Siapakah
Ummu Aiman ?
Ummu
Aiman adalah seorang budak dari Abdullah (ayah Nabi) yang berketurunan
Habasyah. Nama aslinya adalah “Barakah”. Dia dipanggil dengan Ummu Aiman karena
beliau adalah ibu dari sahabat Aiman ra. yaitu salah satu sahabat yang mengikuti
Rasulullah saw. dalam berbagai peristiwa besar.
Peranan
Ummu Aiman ketika Muhammad masih kecil
Ketika
Abdullah (ayah Nabi) selamat dari pembunuhan dengan tebusan 100 unta, Abdul
Mutholib (kakek Nabi) menikahkannya dengan seorang wanita bangsawan Mekkah
yaitu Aminah binti Wahb bin Abdi Manaf bin Zuhrah bin Kilab.
Suatu
ketika ditengah perjalanan pulang dari berdagang di negeri Syam, Abdullah
meninggal dan dimakamkan di Madina, perkampungan pamannya bani Adi bin Najar.
Ketika itu Muhammad masih dalam kandungan ibunya yakni Aminah.
Selang
beberapa tahun, Aminah (ibu Nabi) berniat berziarah ke makam suaminya yaitu
Abdullah bin Abdul Mutholib di Madinah yang berjarak 500 Km dari Mekkah.
Bersama Abdul Mutholib, Ummu Aiman, dan Muhammad kecil, mereka berangkat menuju
Madinah.
Setelah
sebulan lebih tinggal di Madinah, Aminah memutuskan untuk kembali ke Mekkah.
Dalam perjalanan pulang, Aminah sakit keras hingga meninggal di desa Abwa’,
perkampungan antara Madinah dan Mekkah.
Ditengah
suasana sedih dan kebingungan inilah Ummu Aiman langsung memutuskan untuk
membawa Muhammad kecil kembali ke Madinah dan mengasuhnya bersama Abdul
Mutholib (kakek Nabi) dengan penuh kasih sayang sebagai pengganti kedua orang
tuanya.
Keberkahan
Muhammad kecil
Abdul
Mutholib yang merasa dirinya sudah tua, memanggil Abu Thalib (putranya) dan
berpesan kepadanya untuk mengasuh Muhammad kecil dengan penuh kasih sayang.
Sejak
Muhammad kecil dibawah asuhan Abu Thalib berbagai keberkahan datang di
keluarganya. Oleh karenanya Abu Thalib beserta istrinya (Fatimah binti Asad)
dan juga Ummu Aiman mengasuh dan menjaga muhammad dengan penuh kasih sayang.
Saatnya
Kebahagiaan Ummu Aiman
Keberadaan
Ummu Aiman disamping Rasulullah saw. mulai beliau masih ada di dalam kandungan
hingga Rasulullah saw. wafat menjadikan Ummu Aiman sebagai ibu ke dua dari
Rasulullah saw.
Ketika
Rasulullah saw. menikah dengan Khadijah, beliau memerdekakan Ummu Aiman yang
saat itu statusnya sebagi budak yang diwarisi dari Abdullah (ayah Nabi).
Setelah
menjadi wanita merdeka, ia menikah dengan Ubaid bin Harits Al-Khazraji dan dari
keduanya dikaruniai seorang putra yang bernama Aiman.
Ummu
Aiman adalah salah seorang yang pertama kali masuk Islam. Sejak mendengar bahwa
Muhammad membawa ajaran Islam, ia pun langsung mengikutinya. Hanya saja langkah
baiknya tidak diikuti oleh suaminya yang akhirnya Ummu Aiman harus berpisah
dengan suaminya.
Setelah
berpisah dengan Ubaid bin Harits Al-Khazraji, Allah SWT. memulikannya dengan
memberi suami dari kalangan orang Islam yang dapat membimbingnya menuju
kebahagiaan dunia dan akhirat, yaitu Zaid bin Haritsah.
Bersama
Zaid bin Haritsah, Ummu aiman dikaruniai putra yang bernama Usamah bin Zaid.
Zaid dan Usamah adalah orang-orang yang disayang Rasulullah saw. Karena begitu
sayangnya Rasulullah kepada Usamah sampai-sampai para sahabat menyebut Usamah
sebagai “Kesayangan Putra Kesayangan”.
Abdullah
bin Umar ra. pernah berkata, “Nabi mengirim satu pasukan dan mengangkat
Usamah bin Zaid sebagai pemimpinnya. Beberapa orang meremehkan kepemimpinannya.
Maka Rasulullah saw. bersabda, “Jika kalian meremehkan kepemimpinannya, berarti
kalian meremehkan kepemimpinan ayahnya sebelum ini. Demi Allah, dia diciptakan
untuk menjadi pemimpin. Dia adalah orang yang paling aku suka, dan anaknya ini
adalah orang yang paling aku suka setelah ayahnya.” HR. Bukhari (2730)
Muslim (2426)
Aisyah
ra. berkata, “Rasulullah tidak mengirim Zaid bin Haritsah dalam suatu
pasukan kecuali beliau menjadikannya pemimpin pasukan itu. Jika Zaid tetap
tinggal di Madinah, maka Rasulullah menjadikannya sebagai penggantinya.”
HR. Ahmad (6/254) Hakim (3/218)
Begitulah
kemuliaan keluarga Ummu Aiman yang memiliki tempat tersendiri di hati
Rasulullah saw.
Ummu
Aiman di medan pertempuran
Meskipun
usianya sudah tua, namun semangat untuk membela panji-panji Islam begitu besar
dihatinya. Cita-citanya yang ingin melihat bendera Islam berkibar dengan gagah
mengalahkan bendera-bendera kekafiran berusaha ia wujudkan dengan tetap ikut
berjihad bersama Rasulullah.
Ketika
perang Uhud terjadi Ummu Aiman bersama kaum wanita lainnya juga ikut ambil
bagian untuk berjihad meskipun tidak dengan mengangkat senjata. Tugasnya
sebagai tim kesehatan dan penyediaan makanan tidak kalah mulianya dengan mereka
yang mengangkat senjata.
Di
perang Uhud ini pula Ummu Aiman menorehkan tinta emas dalam sejarah, yaitu
ketika pasukan panah kaum muslimin tidak menghiraukan perintah Rasulullah saw.
untuk tetap bertahan diatas bukit Uhud yang berakibat terbunuhnya puluhan
pasukan kaum Muslimin. Dan sebagian kaum Muslimin lari mundur karena ketakutan.
Disinilah Ummu Aiman mencoba mengembalikan keberanian kaum Muslimin dengan cara
menghadang dan melemparkan pasir ke muka mereka seraya berkata, “Ini bedak yang
pantas kalian terima. Ambil pedang kalian.”
Cobaan
Ummu Aiman
Rasulullah
saw. bersabda, “Orang yang paling berat cobaannya adalah para nabi,
kemudian orang yang kuat imannya, lalu orang yang kuat imannya. Seseorang
diberi cobaan sesuai kualitas agamanya. Jika agamanya kuat maka cobaannya
berat. Jika agamanya lemah maka cobaannya sesuai dengan kualitas agamanya.
Cobaan terus mengikuti seorang hamba hingga hamba tersebut berjalan di muka
bumi dengan tidak membawa satu dosa pun.” HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah
Di
perang Mut’ah, derita dan cobaan yang dialami Ummu aiman sangat berat. Zaid bin
Haritsah (suaminya) terbunuh sebagai syahid. Saat itu Rasulullah saw. mengirim
Zaid bin Haritsah sebagai panglimanya. Beliau berpesan, “Jika Zaid terbunuh
maka Ja’far bin Abu Thalib sebagai penggantinya. Jika Ja’far terbunuh maka
Abdullah bin Rawahah sebagai penggantinya.”
Ketika
dua pasukan saling berhadapan. Dengan gagah berani Zaid bin Haritsah berperang
dengan bendera di tangan, hingga ia gugur di ujung tombak pasukan musuh.
Melihat hal itu Ja’far bin abu Thalib langsung menyambar bendera psukan Islam
yang jatuh dari tangan Zaid. Ia kibarkan bendera dan berperang dengan gagah
berani. Kuda pirang yang menjadi simbol dan kebanggaan pasukan musuh ia terjang
dan menusuknya dengan pedang. Ia terus menerjang pasukan musuh dengan gagah
berani hingga gugur sebagai syahid. Dan Ja’far adalah orang yang pertama kali
membunuh kuda dalam perang. HR. Tabrani
Anas
ra. berkata, “Nabi telah mengabarkan kematian Zaid, Ja’far dan Abdullah bin
Rawahah, kepada kaum Muslimin, sebelum ketiganya mengetahui berita itu. Beliau
bersabda, ‘Zaid memegang bendera lalu dia gugur, kemudian dipegang Ja’far lalu
dia gugur, kemudian dipegang oleh abdullah bin Rawahah lalu dia gugur, (saat
itu mata beliau meneteskan air mata), kemudian bendera dipegang oleh satu dari
Pedang allah hingga Allah memberikan kemenangan untuk kaum Muslimin.’” HR.
Bukhari (7/585)
Dan
ketika berita kematian Zaid bin Haritsah sampai kepada Ummu Aiman, ia tetap
tegar dan berharap agar suaminya diterima di sisi Allah SWT.
Tidak
berselang lama dengan perang Mut’ah, berkobar perang Hunain. Di perang ini,
Ummu Aiman tidak mau ketinggalan begitu juga dengan kedua putranya Usamah dan
Aiman juga ikut berjuang bersama Rasulullah saw.
Ketika
perang Hunain berkecamuk, pasukan kaum Muslimin sempat terdesak dan banyak
tetara Islam yang mundur. Namun Aiman dan beberapa tentara Islam yang lain
tetap tegar di barisan perang bersama Rasulullah yang akhirnya Aiman gugur
sebagai syahid. Rasulullah saw. pun menjadikan Aiman sebagai simbol keberanian
di Perang Hunain.
Mendengar
berita kematian anaknya, Ummu Aiman pun bersedih namun ia tetap tegar seraya
berdoa semoga anaknya diterima di sisi Allah SWT.
Ummu
Aiman dan keluarga di mata Rasulullah saw.
Posisi
Ummu Aiman di hati Rasulullah saw. tidak tergeser. Rasulullah tidak pernah lupa
bahwa Ummu Aiman adalah ibu kedua beliau. Ibu keduanya itu rela berkorban apa
saja demi keselamatan beliau. Dan ibu keduanya itu telah mencurahkan kasih
sayangnya kepada beliau.
Aisyah
ra. pernah bercerita, “Seorang ahli silsilah keturunan datang ke rumah kami.
Saat itu Rasul ada di rumah, sedangkan Usamah bin Zaid dan Zaid bin Haritsah
tidur-tiduran. Lalu orng itu berkata, “Kaki-kaki ini sama dan ada keterikatan.”
Mendengar hal itu, Nabi sangat senang, dan mengungkapkan kekagumannya kepada
orang tersebut. Lalu beliau memberitahukan hal itu kepada Aisyah ra.” HR.
Bukhari (3731) Muslim (1459)
Bahkan,
selain sangat sayang kepada Usamah bin Zaid, Zaid bin Haritsah (ayah Usamah),
dan Ummu Aiman (ibu Zaid), Rasul juga sayang kepada keturunan Ummu Aiman baik
yang pernah bertemu dengan beliau maupun yang belum pernah bertemu.
Ketika
Rasulullah saw. meninggal dunia, Ummu Aiman begitu sedih, dia hanya bisa
berdiri kaku, dan air matanya terus berderai. Semua kenangan indah bersama
Rasulullah hadir dimatanya. Sejak beliau kecil kemudian menjadi pemuda lalu
menjadi nabi bagi umat terbaik. Dan sekarang…, dia pergi meninggalkan dunia
untuk selama-lamanya. Sungguh sebuah kondisi yang mengiris hati. Bukan air mata
yang keluar dari tangisan, melainkan tetesan darah.
Karena
begitu sedihnya Ummu Aiman pun meratap. Adapun ratapan dari Ummu Aiman ketika
Rasulullah SAW meninggal menurut Thabaqat Ibnu Sa’ad (2/332-333) Minahul Madh,
Ibnu Sayidinnaas (337) adalah sebagai berikut :
Duhai mata, bermurah
hatilah
Cucurkan
air mata
Sebagai
pelipur lara
Menangislah…
dan terus menangislah
Bencana
di atas segala bencana
Ketika
mendengar kematian Rasulullah
Duhai
mata, menangislah
Meskipun
perpisahan ini hanya di dunia
Menangislah…
dan terus menangislah
Detik
ini awal wahyu tiada
Alirkan
sungai air mata
Mengenang
Rasul tercinta
Penerang
dunia
Rahmat
bagi alam semesta
Nabi
setelah para nabi mulia
Nabi penutup sampai akhir masa
Anas
menceritakan bahwa selang beberapa waktu setelah wafatnya Rasulullah, Abu Bakar
ra. berkata kepada Umar, “Mari kita kunjungi Ummu aiman, sebagaimana dulu
Rasulullah mengunjunginya.”
Ketika
sampai di rumah Ummu Aiman mereka melihat Ummu Aiman menangis. Mereka bertanya,
“Apa yang membuat bunda menangis? Apa yang ada di sisi allah lebih baik bagi
Rasulullah.” Ummu Aiman menjawab, “Aku menangis bukan karena aku tidak tahu
bahwa apa yang ada di sisi Allah lebih baik bagi Rasulullah. Akan tetapi aku
menangis karena sekarang tidak ada wahyu lagi.” Jawaban itu membuat keduanya
turut menangis. Mereka pun larut dalam tangisan. HR Muslim (2454)
Umur
panjang yang dikaruniakan kepada Ummu aiman sungguh sangat bermakna. Perannya
terhadap perjuangan Islam tidak akan selalu tercatat dalam sejarah. Namun
setiap manusia pasti akan mati, begitu juga dengan ibunda kita ini. Pada masa
pemerintahan Utsman ra. allah memanggilnya untuk berkumpul dengan orang yang
dicintainya (Rasulullah) di surga, yang nikmatnya tidak terkira.
Teriring
doa, semoga Allah meridhai pengasuh Rasul-Nya. Dia-lah panutan sejati wanita
dunia. Kejernihan hati, semangat perjuangan dan pengorbana untuk kebenaran,
semuanya ada padanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar