Kamis, 13 Oktober 2016

Sejarah berubahnya arah kiblat dalam sholat

PERUBAHAN ARAH KIBLAT
Pada bulan Rajab tahun kedua hijrah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, telah terjadi pertempuran kecil antara utusan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dipimpin oleh Abdullah bin Jahsy dengan kelompok dagang kaum Quraisy. Pada bulan ini juga terjadi peristiwa penting yaitu perubahan arah kiblat kaum Muslimin dari masjid al-Aqsha ke arah Ka’bah.
Menghadap Baitul Maqdis Dan Kebanggaan Yahudi

Dalam sebuah riwayat yang sanadnya shahih, diceritakan bahwa ketika di Makkah sebelum hijrah ke Madinah, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat menghadap Baitul Maqdis[1] . Meskipun beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di Makkah menghadap Baitul Maqdis bukan berarti beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membelakangi Ka’bah. Namun beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil posisi supaya Ka’bah berada di tengah antara beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Baitul Maqdis. Dengan demikian, Ka’bah tetap berada di depan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , meski beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadap Baitul Maqdis.
Setelah hijrah ke Madinah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih tetap shalat menghadap Baitul Maqdis selama 16 bulan, ada yang mengatakan 17 bulan[2] . Dan pada pertengahan bulan Rajab tahun kedua hijrah, Allah memerintahkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk merubah arah kiblat shalat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari arah Baitul Maqdis ke arah Ka’bah di Makkah, kiblat Nabi Ibrahim Alaihissallam dan Ismail Alaihissallam.

Al-Hafizh Ibnu Hajar menjelaskan cara mempertemukan dua riwayat yang menjelaskan berapa lama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat menghadap Baitul Maqdis setelah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah. Kata beliau rahimahullah : “Mempertemukan dua riwayat ini mudah. Orang yang menetapkan 16 bulan berarti dia menggabungkan antara bulan kedatangan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Madinah dengan bulan turunnya perintah merubah kiblat menjadi satu bulan serta mengabaikan sisa hari (dua-pent) bulan tersebut (karena beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai di Madinah pada pertengahan bulan Rabi’ul Awal dan beliau diperintahkan untuk merubah kiblat pada pertengahan bulan Rajab -pent), sedangkan orang yang menetapkan 17 bulan berarti dia menghitung kedua bulan tersebut[3] .
Perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, shalat menghadap Baitul Maqdis setelah hijrah ke Madinah mendapatkan sambutan hangat dari kaum Yahudi, karena mereka juga beribadah menghadap ke Baitul Maqdis. Mereka mengira bahwa agama yang dibawa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengikuti kiblat dan cara beribadah mereka. Berangkat dari anggapan ini, mereka sangat berambisi untuk mengajak Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bergabung bersama mereka. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat berharap agar kiblat kaum Muslimin dirubah ke arah Ka’bah, kiblat Nabi Ibrahim dan Ismail, rumah pertama yang dibangun untuk mentauhidkan Allah Azza wa Jalla . Berkali-kali beliau menengadahkan wajah ke langit, mengharap agar Allah Azza wa Jalla menurunkan wahyu perihal kiblat.

Harapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini dikabulkan oleh Allah Azza wa Jalla dengan firman-Nya :

قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُمَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ

Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu berada, Palingkanlah mukamu ke arahnya. [al-Baqarah/2:144]

Shalat pertama kali yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan menghadap Ka’bah adalah shalat Zhuhur di Bani Salamah ; sedangkan shalat ‘Ashar di masjid Nabawi. Penduduk Quba’ merubah kiblat mereka ke arah Ka’bah ketika sedang menunaikan shalat Shubuh, setelah kabar tentang perubahan kiblat sampai kepada mereka.[4]

Perubahan Kiblat, Kesenangan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam Dan Kemurkaan Yahudi
Perubahan kiblat ini memberikan suasana gembira di hati Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena Allah Azza wa Jalla telah mengabulkan harapan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebaliknya, bagi kaum Yahudi, perubahan ini merupakan pukulan telak. Karena dugaan mereka selama ini, ternyata salah total dan terbantahkan. Oleh karena itu, mereka sangat geram dan melontarkan isu-isu baru yang bersumber pada praduga hampa. Allah Azza wa Jalla pun turun tangan dengan menurunkan ayat-ayat-Nya guna menghancurkan dugaan-dugaan kaum Yahudi ini. Ketika kaum Yahudi menebarkan isu bahwa kebaikan hanya bisa diraih dengan cara shalat menghadap Baitul Maqdis, Allah Azza wa Jalla menurunkan firman-Nya, :

لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَٰكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا ۖ وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ ۗ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ

Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebaktian, akan tetapi sesungguhnya kebaktian itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi, memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan), dan orang-orang yang meminta-minta, (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan salat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila dia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya), dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa. [al-Baqarah/2:177]

Ketika mereka mempertanyakan sebab perubahan ini, Allah Azza wa Jalla mengajarkan jawaban dari pertanyaan ini kepada Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Azza wa Jalla berfirman :

وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنْتَ عَلَيْهَا إِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ ۚ وَإِنْ كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ ۗ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ

Dan Kami tidak menjadikan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi beberapa orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia. [al-Baqarah/2:143]

Perubahan Kiblat Sebagai Ujian Bagi Kaum Muslimin

Melalui al-Qur’ân, Allah Azza wa Jalla menjelaskan bahwa tujuan lain dari perubahan kiblat ini adalah untuk menguji kekuatan aqidah kaum Muslimin dan kesigapan mereka melaksanakan perintah-perintah Allah Azza wa Jalla sebagaimana disebut pada ayat di atas [al-Baqarah/2:143]

Dan ternyata kesiagapan para shahabat merupakan bukti keimanan yang luar biasa. Sebagaimana tergambar dalam sebuah hadits yang dibawakan oleh imam Bukhari dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhu yang mengatakan :

بَيْنَا النَّاسُ يُصَلُّونَ الصُّبْحَ فِي مَسْجِدِ قُبَاءٍ إِذْ جَاءَ جَاءٍ فَقَالَ أَنْزَلَ اللَّهُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُرْآنًا أَنْ يَسْتَقْبِلَ الْكَعْبَةَ فَاسْتَقْبِلُوهَا فَتَوَجَّهُوا إِلَى الْكَعْبَةِ

Ketika jama’ah kaum Muslimin sedang menunaikan shalat Shubuh di Quba’, tiba-tiba ada seorang shahabat mendatangi mereka, lalu mengatakan : “Allah Azza wa Jalla telah menurunkan sebuah ayat kepada Nabi-Nya agar menghadap Ka’bah, maka hendaklah kalian menghadap Ka’bah !” Lantas mereka semua berpaling menghadap ke arah Ka’bah.

Ayat di atas juga sebagai jawaban dari pertanyaan yang timbul akibat perubahan kiblat ini, yaitu bagaimana dengan shalat para shahabat yang meninggal dunia sebelum perubahan kiblat ini, apakah shalat mereka dengan menghadap Baitul Maqdis diterima oleh Allah Azza wa Jalla ataukah tidak ? Jawabannya, Allah Azza wa Jalla tidak akan menyia-nyiakan shalat mereka. Karena mereka melakukan shalat dengan menghadap Baitul Maqdis itu dalam rangka mentaati Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya, sebagaimana para shahabat yang masih hidup menunaikan shalat menghadap Ka’bah juga dalam rangka mentaati Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya.

Semoga Allah Azza wa Jalla memberikan kemudahan kepada kita semua untuk mendirikan shalat dengan benar dan teratur sehingga iman kita semakin kuat. Dan semoga Allah Azza wa Jalla mempersatukan seluruh kaum Muslimin di seluruh penjuru dunia, karena kiblat mereka sesungguhnya hanya satu.
(Diangkat dari as-Sîratun Nabawiyah as-Shahîhah, hlm. 349-352).
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XIII/1430H/2009. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Riwayat ini dishahîhkan oleh al-Hâkim dan yang lainnya.
[2]. Demikianlah yang diriwayatkan dari beberapa shahabat Rasulullah n yaitu Mu’adz bin Jabal, Anas bin Malik, al-Barrâ’ bin ‘Azib sebagaimana juga diriwayatkan dari Sa’id bin al-Musayyib, seorang tâbi’in secara mursal. Sanad-sanad mereka ini semuanya shahîh (Lih. Shahîh Muslim 1/374) Shahîh al-Bukhâri dalam Fathul bâri 1/95, namun riwayat Imam Bukhâri menyebutkan : “… selama 16 atau 17 bulan.”
[3]. Lihat Fathul Bâri 1/96
[4]. Lihat Fathul Bâri 1/97

KITAB TERJEMAH TAFSIR IBNU KATSIR
KITAB TERJEMAH TAFSIR IBNU KATSIR 8 JILID (SLIDESHARE)
ASBABUN NUZUL TENTANG KAKBAH YANG MENJADI ARAH KIBLAT (Bagian 1)

Surat al-Baqarah ayat 142 – 144

1. Ayat 142

سَيَقُولُ السُّفَهَاء مِنَ النَّاسِ مَا وَلاَّهُمْ عَن قِبْلَتِهِمُ الَّتِي كَانُواْ عَلَيْهَا قُل لِّلّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ يَهْدِي مَن يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ -١٤٢-


Orang-orang yang kurang akal diantara manusia akan berkata, “Apakah yang memalingkan mereka (Muslim) dari kiblat yang dahulu mereka (berkiblat) kepadanya?” Katakanlah (Muhammad), “Milik Allah-lah timur dan barat; Dia Memberi petunjuk kepada siapa yang Dia Kehendaki ke jalan yang lurus.”

As-sufaha (السُّفَهَاء) Orang-orang yang kurang akal, dalam surat Al-baqarah ayat 142 adalah orang-orang yang lemah akalnya atau yang melakukan aktivitas tanpa dasar, baik karena tidak tahu menahu, atau tahu tapi melakukan yang sebaliknya.

Ayat ini masih sangat erat kaitannya dengan sikap orang-orang Yahudi yang dibicarakan dalam ayat-ayat lalu. Itu agaknya yang menjadi sebab, sehingga ayat ini tidak dimulai dengan huruf ( و ) Wawu, yang antara lain digunakan untuk beralih dari satu uraian ke uraian yang lain. Dengan demikian, kuat dugaan bahwa yang dimaksud dengan kata as-sufaha adalah orang-orang Yahudi. Bahwa ayat ini tidak menyebut secara tegas nama mereka, bertujuan memberi sifat as-sufaha terhadap orang-orang Yahudi yang dibicarakan disini. Atau boleh jadi juga untuk memasukan semua orang yang tidak menerima Ka’bah sebagai kiblat, atau yang mencemoohkan Ka’bah dan mencemooh umat islam yang mengarah atau thawaf di sana.

As-sufaha akan berkata, apakah yang memalingkan mereka (umat islam) dari kiblat mereka yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?

Maksud mereka, tadinya umat islam mengarah ke Makkah, kemudian ke Bait al-Maqdis, atau tadinya mereka mengarah ke Bait al-Maqdis sekarang ke Makkah lagi. Kalau mengarah ke Bait al-Maqdis atas perintah Allah, maka mengapa sekarang Allah memerintahkan mereka mengarah ke Ka’bah ? Tentu ada kekeliruan, atau (Nabi) Muhammad dan Kaum Muslimin hanya mengikuti hawa nafsu mereka. Tentu ibadah mereka dahulu ketika ke Bait al- Maqdis atau Makkah sana, sudah batal dan tidak ada ganjarannya lagi. Menanggapi ucapan itu Allah memerintahkan Nabi-Nya; jawablah mereka : “milik Allah timur dan barat”. Kedua arah itu sama dalam hal kepemilikan, kekuasaan dan pengaturan Allah . Karena itu, kemanapun seseorang mengarah, maka dia akan menemukan Tuhan di sana.

Menghadap ke kiblat bertujuan mengarahkan kaum muslimin ke satu arah yang sama dan jelas. Namun demikian Dia berwenang menetapkan apa yang dia kehendaki-Nya menjadi arah bagi manusia untuk menghadap kepada-Nya. Dia mengetahui hikmah dan rahasia di balik penetapan itu, lalu Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus. Petunjuk-Nya untuk kaum muslimin adalah mengarah ke Ka’bah.

Allah tidak menjelaskan mengapa Dia mengalihkan arah tersebut sehingga pada akhirnya arah yang harus dituju dalam shalat adalah Ka’bah. Apa yang dikutip di atas dari pendapat at-Thabari belum tentu benar. Boleh jadi pengalihan kiblat pertama kali dari Makkah ke Bait al-maqdis, karena ketika nabi berhijrah, Ka’bah masi di penuhi berhala, dan kaum musyrik Arab mengagungkan Ka’bah bersama berhala-berhala yang mereka tempatkan di sana. Di sisi lain, tidak disebutkannya sebab pengalihan itu dalam jawaban yang diperintahkan Allah ini, untuk memberi isyarat bahwa perimtah-perintah Allah khususnya yang berkaitan dengan ibadahmahdha (murni) tidak harus dikaitkan dengan pengetahuan manusia tentang sebabnya. Ia harus dipercaya dan diamalkan. Walupun pasti ada sebab atau hikmah di balik itu. Setiap mulim diperintah untuk melaksanakannya, namun ia tidak dilarang untuk bertanya atau berpilir guna menemukan jawabannya.

Boleh jadi perintah mengarah ke Ka’bah itu karena Makkah di mana Ka’bah berada, adalah posisi wasath /tengah. Jawaban ini disyaratkan oleh ayat selanjutnya.

2. Ayat 143

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطاً لِّتَكُونُواْ شُهَدَاء عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيداً وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنتَ عَلَيْهَا إِلاَّ لِنَعْلَمَ مَن يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّن يَنقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ وَإِن كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلاَّ عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللّهُ وَمَا كَانَ اللّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ إِنَّ اللّهَ بِالنَّاسِ لَرَؤُوفٌ رَّحِيمٌ -١٤٣-


Artinya: Dan demikian pula Kami telah Menjadikan kamu (umat Islam) “umat pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Kami tidak menjadikan kiblat yang (dahulu) kamu (berkiblat) kepadanya melainkan agar Kami Mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke belakang. Sungguh, (pemindahan kiblat) itu sangat berat, kecuali bagi orang yang telah Diberi petunjuk oleh Allah. Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sungguh, Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada manusia.

Dan demikian pula kami telah menjadikan kamu wahai umat islam ummatan wasthan yang dimaksud diatas adalah umat pertengahan yang bersikap moderat dan teladan, sehingga dengan demikian keberadaan kaum dalam posisi pertengahan itu, sesuai dengan posisi Ka’bah yang berada dipertengahan pula.

Posisi pertengahan menjadikan manusia tidak memihak ke kiri dan atau ke kanan. Dimana sikap mereka tidak memihak satu sama lain yaitu dengan memposisikan dirinya ditengah-tengah. Posisi pertengahan menjadikan seseorang dapat dilihat oleh siapapun dalam penjuru yang berbeda, dan ketika itu ia dapat menjadi teladan bagi semua pihak. Posisi itu juga menjadikannya dapat menyaksikan siapapun dan dimanapun. Allah menjadikan umat islam pada posisi pertengahan agar kamu wahai umat islammenjadi saksi atas perbuatan manusia yakni umat yang lain. Tetapi ini tadak dapat kalian lakukan kecuali jika kalian menjadikan Rasul saw. Syahid (شَهِيداً) yakni saksi yang menyaksikan kebenaran sikap dan perbuatan kamu dan beliau pun kalian saksikan, yakni kalian jadikan teladan dalam segala tingkah laku. Itu lebih kurang yang dimaksud oleh lanjutan ayat dan agar Rasul Muhammad menjadi saksi atas perbuatan kamu.

Ada juga yang memahami ummatan wasathan (أُمَّةً وَسَطاً) dalam arti pertengahan dalam pandangan tentang Tuhan dan dunia. Tidak mengingkari wujud tuhan, tetapi tidak juga menganut paham polyteisme (banyak tuhan). Pandangan islam adalah Tuhan Maha Wujud dan Dia Yang Maha Esa. Pertengahan juga adalah pandangan umat islam tentang kehidupan dunia ini. Tidak mengingkari dan menilainnya maya, tetapi tidak juga berpandang bahwa hidup duniawi adalah segalanya. Pandangan islam tentang hidup adalah di samping ada dunia juga ada akhirat, keberhasilan di akhirat di tentukan oleh iman dan amal shaleh di dunia. Manusia tidak boleh tenggelam dalam materealisme, tidak juga membumbung tinggi dalam spritualisme. Ketika pandangan mengarah ke langit, kaki harus tetap berpijak di bumi. Islam mengajarkan kepada umatnya agar meraih materi duniawi, tetapi dengan nilai-nilai samawi.

Penggalan ayat di atas yang menyatakan: agar kamu wahai umat islam menjadi saksi atas perbuatan manusia. Dipahami juga dalam arti bahwa kaum muslimin akan menjadi saksi di masa mendatang atas baik buruknya pandangan dan kelakuan manusia. Pengertian masa mendatang itu di pahami dari penggunaan kata kerja masa datang /mudhari/present tense pada kata (لِّتَكُونُواْ) li takunu. Penggalan ayat ini, mengisyaratkan pergulatan pandangan dan pertarungan aneka isme. Tapi pada akhirnya ummatan wasathan inilah yang akan dijadikan rujukan dan saksi tentang kebenaran dan kekeliruan pandangan dan isme-isme itu. Masyarakat dunia akan kembali merujuk kepada nilai-nilai yang diajarkan Allah. Ketika itu, Rasul yakni ajaran-ajarannya akan menjadi saksi apakah sikap dan gerak umat islam sesuai dengan tuntunan Ilahi atau tidak. Ini juga berarti bahwa umat islam akan dapat menjadi saksi atas umat yang lain dalam pengertian di atas, apabila gerak langkah mereka sesuai dengan apa yang diajarkan Rasul saw.

Itulah sisi pertama dari jawaban yang diajarkan al-Quran, menghadapi ucapan yang akan disampaikan orang-orang Yahudi menyangkut pergantian kiblat.

Pergantian kiblat itu, boleh jadi membingungkan juga sebagian ummat islam, dan menimbulkan pula aneka pertanyaan yang dapat digunakan setan dan orang Yahudi atau musyrik Makkah untuk menggelincirkan mereka. Karena itu, lanjutan ayat ini menyatakan: kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblat kamu sekarang melainkan agar kami mengetahui. Dalam dunia nyata siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot.

Allah sebenarnya mengetahui siapa yang mengikuti rasul dan siapa yang membelot, tetapi Dia ingin menguju manusia, siapa yang mengikuti rasul dan siapa yang membelot sehingga pengetahuan-Nya yang telah ada sejak azali terbukti didunia nyata, dan bukan hanya Dia sendiri mengetahuinya, tetapi yang diuji dan orang lain ikut mengetahui. Apa yang dilakukan-Nya tidak ubahnya seperti seorang guru yang telah mengetahui keadaan seorang siswa bahwa dia pasti tidak akan lulus, tetapi untuk membuktikan dalam dunia nyata pengetahuan itu, ia menguji sang siswa sehingga ketidaklulusannya menjadi nyata, bukan hanya bagi sang guru tetapi juga sang murid dan rekan rekannya.

Sungguh pemindahan kiblat itu terasa amat berat kecuali bagi orang orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; pemindahan kiblat merupakan ujian, dan ujian itu berat bagi yang jiwanya tidak siap, serupa dengan beratnya ujian bagi siswa yang tidak siap.

Selanjutnya, untuk menenagkan kaum muslimin menghadapi ucapan orang-orang Yahudi bahwa ibadah mereka ketika mengarah ke Bait al-Maqdis tidak diterima oleh Allah swt, dan menenangkan keluarga orang-orang muslim yang telah meninggal dunia sehingga tidak sempat mengarah ke Ka’bah, penutup ayat ini menegaskan bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kamu, yakni tidak akan menyia-nyiakan amal-amal shaleh kamu. Disini kata iman yang digunakan menunjukan amal shaleh, khususnya shalat, karena amal shaleh harus selalu dibarengi oleh iman. Tanpa iman, amal menjadi sia-sia.

Ayat (إِيمَانَكُمْ إِنَّ اللّهَ بِالنَّاسِ لَرَؤُوفٌ رَّحِيمٌ) Sesunguhnya Allah Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang Kepada Manusia, seakan-akan berpesan kepada kaum muslimin: ingatlah, hai kaum muslimin, bahwa Tuhan yang kamu sembah adalah Tuhan yang kasih sayangnya melimpah sehingga tidak mungkin Dia menyia-nyiakan usaha kamu, lagi Maha Penyayang, dengan demikian Dia tidak menguji kamu melebihi kemampuan kamu.

Itu jawaban yang diajarkan Allah kepada Nabi Muhammad saw. Dan kaum muslimin, jika pada saatnya nanti ada perintah mengalihkan kiblat dari Bait al-Maqdis ke Ka’bah di Makkah. Jawaban ini sekaligus menyiapkan mental kaum muslimin menghadapi aneka ganguan serta gejolak pikiran menyangkut peralihan kiblat. Dengan demikian, diharapkan jiwa mereka lebih tenang menghadapi hal-hal tersebut.

Kini setelah pikiran telah siap, tangkisan terhadap sikap lawan dan kritik-kritiknya pun telah dipaparkan, tibalah saatnya untuk menyampaikan perintah yang dimaksud, dan ini dimulai dengan satu pendahuluan.

3. Ayat 144

قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاء فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّواْ وُجُوِهَكُمْ شَطْرَهُ وَإِنَّ الَّذِينَ أُوْتُواْ الْكِتَابَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِن رَّبِّهِمْ وَمَا اللّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ -١٤٤-


Artinya: Kami Melihat wajahmu (Muhammad) sering menengadah ke langit, maka akan Kami Palingkan engkau ke kiblat yang engkau senangi. Maka hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja engkau berada, hadapkanlah wajahmu ke arah itu. Dan sesungguhnya orang-orang yang diberi Kitab (Taurat dan Injil) tahu, bahwa (pemindahan kiblat) itu adalah kebenaran dari Tuhan mereka. Dan Allah tidak lengah terhadap apa yang mereka kerjakan.

Sesunguhnya kami sering melihat wajahmu (penuh harapan) menengadah ke langit. Ada yang memahami kata (قَدْ) qad pada ayat di atas dalam arti sungguh-sunggu sedikit, sehingga bila pendapat ini diterima maka terjemahan ayat di atas adalah kami sesekali melihat wajahmu dan seterusnya. Betapa pun, apakah sesekali atau sering, yang jelas, melalui ayat ini Allah menyampaikan kepada Nabi Muhammad saw. Bahwa dia mengetahui keinginan, isi hati, atau doa beliau agar kiblat segera dialihkan ke Makkah, baik sebelum adanya informasi dari Allah tentang sikap orang-orang Yahudi bila kiblat dialihkan, lebih-lebih sesudah adanya informasi itu, maka guna memenuhi keinginan, serta mengabulkan doamu sungguh kami akan memalingkanmu ke kiblat yang engkau sukai, maka kini palingkanlah wajahmu kea rah Masjidi al-Haram. Demikian Allah mengabulkan keinginan Nabi Muhammad saw.

Sementara kaum sufi menggaris bawahi bahwa ayat ini memerintahkan memalingkan wajah, bukan hati dan pikiran, karena hati dan pikiran hendaklah mengarah kepada Allah swt. Hati dan isinya adalah sesuatu yang gaib, maka sesuai dengan sifatnya itu, iapun harus mengarah kepada Yang Maha Gaib, sedang wajah adalah sesuatu yang nyata, maka ia piu diarahkan kepada sesuatu yang sifatnya nyata, yaitu bangunan berbentuk kubus yang berada di Masjid al-Haram.

Selanjutnya, setelah jelas bahwa keinginan Nabi Muhammad saw, telah dikabulkan, maka perintah kali ini tidak lagi hanya ditujukan kepada beliau sendiri sebagaimana bunyi redaksi penggalan ayat yang lalu, tetapi di tujukan kepada semua manusia tanpa kecuali, sebagaimana dipahami dari redaksi berikut yang berbentuk jamak dan di mana saja kamu berada, palingkanlah wajah-wajah kamu ke arahnya.

Ayat ini turun ketika Nabi berada di suatu rumah di Madinah, yang kini dikenal dengan masjid Bani Salamah, sehingga di mana saja kamu berada walau bukan di rumah tempat turunnya ayat ini atau bukan pada waktu itu. Itu minimal yang dapat dipahami dari perintah ini, walau sebenarnya bias lebih luas dari itu.

Bagaimana dengan as-Sufaha yang disinggung sebelum ini? Lanjutan ayat menjelaskan bahwa sesungunhnya orang-orang yang diberi al-Kitab yakni Taurat dan Injil mengetahui, bahwa berpaling ke Masjid al-Haram itu adalah benar dari Tuhan mereka dan juga tuhan kaum muslimin. Mereka mengetahui bahwa itu benar, karena dalam kitab mereka ada keterangan bahwa nabi yang akan diutus akan mengarah ke dua kiblat Bait, al-Maqdis dan Ka’bah; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan termasuk upaya mereka menyembunyikan kebenaran itu.

Asbabun Nuzul Dan Historis Turunnya Ayat-Ayat Al-Quran

Ayat-ayat 142-144 berbicara tentang kiblat dan sikap orang Yahudi tentang masalah ini. Selama berada di Makkah, sebelum berhijrah ke Madinah, Rasul saw. Dan kaum muslimin dalam shalat mengarah kea rah Ka’bah Masjid al-Haram di Makkah. Namun ketika beliau berhijrah dan tiba di Madinah beliau dalam shalat mengarah ke Bait al Maqdis. Pengalihan kiblat dari Makkah ke Bait al-Maqdis itu, bertujuan menurut pakar tafsir at-thabari-antara lain untuk menarik hati Bani Israil, kiranya dengan persamaan kiblat, mereka bersedia mengikuti ajaran islam, karena kiblat mereka pun mengarah ke sana, dank arena Bait al-Maqdis dibangun oleh Nabi Sulaiman as. Leluhur Bani Israil yang sangat mereka kagumi. Setahun setengah, atau lebih sebulan atau dua bulan lamanya, beliau dan kaum muslimin mengarah ke Bait al-Maqdis, namun orang-orang Yahudi jangankan memeluk islam, bersikap bersahabat atau bahkan netral pun tidak. Mereka juga memusuhi Nabi Muhammad saw. Dan kaum muslimin.

Setelah melihat kenyataan tersebut, Rasul saw. Yakin bahwa memilih Bait al-Maqdis sebagai arah shalat tidak mencapai tujuannya, bahkan kurang tepat jika dibanding dengan mengarah ke Ka’bah. Baitullah Ka’bah adalah rumah peribadatan pertama yang dibangun manusia, yakni jauh sebelum Bait al-Maqdis dibangun. Di sisi lain, Ka’bah adalah arah leluhur Nabi Muhammad saw. Disini terbersit dalam hati keinginan untuk kembali mengarah ke Ka’bah, sebagaimana sebelum beliau berhijrah ke Madinah. Allah mengetahui keinginan tersebut apalagi sesekali bahkan boleh jadi seringkali, beliau mengarahkan pandangan ke langit walau tanpa bermohon. Nah, sebelum keinginan itu di kabulkan, Allah terlebih dahulu menyampaikan bagaimana sikap yang akan ditampilkan oleh orang-orang Yahudi dan apa yang mereka akan ucapkan bila pengalihan kiblat ke Ka’bah terjadi.

Dalam suatu riwayat, diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq dari ismail bin Abi Khalid, dari Abi Ishaq yang bersumber dari al-Barra mengemukakan : Bahwa Rasulullah saw. Shalat menghadap ke Baitul Maqdis, dan sering melihat ke langit menunggu perintah Allah (mengharapkan qiblat diarahkan ke Ka’bah atau Masjidil Haram) sehingga turunlah ayat tersebut di atas (QS. al-Baqarah :144) yang menunjukan kiblat ke Masjidil Haram. Sebagian kaum muslimin berkata: inginlah kami ketahui tentang orang-orang yang telah meninggal sebelum pemindahan kiblat (dari Baitil-Maqdis ke Ka’bah), dan bagaimana pula tentang shalat kami sebelum ini, ketika kami menghadap ke Bait al-Maqdis ?. maka turunlah ayat lainnya (QS. al-Baqarah ayat: 143), yang menegaskan bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan iman mereka yang beribadah menurut ketentuan pada waktu itu. Orang-orang yang berfikir kerdil di masa itu berkata: Apa pula yang memalingkan mereka (kaum muslimin) dari qiblat yang mereka hadapi selama ini (dari Bait-al Maqdis ke Ka’bah)? Maka turunlah ayat lainnya lagiu (QS. al-Baqarah ayat 142) sebagai penegasan bahwa Allah-lah yang menetapkan arah qiblat itu.

Di dalam riwayat lainnya yang Diriwayatkan dalam kitab Shahihain (Bukhari dan Muslim) yang bersumber dari al-Barra mengemukakan bahwa, diantara kaum muslimin ada yang ingin mengetahui tentang nasib orang-orang yang telah meninggal atau gugur sebelum berpindah qiblat. Maka turunlah ayat tersebut di atas (QS. al-Baqarah Ayat : 143).

Kumpulan riwayat yang berkaitan dengan peristiwa ini memungkinkan untuk disimpulkan secara umum bahwa sesungguhnya pada waktu di Makkah kaum muslimin menghadap Ka’bah ketika di wajibkan atas mereka shalat, keterangan ini bukan berasal dari Nash Al-Quran, dan sesungguhnya mereka setelah hijrah ke Madinah shalatnya menghadap Baitul-Maqdis dengan perintah Ilahi yang disampaikan kepada Rasulullah saw. Kemudian datang perintah akhir yang berasal dari Al-Quran, yakni

maka palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan, dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya(al-Baqara

Komentar Ulama Tafsir

Ada yang mengatakan, bahwa yang dimaksud dengan sufaha di sini adalah orang-orang musyrik Arab. Demikian dikemukakan az-Zajaaj. Ada juga yang mengatakan, yaitu para pendeta Yahudi, demikian kata Mujahid. Sedangkan as-Suddi mengemukakan, yang dimaksudkan adalah orang-orang yang munafik. Namun, ayat tersebut umum mencakup mereka secara keseluruhan. Wallahu alam.

Imam al-Bukhari meriwayatkan, dari al-Barra bahwa Rasulullah saw, shalat berkiblat ke Baitul Maqdis selama enam belas atau tujuhbelas bulan. Dan beliau senag jika kiblatnya mengarah ke Baitullah. Shalat yang pertama kali dikerjakan beliau dengan menghadap Ka’bah adalah shalat Ashar. Bersamanya beberapa orang ikut mengerjakan shalat juga. Kemudian salah seorang yang ikut mengerjakan shalat itu keluar, lalu ia melewati orang-orang yang sedang mengerjakan shalat di masjid dalam keadaan ruku. Maka ia pun berkata, Demi Allah aku telah mengejakan shalat bersama Nabi dengan menghadap Makkah. Maka orang-orang pun berputar menghadap ke Baitullah. Dan ada orang-orang yang meninggal lebih awal sebelum kiblat di rubah ke Baitullah, yaitu beberapa orang yang terbunuh (dalam perang), maka kami tidak tahu bagaimana pendapat kami mengenai mereka. Maka pada saat itu Allah swt menurunkan firman-Nya: Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu.

Sesumgguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia. (Diriwayatkan Imam al-Bukhari sendiri dengan lafaz di atas) Hadits ini diriwayatkan pula oleh Imam Muslim dari jalan yang berbeda.

Muhammad bin Ishak meriwayatkan, dari al-Barra bahwa Rasulullah saw, pernah mengerjakan shalat dengan menghadap ke Baitul Maqdis dan beliau banyak mengarahkan pandangan ke langit menunggu perintah Allah Taala. Mak Allah Taala pun befirman: Sesungguhnya kami sering melihat wajahmu mengadah ke langit, maka sungguh kami akan memalingkanmu ke kiblat yang engkau sukai. Maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidilharam. (QS. Al-Baqarah: 144) lalu beberapa orang dari kalangan kaum Muslimin mengatakan, Kami ingin andaikata diberi tahukan kepada kami mengenai orang-orang yang telah meninggal dunia dari kami sebelum kami menghadap ke kiblat (Ka’bah) dan bagaimana dengan shalat yang pernah kami kerjakan dengan menghadap ke Baitul Maqdis? Maka Allah Taala menurunkan firman-Nya,: Dan allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian.

Orang-orang yang kurang akalnya, yaitu Ahlul Kitab menanyakan, Apakah yang memalingkan mereka (umat islam) dari kiblatnya yang sebelumnya (Baitul Maqdis)? lalu Allah Taala menurunkan firman-Nya:

سَيَقُولُ السُّفَهَاء مِنَ النَّاسِ مَا وَلاَّهُمْ عَن قِبْلَتِهِمُ الَّتِي كَانُواْ عَلَيْهَا قُل لِّلّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ يَهْدِي مَن يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ -١٤٢-


Artinya: Orang-orang yang kurang akalnya diantara manusia akan berkata: “Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?” Katakanlah: “Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang. Lurus

Selanjutnya Alla swt berfirman: Katakanlah, kepunyaan Allah timur dan barat. Dia memberi petunjuk kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus. (QS. Al-Baqarah: 142)

Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ketika Rasulullah saw hijrah ke Madinah, Allah Taala memerintahkannya untuk menghadap ke Baitul Maqdis, maka senaglah orang-orang Yahudi. Maka beliau pun menghadap ke Baitul Maqdis selama kurang lebih belasan bulan. Sedang Rasulullah saw menginginkan (untuk menghadap ke ) kiblat Nabi Ibrahim. Beliau sering berdoa kepada Allah Taala sambil menengadahkan wajahnya ke langit, maka Allah swt pun menurunkan firman-Nya: Maka palingkanlah wajahmu ke arahnya

Dengan sebab itu, orang-orang Yahudi menjadi goncang seraya berkata, Apakah yang memalingkan mereka (umat islam ) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya ? Lalu Allah pun menurunkan firman-Nya, Katakanlah kepunyaan Allah timur dan barat. Dia memberi petunjuk kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus. (QS. Al-Baqarah: 142)

Dalam masalah ini cukup banyak hadits-hadits yang diriwayatkan. Dan kesimpulannya, bahwa Rasulullah saw sebelumnya diperintahkan untuk menghadap ke Baitul Maqdis. Beliau ketika di Makkah shalat diantara dua rukn, dengan posisi Ka’bah berada dihadapannya, tetapi beliau tetap menghadap ke Baitul Maqdis. Dan ketika berhijrah ke Madinah beliau tidak dapat menyatukan antara keduanya, maka Allah swt memerintahkannya untuk menghadap ke Baitul Maqdis.

Demikian pendapat yang dikemukakan oleh Ibnu Abbas dan jumhur (mayoritas) ulama. Kemudian para ulama berbeda pendapat, Apakah perintah itu disampaikan melalui al-Quran atau selain al-Quran?

Mengenai hal tersebut diatas terdapat dua pendapat. dalam tafsirnya, al-Qurthubi menceritakan, dari lkrimah, Abu al-Aliyah, dan Hasan al-Bashri, bahwa menghadap ke Baitul Maqdis itu berdarsarkan ijtihad Rasulullah saw. Maksudnya, bahwa menghadap ke Baitul Maqdis itu dilakukan setelah kedatangan beliau di Madinah. Dan hal itu masih terus berlangsung sampai belasan bulan. Kemudian beliau sering berdoa dan berharap agar kiblatnya dirubah ke arah Ka’bah yang merupakan kibalt Nabi Ibrahim. Maka permohonan beliau pun dikabulkan. Kemudian beliau pun di perintahkan untuk mengarahkan kiblatnya ke baitul Atiq (Ka’bah). Setelah itu Rasulullah saw menyampaikan khutbah kepada orang-orang dan memberi tahukan hal itu kepada mereka. Dan shalat yang pertama kali di kerjakan oleh Rasulullah saw dengan menghadap ke Ka’bah adalah shalat ashar. Sebagaimana yang telah di kemukakan di atas, diriwayatkan dalam kitab shahih al-Bukhari dan Muslim dari al-Barrabin Azib. Sedangkan menurut riwayat imam an-Nasai, dari Abu Said bin al-Mala, bahwa shalat itu adalah shalat Dzuhur. Dan beliau mengatakan, Aku dan sahabatku adalah orang yang pertama kali mengerjakan shalat dengan menghadap Ka’bah.

Beberapa ahli tafsir dan juga yang lainnya mengatakan bahwa perintah pengalihan arah kiblat itu turun kepada Rasullullah saw ketika beliau sudah mengerjakan dua rakaat shalat Dzuhur, yaitu tepatnya di Masjid Bani Salamah. Kemudian masjid itu dinamakan Masjid Qiblatain (dua kiblat).

Dalam hadits Nuwailah binti Muslim, Bahwasanya telah sampai kepada mereka berita mengenai hal itu sedang mereka dalam keadaan megerjakan shalat Dzuhur. Lebih lanjut Nuwailah berkata, Maka jamaah laki-laki bertukar tempat dengan jamaah perempuan. Demikianlah yang dikemukakan oleh Syaikh Abu Amr bin Abdul Barr an-Namiri
Sedangkan penduduk Quba menerima berita itu dua hari setelahnya, yaitu ketika mereka sedang mngerjakan shalat Shubuh. Sebagaimana yang ditegaskan dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar, katanya, ketika orang-orang sedang berada di Quba mengerjakan shalat Shubuh, tiba-tiba ada seseorang yang datang kepada mereka seraya berkata, sesungguhnya kepada Rasulullah saw pada malam itu telah di turunkan ayat, dan beliau diperintahkan untuk menghadap kiblat ke Ka’bah, maka menghadaplah kalian ke Ka’bah pada saat itu posisi mereka menghadap Syam, lalu mereka berputar untuk menghadap ke Ka’bah.

Hadits ini menunjukan bahwa sesuatu yang menasakh (menghapus) tidak harus diikuti kecuali setelah diketahui, meskipun telah turun dan disampaikan lebih awal, karena mereka tidak diperintahkan untuk mengulangi ahalat Ashar, Maghrib, dan Isya waullahu alam.

Imam Ahmad bin Hambal telah meriwayatkan dari Aisyah radillahuanhu, katanya, Rasulullah saw bersabda, yang berkenaan dengan Ahlul Kitab : Mereka (Ahlul kitab) tidak dengki kepada kita karena sesuatu sebagaimana mereka dengki kepadak kita karena hari Jumatyang ditujukan oleh Allah kepeda kita sedang mereka disesatkan darinya, dan juga karena kiblat yang ditujukan oleh kepada kita sedang mereka disesatkan darinya, dan juga karena ucapan Amin kita dibelakang imam dalam shalat. (HR.Imam Ahmad). Dan firman Allah Taala: Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.

Melalui ayat itu, Allah menuturkan, sesungguhnya Kami mengubah kiblat kalian ke kiblatnya Ibrahim. Dan kami pilih kiblat itu untuk kalian agar Kami dapat menjadikan kalian sebagai umat pilihan, agar pada hari kiamat kelak kalian menjadi saksi atas umat-umat yang lain, karena semua umat mengakui keutamaan kalian.

Dan yang dimaksud dengan kata wasath di sini adalah pilihan yang terbaik. Sebagaimana yang diungkapkan bahwa orang Quraisy adalah orang arab pilihan, baik dalam nasab maupun tempat tinggal. Artinya, yang terbaik. Dan sebagaimana dikatakan, Rasulullah saw. wasathan fi qaumihi, yang berarti beliau adalah orang yang terbaik dan termulia nasabnya.

Diriwayatkan dalam kitab Shahih, hadits dari Abu Ishaq as-SubaI, dari al-Barra, katanya, Ada beberapa orang yang telah meninggal, mereka itu shalat dengan menghadap ke Baitul Maqdis. Maka para sahabat menanyakan tentang keadaan mereka dalam hal tersebut. Lalu Allah Taala menurunkan firman-Nya,: Dan allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian.

Hadits ini diriwayatkan pula oleh at-Tirmidzi dari Ibnu Abbas, dan dinyatakan shahih.

Masih mengenai firman Allah Taala, di atas, menurut riwayat Ibnu Ishaq dari Ibnu Abbas, Artinya yaitu, shalat yang kalian kerjakan dengan menghadap kiblat pertama (Baitul Maqdis), dan pembenaran terhadap Nabi kalian, serta ketaatan kalian mengikutinya menghadap ke kiblat yang lain (Ka’bah). Maksudnya, Dia akan memberikan pahala atas semua itu.

Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan, dari Ibnu Abbas, katanya, masalah pertama kali di nasakh (dihapus hukumannya) di dalam al-Quran adalah masalah Kiblat. Yang demikian itu terjadi ketika Rasulullah saw hijrah ke Madinah. Pada waktu itu mayoritas penduduknya adalah Yahudi. Maka Allah Swt. menyuruhnya untuk menghadap ke Baitul Maqdis. Orang-orang Yahudi pun merasa senang Rasulullah menghadap ke Baitul Maqdis sekitar belasan bulan, padahal beliau sendiri pun lebih menyukai ( untuk menghadap ke ) Kiblat Ibrahim.
Salah satu pendapat Imam Syafii menyatakan, bahwa yang dimaksudkan adalah pengarahan pandangan mata kepada Ka’bah itu sendiri. Dan pendapat yang lain, yang merupakan pendapat mayoritas bahwa yang di maksudkan adalah muwajjahah ( menghadapkan wajah ke arahnya ), seperti yang diriwayatkan al-Hakim, dari Muhammad bin Ishak, dari Umar bin Ziyad al-kindi, dari Ali bin Abi Thalib, mengenai firman Allah Taala: Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram syatrah. yang berarti ke arahnya. Al-Hakim mengatakan bahwa hadits ini berisnad shahih, tetapi Imam al-Bukhari dan imam Muslim tidak meriwayatkannya.
Yang demikian merupakan pendapat Abu al-Aliyah, Mujahid, Ikrimah, Said bin Jubair, Qatadah, Rabibin Anas, dan lain-lainnya.

Juga disebutkan dalam hadits lainnya : antara timur dan barat itu terdapat kiblat. (HR.At-Tirmidzi, dari Abu Hurairah).

Dan yang populer bahwa shalat yang pertama kali dikerjakan dengan menghadap ke Ka’bah adalah shalat Ashar. Oleh karena itu, berita mengenai hal ini terlambat sampai ke penduduk Quba, yaitu ketika shalat subuh berlangsung.

Dan fiman-Nya, dan dimana saja kamu berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya. Allah Taala memerintahkan agar nebhadap ke Ka’bah dari segala penjuru bumi, baik tumur maupun barat, utara maupun selatan, dan Dia tidak memberrikan pengecualian sedikit pun kecuali shalat sunnah dalam keadaan musafir, di mana shalat sunnah itu dapt dikerjakan dalam keadaan ke mana saja kendarannya menghadap, sedang hatinya harus menghadap ke Ka’bah. Demikian pula dalam kondisi bagaimanapun. Hal yang sama juga dilakukan oleh orang yang tidak mengetahui arah kiblat, maka ia boleh berijtihad untuk menentukannya, meskipun pada hakekatnya ia salah, karena Allah Taala tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya.

Mazhab Maliki menjadikan ayat ini sebagai dalil bahwa orang yang mengerjakan shalat itu menghadap ke depannya dan bukan ke tempat sujudnya. Sebagaimana hal inijuga merupakan mazhab SyafiI, Ahmad, dan Abu Hanifah.

Lebih lanjut mazhab Maliki mengemukakan, jika seseorang melihat ke tempat sujudnya, maka hal itu memerlukan adanya sedikit pembungkukan badan, dan itu jelas bertentangan denga kesempurnaan berdiri. Sedangkan pada saat ruku; maka ia menghadap ke arah posisi hidungnya, dan pada saat duduk, ia melihat ke arah pangkuannya.

Dan Sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya. Artinya, orang-orang Yahudi yang menolak pengarahan kiblat kalia ke Ka’bah dan pemalinga arah kalian dari Baitul Maqdis, sebenarnya mereka itu mengetahui bahwa Allah Taala akan mengarahkanmu (muhammad) ke Ka’bah berdasarkan keterangan dalam kitab-kitab mereka dari para nabi mereka mengenai sifat dan karakter Rasulullah saw, umatnya, dan apa yang dikhususkan dan dimuliakan Alla Taala baginya, berupa syariat yang sempurna dan agung. Tetapi ahlul kitab berusaha untuk saling menyembunyikan hal itu di antara mereka disebabkan oleh kedengkian, kekufuran, dan keangkuhan. Karena itu Allah swt mengancam merka mellui firman-Nya : Dan sekali-kali Allah tidak akan lalai terhadap apa yang mereka kerjakan.


QS al Baqarah [2] : 143
Kecenderungan manusia ketika dihadapkan pada sesuatu yang nampak secara dzahir, dan pada sesuatu yang tidak nampak, ialah lebih tertarik pada sesuatu yang nampak. Bahkan ketika menyikapi sebuah perintah, tidak sedikit yang mencoba bermain-main dengan logika, agar perintah tersebut bisa kemudian dibahasakan, dan diterima secara mekanisme lahiriah (dzahir). Misalnya saja dalam hal perintah untuk melaksanakan shalat, dengan menghadap kiblat. Ketika kaum yahudi dan ahlul kitab bingung karena melihat Rasulullah beribadah ke arah baitullah (kiblat), padahal sebelumnya Rasulullah beribadah mengarah ke baitul maqdis. Banyak yang kebingungan pada saat itu. Tidak sedikit pula yang mempertanyakan nasib makam-makam yang telah ada sebelum adanya pengalihan kiblat, terlebih pada saat itu banyak yang terbunuh. Semua ini dikisahkan dalam sebuah hadits shahih. Hadits no. 39 dalam kitab shahih bukhari, dimana hadits ini menjadi asbabunnuzul QS al Baqarah [2] : 143.

Berikut adalah haditsnya:
asbabunnuzul al baqarah ayat 143

“Telah menceritakan kepada kami 'Amru bin Khalid berkata, telah menceritakan kepada kami Zuhair berkata, telah menceritakan kepada kami Abu Ishaq dari Al Barro` bin 'Azib bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam saat pertama kali datang di Madinah, singgah pada kakek-kakeknya ('Azib) atau paman-pamannya dari Kaum Anshar, dan saat itu Beliau shallallahu 'alaihi wasallam shalat menghadap Baitul Maqdis selama enam belas bulan atau tujuh belas bulan, dan Beliau sangat senang sekali kalau shalat menghadap Baitullah (Ka'bah). Shalat yang dilakukan Beliau shallallahu 'alaihi wasallam pertama kali (menghadap Ka'bah) itu adalah shalat 'ashar dan orang-orang juga ikut shalat bersama Beliau. Pada suatu hari sahabat yang ikut shalat bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pergi melewati orang-orang di Masjid lain saat mereka sedang ruku', maka dia berkata: "Aku bersaksi kepada Allah bahwa aku ikut shalat bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menghadap Makkah, maka orang-orang yang sedang (ruku') tersebut berputar menghadap Baitullah dan orang-orang Yahudi dan Ahlul Kitab menjadi heran, sebab sebelumnya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam shalat menghadap Baitul Maqdis. Ketika melihat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menghadapkan wajahnya ke Baitullah mereka mengingkari hal ini. Berkata Zuhair Telah menceritakan kepada kami Abu Ishaq dari Al Barro`, dalam haditsnya ini menerangkan tentang (hukum) seseorang yang meninggal dunia pada saat arah qiblat belum dialihkan dan juga banyak orang-orang yang terbunuh pada masa itu?, kami tidak tahu apa yang harus kami sikapi tentang mereka hingga akhirnya Allah Ta'ala menurunkan firman-Nya: "Dan Allah tidaklah akan menyia-nyiakan iman kalian". (QS. Al Baqoroh: 143)”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar