Jumat, 09 Januari 2015

Rasulullah Makan dengan 3 Jari dan menjilatinya

Rasulullah Makan dengan 3 Jari
Tiga Jari Dan Menjilatinya
Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam biasa makan menggunakan tiga jari (Ibu jari, jari telunjuk dan jari tengah). Setelah makan, beliau biasa menjilati jari-jari tersebut sebelum mencucinya.

Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahihnya (no. 2032) :
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى، أَخْبَرَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَعْدٍ، عَنِ ابْنِ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: «كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْكُلُ بِثَلَاثِ أَصَابِعَ، وَيَلْعَقُ يَدَهُ قَبْلَ أَنْ يَمْسَحَهَا»
Menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya, mengabarkan kepada kami Abu Mu’awiyah dari Hisyam bin Urwah dari Abdurrahman bin Sa’d dari Ka’ab bin Malik dari Bapaknya yang berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam itu makan dengan menggunakan tiga jari, dan menjilati jari-jari tersebut, sebelum membasuhnya.”

Penggunaan tiga jari ini, menunjukan ketawadhuan beliau dan sifat beliau yang tidak rakus dengan makanan. Yang demikian itu berlaku bagi makanan yang bisa dimakan dengan menggunakan tiga jari, adapun makanan yang tidak bisa dimakan dengan menggunakan tiga jari, maka diperbolehkan untuk menggunakan lebih dari tiga jari ataupun dengan sendok misalnya. Namun, makanan yang bisa dimakan dengan menggunakan tiga jari, maka hendaknya kita hanya menggunakan tiga jari saja, karena hal itu merupakan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia.
Berjama’ah

Nabi shallallahu’alaihiwasallam biasa makan berjama’ah dalam satu piring besar, sebab keberkahan turun pada sunnah dalam makan berjama’ah ini.
Imam Abu Dawud meriwayatkan dalam Sunannya (no. 3764, shahih)
حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُوسَى الرَّازِيُّ، حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي وَحْشِيُّ بْنُ حَرْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ، أَنَّ أَصْحَابَ النَّبِيِّ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا نَأْكُلُ وَلَا نَشْبَعُ، قَالَ: «فَلَعَلَّكُمْ تَفْتَرِقُونَ؟» قَالُوا: نَعَمْ، قَالَ: «فَاجْتَمِعُوا عَلَى طَعَامِكُمْ، وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ يُبَارَكْ لَكُمْ فِيهِ»
Menceritakan kepada kami Ibrahim bin Musa Ar-Razi, menceritakan kepada kami Al-Walid bin Muslim yang berkata: menceritakan kepada saya Wahsyi bin Harb dari Bapaknya, dari Kakeknya, “Sesungguhnya para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata, “Wahai Rasulullah sesungguhnya kami makan namun tidak merasa kenyang”. Nabi bersabda, “Mungkin kalian makan sendiri-sendiri?”. Mereka menjawab, “Iya”. Nabi lantas bersabda, “Makanlah secara bersama-sama, dan sebutlah nama Allah sebelumnya (Bismillah), maka pastilah makanan tersebut akan diberkahi.”
Akan tetapi, hal ini bukan merupakan larangan bagi makan sendirian.

Allah berfirman,
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَأْكُلُوا جَمِيعًا أَوْ أَشْتَاتًا
“Tidak ada halangan bagi kamu makan bersama-sama mereka atau sendirian.” (QS. an-Nur: 61).

Ibn Katsir menyatakan dalam Tafsirnya (6/86),
فَهَذِهِ رُخْصَةٌ مِنَ اللَّهِ تَعَالَى فِي أَنْ يَأْكُلَ الرَّجُلُ وَحْدَهُ، وَمَعَ الْجَمَاعَةِ، وَإِنْ كَانَ الْأَكْلُ مَعَ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلَ وَأَبَرَكَ
“Ini merupakan rukhshoh (keringanan) dari Allah Ta’ala. Seorang boleh makan dengan cara sendiri-sendiri, atau bersama beberapa orang/berjama’ah (dalam satu wadah makanan) meskipun makan dengan cara berjama’ah itu lebih berkah dan lebih utama.”
Lalu Ibnu Katsir menyebutkan hadits diatas.

Lesehan

Nabi shallallahu’alaihi wasallam biasa makan dengan lesehan, karena beliau tidak suka makan sambil bersandar.

Abu Syaikh meriwayatkan dalam Ahlaqun Nabi wa Adabuhu (no. 128, hasan):
أَخْبَرَنَا الْبَغَوِيُّ، نَا يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ الْمَقَابِرِيُّ، نَا أَبُو إِسْمَاعِيلَ الْمُؤَدِّبُ، عَنْ مُسْلِمٍ الْأَعْوَرِ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: «كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَجْلِسُ عَلَى الْأَرْضِ، وَيَأْكُلُ عَلَى الْأَرْضِ، وَيَعْتَقِلُ الشَّاةَ، وَيُجِيبُ دَعْوَةَ الْمَمْلُوكِ»
Al-Baghawi mengabarkan kepada kami, menceritakan kepada kami Yahya bin Ayyub al-Maqabiri, menceritakan kepada kami Abu Ismail Al-Muaddib, meceritakan kepada kami Muslim al-A’war dari Said bin Jubair dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu berkata: “Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam biasa duduk diatas lantai, makan diatas lantai (lesehan), memerah kambing, dan memenuhi undangan seorang budak”.
Al-Haitsami (9/20) berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh Thabrani, dan sanadnya hasan”.
Bahkan Beliau shallallahu’alaihi wasallam tidak pernah memiliki meja makan, tempat beliau makan dirumahnya adalah tikar dari kulit,

Abu Syaikh meriwayatkan dalam Ahlaqun Nabi wa Adabuhu (no. 620, shahih),
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى، نَا بُنْدَارٌ، نَا مُعَاذُ بْنُ هِشَامٍ، حَدَّثَنِي أَبِي، عَنْ يُونُسَ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ أَنَسٍ، يَقُولُ: مَا أَكَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى خِوَانٍ وَلَا فِي سُكُرُّجَةٍ، وَلَا خُبِزَ لَهُ مُرَقَقٌ. قُلْتُ لِقَتَادَةَ: عَلَى مَا يَأْكُلُونَ؟ قَالَ: عَلَى هَذِهِ – لَسُفْرَةٌ
Menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahya, menceritakan kepada kami Bundar, menceritakan kepada kami Mu’adz bin Hisyam, menceritakan kepada saya Bapak dari Yunus dari Qatadah dari Anas bin Malik yang berkata, “Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam tidak pernah makan di meja makan ataupun dari mangkuk kecil, beliau juga tidak pernah dibuatkan roti yang lembut”. Yunus bertanya kepada Qatadah, “lantas dimana beliau makan?”. Qatadah menjawab, “Diatas alas makan dari kulit”.
Hadits ini dikeluarkan juga oleh Bukhori (no. 5415).

Piring besar

Beliau juga biasa makan bersama-sama dalam satu tempat makan besar yang dinamai al-Gharra, yang biasa diangkat oleh 4 orang,
Abu Syaikh meriwayatkan dalam Ahlaqun Nabi wa Adabuhu (no. 621, shahih)

أَخْبَرَنَا ابْنُ أَبِي عَاصِمٍ، نَا الْحَوْطِيُّ، نَا أَبُو عُمَرَ، وَعُثْمَانُ بْنُ سَعِيدٍ، نَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عِرْقٍ، قَالَ: سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ بُسْرٍ، يَقُولُ: كَانَتْ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَصْعَةٌ يُقَالُ لَهَا: الْغَرَّاءُ، يَحْمِلُهَا أَرْبَعَةُ رِجَالٍ
Mengabarkan kepada kami Ibnu Abi Ashim, menceritakan kepada kami Al-Hauthi, menceritakan kepada kami Abu ‘Umar dan Utsman bin Sa’id. Menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdurrahman bin Auf yang berkata: aku mendengar Abdullah bin Busr mengatakan, “Nabi shallallahu’alaihi wasallam mempunyai tempat makan besar (nampan) yang dinamai al-gharra dan bisa diangkat oleh 4 orang”.
Hadits ini dikeluarkan juga oleh Abu Dawud (no. 3773).

Abu Syaikh meriwayatkan juga (no. 622, shahih), dengan lafazh:

كَانَ لِرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَفْنَةٌ لَهَا أَرْبَعُ حِلَقٍ
“Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam memiliki sebuah tempat makan yang memiliki 4 buah pegangan”.
Cara duduk beliau ketika makan
Nabi shallallahu’alaihi wasallam membenci segala cara duduk untuk makan dengan bersandar (tentu saja kecuali orang yang terpaksa atau sakit).

Sebagaimana dalam riwayat Shahih Bukhori (no. 5398):
حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ، حَدَّثَنَا مِسْعَرٌ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ الأَقْمَرِ، سَمِعْتُ أَبَا جُحَيْفَةَ، يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لاَ آكُلُ مُتَّكِئًا»
Menceritakan kepada kami Abu Nu’aim, menceritakan kepada kami Mis’ar dari Ali bin Al-Aqmar yang mendengar Abu Hudzaifah berkata: bersabda Rasulullah shallallahu’ alaihi wasallam: “Saya tidak makan sambil bersandar”.
Terdapat beberapa riwayat tentang cara beliau shallallahu’alaihi wasallam duduk untuk makan. Dan semuanya itu tercakup dalam duduk yang tidak bersandar.

Ada riwayat dari Abu Hasan bin al-Muqri dalam Syamailnya sebagaimana disebutkan dalam takhrij al-Ihya karya al-Iraqi (1/432):
كَانَ إِذا قعد عَلَى الطَّعَام استوفز عَلَى ركبته الْيُسْرَى وَأقَام الْيُمْنَى
“Bahwa (Nabi shallallahu’alaihi wasallam) ketika duduk untuk makan beliau menekuk lututnya yang kiri dan menegakkan kaki kanan”.

Ada juga hadits yang shahih dalam riwayat Muslim (no. 2044),
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، وَأَبُو سَعِيدٍ الْأَشَجُّ، كِلَاهُمَا عَنْ حَفْصٍ، قَالَ أَبُو بَكْرٍ: حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ غِيَاثٍ، عَنْ مُصْعَبِ بْنِ سُلَيْمٍ، حَدَّثَنَا أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ، قَالَ: «رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُقْعِيًا يَأْكُلُ تَمْرًا»
Menceritakan kepada kami Abu Bakar ibn Abi Syaibah dan Abu Sa’id al-Asyaj, keduanya dari Hafsh. Abu Bakar berkata: Menceritakan kepada kami Hafsh bin Ghiyats dari Mush’ab bin Sulaim. Menceritakan kepada kami Anas bin Malik yang berkata, “Aku melihat Nabi shallallahu’alaihi wasallam memakan kurma sambil duduk muq’iy”.

Hanya saja, Para ulama berbeda pendapat tentang duduk muq’iy ini, sampai kurang lebih 3 atau 4 pendapat. Diantara pendapat itu ada yang mengatakan bahwa duduk muq’iy itu seperti duduk yang disebutkan dihadits dhaif diatas tadi.

Akan tetapi jalan tengah bagi semua riwayat dan pendapat itu adalah dikembalikan pada hadits dibencinya makan sambil duduk bersandar diawal tadi. Semua cara duduk untuk makan yang dibenci adalah semua cara duduk yang bisa disebut duduk sambil bersandar, baik ke belakang ataupun ke samping dan tidak terbatas dengan duduk tertentu.

Ibnu Hajar mengatakan,
وَإِذَا ثَبَتَ كَوْنُهُ مَكْرُوهًا أَوْ خِلَافُ الْأَوْلَى فَالْمُسْتَحَبُّ فِي صِفَةِ الْجُلُوسِ لِلْآكِلِ أَنْ يَكُونَ جَاثِيًا عَلَى رُكْبَتَيْهِ وَظُهُورُ قَدَمَيْهِ أَوْ يَنْصِبُ الرِّجْلَ الْيُمْنَى وَيَجْلِسُ عَلَى الْيُسْرَى
“Jika sudah pasti bahwasanya makan sambil bersandar itu dimakruhkan atau kurang utama, maka posisi duduk yang dianjurkan ketika makan, adalah dengan (jatsa) menekuk kedua lutut dan menduduki bagian dalam telapak kaki atau dengan menegakkan kaki kanan dan menduduki kaki kiri.” (Fathul Baari 9/542).

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى، أَخْبَرَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَعْدٍ، عَنِ ابْنِ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: «كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْكُلُ بِثَلَاثِ أَصَابِعَ، وَيَلْعَقُ يَدَهُ قَبْلَ أَنْ يَمْسَحَهَا

حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُوسَى الرَّازِيُّ، حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي وَحْشِيُّ بْنُ حَرْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ، أَنَّ أَصْحَابَ النَّبِيِّ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا نَأْكُلُ وَلَا نَشْبَعُ، قَالَ: «فَلَعَلَّكُمْ تَفْتَرِقُونَ؟» قَالُوا: نَعَمْ، قَالَ: «فَاجْتَمِعُوا عَلَى طَعَامِكُمْ، وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ يُبَارَكْ لَكُمْ فِيهِ

Allah berfirman,

لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَأْكُلُوا جَمِيعًا أَوْ أَشْتَاتًا
“Tidak ada halangan bagi kamu makan bersama-sama mereka atau sendirian.” (QS. an-Nur: 61).

Ibn Katsir menyatakan dalam Tafsirnya (6/86),
فَهَذِهِ رُخْصَةٌ مِنَ اللَّهِ تَعَالَى فِي أَنْ يَأْكُلَ الرَّجُلُ وَحْدَهُ، وَمَعَ الْجَمَاعَةِ، وَإِنْ كَانَ الْأَكْلُ مَعَ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلَ وَأَبَرَكَ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar