Sabtu, 20 Desember 2014

Ummu Aiman



Siapakah Ummu Aiman ?
Ummu Aiman adalah seorang budak dari Abdullah (ayah Nabi) yang berketurunan Habasyah. Nama aslinya adalah “Barakah”. Dia dipanggil dengan Ummu Aiman karena beliau adalah ibu dari sahabat Aiman ra. yaitu salah satu sahabat yang mengikuti Rasulullah saw. dalam berbagai peristiwa besar.

Peranan Ummu Aiman ketika Muhammad masih kecil
Ketika Abdullah (ayah Nabi) selamat dari pembunuhan dengan tebusan 100 unta, Abdul Mutholib (kakek Nabi) menikahkannya dengan seorang wanita bangsawan Mekkah yaitu Aminah binti Wahb bin Abdi Manaf bin Zuhrah bin Kilab.
Suatu ketika ditengah perjalanan pulang dari berdagang di negeri Syam, Abdullah meninggal dan dimakamkan di Madina, perkampungan pamannya bani Adi bin Najar. Ketika itu Muhammad masih dalam kandungan ibunya yakni Aminah.
Selang beberapa tahun, Aminah (ibu Nabi) berniat berziarah ke makam suaminya yaitu Abdullah bin Abdul Mutholib di Madinah yang berjarak 500 Km dari Mekkah. Bersama Abdul Mutholib, Ummu Aiman, dan Muhammad kecil, mereka berangkat menuju Madinah.

Setelah sebulan lebih tinggal di Madinah, Aminah memutuskan untuk kembali ke Mekkah. Dalam perjalanan pulang, Aminah sakit keras hingga meninggal di desa Abwa’, perkampungan antara Madinah dan Mekkah.
Ditengah suasana sedih dan kebingungan inilah Ummu Aiman langsung memutuskan untuk membawa Muhammad kecil kembali ke Madinah dan mengasuhnya bersama Abdul Mutholib (kakek Nabi) dengan penuh kasih sayang sebagai pengganti kedua orang tuanya.

Keberkahan Muhammad kecil
Abdul Mutholib yang merasa dirinya sudah tua, memanggil Abu Thalib (putranya) dan berpesan kepadanya untuk mengasuh Muhammad kecil dengan penuh kasih sayang.
Sejak Muhammad kecil dibawah asuhan Abu Thalib berbagai keberkahan datang di keluarganya. Oleh karenanya Abu Thalib beserta istrinya (Fatimah binti Asad) dan juga Ummu Aiman mengasuh dan menjaga muhammad dengan penuh kasih sayang.
 
Saatnya Kebahagiaan Ummu Aiman
Keberadaan Ummu Aiman disamping Rasulullah saw. mulai beliau masih ada di dalam kandungan hingga Rasulullah saw. wafat menjadikan Ummu Aiman sebagai ibu ke dua dari Rasulullah saw.
Ketika Rasulullah saw. menikah dengan Khadijah, beliau memerdekakan Ummu Aiman yang saat itu statusnya sebagi budak yang diwarisi dari Abdullah (ayah Nabi).
Setelah menjadi wanita merdeka, ia menikah dengan Ubaid bin Harits Al-Khazraji dan dari keduanya dikaruniai seorang putra yang bernama Aiman.
Ummu Aiman adalah salah seorang yang pertama kali masuk Islam. Sejak mendengar bahwa Muhammad membawa ajaran Islam, ia pun langsung mengikutinya. Hanya saja langkah baiknya tidak diikuti oleh suaminya yang akhirnya Ummu Aiman harus berpisah dengan suaminya.
Setelah berpisah dengan Ubaid bin Harits Al-Khazraji, Allah SWT. memulikannya dengan memberi suami dari kalangan orang Islam yang dapat membimbingnya menuju kebahagiaan dunia dan akhirat, yaitu Zaid bin Haritsah.

Bersama Zaid bin Haritsah, Ummu aiman dikaruniai putra yang bernama Usamah bin Zaid. Zaid dan Usamah adalah orang-orang yang disayang Rasulullah saw. Karena begitu sayangnya Rasulullah kepada Usamah sampai-sampai para sahabat menyebut Usamah sebagai “Kesayangan Putra Kesayangan”.
Abdullah bin Umar ra. pernah berkata, “Nabi mengirim satu pasukan dan mengangkat Usamah bin Zaid sebagai pemimpinnya. Beberapa orang meremehkan kepemimpinannya. Maka Rasulullah saw. bersabda, “Jika kalian meremehkan kepemimpinannya, berarti kalian meremehkan kepemimpinan ayahnya sebelum ini. Demi Allah, dia diciptakan untuk menjadi pemimpin. Dia adalah orang yang paling aku suka, dan anaknya ini adalah orang yang paling aku suka setelah ayahnya.” HR. Bukhari (2730) Muslim (2426)
Aisyah ra. berkata, “Rasulullah tidak mengirim Zaid bin Haritsah dalam suatu pasukan kecuali beliau menjadikannya pemimpin pasukan itu. Jika Zaid tetap tinggal di Madinah, maka Rasulullah menjadikannya sebagai penggantinya.” HR. Ahmad (6/254) Hakim (3/218)
Begitulah kemuliaan keluarga Ummu Aiman yang memiliki tempat tersendiri di hati Rasulullah saw.

Ummu Aiman di medan pertempuran
Meskipun usianya sudah tua, namun semangat untuk membela panji-panji Islam begitu besar dihatinya. Cita-citanya yang ingin melihat bendera Islam berkibar dengan gagah mengalahkan bendera-bendera kekafiran berusaha ia wujudkan dengan tetap ikut berjihad bersama Rasulullah.
Ketika perang Uhud terjadi Ummu Aiman bersama kaum wanita lainnya juga ikut ambil bagian untuk berjihad meskipun tidak dengan mengangkat senjata. Tugasnya sebagai tim kesehatan dan penyediaan makanan tidak kalah mulianya dengan mereka yang mengangkat senjata.
Di perang Uhud ini pula Ummu Aiman menorehkan tinta emas dalam sejarah, yaitu ketika pasukan panah kaum muslimin tidak menghiraukan perintah Rasulullah saw. untuk tetap bertahan diatas bukit Uhud yang berakibat terbunuhnya puluhan pasukan kaum Muslimin. Dan sebagian kaum Muslimin lari mundur karena ketakutan. Disinilah Ummu Aiman mencoba mengembalikan keberanian kaum Muslimin dengan cara menghadang dan melemparkan pasir ke muka mereka seraya berkata, “Ini bedak yang pantas kalian terima. Ambil pedang kalian.”

Cobaan Ummu Aiman
Rasulullah saw. bersabda, “Orang yang paling berat cobaannya adalah para nabi, kemudian orang yang kuat imannya, lalu orang yang kuat imannya. Seseorang diberi cobaan sesuai kualitas agamanya. Jika agamanya kuat maka cobaannya berat. Jika agamanya lemah maka cobaannya sesuai dengan kualitas agamanya. Cobaan terus mengikuti seorang hamba hingga hamba tersebut berjalan di muka bumi dengan tidak membawa satu dosa pun.” HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah
Di perang Mut’ah, derita dan cobaan yang dialami Ummu aiman sangat berat. Zaid bin Haritsah (suaminya) terbunuh sebagai syahid. Saat itu Rasulullah saw. mengirim Zaid bin Haritsah sebagai panglimanya. Beliau berpesan, “Jika Zaid terbunuh maka Ja’far bin Abu Thalib sebagai penggantinya. Jika Ja’far terbunuh maka Abdullah bin Rawahah sebagai penggantinya.”
Ketika dua pasukan saling berhadapan. Dengan gagah berani Zaid bin Haritsah berperang dengan bendera di tangan, hingga ia gugur di ujung tombak pasukan musuh. Melihat hal itu Ja’far bin abu Thalib langsung menyambar bendera psukan Islam yang jatuh dari tangan Zaid. Ia kibarkan bendera dan berperang dengan gagah berani. Kuda pirang yang menjadi simbol dan kebanggaan pasukan musuh ia terjang dan menusuknya dengan pedang. Ia terus menerjang pasukan musuh dengan gagah berani hingga gugur sebagai syahid. Dan Ja’far adalah orang yang pertama kali membunuh kuda dalam perang. HR. Tabrani
Anas ra. berkata, “Nabi telah mengabarkan kematian Zaid, Ja’far dan Abdullah bin Rawahah, kepada kaum Muslimin, sebelum ketiganya mengetahui berita itu. Beliau bersabda, ‘Zaid memegang bendera lalu dia gugur, kemudian dipegang Ja’far lalu dia gugur, kemudian dipegang oleh abdullah bin Rawahah lalu dia gugur, (saat itu mata beliau meneteskan air mata), kemudian bendera dipegang oleh satu dari Pedang allah hingga Allah memberikan kemenangan untuk kaum Muslimin.’” HR. Bukhari (7/585)
Dan ketika berita kematian Zaid bin Haritsah sampai kepada Ummu Aiman, ia tetap tegar dan berharap agar suaminya diterima di sisi Allah SWT.
Tidak berselang lama dengan perang Mut’ah, berkobar perang Hunain. Di perang ini, Ummu Aiman tidak mau ketinggalan begitu juga dengan kedua putranya Usamah dan Aiman juga ikut berjuang bersama Rasulullah saw.
Ketika perang Hunain berkecamuk, pasukan kaum Muslimin sempat terdesak dan banyak tetara Islam yang mundur. Namun Aiman dan beberapa tentara Islam yang lain tetap tegar di barisan perang bersama Rasulullah yang akhirnya Aiman gugur sebagai syahid. Rasulullah saw. pun menjadikan Aiman sebagai simbol keberanian di Perang Hunain.
Mendengar berita kematian anaknya, Ummu Aiman pun bersedih namun ia tetap tegar seraya berdoa semoga anaknya diterima di sisi Allah SWT.

Ummu Aiman dan keluarga di mata Rasulullah saw.
Posisi Ummu Aiman di hati Rasulullah saw. tidak tergeser. Rasulullah tidak pernah lupa bahwa Ummu Aiman adalah ibu kedua beliau. Ibu keduanya itu rela berkorban apa saja demi keselamatan beliau. Dan ibu keduanya itu telah mencurahkan kasih sayangnya kepada beliau.
Aisyah ra. pernah bercerita, “Seorang ahli silsilah keturunan datang ke rumah kami. Saat itu Rasul ada di rumah, sedangkan Usamah bin Zaid dan Zaid bin Haritsah tidur-tiduran. Lalu orng itu berkata, “Kaki-kaki ini sama dan ada keterikatan.” Mendengar hal itu, Nabi sangat senang, dan mengungkapkan kekagumannya kepada orang tersebut. Lalu beliau memberitahukan hal itu kepada Aisyah ra.” HR. Bukhari (3731) Muslim (1459)
Bahkan, selain sangat sayang kepada Usamah bin Zaid, Zaid bin Haritsah (ayah Usamah), dan Ummu Aiman (ibu Zaid), Rasul juga sayang kepada keturunan Ummu Aiman baik yang pernah bertemu dengan beliau maupun yang belum pernah bertemu.
Ketika Rasulullah saw. meninggal dunia, Ummu Aiman begitu sedih, dia hanya bisa berdiri kaku, dan air matanya terus berderai. Semua kenangan indah bersama Rasulullah hadir dimatanya. Sejak beliau kecil kemudian menjadi pemuda lalu menjadi nabi bagi umat terbaik. Dan sekarang…, dia pergi meninggalkan dunia untuk selama-lamanya. Sungguh sebuah kondisi yang mengiris hati. Bukan air mata yang keluar dari tangisan, melainkan tetesan darah.
Karena begitu sedihnya Ummu Aiman pun meratap. Adapun ratapan dari Ummu Aiman ketika Rasulullah SAW meninggal menurut Thabaqat Ibnu Sa’ad (2/332-333) Minahul Madh, Ibnu Sayidinnaas (337) adalah sebagai berikut :
Duhai mata, bermurah hatilah
Cucurkan air mata
Sebagai pelipur lara
Menangislah… dan terus menangislah
Bencana di atas segala bencana
Ketika mendengar kematian Rasulullah
Duhai mata, menangislah
Meskipun perpisahan ini hanya di dunia
Menangislah… dan terus menangislah
Detik ini awal wahyu tiada
Alirkan sungai air mata
Mengenang Rasul tercinta
Penerang dunia
Rahmat bagi alam semesta
Nabi setelah para nabi mulia
Nabi penutup sampai akhir masa
Anas menceritakan bahwa selang beberapa waktu setelah wafatnya Rasulullah, Abu Bakar ra. berkata kepada Umar, “Mari kita kunjungi Ummu aiman, sebagaimana dulu Rasulullah mengunjunginya.”
Ketika sampai di rumah Ummu Aiman mereka melihat Ummu Aiman menangis. Mereka bertanya, “Apa yang membuat bunda menangis? Apa yang ada di sisi allah lebih baik bagi Rasulullah.” Ummu Aiman menjawab, “Aku menangis bukan karena aku tidak tahu bahwa apa yang ada di sisi Allah lebih baik bagi Rasulullah. Akan tetapi aku menangis karena sekarang tidak ada wahyu lagi.” Jawaban itu membuat keduanya turut menangis. Mereka pun larut dalam tangisan. HR Muslim (2454)
Umur panjang yang dikaruniakan kepada Ummu aiman sungguh sangat bermakna. Perannya terhadap perjuangan Islam tidak akan selalu tercatat dalam sejarah. Namun setiap manusia pasti akan mati, begitu juga dengan ibunda kita ini. Pada masa pemerintahan Utsman ra. allah memanggilnya untuk berkumpul dengan orang yang dicintainya (Rasulullah) di surga, yang nikmatnya tidak terkira.
Teriring doa, semoga Allah meridhai pengasuh Rasul-Nya. Dia-lah panutan sejati wanita dunia. Kejernihan hati, semangat perjuangan dan pengorbana untuk kebenaran, semuanya ada padanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar