الله عنه عم النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال
لرسول الله صلى الله عليه وسلم: أن أبا طالب كان يحوطك أي يحفظك وينصرك
ويغضب لك فهل ينفعه ذلك؟ قال: نعم وجدته في غمرات من النار.
“Diceritakan dari ‘Abbâs bin Abd
al-Muthallib Radhiyallohu ‘Anhu., paman Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa
Alihi wa Shohbihi wa Sallam bahwa ‘Abbâs berkata kepada Rasulullah
Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam: Sesungguhnya Abû
Thâlib selalu menolong, melindungi, dan menasihatimu, apakah hal
tersebut dapat bermanfaat bagi Abû Thâlib? Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa
Alihi wa Shohbihi wa Sallam menjawab: “Ya, aku menemukan Abû Thâlib di
Neraka bagian paling atas (fî ghamarât min al-Nâr).”
Dalam riwayat lain hadis tersebut terdapat tambahan keterangan demikian:
وكان في غمرات من النار أي مشرفا عليها فأخرجته إلى ضحضاح، ولولا أنا لكان في الدرك الأسفل من النار.
“Abû Thâlib berada di Neraka paling
atas kemudian aku mengeluarkannya hingga Neraka hanya dapat merembas ke
kedua telapak kakinya (Dlahdlâh), andai tidak ada aku niscaya Abû Thâlib
akan berada di Neraka paling bawah.”
Dalam riwayat lain yang juga diinformasikan oleh Bukhârî dan Muslim diceritakan:
عن
أبي سعيد الخدري رضي الله عنه أنه صلى الله عليه وسلم ذكر عنده عمه أبو
طالب فقال: لعله تناله شفاعتي يوم القيامة فيجعل في ضحضحاح من نار يبلغ
كعبيه يغلى منها دماغه.
“Diceritakan dari Abî Sa’îd
al-Khudrî Ra. bahwa Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa
Shohbihi wa Sallam pernah bersabda di sisi pamannya, Abû Thâlib: “Semoga
saja kelak di hari Qiyamat syafa’atku sampai kepada Abû Thâlib sehingga
ia berada di tempat yang api Neraka hanya mengenai kedua mata kakinya
dan otaknya mendidih sebab api Neraka tersebut.
Imam Muslim dan yang lainnya menceritakan bahwa Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam pernah bersabda:
أن أبا طالب أهون أهل النار عذابا.
“Sesungguhnya siksaan Abû Thâlib merupakan paling ringan-ringannya penduduk Neraka.”
Para ulama` yang berpendapat bahwa Abû
Thâlib kelak di akhirat tidak selamat alias masuk Neraka karena ia kafir
berkaki pijak pada hadits di atas. Menurutnya hadits shahîh tersebut
memberikan informasi bahwa Abû Thâlib telah kufur dan kelak di akhirat
akan dimasukkan ke dalam Neraka. Oleh karena itu sangat muhal untuk
menyatakan bahwa Abû Thâlib termasuk orang yang beriman dan kelak di
akhirat akan selamat karena dalam hadits tersebut Nabi Muhammad
Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam menceritakan keadaan
yang terjadi di antara Abû Thâlib dengan Allah. Sehingga dari informasi
Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam di atas
terungkap bahwa Abû Thâlib di dalam hatinya tidak membenarkan risalah
Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam. Sedangkan
pertolongan dan perlindungan yang diberikan Abû Thâlib kepada Nabi
Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam tidak lebih dari
bentuk pembelaan suku atau untuk menjaga harga diri klan (Himyah al-‘Arab wa al-Unfah) yang memang sudah mentradisi di kalangan masyarakat Arab saat itu.
Dalam mengomentari hadits Nabi
Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam yang dijadikan kaki
pijak referensial oleh ulama` yang kontra di atas, al-Barzanjî
menyatakan, bahwa hadits tersebut sebenarnya malah menunjukkan pemahaman
sebaliknya, yaitu Abû Thâlib beriman dan kelak di akhirat akan selamat,
karena Allah telah memberikan kabar bahwa siksaan bagi orang kafir
tidak bisa diperingan, mereka tidak bisa keluar dari Neraka dan tidak
akan bisa ditolong oleh orang yang bisa memberikan syafa’at, sementara
Abî Thâlib siksaannya dapat diperingan dan bisa menerima syafa’at.
Dalam hadits lain dijelaskan bahwa orang mukmin yang durhaka (‘ushâh al-Mukminîn)
kelak di akhirat akan di tempatkan di ruang Jahîm, yaitu ruangan Neraka
paling atas dan siksaan yang ditimpakan kepadanya lebih ringan
ketimbang siksaan yang dikenakan kepada orang kafir. Oleh karena itu
hadits yang menginformasikan bahwa siksaan Abû Thâlib merupakan siksaan
yang paling ringan di atas tidak boleh dipahami “ringan dibanding orang
kafir saja,” tapi “mencakup perbandingan dengan orang mukmin yang
durhaka.” Andai tidak demikian berarti “dawuh nabi” di atas tidak dapat
dibenarkan keabsahannya.
Begitu juga andai Abû Thâlib dipastikan
sebagai orang kafir yang kelak akan dimasukkan ke dalam Neraka
selama-lamanya, sementara Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa
Shohbihi wa Sallam menjanjikan keringanan siksa bagi Abû Thâlib, maka
dari hadits tersebut akan menimbulkan pemahaman bahwa siksaan orang
kafir lebih ringan ketimbang orang mukmin yang durhaka, dan pemahaman
seperti ini jelas tidak mungkin.
Abû Thâlib mendapat keringanan demikian
karena pertolongan dari Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa
Sallam, siksaan yang ia dapat merupakan siksaan yang paling ringan di
antara yang lainnya. Abû Thâlib diangkat ke permukaan Neraka hingga api
Neraka hanya berada dibawah kedua telapak kakinya. Keberadaan Abû Thâlib
di tempat ini jelas membuktikan bahwa ia berada di ruang Neraka yang
ditempati oleh orang-orang mukmin durhaka, karena di atas tempat
tersebut tidak ada tempat lagi.
Untuk memperkuat pandangannya Zainî
Dahlân –dengan mengutip dari al-Barzanjî- menyebutkan beberapa hadits
lain yang bertalian dengan permasalahan ini, antara lain hadits yang
mengungkap bahwa Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi
wa Sallam bersabda: “Pertolonganku (Baca: Syafa’at) hanya untuk orang
mukmin yang melakukan dosa besar.” Dalam riwayat lain diungkapkan,
“Syafa’atku hanya untuk orang yang tidak menyekutukan Allah.”
Dengan demikian dapat dipahami bahwa
orang kafir tidak akan mendapatkan syafa’at dari Nabi Shollallohu
‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam, sementara Abû Thâlib
mendapatkannya, sehingga sangat jelas bahwa ia termasuk orang yang
beriman, bukan kafir. Siksaan bagi orang mukmin yang durhaka bersifat
sementara, temporal, pada suatu saat mereka akan dikeluarkan dan akan
dimasukkan ke dalam Surga.[29]
Berkait kelindan dengan pembahasan ini
Zainî Dahlân juga menampilkan beberapa riwayat lain yang secara tekstual
menyatakan bahwa Abû Thâlib meninggal dunia dalam keadaan kafir, namun
melaui analisanya yang sangat tajam Zainî Dahlân berhasil
menginterpretasikannya ke makna lain yang lebih rasional dan
kontekstual. Riwayat tersebut di antaranya menyebutkan bahwa ketika Abû
Thâlib hendak meninggal dunia, Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa
Alihi wa Shohbihi wa Sallam memintanya agar ia mengucapkan kalimat
syahadat, namun Abû Thâlib tidak mengucapkannya. Nabi Shollallohu
‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam berkata kepada Abû Thâlib: “Wahai
pamanku, katakanlah bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, karena dengan
kalimat ini engkau akan selamat di sisi-Nya.” Saat itu di sisi Abû
Thâlib hadir Abû Jahal dan Abdullah bin Umayyah, keduanya mengatakan:
“Wahai Abû Thâlib, apakah engkau tidak senang terhadap agama Abdul
Muthallib?” Abû Jahal dan Abdullah bin Umayyah terus menerus bertanya
demikian kepada Abû Thâlib hingga pada akhirnya perkataan yang keluar
dari mulut Abû Thâlib menyatakan kesetiaan dirinya terhadap agama
ayahnya, Abdul Muthallib, dan tidak mengucapkan kalimat syahadat.[30]
Menurut Zainî Dahlân kenapa Abû Thâlib
enggan menyatakan keislamannya dan berpura-pura setia terhadap agama
kaum Quraisy karena ia dalam kondisi terpaksa (‘udzur), di
sisinya ada Abû Jahal dan Abdullah bin Umayyah. Andai Abû Thâlib
mengikuti perintah Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa
Sallam mengucapkan kalimat syahadat niscaya seketika itu Nabi
Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam akan diserang oleh
Abû Jahal, Abdullah bin Umayyah, dan kafir Quraisy lainnya. Oleh karena
itu, demi menyelamatkan Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa
Shohbihi wa Sallam, Abû Thâlib terpaksa harus merahasiakan keislamannya
sembari berpura-pura setia terhadap Abû Jahal.
Kendati demikian, sebenarnya riwayat
tentang hal ini terdapat banyak versi yang sangat beragam, salah satunya
-di samping riwayat di atas- riwayat yang menginformasikan bahwa ketika
Abû Thâlib mendekati ajal, Abbâs yang saat itu berada di sampingnya
mendengar bahwa Abû Thâlib mengucapkan syahadat. Abbâs berkata kepada
Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam, “Wahai
keponakanku, demi Allah saudaraku (Abû Thâlib) telah mengucapkan kalimat
yang engkau perintahkan kepadanya.” Lalu Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi
wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam menjawab: “Aku tidak mendengar.” Dalam
perkataan ini Abbâs tidak menyatakan kalimat secara jelas (kalimat yang
engkau perintahkan kepadanya) karena pada saat itu ia belum masuk Islam.
Hadits ini oleh para ulama` yang tidak
menerima keimanan Abû Thâlib dijadikan dasar untuk menyatakan bahwa
keimanan harus dilafadzkan, tidak cukup jika hanya dirahasiakan di dalam
hati. Di antara mereka juga ada yang mengklaim bahwa hadits ini lemah
sehingga tidak bisa dijadikan kaki pijak hukum.
Bagi Zainî Dahlân hadits tersebut –jika
memang benar keabsahannya- justru menegaskan bahwa Abû Thâlib dihukumi
kafir dalam hukum dunia, namun di sisi Allah ia orang yang beriman,
selamat, dan hatinya penuh dengan keimanan.[31]
Sedangkan dalil al-Quran yang sering dijadikan sandaran hukum oleh ulama` yang kontra antara lain Qur’an Surat al-Qashash 56:
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat
memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi
petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui
orang-orang yang mau menerima petunjuk.”
Menurut Zainî Dahlân ayat ini sama
sekali tidak bertentangan dengan pernyataan keimanan Abî Thâlib karena
makna yang terkandung di dalam ayat ini hanya sebatas memberikan
informasi bahwa yang memberikan petunjuk kepada manusia hanyalah Allah,
bukan yang lain.
Kendati diceritakan bahwa turunnya ayat
ini berkenaan dengan ketika Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa
Shohbihi wa Sallam meminta Abû Thâlib untuk membaca syahadat yang
berarti pada saat itu nabi berada di sisinya, namun pada kenyataannya
terdapat beberapa riwayat lain yang mengindikasikan bahwa pada saat itu
Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam tidak
berada di sisi Abû Thâlib. Riwayat tersebut antara lain hadits yang
diriwayatkan oleh Ibn Sa’d dan Ibn ‘Asâkir bahwa Ali bin Abî Thâlib
mengatakan: Aku memberi kabar kematian Abû Thâlib kepada Nabi Muhammad
Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam. Lalu beliau menangis
dan bersabda: “Pergilah, mandikanlah dia (Abû Thâlib), dan kafanilah,
serta sediakanlah tempat pemakamannya. Semoga Allah mengampuni dan
merahmatinya.” Lalu aku pun melakukan hal tersebut.
Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa
Shohbihi wa Sallam tidak menghadiri jenazah Abû Thâlib karena beliau
khawatir diserang oleh orang-orang bodoh dari kaum Quraisy. Abû Thâlib
tidak dishalati karena pada saat itu shalat jenazah belum
disyari’atkan.[32]
Walhasil, terlepas dari hadir atau
tidaknya Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa
Sallam pada saat Abû Thâlib menjelang wafat -menurut Zainî Dahlân-
riwayat-riwayat tersebut tidak dapat menggoyang pendapatnya yang
menyatakan bahwa Abû Thâlib termasuk orang yang beriman, karena keimanan
Abû Thâlib di dalam hati, bukan di lisan.
E. Keselamatan Bagi Abî Thâlib
Dalam bab kelima di bawah judul “Keselamatan Abû Thâlib (Bâb Najâh Abî Thâlib)”,
Zainî Dahlân membuktikan secara jelas bahwa Abû Thâlib kelak di akhirat
akan selamat dari api Neraka dan bertempat tinggal di Surga
selama-lamanya.
Di samping menggunakan dalil-dalil yang
telah disebutkan di atas Zainî Dahlân juga menambahkan beberapa dalil
lain yang secara eksplisit menyebut keselamatan Abû Thâlib sembari
menanggapi pendapat yang kontra. Salah satunya ialah Qur’an
Surat Al-A’râf 157:
“Maka orang-orang yang beriman
kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang
yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka itulah orang-orang yang
beruntung.”
Dalam ayat ini terungkap sangat jelas
bahwa orang yang membenarkan risalah Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi
wa Shohbihi wa Sallam (baca: beriman), memuliakan, dan menolongnya,
serta mengikuti petunjuk al-Quran kelak di akhirat akan bahagia. Hal
demikian telah dilakukan oleh Abû Thâlib, ia di samping di dalam hatinya
beriman, menolong Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa
Sallam dari serangan kafir Quraisy, juga mengikuti petunjuk al-Quran.
Saat itu perintah syari’at hanya berupa meng-Esakan Tuhan, menyambung
tali persaudaraan, dan tidak menyembah berhala. shalat, zakat, puasa,
haji, jihad, dan yang lainnya belum disyari’atkan.
Dari sini timbul pertanyaan, kenapa
sebelum Abû Thâlib di tempatkan di Surga ia harus masuk Neraka terlebih
dahulu? Dalam hal ini Zainî Dahlân –dengan mengutip dari al-Barzanjî-
memberikan jawaban dengan beberapa opsi, antara lain; karena Abû Thâlib
tidak mengucapkan kalimat syahadat secara lisan, atau karena
meninggalkan shalat dua rakaat yang dikerjakan pada waktu pagi dan sore
yang dilakukan oleh Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa
Sallam pada masa awal Islam, atau bisa juga disebabkan ia tidak
menjalankan shalat tahajjud yang juga dilakukan oleh Rasulullah pada
masa permulaan Islam. Di samping alasan-alasan tersebut juga terdapat
kemungkinan lain karena ia tidak menunaikan kewajiban terhadap sesama (huqûq al-‘ibâd), silaturrahim, membantu orang lain, dan yang lainnya.
Dalam membahas keselamatan Abû Thâlib
ini, Zainî Dahlân juga mengajukan tesis bahwa sebelum Abû Thâlib
“beriman” ia bukan seorang paganis yang menyembah berhala sebagaimana
umumnya masyarakat Arab saat itu. Abû Thâlib –menurut Zainî Dahlân-
termasuk salah seorang yang saat itu menganut agama tauhîd atau yang
biasa disebut dengan agama Ibrahîm. Hal demikian dapat dibuktikan dengan
melihat kepribadiannya yang berbudi pekerti luhur, selalu melindungi
klannya (himâyah al-dzimâr), dan tidak pernah menyembah
berhala. Oleh karena itu saat dia meninggal perkataan terakhir yang
keluar dari mulutnya ialah pernyataan kesetiaannya kepada agama Abdul
Muthallib, yaitu agama tauhid.[33] Abû Jahal dan Abdullah bin Umayyah
saat itu tidak tahu kalau yang dikehendaki “agama Abdul Muthallib”
adalah agama tauhid. Menurut Zainî Dahlân agama yang dimiliki Abdul
Muthallib sesungguhnya berupa agama tauhid, bukan paganisme, karena
andai Abdul Muthallib penganut paganisme berarti Nabi Muhammad
Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam sebagai keturunan
penyembah berhala, dan ini tidak dapat dibenarkan.
Dalam penelitian Zainî Dahlân, tidak ada
satu pun hadits Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam
yang menginformasikan bahwa Abû Thâlib akan hidup abadi di Neraka,
karena memang Abû Thâlib di Neraka hanya “mampir,” sementara, dan ia
mendapat siksaan yang paling ringan dibandingkan orang mukmin yang
durhaka sekalipun. Dalam salah satu hadits diceritakan bahwa Nabi
Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam bersabda: “Kelak
orang-orang mukmin yang durhaka akan dikeluarkan dari Neraka Jahîm, dan
angin akan membukakan pintunya serta di tempat tersebut akan tumbuh
tanaman Jarjîr.” Menurut Zainî Dahlân, Abû Thâlib juga demikian, bahkan
ia termasuk orang yang pertama kali dikeluarkan dari Neraka karena azab
yang ia terima paling ringan dibanding yang lainnya. Setelah itu
kemudian mereka, termasuk Abû Thâlib, langsung bertempat di Surga karena
di akhirat tidak ada tempat lain selain keduanya, Neraka dan Surga.[34]
II. Epilog
Dengan “mengencani” karya intelektual
anggitan Zainî Dahlân ini setidaknya dapat dipahami bahwa Abû Thâlib
merupakan salah seorang mukmin sejati, namun keimanannya hanya ia simpan
di dalam hati, tidak ia obralkan di muka publik.
‘Alâ kulli hâl, kajian yang disuguhkan oleh Zainî Dahlân di atas, khususnya dalam pembahasan konsep iman (Bâb Itsbât al-Îmân),
untuk konteks kekinian dan kedisinian kiranya sangat relevan untuk
diterapkan.
Menurut Zainî Dahlân, sisi yang terpenting dalam beriman
adalah pembenaran hati, bukan pengakuan lisan. Oleh karena itu mengingat
bangsa Indonesia dihuni oleh lintas iman (baca: agama) maka demi
menjaga persatuan dan kesatuan bangsa seyogyanya “ummat yang merasa
punya agama” dalam bergaul dengan umat agama lain harus “merahasiakan
keimanannya” sebagaimana Abû Thâlib mendiamkan keimanannya di dalam hati
demi menjaga persatuan dan kesatuan kaum Quraisy. Karena andai Abû
Thâlib berterus terang dalam keimanannya niscaya akan terjadi perpecahan
di antara mereka, dan jika terjadi demikian maka amukan emosi Quraisy
jelas akan ditimpakan kepada Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi
wa Shohbihi wa Sallam sebagai pihak minoritas yang memiliki keimanan
berbeda. Wallahu A’lam bis Shawwâb.
Referensi:
[1] Shâlih al-Wardânî dalam kata
pengantar buku Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, (al-Hadf li
al-I’lâm, t.tp., tt.), hal. 14.
[2] Baca Abî Zahrah, Khâtam al-Nabiyyîn
Shallallah ‘Alaih wa Âlih wa Sallam, (Dâr al-Fikr al-‘Arabî: Kairo,
1425) vol. I, hal. 391.
[3] Khairuddîn al-Zarkilî, al-A’lâm,
(Dâr al-‘Ilm, cet. XV, 2002), vol. I, hal. 129. Lihat karangan
selengkapnya dalam Ismâ’îl bin Muhammad al-Baghdâdî, Hadiyah al-‘Ârifîn;
Asmâ’ al-Mu`allifîn wa `Âtsâr al-Mushannifîn, (Dâr Ihyâ` al-Turâts
al-‘Arabî: Beirut-Libanon, tt.), vol. I, hal. 191.
[4] Yûsuf bin `Ilyân, Mu’jam al-Mathbû’ât al-‘Arabiyyah wa al-Mu’rabah, (Mathba’ah Sirkîs: Mesir, 1928), vol. II, hal. 990.
[5] Ridlâ bin Muhammad al-Sanûsî, Daur
Ulamâ` Makkah al-Mukarramah fî Khidmah al-Sunnah wa al-Sîrah
al-Nabawiyyah, (Majma’ al-Malik Fahd: Madinah, tt.), vol. I, hal. 24.
[6] Nama asli beliau Ja’far bin Hasan
bin Abd al-Karîm bin al-Sayyid Muhammad bin Abd al-Rasûl al-Barzanjî,
garis keturunannya bersambung kepada Hasan bin Alî bin Abî Thâlib. Ia
lahir pada malam Jumat tanggal 12 Rabi’ul Awwal 1040 H. dan wafat pada
bulan Muharram 1103 H. dimakamkan di Madinah. Pada masa hidupnya ia
pernah menjabat sebagai mufti besar madzhab Syafi’î di Madinah. Baca
Muhammad Khalîl bin ‘Alî al-Husainî, Suluk al-Durar fî A’yân al-Qarn
al-Tsânî ‘Asyar, (Dâr Ibn Hazm, cet. III, 1988), vol. II, hal. 9. dan
Muhammad Khalîl bin ‘Alî al-Husainî, Suluk al-Durar fî A’yân al-Qarn
al-Tsânî ‘Asyar, vol. IV, hal. 66
[7] Ahmad bin Zainî Dahlân, Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, (al-Hadf li al-I’lâm, t.tp., tt.), hal. 15.
[8] Ahmad bin Zainî Dahlân, Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, hal. 19-20.
[9] Ahmad bin Zainî Dahlân, Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, hal. 21.
[10] Ahmad bin Zainî Dahlân, Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, hal. 21.
[11] Ahmad bin Zainî Dahlân, Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, hal. 22.
[12] Ahmad bin Zainî Dahlân, Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, hal. 22.
[13] Ahmad bin Zainî Dahlân, Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, hal. 23.
[14] Ahmad bin Zainî Dahlân, Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, hal. 23.
[15] Ahmad bin Zainî Dahlân, Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, hal. 23-24.
[16] Ahmad bin Zainî Dahlân, Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, hal. 35.
[17] Ahmad bin Zainî Dahlân, Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, hal. 49.
[18] Ahmad bin Zainî Dahlân, Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, hal. 49.
[19] Ahmad bin Zainî Dahlân, Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, hal. 29.
[20] Ahmad bin Zainî Dahlân, Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, hal. 31.
[21] Ahmad bin Zainî Dahlân, Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, hal. 31.
[22] Ahmad bin Zainî Dahlân, Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, hal. 33.
[23] Ahmad bin Zainî Dahlân, Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, hal. 33.
[24] Ahmad bin Zainî Dahlân, Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, hal. 38.
[25] Ahmad bin Zainî Dahlân, Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, hal. 37-38.
[26] Ahmad bin Zainî Dahlân, Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, hal. 36.
[27] Ahmad bin Zainî Dahlân, Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, hal. 36.
[28] Lihat selengkapnya pada Ahmad bin Zainî Dahlân, Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, hal. 52-64.
[29] Ahmad bin Zainî Dahlân, Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, hal. 56.
[30] Ahmad bin Zainî Dahlân, Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, hal. 59.
[31] Ahmad bin Zainî Dahlân, Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, hal. 60.
[32] Ahmad bin Zainî Dahlân, Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, hal. 62.
[33] Ahmad bin Zainî Dahlân, Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, hal. 70-71.
[34] Lihat selengkapnya pada Ahmad bin Zainî Dahlân, Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, hal. 73-98.
Oleh: Khoirul Anwar, Mahasiswa IAIN
Walisongo Semarang, Alumni Pondok Pesantren Lirboyo
Kediri. Dipresentasikan dalam diskusi “Telaah Kitab Asnâ al-Mathâlib fî
Najâh Abî Thâlib” pada Selasa, 06 Desember 2011, bertempat di Kantor
Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang. Bersumber dari Akitiano, Alumni Pondok Pesantren Raudlatul Ulum, Kencong, Kepung, Kedir, Jawa Timur, Indonesia, asal Damansara, Kuala Lumpur, Malaysia.