Kemudian Nabi membentangkan serbannya yang 4 persegi,kemudian diletakannya hajar aswad itu diatas serbannya, dan disuruh oleh Nabi agar 4 orang pemuka2 Quraisy itu masing2nya memegang sudut serbannya dan mengangkatnya bersama-sama ketempatnya semula dan setelah hajar aswad itu berada dekat tempatnya, barulah Nabi mengangkat dan meletakan hajar asawad itu ditempatnya semula.
Dengan keadilan dan kebijaksanaan Nabi ini, keluarlah ucapan dari mulut pemuka-pemuka Quraisy itu,
رَضِيْنَا بِالآمِيْنَ
(Kami Meredoi dengan Keputusan Al-Amin),dengan kebijaksanaan dan ke’adilan Nabi ini, dapat kita lihat bahwa bak pepatah orang minang “ Gadangnyo indak malendo, Gapuak indak mambuang lamak, cadiak indak manjua kawan, nan bak kayu gadang di tangah koto, baurek balimbago matan, urek jo batangnyo tampek baselo jo basanda dek urang banyak, dahan jo rantiangnyo tampek bataduah katiko hujan, tampek balindung katiko kapaneh.
Kaumuslimin Walmuslimat Rahimakullah .....
Lalu kenapa Nabi itu diberi Gelar AL-AMIN ...? didalam tarekh disebutkan, beliau itu diberi gelar AL-AMIN karna beliau memilki 5 sifat :
1. الصِّدْقُ artinya jujur, jujur.... merupakan sifat yang mulia, siapa yang memilikinya maka ia akan mulia, jujur ... merupakan sifat terpuji, siapa yang memilkinya maka ia akan menjadi manusia terpuji, dizaman era globalisasi keterbukaan ini banyak orang yang membicarakan sifat jujur, jujur dalam bedagang, jujur dalam bekerja, jujur dalam bergaul, jujur dalam berpolitik, namun sedikit sekali yang mengamalkan kejujuran itu, orang yang selalu bersikap jujur dan mengamalkan kejujuran itu maka ia akan dicatat disisi allah sebagai orang yang BENAR. Dan begitu juga sebaliknya siapa yang pendusta kemudian dusta itu menjadi pakain dalam hidupya maka ia akan dicatat disisi allah sebagai manusia PENDUSTA, Mari kita berlaku jujur dalam kehidupan.
2. الْآمَانَة artinya dapat dipercaya, Rasulullah Saw.
Suatu ketika ditawarkan oleh siti khadijah untuk menjualkan dagangannya kenegri syam dan Nabipun menerima tawaran itu, lalu berdaganglah Nabi kenegri syam dengan seorang teman laki-laki yang bernama Maisyarah, sekembalinya dari berdagang itu setelah dihitung hasil dagangan itu, rupanya beliau mendapatkan untung yang sangat banyak, didalam Tarekh disebutkan بِرِبْحٍ عَظِيْمٍ (dengan untung yang besar), kenapa Rasulullah ditawarkan untuk menjualkan dagangan ...? karna rasul adalah seorang yang bisa dipercaya, seorang yang bisa menjaga amanah.
amanah tidak hanya pangKat dan jabatan yang kita emban, namun harta, anak keluarga, dan diri kitapun merupakan amanah allah Swt yang mesti kita jaga, diantara orang yang akan mewarisi sorga firdaus itu adalah orang yang memelihara amanah
وَ الّذِيْنَ هُمْ ِلآمَانَاتِهِمْ وَ عَهْدِهِمْ رَاعُوْنَ
“Dan orang2 yg memelihara amanah dan janji” (QS. Al-mukminun : 8),dan juga sabda Rasulullah saw.
أَدِّ اْلآمَانَةَ إِلىَ مَنِ ئْتَمَنَكَ وَ لاَ تَخُنْ مَنْ خَانَكَ
(Bayarkanlah Amanah itu kepada orang yang memberi amanah kepadamu dan janganlah engkau berkhianat kepada orang yang berkhianat kepadamu) kemudian pada Sabda Rasulullah yang lain mengatakan :“إِذَا ضُيِّعَتِ اْلآمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ . قَالَ اَبُوْ هُرَيْرَةَ كَيْفَ إِضَاعَتُهَا ؟ قَالَ إِذَا اُسْنِدَ اْلأَمْرُ إِلىَ غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ
(Apabila Amanah sudah disia-siakan maka tunggulah hari kiamat, Berkata Abu Hurairah Bagaimana menyia-nyiakan amanah itu ? Beliau menjawab “Apabila suatu pekerjaan diserahkan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah kehancuran) ( shahih Bukhari)
3. الْحِلْمُ Artinya penyantun, Setiap kali Rasulullah pergi kemasjid selalu diludahi dan diludahi, kemudian di sa’at yang lain rasul tidak diludahi lagi, ditanyakan oleh rasul, rupanya orang itu sakit, maka rasulpun bergegas untuk menjenguknya, rupanya memang orang itu dalam keadaan sakit, dengan kedatang rasul orang itupun menangis, lalu apa yang ia tangiskan ...? karna ternyata rasulullah lah orang yang pertama datang menjenguknya disa’at ia terbaring sakit. Orang yang selama ini ia benci, orang yang selama ini ia ludahi, ternyata disa’at tubuh yang sehat berobah menjadi sakit, orang yang dimusuhi dan dibenci selama ini, itulah yang datang pertama kali menjenguknya. Alangkah penyantunya Rasulullah Saw.
Nan Kuriak iyolah kundi, nan merah iyolah sago *
Nan Baiak iyolah budi, nan indah iyolah baso *
Muluik manih kucindan Murah, Budi Baik Baso katuju.
4. الْحَيَاءُ artinya Pemalu,
Di antara sifat beliau yang patut kita tauladani adalah “pemalu”, Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallah ‘anhu mengatakan: “Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam itu lebih pemalu daripada gadis dalam pingitan. Jika beliau tidak menyukai sesuatu, niscaya kami dapat mengetahui ketidak sukaan beliau itu dari wajahnya.” (HR. Al-Bukhari),
dari Imran bin Hushain ra. berkata, Nabi SAW bersabda, "malu itu tidak membawa selain kebaikan" jadi kalau ingin jadi manusia yang baik-baik maka pakailah sifat malu. wanita yang menutup aurat, tidak memamer-mamerkan auratnya, adalah bukti seorang wanita yang memilki rasa malu, dan sekali gus bukti bahawa ia seorang yang beriman, karna malu itu adalah sebahagian dari iman, sekarang telah kita saksikan para remaja dan remaji, termasuk orang2 dewasa, bahkan orang yang sudah berumur tuapun ikut-ikutan untuk membuka-buka auratnya, seolah-seolah buka aurat sudah biasa saja, janganlah tertipu dengan tipuan-tipuan iblis laknatullah, yang akan menjerumuskan kita lembah kehinaan dan unjung-unjungnya adalah neraka, marilah kita tingkatkan rasa malu kita kepada allah swt, dengan selalu menutup aurat dan berakhlak dengan akhlak Rasulullah Saw.
Alah kaliki dek binalu, tumbuah sarumpun ditapi tabek,
Kalau lah habih raso jo malu, bak cando kayu lungga pangabek.
5. Kaum Muslimin Walmuslimat Rahikumullah ....yang terakhir التَّوَاضُع artinya rendah hati. Orang yang randah hati akan ditinggikan oleh allah swt. dan orang yang tinggi hati akan di randahkan oleh allah swt. Banyak orang yang rendah hati ketika ia belum memiliki apa-apa, belum punyak banyak harta, belum punya pangkat dan jabatan, tetapi banyak juga orang yang sombong dan takabbur ketika dia diberikan kesempatan oleh allah swt. Sangat banyak orang rendah hati ditinggikan oleh allah, namun banyak juga orang-orang yang sombong dan takabbur yang dihancurkan allah swt, contoh, fir’aun ditenggelamkan di lautan merah karna sombong, Qarun ditelan dan di benamkan kedalam perut bumi bersama harta nya lantaran sombong, Tsa’labah mati dalam keadaan durhaka kepada allah dan Nabinya karna lalai dan sombong, oleh karna itu marilah kita jadikan nabi sebagai uswatun hasanah, contoh tauladan yang baik didalam kehidupan kita.
Sebagai Kesimpulan pembicaraan kita ini, Nabi Muhammad Digelari AL-AMIN sebelum diangkat menjadi Nabi dan Rasul karna lantaran beliau memiliki 5 sifat yang mulia:
1. Sidik Artinya Jujur
2. Amanah artinya dapat dipercaya
3. Al-hilmu Artinya Penyantun
4. Al-hayak Artinya Pemalu
5. Tawaduk Artinya Rendah Hati
Good nigh Selamat Malam * Good Morning Selamat Pagi *
Saya Sudahi saja dengan Salam * Semoga Kita Berjupa lagi *
بالله التوفيق و الهداية و الرضى و العناية
و السلام عليكم ورحمة الله و بركاته
Semoga bermanfaat
Muhammad tinggal dengan pamannya, menerima apa yang ada. Ia melakukan pekerjaan yang biasa dikerjakan oleh mereka yang seusia dia. Bila tiba bulan-bulan suci, kadang ia tinggal di Makkah dengan keluarga, kadang pergi bersama mereka ke pasar-pasar yang berdekatan dengan Ukaz, Majanna dan Dzu'l Majaz, mendengarkan sajak-sajak yang dibawakan oleh penyair-penyair Mudhahhabat dan Mu'allaqat.
Ia mendambakan cahaya hidup yang akan lahir dalam segala manifestasi kehidupan, dan yang akan dicapainya hanya dengan dasar kebenaran. Kenyataan ini dibuktikan oleh julukan yang diberikan orang kepadanya dan bawaan yang ada dalam dirinya. Itu sebabnya, sejak ia masih anak-anak, gejala kesempurnaan, kedewasaan dan kejujuran hatinya, sudah tampak. Sehingga semua penduduk Makkah memanggilnya Al-Amin (yang dapat dipercaya).
Yang menyebabkan dia lebih banyak merenung dan berpikir, adalah pekerjaannya menggembalakan kambing sejak dalam masa mudanya itu. Dia menggembalakan kambing keluarganya dan kambing penduduk Makkah. Dengan gembira ia menyebutkan saat-saat yang dialaminya pada waktu menggembala itu. Di antaranya ia berkata, "Nabi-nabi yang diutus Allah itu gembala kambing. Musa diutus, dia gembala kambing, Daud diutus, dia gembala kambing. Aku diutus, juga gembala kambing keluargaku di Ajyad."
Gembala kambing yang berhati terang itu, dalam udara yang bebas lepas di siang hari, dalam kemilau bintang bila malam sudah bertahta, menemukan suatu tempat yang serasi untuk pemikiran dan permenungannya. Ia menerawang dalam suasana alam demikian, karena ia ingin melihat sesuatu di balik semua itu. Dalam pelbagai manifestasi alam ia mencari suatu penafsiran tentang penciptaan semesta ini. Ia melihat dirinya sendiri.
Pemikiran dan permenungan demikian membuat ia jauh dari segala pemikiran nafsu manusia duniawi. Ia berada lebih tinggi dari itu sehingga adanya hidup palsu yang sia-sia akan tampak jelas di hadapannya. Oleh sebab itu, dalam perbuatan dan tingkah-lakunya, Muhammad terhindar dari segala penodaan nama yang sudah diberikan kepadanya oleh penduduk Makkah, dan memang begitu adanya: Al-Amin.
Karena itu ia terhindar dari cacat. Yang sangat terasa benar nikmatnya, ialah bila ia sedang berpikir atau merenung. Dan kehidupan berpikir dan merenung serta kesenangan bekerja sekadarnya seperti menggembalakan kambing, bukanlah suatu cara hidup yang membawa kekayaan berlimpah-limpah baginya. Dan memang tidak pernah memedulikan hal itu. Dalam hidupnya ia memang menjauhkan diri dari segala pengaruh materi.
Bukankah dia juga yang pernah berkata, "Kami adalah golongan yang hanya makan bila merasa lapar, dan bila sudah makan tidak sampai kenyang?" Bukankah dia juga yang sudah dikenal orang hidup dalam kekurangan selalu dan minta supaya orang bergembira menghadapi penderitaan hidup? Cara hidup yang mengejar harta dengan serakah demi pemenuhan hawa nafsu, sama sekali tidak pernah dikenal Muhammad selama hidupnya.
Nabi membawa dagangan Khodijah
Suatu ketika ia mendengar berita, bahwa Khadijah binti Khuwailid mengupah orang-orang Quraisy untuk menjalankan perdagangannya. Khadijah adalah seorang wanita pedagang yang kaya dan dihormati, mengupah orang yang akan memperdagangkan hartanya itu. Berasal dari Keluarga (Bani) Asad, ia bertambah kaya setelah dua kali menikah dengan keluarga Makhzum, sehingga dia menjadi seorang penduduk Makkah terkaya. Ia menjalankan bisnisnya dengan bantuan sang ayah, Khuwailid, dan beberapa orang kepercayaannya. Beberapa pemuka Quraisy pernah melamarnya, tetapi ditolaknya. Ia yakin mereka itu melamar hanya karena memandang hartanya.
Tatkala Abu Thalib mengetahui, bahwa Khadijah sedang menyiapkan perdagangan yang akan dibawa dengan kafilah ke Syam, ia memanggil keponakannya—yang ketika itu sudah berumur dua puluh lima tahun.
"Anakku," kata Abu Thalib, "Aku bukan orang berpunya. Keadaan makin menekan kita juga. Aku mendengar, bahwa Khadijah mengupah orang dengan dua ekor anak unta. Tapi aku tidak setuju kalau akan mendapat upah semacam itu juga. Setujukah kau kalau hal ini kubicarakan dengan dia?"
"Terserah paman," jawab Muhammad.
Abu Talib pun pergi mengunjungi Khadijah:
"Khadijah, setujukah kau mengupah Muhammad?" tanya Abu Thalib. "Aku mendengar engkau mengupah orang dengan dua ekor anak unta. Tapi buat Muhammad aku tidak setuju kurang dari empat ekor."
"Kalau permintaanmu itu buat orang yang jauh dan tidak kusukai, akan kukabulkan, apalagi buat orang yang dekat dan kusukai." Demikian jawab Khadijah.
Kembalilah sang paman kepada keponakannya dengan menceritakan peristiwa itu. "Ini adalah rejeki yang dilimpahkan Tuhan kepadamu," katanya.
Setelah mendapat nasihat paman-pamannya Muhammad pergi dengan Maisara, budak Khadijah. Dengan mengambil jalan padang pasir kafilah itu pun berangkat menuju Syam. Perjalanan ini menghidupkan kembali kenangannya tentang perjalanan yang pertama dulu itu. Hal ini membuatnya lebih banyak bermenung, berpikir tentang segala yang pernah dilihat dan didengar sebelumnya; tentang peribadatan dan kepercayaan-kepercayaan di Syam atau di pasar-pasar sekeliling Makkah.
Dengan kejujuran dan kemampuannya ternyata Muhammad mampu benar memperdagangkan barang-barang Khadijah, dengan cara bisnis yang lebih menguntungkan daripada yang dilakukan orang lain sebelumnya. Setelah tiba waktunya kembali, mereka membeli segala barang dagangan dari Syam yang kira-kira akan disukai oleh Khadijah.
Dalam perjalanan kembali kafilah itu singgah di Mar'z Zahran. Ketika itu Maisara berkata, "Muhammad, cepat-cepatlah kau menemui Khadijah dan ceritakan pengalamanmu. Dia akan mengerti hal itu."
Muhammad berangkat dan tengah hari sudah sampai di Makkah. Ketika itu Khadijah sedang berada di ruang atas. Bila dilihatnya Muhammad di atas unta dan sudah memasuki halaman rumahnya, ia turun dan menyambutnya. Didengarnya Muhammad bercerita dengan bahasa yang begitu fasih tentang perjalanannya serta laba yang diperolehnya, demikian juga mengenai barang-barang Syam yang dibawanya. Khadijah gembira dan tertarik sekali mendengarkan.
Sesudah itu, Maisara pun datang pula yang lalu bercerita juga tentang Muhammad, betapa halusnya wataknya, betapa tinggi budi pekertinya. Hal ini menambah pengetahuan Khadijah di samping yang sudah diketahuinya sebagai pemuda Makkah yang besar jasanya.
Dalam waktu singkat saja kegembiraan Khadijah ini telah berubah menjadi rasa cinta, sehingga dia—yang sudah berusia empat puluh tahun dan telah menolak lamaran pemuka-pemuka dan pembesar-pembesar Quraisy—tertarik juga hatinya mengawini pemuda ini, yang tutur kata dan pandangan matanya telah menembusi kalbunya. Pernah ia membicarakan hal itu kepada saudaranya yang perempuan—kata sebuah sumber, atau dengan sahabatnya, Nufaisa binti Munya—kata sumber lain.
Nufaisa pergi menjajagi Muhammad seraya berkata, "Kenapa kau tidak mau kawin?"
"Aku tidak punya apa-apa sebagai persiapan perkawinan," jawab Muhammad.
"Kalau itu disediakan dan yang melamarmu itu cantik, berharta, terhormat dan memenuhi syarat, tidakkah akan kau terima?"
"Siapa itu?"
Nufaisa menjawab hanya dengan sepatah kata, "Khadijah!"
"Dengan cara bagaimana?" tanya Muhammad. Sebenarnya ia sendiri berkenan kepada Khadijah sekalipun hati kecilnya belum lagi memikirkan soal perkawinan, mengingat Khadijah sudah menolak permintaan hartawan-hartawan dan bangsawan-bangsawan Quraisy.
Setelah pertanyaan itu Nufaisa berkata, "Serahkan hal itu kepadaku."
Maka Muhammad pun menyatakan persetujuannya. Tak lama kemudian Khadijah menentukan waktunya yang kelak akan dihadiri oleh paman-paman Muhammad supaya dapat bertemu dengan keluarga Khadijah guna menentukan hari pernikahan.
Kemudian pernikahan itu berlangsung dengan diwakili oleh paman Khadijah, Umar bin Asad, sebab Khuwailid ayahnya sudah meninggal sebelum Perang Fijar. Hal ini dengan sendirinya telah membantah apa yang biasa dikatakan, bahwa ayahnya ada tapi tidak menyetujui perkawinan itu dan bahwa Khadijah telah memberikan minuman keras sehingga ia mabuk dan dengan begitu perkawinannya dengan Muhammad kemudian dilangsungkan.
Di sinilah dimulainya lembaran baru dalam kehidupan Muhammad. Dimulainya kehidupan sebagai suami-isteri dan ibu-bapak. Suami-isteri yang harmonis dan sebagai ibu-bapak yang telah merasakan pedihnya kehilangan anak, sebagaimana pernah dialami Muhammad yang telah kehilangan ibu-bapak ketika masih kecil.
Gelar al-Amin
Pada usia 20 tahun, Muhammad SAW mendirikan Hilful-Fudûl, suatu lembaga yang bertujuan membantu orang-orang miskin dan teraniaya. Saat itu di Mekah memang sedang kacau akibat perselisihan yang terjadi antara suku Quraisy dengan suku Hawazin. Melalui Hilful-Fudûl inilah sifat-sifat kepemimpinan Muhammad SAW mulai tampak. Karena aktivitasnya dalam lembaga ini, disamping ikut membantu pamannya berdagang, namanya semakin terkenal sebagai orang yang terpercaya. Relasi dagangnya semakin meluas karena berita kejujurannya segera tersiar dari mulut ke mulut, sehingga ia mendapat gelar Al-Amîn, yang artinya orang yang terpercaya.
Selain itu ia juga terkenal sebagai orang yang adil dan memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi. Suatu ketika bangunan Ka’bah rusak karena banjir. Penduduk Mekah kemudian bergotong-royong memperbaiki Ka’bah. Saat pekerjaan sampai pada pengangkatan dan peletakan Hajar Aswad ke tempatnya semula, terjadi perselisihan. Masing-masing suku ingin mendapat kehormatan untuk melakukan pekerjaan itu. Akhirnya salah satu dari mereka kemudian berkata, “Serahkan putusan ini pada orang yang pertama memasuki pintu Shafa ini.”
Mereka semua menunggu, kemudian tampaklah Muhammad SAW muncul dari sana. Semua hadirin berseru, “Itu dia al-Amin, orang yang terpercaya. Kami rela menerima semua keputusannya.”
Setelah mengerti duduk perkaranya, Muhammad SAW lalu membentangkan sorbannya di atas tanah, dan meletakkan Hajar Aswad di tengah-tengah, lalu meminta semua kepala suku memegang tepi sorban itu dan mengangkatnya secara bersama-sama. Setelah sampai pada ketinggian yang diharapkan, Muhammad SAW meletakkan batu itu pada tempatnya semula. Dengan demikian selesailah perselisihan di antara suku-suku tsb dan mereka pun puas dengan cara penyelesaian yang sangat bijak itu.
demi Allah ,,kalian lupa atau sengaja tidak menulis rujukan hadistnya
BalasHapusdemi Allah ,,kalian lupa atau sengaja tidak menulis rujukan hadistnya
BalasHapusHADIS NYA APA?
BalasHapus