Senin, 27 April 2015

Mengungkap Keimanan dan Keselamatan Abi Thalib Paman Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam


“Dalam buku Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib tertimbun segudang dalil yang bertalian dengan keimanan Abî Thâlib.” [Shâlih al-Wardânî][1]

I. Prolog

Dalam wacana agama yang sudah mapan di tengah ummat Islam Abû Thâlib sering kali diklaim sebagai orang kafir dan kelak di akhirat akan menjadi penghuni setia Neraka, asumsi demikian dapat dimaklumi keberadaannya mengingat para “penganggit” kitab dalam beberapa statemennya seringkali mendaku pendapat tersebut sebagai suara mayoritas.

Sebagai sampel, misalnya Abû Zahrah dalam bukunya yang berjudul Khâtam al-Nabiyyîn Shallallah ‘Alaih wa Âlih wa Sallam menyatakan bahwa, “Abû Thâlib mati dalam keadaan syirik”. Menurutnya pendapat ini dikemukakan oleh suara mayoritas dari ulama` Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah, pakar fikih (fuqahâ`), dan ahli hadis. Sedangkan pendapat yang mewacanakan “keimanan Abû Thâlib dan keselamatannya di akhirat” oleh Abû Zahrah dituding sebagai pendapat ulama` berhaluan Syî’ah.[2]

Syahdan, klaim Abû Zahrah dan ulama` yang sependapat dengannya tak lebih dari “pepesan kosong” karena Ahmad bin Zainî Dahlân atau yang biasa dikenal dengan Zainî Dahlân, salah seorang “penjaga gawang” Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah dan seorang yang rajin mengkritik wahabi, menyatakan sebaliknya, yaitu mayoritas Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah berpendapat bahwa Abû Thâlib merupakan salah seorang yang beriman kepada Allah dan utusan-Nya dan kelak akan dimasukkan ke dalam Surga selama-lamanya.

Pernyataan Zainî Dahlân ini terekam dalam karya intelektualnya yang berjudul Asnâ Al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib. Oleh karena itu kitab ini sangat urgen untuk dikaji mengingat wacana keagamaan yang diyakini oleh umat Islam bertentangan dengan “keyakinan yang sesungguhnya”.

A. Identitas Buku Asnâ Al-Mathâlib Fî Najâh Abî Thâlib

Buku Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib (mempermudah beberapa pencarian dalam keselamatan Abî Thâlib) ditulis oleh ulama` termuka di masanya (farîd al-‘Ashr wa al-awwân), Ahmad bin Zainî Dahlân, yang lahir di Kota Makkah pada 1232 H. (1817 M.) dan wafat di Madinah pada 1304 H. (1886 M.), ia dikenal sebagai orang yang membidangi semua ilmu; fikih, hadis, sejarah, teologi, dan yang lainnya. Buah karyanya sangat banyak sekali, antara lain; al-Futûhât al-Islâmiyyah, al-Jadâwal al-Mardliyyah fî Târîkh al-Dual al-Islâmiyyah, Khulâshah al-Kalâm fî `Umarâ` al-Balad al-Harâm, al-Fath al-Mubîn fî Fadlâ`il al-Khulafâ` al-Râsyidîn wa Ahl al-Bait al-Thâhirîn, al-Sîrah al-Nabawiyyah, Risâlah fi al-Rad ‘ala al-Wahâbiyyah, Asna al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, dan yang lainnya.[3] Selama hidupnya ia hanya digunakan untuk mengabdikan diri kepada ilmu dan masyarakat, belajar, mengajar, dan mengarang. Ia pernah menjadi guru besar di Masjid al-Haram dan menjabat sebagai Mufti madzhab Syafi’î.[4] Sangking banyaknya hafalan hadis yang ia miliki para ulama` memujinya dengan mengatakan, “Kitab Shahîh Bukhâri bagi Zainî Dahlan bagaikan surat al-Fâtihah.”[5]

Di telinga santri nama tersebut tidak asing lagi karena di samping para ulama Nusantara banyak yang berguru kepadanya juga hampir semua ilmu yang diajarkan di pesantren memiliki “genealogi sanad” bersambung kepadanya. Zainî Dahlân dikenal sebagai salah satu ulama` yang memperjuangkan aliran Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah di tengah gebyar aliran wahabiyyah, hal ini tercermin dalam beberapa buah karyanya yang khusus ia sajikan untuk “menelanjangi” dan menyingkirkan paham tersebut, antara lain; Risâlah fi al-Rad ‘ala al-Wahâbiyyah, Fitnah al-Wahâbiyyah, Khulâshah al-Kalâm, dan al-Durar al-Saniyyah fi al-Radd ‘ala al- Wahâbiyyah.

Kitab Asna al-Muthalib fi Najati Abi Thalib karya Syaikhul Islam As-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan Al-Hasani

Kitab Asna al-Muthalib fi Najati Abi Thalib karya Syaikhul Islam As-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan Al-Hasani ( کتاب أسني المطالب في نجاة أبي طالب تأليف شيخ العلماء الأعلام أحمد بن زيني دحلان)

Buku Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib sebagaimana yang tercermin dalam titelnya berisi tentang pembahasan keimanan Abî Thâlib. Melalui buku ini yang terdiri dari lima pembahasan pokok (baca: bab); bab menetapkan keimanan (Bâb Itsbât al-Îmân), bab Abû Thâlib dan Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam (Bâb Abû Thâlib wa al-Nabî), bab sya’ir Abû Thâlib (Bâb Syi’r Abû Thâlib), bab Abû Thâlib dan pertolongan (Bâb Abû Thâlib wa al-Syafâ’ah), dan bab keselamatan Abû Thâlib (Bâb Najâh Abû Thâlib), Zainî Dahlân hendak menyatakan bahwa Abû Thâlib termasuk orang yang beriman dan kelak di akhirat akan masuk Surga.

Namun sebagaimana diakuinya sendiri bahwa buku ini tidak lebih dari komentar (syarh) atas karya al-Barzanjî (w. 1130 H.)[6] yang membahas tentang “keselamatan kedua orang tua nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam (Najâh Abawaî al-Nabî Shallallah ‘Alaîh wa Sallam).”[7]

Dalam buku tersebut al-Barzanjî di samping mengkaji tentang keselamatan kedua orang tua nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam juga membicarakan keselamatan paman nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam yang bernama Abû Thâlib, dan ia berkesimpulan bahwa Abû Thâlib beriman kepada Allah dan utusan-Nya dan kelak di akhirat akan selamat. Namun karena –menurut Zainî Dahlân- pengkajian yang dilakukan oleh al-Barzanjî ini terlalu dalam sehingga menjadikan bukunya sulit dipahami khususnya bagi para pelajar tingkat pemula, Zainî Dahlân melaui Asna al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib mengurai pembahasan tersebut dengan bahasa yang mudah dan renyah sembari membuang pembahasan yang tidak memiliki relevansi dengan tema terkait serta menambahkan keterangan yang ia ambil dari kitab al-Mawâhib al-Laduniyyah dan al-Sîrah al-Halbiyyah.

B. Konsep Iman Dan Islam
Sebagai pra wacana dalam mengungkap keimanan Abû Thâlib, Zainî Dahlân mengawali pembahasannya dengan menyuguhkan konsep iman di bawah judul “Bab menetapkan keimanan (itsbât al-îmân).” Menurut pendapatnya yang ia copy dari al-Barzanjî, pengertian iman ialah pembenaran hati terhadap ke-Esaan Tuhan dan risalah nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam, serta percaya bahwa semua pesan yang dibawa oleh Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam berasal dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sedangkan Islam adalah tunduk kepada Allah dengan menjalankan aktifitas dzahir yang diperintahkan-Nya.[8]

Islam bertali temali dengan anggota dzahir, sedangkan iman hanya bertalian dengan anggota batin. Kendati keduanya memiliki wilayah sendiri-sendiri namun dalam tataran praksisnya keduanya harus saling bertalian intim, bagai dua sisi mata uang yang dapat dibedakan namun tidak bisa dipisahkan. Untuk menjadi seorang mukmin harus menjalankan keduanya; percaya terhadap Tuhan yang maha Esa dan Utusan-Nya, dan mengakui secara lisan dengan mengucapkan dua kalimat syahadat. Sehingga apabila “Islam” berjauhan dengan “iman” maka seseorang tidak bisa menjadi “mu’min” sebagaimana yang terjadi pada diri orang munafiq, mereka mengucapkan dua kalimat syahadat dan tunduk terhadap hukum Tuhan (baca: berislam), namun di dalam hatinya ia mengingkari hal tersebut. Begitu juga yang terjadi pada diri orang yang mengakui ke-Esaan Tuhan dan risalah nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam (baca: beriman) namun dzahirnya tidak mengakui, sebagaimana para pembesar Yahudi, hati mereka mengakui risalah nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam namun dzahirnya mengingkari.
Keislaman orang munafiq tidak diterima oleh Tuhan karena di dalam hati mereka terdapat pengingkaran, ia hanya diakui oleh manusia di sekelilingnya saja. Sedangkan para pembesar Yahudi walaupun di dalam hati sebenarnya beriman, namun karena dzahirnya mengingkari padahal dalam kondisi normal maka keimanannya sama seperti keislaman orang munafiq, di sisi Tuhan tidak diterima.

Berbeda dengan situasi normal sebagaimana permasalahan di atas, apabila keadaan yang dialami seseorang tidak normal (li‘udzr) seseorang boleh untuk tidak menampakkan keislamannya, cukup Islam di dalam hati (iman). Beriman namun secara dzahir tidak berislam karena terdapat halangan yang merintangi, bukan menentang, di sisi Allah dapat diterima. Kelak di akhirat akan dimasukkan ke dalam golongan orang-orang yang beriman (mukminîn), namun secara dzahir di dunia ia diperlakukan sebagaimana orang kafir, singkatnya berlabel kafir di dunia dan muslim di akhirat.[9]

Halangan dimaksud menurut Zainî Dahlân memiliki beberapa sebab, di antaranya; khawatir terhadap penganiayaan, apabila seseorang menampakkan keislamannya di muka umum maka ia akan disakiti atau dibunuh. Atau khawatir menyakiti salah satu dari anak-anak atau kerabat-kerabatnya. Dalam kondisi demikian seseorang boleh untuk menyamarkan keislamannya, bahkan apabila ia dipaksa untuk mengucapkan perkataan kufur ia diperbolehkan mengatakannya. Hal ini sebagaimana diisyaratkan oleh Allah Subhanu wa Ta’ala dalam Qur’an Surat an-Nahl 106:
Barangsiapa yang kufur kepada Allah sesudah beriman (maka dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir, namun hatinya tetap tenang beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.”

Setelah mengajukan konsep keimanan yang diramu dari pemikiran al-Barzanjî dan ulama` lain yang seide Zainî Dahlân segera menerapkannya pada permasalahan yang dikaji, yaitu tentang keimanan Abû Thâlib. Menurutnya, keislaman Abû Thâlib berada dalam kondisi ‘udzur. Abû Thâlib sebenarnya beriman, namun ia tidak menampakkan keislamannya karena merasa khawatir akan terjadi hal-hal negatif yang menimpa kepada keponakannya, Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam.[10]
Pada masa-masa awal berdakwah Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam banyak mendapat serangan dari kafir Quraisy, namun berkat perlindungan pamannya, Abû Thâlib, serangan tersebut sedikit demi sedikit menjadi berkurang. Hal ini karena sejak Abdul Muthallib (kakek Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam/ ayah Abdullah dan Abû Thâlib) wafat kepemimpinan Quraisy dikendalikan oleh Abû Thâlib, sehingga Abû Thâlib mendapat tempat yang sangat baik dan berpengaruh di kalangan suku Quraisy, ia sangat disegani oleh mereka, bahkan perlindungannya pun kepada nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam diterima oleh mereka tanpa kecurigaan sedikitpun.

Kafir Quraisy menerima hal tersebut lantaran mereka beranggapan bahwa Abû Thâlib melindungi Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam karena didorong oleh rasa ikatan darah (Himyah), bukan karena membela agama yang dibawanya (Ittibâ’). Anggapan seperti ini diperkuat dengan kesaksian mereka bahwa Abû Thâlib masih setia mengikuti agama leluhurnya yang berlaku dikalangan suku Quraisy.

Oleh karena itu andai masyarakat Quraisy mengetahui bahwa ternyata Abû Thâlib telah masuk ke agama Islam dan mengikuti Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam maka mereka tidak akan pernah menerima perlindungannya yang diberikan kepada Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam, mereka akan membabi buta dalam menyerang Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam dan berbuat lebih kasar ketimbang sebelumnya, bahkan akan segera membunuhnya.

Fenomena demikian jelas menjadi halangan besar bagi Abû Thâlib untuk berterus terang dalam beragama, sehingga kepercayaan keagamaannya pun hanya ia semayamkan di dalam hati. Hal ini pula yang menjadikan Abû Thâlib terkadang “bermuka dua” sesekali ia menyampaikan perkataan-perkataan yang menunjukkan keislamannya, namun dalam satu kesempatan terkadang ia menyampaikan perkataan yang mengindikasikan bahwa dirinya masih tetap berpegang teguh dengan agama kaum Quraisy dan tidak mengikuti ajakan Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam.[11]

Sebagai penunjang gagasannya, Zainî Dahlan mengungkap persoalan yang bertalian dengan pernyataan dua kalimat syahadat yang telah dibahas oleh al-Barzanjî. Apakah mengucapkan dua kalimat syahadat termasuk bagian dari ketentuan iman (musammâ al-Îmân), atau hanya sebagai persyaratan pemberlakuan hukum di dunia (al-Ahkâm al-Dunyawiyyah)? Jika pengucapan tersebut menjadi ketentuan keimanan maka orang yang tidak mengucapkannya dihukumi kafir dan berhak hidup di Neraka selama-lamanya. Namun apabila hanya sebagai persyaratan pemberlakuan hukum di dunia maka di sisi Allah dihukumi sebagai orang yang beriman dan apabila masuk Neraka hanya bersifat sementara, tidak abadi.[12]

Dalam menjawab persoalan ini Zainî Dahlan memilih pendapat yang menyatakan bahwa mengucapkan dua kalimat syahadat hanya sebagai persyaratan pemberlakuan hukum di dunia, bukan sebagai syarat keabsahan iman. Karena sebagaimana yang dikatakan Al-Safâqasî dalam Syarh al-Tamhîd bahwa iman adalah membenarkan. Sehingga yang terpenting pengakuan di dalam hati, bukan penampilan luar.[13]
Al-‘Ainî dalam Syarh al-Bukhârî mengatakan, “pengakuan dengan lisan merupakan syarat pemberlakuan hukum. Sehingga orang yang membenarkan ajaran yang dibawa Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam berarti ia mu’min di sisi Allah walaupun di lisan ia tidak mengakuinya.”

Pendapat seperti ini juga diungkapkan oleh para pembesar Ahl al-Sunnah lainnya seperti Abû Hanîfah, Abû al-Hasan al-Asy’arî, Abû Manshûr al-Mâturîdî, ‘Idludd al-Dîn, Imâm al-Haramain, al-Bâqillânî, Abû Ishâq al-Isfirâyinî, dan yang lainnya. Bahkan al-Ghazâlî dalam karya monumentalnya, Ihya` ‘Ulûm al-Dîn, dan al-Taftâzânî, menetapkan pendapat ini sebagai madzhab Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah.[14]

Di samping berpijak pada pendapat para ulama` Zainî Dahlân -dengan mengutip dari al-Barzanjî- juga mendasarkan pendapatnya pada beberapa hadis nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam.[15] Di antaranya hadis yang diriwayatkan oleh ‘Imrân bin Hushain:

من علم أن الله ربه وإني نبيه صادقا عن قلبه حرم الله لحمه على النار
Barang siapa mengetahui bahwa sesungguhnya Allah adalah Tuhannya, dan aku nabinya sembari membenarkan di dalam hati maka Allah mengharamkan dagingnya masuk Neraka.”

Hadis riwayat Muslim, dari ‘Utsmân bin ‘Affân bahwa Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam bersabda:

من مات وهو يعلم أن لاإله إلاالله دخل الجنة
Orang yang meninggal dunia dan ia tahu bahwa tiada Tuhan selain Allah maka ia akan masuk Surga.”

Hadis riwayat Thabrânî dari Salmah bin Nu’aim al-Asyja’î bahwa Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam bersabda:

من لقى الله لايشرك به شيئا دخل الجنة، قال: قلت يارسول الله وإن زنى وإن سرق؟ قال: وإن زنى وإن سرق.
Barang siapa bertemu Allah (meninggal dunia) dan ia tidak mensekutukan-Nya maka ia masuk Surga. Salmah bertanya: Walaupun ia pernah melakukan zina atau mencuri ya Rasul? Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam menjawab: (Ya), walaupun ia pernah berzina dan mencuri.”

Di samping persoalan di atas, masih dalam Bab pertama dalam bukunya, Zainî Dahlân mendedah permasalahan apakah dalam mengucapkan dua kalimat syahadat harus menggunakan lafadz khusus (أشهد أن لاإله إلاالله وأشهد أن محمدا رسول الله) atau boleh diganti dengan yang lain. Dengan mengutip pernyataan al-Barzanjî ia mengatakan bahwa pendapat yang kuat (al-Râjih) dikalangan para ‘ulama` ialah tidak harus menggunakan dua kalimat tersebut, melainkan menggunakan lafadz lain pun diperbolehkan sebagaimana dalam persaksian kepada Tuhan menggunakan kata “غير الله”, “ماعدا الله”, “سوى الله” “إلاالباري” sebagai ganti dari kata “إلاالله”. Dalam bersaksi kepada nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam sebagai utusan Allah juga tidak harus menggunakan kalimat “وأشهد أن محمدا رسول الله” tapi boleh menggunakan lafadz lain seperti “محمد نبي الله”, “محمد مبعوث الله”, atau “أحمد الماحي.” Begitu juga boleh menggunakan bahasa lain selain bahasa Arab (al-Lughât al-‘Ajamiyyah).[16]

C. Mengungkap Keimanan Abî Thâlib

Jika dalam bab pertama Zainî Dahlân mewejangkan konsep iman dan Islam yang kemudian diterapkan pada keimanan Abû Thâlib, dalam bab kedua di bawah judul Abû Thâlib dan Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam (Bâb Abû Thâlib wa al-Nabî) dan bab ketiga dengan judul Sya’ir Abû Thâlib (Bâb Syi’r Abû Thâlib) melalui analisanya yang tajam ia membuktikan bahwa Abû Thâlib benar-benar seorang mukmin.

Dengan mengutip perkataan dari al-Barzanjî, Zainî Dahlân menyatakan bahwa riwayat yang memberikan informasi tentang kecintaan Abû Thâlib kepada nNabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam sangat banyak sekali, antara lain sya’ir yang dikumandangkan olehnya:
ولقد علمت بأن دين محمد # من خير أديان البرية دينا
Sesungguhnya aku benar-benar tahu bahwa agama Muhammad merupakan agama terbaik yang dimiliki makhluk di persada bumi ini.”
ألم تعلموا أنا وجدنا محمدا # رسولا كموسى صح ذلك في الكتب
Apakah kalian tidak tahu bahwa sesungguhnya aku menemukan Muhammad sebagai utusan Tuhan sebagaimana Musa, (kerasulan Muhammad) benar adanya dan terungkap dalam semua kitab suci.”
إذا أجمعت يوما قريش لمفخر # فعبد مناف سرها وصميمها
فإن حصلت أنساب عبد منافها # ففي هاشم أشرافها وقديمها
وإن فخرت يوما فإن محمدا # هو المصطفى من سرها وكريمها
Pada suatu hari ketika kaum Quraisy berkumpul untuk membanggakan diri maka keturunan Abd Manâf menjadi hatinya.
Apabila keturunan Abd Manâf berkumpul maka keturunan Hâsyim orang-orang yang paling mulia (di antara mereka) dan pemimpinnya.
Apabila pada suatu hari nanti keturunan Hâsyim berada pada derajat termulia maka sesungguhnya Muhammad sebagai orang yang terpilih menjadi pemimpinnya dan termulia (di antara mereka).”[17]

Sya’ir Abû Thâlib yang terakhir ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam yang berbunyi, “Sesungguhnya Allah telah memilihku dari keturunan Hâsyim.”

Dalam mengomentari hadis Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam ini, al-Barzanjî mengatakan, bahwa sya’ir yang pernah didendangkan oleh Abû Thâlib sesuai dengan wahyu yang diberikan kepada Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam, karena beberapa saat setelah itu nabi mendapatkan wahyu bahwa dirinya telah terpilih menjadi manusia pilihan (al-Mushthafâ).”[18]
Dalam berbagai kesempatan Abû Thâlib juga sering berpesan (washiyyah) kepada orang-orang Quraisy untuk mengikuti nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam, ia mengatakan:
والله لكأني به وقد غلب ودانت له العرب ودانت له العرب والعجم فلا يسبقنكم إليه سائر العرب فيكونوا أسعد منكم
Demi Allah, sesungguhnya aku akan selalu bersama Muhammad, ia akan menang, orang Arab dan ‘Ajam akan bersatu karenanya. Oleh karena itu jangan sampai kalian didahului oleh orang Arab lain untuk mengikuti Muhammad, sehingga mereka lebih bahagia daripada kalian.”

Wasiat untuk menjadi pengikut Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam ini berulang kali Abû Thâlib sampaikan, baik kepada Banî Hâsyim maupun kepada semua orang Quraisy lainnya.[19] Dalam satu kesempatan lain Abû Thâlib juga berkata kepada orang Quraisy:
Kalian akan selalu mendengarkan sebaik-baik perkataan dari Muhammad dan sebaik-baik tindakan yang akan kalian ikuti darinya. Oleh karena itu taatlah kepada Muhammad, niscaya kalian akan mendapatkan petunjuk.”[20]

Bukan basa basi, bahkan jauh sebelum Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam diutus menjadi nabi, Abû Thâlib menyebutkan “kenabian Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam”, yaitu pada saat ia berkhutbah dalam acara pernikahan Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam dengan Khadîjah Radhiyallohu ‘Anha.
Dalam khutbahnya Abû Thâlib mengatakan:
الحمد لله الذي جعلنا من ذرية إبراهيم وزرع إسمعيل وضئضئ معد وعنصر مضر، وجعلنا حصنة بيته وسواس حرمه، وجعل لنا بيتا محجوبا وحرما أمنا، وجعلنا الحكام على الناس. ثم إن ابن أخي هذا محمد بن عبد الله لايوزن برجل إلارجح شرفا ونبلا وفضلا وعقلا وهو والله بعد هذا له نبأ عظيم وخطر جسم.
Segala puji bagi Allah, Dzat yang telah menjadikan kita sebagai keturunan nabi Ibrahîm melalui nabi Isma’îl berpangkal pada Mu’ad dan berasal dari Mudlar, dan Dzat yang telah menjadikan kita sebagai penjaga rumah-Nya dari syaitan yang berada di tanah Haram, Dzat yang telah menjadikan rumah tertutup, mulia, dan aman untuk kita, Dzat yang telah menjadikan kita juru hukum untuk manusia. Sesungguhnya keponakanku ini, Muhammad bin Abdullah, tidak bisa dibandingkan dengan siapapun kecuali ia akan unggul kemuliaannya, kepintarannya, keutamaannya, dan kecerdasannya. Demi Allah, setelah ini Muhammad akan memiliki cerita yang besar dan derajat yang paling tinggi.”
Khutbah ini disampaikan jauh sebelum Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam diutus menjadi nabi dengan selisih lima belas tahun.[21] Bayangkan, jauh-jauh hari sebelum Nabi Muhammad diutus menjadi nabi, Abû Thâlib sudah melihat tanda-tanda kebaikan (tafarras) pada diri Muhammad, hal ini sudah cukup menjadi bukti bahwa ketika Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam diutus Abû Thâlib seketika itu langsung beriman dan membenarkan risalahnya.
Abû Thâlib juga banyak meriwayatkan hadiTs Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam dan beberapa kalimat lain yang mengindikasikan bahwa dirinya beriman, hatinya dipenuhi dengan keperpacayaan terhadap ke-Esaan Tuhan. Di antaranya hadiTs yang diriwayatkan oleh al-Khathîb al-Baghdâdî dengan sanad yang bersambung kepada Ja’far al-Shâdiq, Muhammad al-Bâqir, Zain al-‘Âbidîn, Husain, Ali bin Abî Thâlib, bahwa Ali bin Abî Thâlib mengatakan: Aku pernah mendengar Abû Thâlib berkata:
حدثني محمد ابن أخي وكان والله صدوقا. قال: قلت له بم بعثت يامحمد؟ قال: بصلة الأرحام وإقامة الصلاة وإيتاء الزكاة.
Muhammad, keponakanku, bercerita kepadaku dan demi Allah dia orang yang sangat jujur. Abî Thâlib berkata: Aku bertanya kepada Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam, dengan apa engkau diutus wahai Muhammad? Muhammad menjawab: Dengan menyambung tali persaudaraan, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat.”
Dalam mengomentari hadits ini, Zainî Dahlân menafsirkan kata shalat dengan dua macam; pertama, shalat dua raka’at sebelum matahari terbit dan dua raka’at sebelum matahari terbenam, shalat ini dilakukan pada masa-masa permulaan Islam. Kedua, shalat tahajjud, karena sejak nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam diutus beliau diperintahkan Allah untuk melaksanakannya.
Shalat dalam hadits tersebut tidak boleh dipahami dengan shalat lima waktu sebagaimana sekarang, karena shalat lima waktu baru diwajibkan di malam Isrâ`, sementara Isrâ` sendiri baru dilakukan setelah Abî Thâlib wafat dengan selisih waktu satu tahun setengah. Abî Thâlib wafat pada pertengahan bulan Syawal tahun kesepuluh setelah Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam diutus dalam usia lebih dari delapan puluh tahun.

Kata zakat yang terdapat dalam hadits di atas juga menurut Zainî Dahlân tidak boleh ditafsirkan dengan zakat sebagaimana yang ada sekarang (al-Zakâh al-Syar’iyyah), melainkan zakat yang dimaksud adalah shadaqah secara mutlak, memuliakan tamu dan bentuk shadaqah harta lainnya, karena al-Zakâh al-Syar’iyyah dan zakat fitrah baru disyari’atkan setelah Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam hijrah ke Madinah, dan ini terjadi setelah Abû Thâlib wafat.[22]

Al-Khathîb juga meriwayatkan hadits yang sanadnya berakhir kepada Abû Thâlib. Diceritakan oleh Abî Râfi’, hamba yang telah dimerdekakan oleh Ummi Hânî` bint Abî Thâlib, bahwa ia mendengar Abû Thâlib mengatakan:
حدثني محمد ابن أخي أن الله أمره بصلة الأرحام وأن يعبد الله لايعبد معه أحدا. قال ومحمد عندي الصدوق الأمين.
Muhammad, keponakanku bercerita kepadaku bahwa Allah telah memerintahkannya untuk menyambung tali persaudaraan, menyembah kepada-Nya dan tidak menyembah yang lain. Abû Thâlib mengatakan, Muhammad menurutku adalah orang yang sangat bisa dipercaya.”[23]
Dalam membuktikan keimanan Abû Thâlib, Zainî Dahlân di samping menggunakan bukti sejarah tertulis juga menggunakan telaah kontemplatif dari sejarah hidup Abû Thâlib. Di masa hidupnya Abû Thâlib sangat mencintai Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam bahkan sejak Abdul Muthallib wafat Abû Thâlib selalu mengawal Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam, kemanapun beliau pergi Abû Thâlib pasti ada di sisinya.

Diceritakan oleh Ibn ‘Abbâs bahwa, “Cintanya Abû Thâlib kepada Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam melebihi dari cintanya yang diberikan kepada anak-anaknya, Abû Thâlib tidak tidur kecuali di sisi Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam dan setiap kali Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam keluar ia selalu menyertainya.”
Begitu juga sebaliknya, Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam juga sangat mencintai Abû Thâlib. Dalam salah satu riwayat diinformasikan bahwa Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam tidak pernah berlindung kepada siapapun kecuali kepada Abû Thâlib, hati Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam tidak pernah merasa tenang kecuali bersamanya. Oleh karena itu Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam bersabda: “Orang Quraisy tidak pernah menyakitiku lebih kasar sehingga Abû Thâlib wafat.” Karena begitu dalamnya cinta Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam kepada Abû Thâlib hingga tahun kematiannya disebut dengan “tahun derita” (‘Âm al-Huzn).[24]

Tak dapat disangkal bahwa Abû Thâlib sering menyaksikan mukjizat Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam, bahkan sejak Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam masih berusia belia ia tidak jarang menjumpai keajaiban-keajaiban yang terjadi pada diri Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam. (Khawâriq al-‘Âdah).

Al-Kisah, Abû Thâlib merupakan salah seorang yang ekonominya pas-pasan sementara keluarga yang menjadi tanggungannya sangat banyak, setiap kali keluarganya makan sendiri-sendiri mereka tidak merasa kenyang karena makanan yang disediakan sangat terbatas. Namun setelah mereka makan bersama Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam, mereka merasa kenyang. Oleh karena itu setiap kali Abû Thâlib hendak memberikan makanan kepada mereka ia berkata, “Kalian makan harus bersama Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam.” Mereka pun berkenan menunggu hingga ketika Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam datang baru dilaksanakan makan bersama. Setiap makan bersama Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam, mereka merasa kenyang, bahkan makanannya terkadang sampai lebih. Ketika menu hidangan yang diberikan Abû Thâlib berupa susu maka Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam mengawali meminumnya, kemudian baru disusul keluarganya yang lain. Susu yang berada di dalam gelas bambu itu –dengan lantaran Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam- tidak akan habis sebelum semua keluarga Abû Thâlib merasa kenyang walaupun mereka meminumnya sendiri-sendiri. Abû Thâlib berkata kepada Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam, “إنك لمبارك (Sesungguhnya engkau orang yang diberi kebaikan).”[25]

Selama hidupnya Abû Thâlib selalu melindungi Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam baik sebelum nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam diutus maupun sesudahnya. Ketika Abû Thâlib bepergian bersama Nnabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam untuk berdagang ke kota Syâm, pada saat itu Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam baru berusia sembilan tahun, tiba-tiba di tengah jalan bertemu dengan seorang pendeta yang bernama Bahîrâ. Bi al-iktifâ wa al-Ikhtishâr, pendeta melihat bahwa pada diri Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam terdapat tanda-tanda kenabian hingga kemudian diceritakan kepada Abû Thâlib. Lalu pendeta meminta kepada Abû Thâlib agar Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam segera dibawa pulang ke Makkah karena khawatir terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dari perlakuan orang-orang Yahudi. Tanpa berpikir panjang Abû Thâlib pun segera membawa Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam pulang karena demi menyelamatkannya.[26]

Sungguh melalui bukti-bukti di atas tidak dapat diragukan lagi bahwa Abû Thâlib merupakan orang yang beriman kepada Allah dan utusan-Nya. Abû Thâlib bukan orang kafir, musyrik, ataupun munafiq, tapi ia adalah orang mukmin dan muslim sejati. Andai tidak demikian tidak mungkin Abû Thâlib melindungi Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam hingga mati-matian, tidak mungkin ia berpesan kepada masyarakatnya agar mengikuti perintah Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam, juga tidak mungkin pula ia memerintahkan anak-anaknya seperti Ali, Ja’far, untuk mengikuti Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam, menolong, dan shalat bersamanya. ‘Imrân bin Hushain menceritakan bahwa Abû Thâlib memerintahkan puteranya yang bernama Ja’far untuk melaksanakan shalat bersama Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam:

صل جناح ابن عمك فصلى جعفر مع النبي صلى الله عليه وسلم كما صلى علي رضي الله عنه.
Shalatlah bersama anak pamanmu (Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam). Lalu Ja’far pun shalat bersama Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam sebagaimana Ali shalat bersamanya.”
Dalam mengomentari riwayat ini, al-Barzanjî menyatakan, “Andai Abû Thâlib bukan orang yang membenarkan agama Muhamad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam niscaya ia tidak rela menyaksikan kedua anaknya bersama Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam dan shalat bersamanya, dan ia tidak mungkin memerintahkan kedua anaknya untuk melakukan shalat, karena permusuhan sebab beda agama merupakan permusuhan yang sangat tajam (Asyadd al-‘Adâwât) sebagaimana yang terungkap dalam sya’ir berikut:

كل العداوات قد ترجى إمانتها # إلا عداوة من عاداك في الدين
Semua permusuhan sesungguhnya diharapkan segera reda, kecuali permusuhan orang yang memusuhimu karena persoalan beda agama.”[27]

D. Reinterpretasi Teks-Teks Kontradiktif

Kajian keimanan Abû Thâlib merupakan salah satu permasalahan yang diperdebatkan oleh para ulama`, di antara mereka ada yang pro dan ada yang kontra. Zainî Dahlân dan al-Barzanjî merupakan salah satu dari sederet ulama` yang pro atas keimanan Abû Thâlib. Salah satu hal yang menarik dalam bukunya Zainî Dahlân ini -yang tentunya didapat dari al-Barzanjî- ada dalam bab keempat di bawah judul “Abû Thâlib dan Pertolongan (Bâb Abû Thâlib wa al-Syafâ’ah).” Dalam bab ini Zainî Dahlân disamping menyatakan bahwa di akhirat Abû Thâlib akan mendapatkan pertologan dari Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam (syafâ’ah) juga ia menanggapi pendapat yang kontra dengan cara menginterpretasikan ulang teks-teks keagamaan (al-Quran dan al-Hadits) yang dijadikan kaki pijak referensial oleh para ulama` yang kontra.
Di antara dalil yang dijadikan dasar pemikiran oleh ulama yang kontra ialah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhârî dan Muslim:[28]

عن العباس بن عبد المطلب رضي الله عنه عم النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال لرسول الله صلى الله عليه وسلم: أن أبا طالب كان يحوطك أي يحفظك وينصرك ويغضب لك فهل ينفعه ذلك؟ قال: نعم وجدته في غمرات من النار.
Diceritakan dari ‘Abbâs bin Abd al-Muthallib Radhiyallohu ‘Anhu., paman Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam bahwa ‘Abbâs berkata kepada Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam: Sesungguhnya Abû Thâlib selalu menolong, melindungi, dan menasihatimu, apakah hal tersebut dapat bermanfaat bagi Abû Thâlib? Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam menjawab: “Ya, aku menemukan Abû Thâlib di Neraka bagian paling atas (fî ghamarât min al-Nâr).”

Dalam riwayat lain hadis tersebut terdapat tambahan keterangan demikian:

وكان في غمرات من النار أي مشرفا عليها فأخرجته إلى ضحضاح، ولولا أنا لكان في الدرك الأسفل من النار.
Abû Thâlib berada di Neraka paling atas kemudian aku mengeluarkannya hingga Neraka hanya dapat merembas ke kedua telapak kakinya (Dlahdlâh), andai tidak ada aku niscaya Abû Thâlib akan berada di Neraka paling bawah.”

Dalam riwayat lain yang juga diinformasikan oleh Bukhârî dan Muslim diceritakan:

عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه أنه صلى الله عليه وسلم ذكر عنده عمه أبو طالب فقال: لعله تناله شفاعتي يوم القيامة فيجعل في ضحضحاح من نار يبلغ كعبيه يغلى منها دماغه.
Diceritakan dari Abî Sa’îd al-Khudrî Ra. bahwa Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam pernah bersabda di sisi pamannya, Abû Thâlib: “Semoga saja kelak di hari Qiyamat syafa’atku sampai kepada Abû Thâlib sehingga ia berada di tempat yang api Neraka hanya mengenai kedua mata kakinya dan otaknya mendidih sebab api Neraka tersebut.
Imam Muslim dan yang lainnya menceritakan bahwa Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam pernah bersabda:
أن أبا طالب أهون أهل النار عذابا.
Sesungguhnya siksaan Abû Thâlib merupakan paling ringan-ringannya penduduk Neraka.”

Para ulama` yang berpendapat bahwa Abû Thâlib kelak di akhirat tidak selamat alias masuk Neraka karena ia kafir berkaki pijak pada hadits di atas. Menurutnya hadits shahîh tersebut memberikan informasi bahwa Abû Thâlib telah kufur dan kelak di akhirat akan dimasukkan ke dalam Neraka. Oleh karena itu sangat muhal untuk menyatakan bahwa Abû Thâlib termasuk orang yang beriman dan kelak di akhirat akan selamat karena dalam hadits tersebut Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam menceritakan keadaan yang terjadi di antara Abû Thâlib dengan Allah. Sehingga dari informasi Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam di atas terungkap bahwa Abû Thâlib di dalam hatinya tidak membenarkan risalah Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam. Sedangkan pertolongan dan perlindungan yang diberikan Abû Thâlib kepada Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam tidak lebih dari bentuk pembelaan suku atau untuk menjaga harga diri klan (Himyah al-‘Arab wa al-Unfah) yang memang sudah mentradisi di kalangan masyarakat Arab saat itu.

Dalam mengomentari hadits Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam yang dijadikan kaki pijak referensial oleh ulama` yang kontra di atas, al-Barzanjî menyatakan, bahwa hadits tersebut sebenarnya malah menunjukkan pemahaman sebaliknya, yaitu Abû Thâlib beriman dan kelak di akhirat akan selamat, karena Allah telah memberikan kabar bahwa siksaan bagi orang kafir tidak bisa diperingan, mereka tidak bisa keluar dari Neraka dan tidak akan bisa ditolong oleh orang yang bisa memberikan syafa’at, sementara Abî Thâlib siksaannya dapat diperingan dan bisa menerima syafa’at.

Dalam hadits lain dijelaskan bahwa orang mukmin yang durhaka (‘ushâh al-Mukminîn) kelak di akhirat akan di tempatkan di ruang Jahîm, yaitu ruangan Neraka paling atas dan siksaan yang ditimpakan kepadanya lebih ringan ketimbang siksaan yang dikenakan kepada orang kafir. Oleh karena itu hadits yang menginformasikan bahwa siksaan Abû Thâlib merupakan siksaan yang paling ringan di atas tidak boleh dipahami “ringan dibanding orang kafir saja,” tapi “mencakup perbandingan dengan orang mukmin yang durhaka.” Andai tidak demikian berarti “dawuh nabi” di atas tidak dapat dibenarkan keabsahannya.
Begitu juga andai Abû Thâlib dipastikan sebagai orang kafir yang kelak akan dimasukkan ke dalam Neraka selama-lamanya, sementara Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam menjanjikan keringanan siksa bagi Abû Thâlib, maka dari hadits tersebut akan menimbulkan pemahaman bahwa siksaan orang kafir lebih ringan ketimbang orang mukmin yang durhaka, dan pemahaman seperti ini jelas tidak mungkin.

Abû Thâlib mendapat keringanan demikian karena pertolongan dari Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam, siksaan yang ia dapat merupakan siksaan yang paling ringan di antara yang lainnya. Abû Thâlib diangkat ke permukaan Neraka hingga api Neraka hanya berada dibawah kedua telapak kakinya. Keberadaan Abû Thâlib di tempat ini jelas membuktikan bahwa ia berada di ruang Neraka yang ditempati oleh orang-orang mukmin durhaka, karena di atas tempat tersebut tidak ada tempat lagi.
Untuk memperkuat pandangannya Zainî Dahlân –dengan mengutip dari al-Barzanjî- menyebutkan beberapa hadits lain yang bertalian dengan permasalahan ini, antara lain hadits yang mengungkap bahwa Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam bersabda: “Pertolonganku (Baca: Syafa’at) hanya untuk orang mukmin yang melakukan dosa besar.” Dalam riwayat lain diungkapkan, “Syafa’atku hanya untuk orang yang tidak menyekutukan Allah.”

Dengan demikian dapat dipahami bahwa orang kafir tidak akan mendapatkan syafa’at dari Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam, sementara Abû Thâlib mendapatkannya, sehingga sangat jelas bahwa ia termasuk orang yang beriman, bukan kafir. Siksaan bagi orang mukmin yang durhaka bersifat sementara, temporal, pada suatu saat mereka akan dikeluarkan dan akan dimasukkan ke dalam Surga.[29]
Berkait kelindan dengan pembahasan ini Zainî Dahlân juga menampilkan beberapa riwayat lain yang secara tekstual menyatakan bahwa Abû Thâlib meninggal dunia dalam keadaan kafir, namun melaui analisanya yang sangat tajam Zainî Dahlân berhasil menginterpretasikannya ke makna lain yang lebih rasional dan kontekstual. Riwayat tersebut di antaranya menyebutkan bahwa ketika Abû Thâlib hendak meninggal dunia, Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam memintanya agar ia mengucapkan kalimat syahadat, namun Abû Thâlib tidak mengucapkannya. Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam berkata kepada Abû Thâlib: “Wahai pamanku, katakanlah bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, karena dengan kalimat ini engkau akan selamat di sisi-Nya.” Saat itu di sisi Abû Thâlib hadir Abû Jahal dan Abdullah bin Umayyah, keduanya mengatakan: “Wahai Abû Thâlib, apakah engkau tidak senang terhadap agama Abdul Muthallib?” Abû Jahal dan Abdullah bin Umayyah terus menerus bertanya demikian kepada Abû Thâlib hingga pada akhirnya perkataan yang keluar dari mulut Abû Thâlib menyatakan kesetiaan dirinya terhadap agama ayahnya, Abdul Muthallib, dan tidak mengucapkan kalimat syahadat.[30]

Menurut Zainî Dahlân kenapa Abû Thâlib enggan menyatakan keislamannya dan berpura-pura setia terhadap agama kaum Quraisy karena ia dalam kondisi terpaksa (‘udzur), di sisinya ada Abû Jahal dan Abdullah bin Umayyah. Andai Abû Thâlib mengikuti perintah Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam mengucapkan kalimat syahadat niscaya seketika itu Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam akan diserang oleh Abû Jahal, Abdullah bin Umayyah, dan kafir Quraisy lainnya. Oleh karena itu, demi menyelamatkan Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam, Abû Thâlib terpaksa harus merahasiakan keislamannya sembari berpura-pura setia terhadap Abû Jahal.

Kendati demikian, sebenarnya riwayat tentang hal ini terdapat banyak versi yang sangat beragam, salah satunya -di samping riwayat di atas- riwayat yang menginformasikan bahwa ketika Abû Thâlib mendekati ajal, Abbâs yang saat itu berada di sampingnya mendengar bahwa Abû Thâlib mengucapkan syahadat. Abbâs berkata kepada Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam, “Wahai keponakanku, demi Allah saudaraku (Abû Thâlib) telah mengucapkan kalimat yang engkau perintahkan kepadanya.” Lalu Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam menjawab: “Aku tidak mendengar.” Dalam perkataan ini Abbâs tidak menyatakan kalimat secara jelas (kalimat yang engkau perintahkan kepadanya) karena pada saat itu ia belum masuk Islam.

Hadits ini oleh para ulama` yang tidak menerima keimanan Abû Thâlib dijadikan dasar untuk menyatakan bahwa keimanan harus dilafadzkan, tidak cukup jika hanya dirahasiakan di dalam hati. Di antara mereka juga ada yang mengklaim bahwa hadits ini lemah sehingga tidak bisa dijadikan kaki pijak hukum.
Bagi Zainî Dahlân hadits tersebut –jika memang benar keabsahannya- justru menegaskan bahwa Abû Thâlib dihukumi kafir dalam hukum dunia, namun di sisi Allah ia orang yang beriman, selamat, dan hatinya penuh dengan keimanan.[31]

Sedangkan dalil al-Quran yang sering dijadikan sandaran hukum oleh ulama` yang kontra antara lain Qur’an Surat al-Qashash 56:
Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.”

Menurut Zainî Dahlân ayat ini sama sekali tidak bertentangan dengan pernyataan keimanan Abî Thâlib karena makna yang terkandung di dalam ayat ini hanya sebatas memberikan informasi bahwa yang memberikan petunjuk kepada manusia hanyalah Allah, bukan yang lain.
Kendati diceritakan bahwa turunnya ayat ini berkenaan dengan ketika Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam meminta Abû Thâlib untuk membaca syahadat yang berarti pada saat itu nabi berada di sisinya, namun pada kenyataannya terdapat beberapa riwayat lain yang mengindikasikan bahwa pada saat itu Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam tidak berada di sisi Abû Thâlib. Riwayat tersebut antara lain hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Sa’d dan Ibn ‘Asâkir bahwa Ali bin Abî Thâlib mengatakan: Aku memberi kabar kematian Abû Thâlib kepada Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam. Lalu beliau menangis dan bersabda: “Pergilah, mandikanlah dia (Abû Thâlib), dan kafanilah, serta sediakanlah tempat pemakamannya. Semoga Allah mengampuni dan merahmatinya.” Lalu aku pun melakukan hal tersebut.

Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam tidak menghadiri jenazah Abû Thâlib karena beliau khawatir diserang oleh orang-orang bodoh dari kaum Quraisy. Abû Thâlib tidak dishalati karena pada saat itu shalat jenazah belum disyari’atkan.[32]
Walhasil, terlepas dari hadir atau tidaknya Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam pada saat Abû Thâlib menjelang wafat -menurut Zainî Dahlân- riwayat-riwayat tersebut tidak dapat menggoyang pendapatnya yang menyatakan bahwa Abû Thâlib termasuk orang yang beriman, karena keimanan Abû Thâlib di dalam hati, bukan di lisan.

E. Keselamatan Bagi Abî Thâlib

Dalam bab kelima di bawah judul “Keselamatan Abû Thâlib (Bâb Najâh Abî Thâlib)”, Zainî Dahlân membuktikan secara jelas bahwa Abû Thâlib kelak di akhirat akan selamat dari api Neraka dan bertempat tinggal di Surga selama-lamanya.
Di samping menggunakan dalil-dalil yang telah disebutkan di atas Zainî Dahlân juga menambahkan beberapa dalil lain yang secara eksplisit menyebut keselamatan Abû Thâlib sembari menanggapi pendapat yang kontra. Salah satunya ialah Qur’an Surat Al-A’râf 157:
Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka itulah orang-orang yang beruntung.”

Dalam ayat ini terungkap sangat jelas bahwa orang yang membenarkan risalah Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam (baca: beriman), memuliakan, dan menolongnya, serta mengikuti petunjuk al-Quran kelak di akhirat akan bahagia. Hal demikian telah dilakukan oleh Abû Thâlib, ia di samping di dalam hatinya beriman, menolong Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam dari serangan kafir Quraisy, juga mengikuti petunjuk al-Quran. Saat itu perintah syari’at hanya berupa meng-Esakan Tuhan, menyambung tali persaudaraan, dan tidak menyembah berhala. shalat, zakat, puasa, haji, jihad, dan yang lainnya belum disyari’atkan.

Dari sini timbul pertanyaan, kenapa sebelum Abû Thâlib di tempatkan di Surga ia harus masuk Neraka terlebih dahulu? Dalam hal ini Zainî Dahlân –dengan mengutip dari al-Barzanjî- memberikan jawaban dengan beberapa opsi, antara lain; karena Abû Thâlib tidak mengucapkan kalimat syahadat secara lisan, atau karena meninggalkan shalat dua rakaat yang dikerjakan pada waktu pagi dan sore yang dilakukan oleh Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam pada masa awal Islam, atau bisa juga disebabkan ia tidak menjalankan shalat tahajjud yang juga dilakukan oleh Rasulullah pada masa permulaan Islam. Di samping alasan-alasan tersebut juga terdapat kemungkinan lain karena ia tidak menunaikan kewajiban terhadap sesama (huqûq al-‘ibâd), silaturrahim, membantu orang lain, dan yang lainnya.

Dalam membahas keselamatan Abû Thâlib ini, Zainî Dahlân juga mengajukan tesis bahwa sebelum Abû Thâlib “beriman” ia bukan seorang paganis yang menyembah berhala sebagaimana umumnya masyarakat Arab saat itu. Abû Thâlib –menurut Zainî Dahlân- termasuk salah seorang yang saat itu menganut agama tauhîd atau yang biasa disebut dengan agama Ibrahîm. Hal demikian dapat dibuktikan dengan melihat kepribadiannya yang berbudi pekerti luhur, selalu melindungi klannya (himâyah al-dzimâr), dan tidak pernah menyembah berhala. Oleh karena itu saat dia meninggal perkataan terakhir yang keluar dari mulutnya ialah pernyataan kesetiaannya kepada agama Abdul Muthallib, yaitu agama tauhid.[33] Abû Jahal dan Abdullah bin Umayyah saat itu tidak tahu kalau yang dikehendaki “agama Abdul Muthallib” adalah agama tauhid. Menurut Zainî Dahlân agama yang dimiliki Abdul Muthallib sesungguhnya berupa agama tauhid, bukan paganisme, karena andai Abdul Muthallib penganut paganisme berarti Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam sebagai keturunan penyembah berhala, dan ini tidak dapat dibenarkan.

Dalam penelitian Zainî Dahlân, tidak ada satu pun hadits Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam yang menginformasikan bahwa Abû Thâlib akan hidup abadi di Neraka, karena memang Abû Thâlib di Neraka hanya “mampir,” sementara, dan ia mendapat siksaan yang paling ringan dibandingkan orang mukmin yang durhaka sekalipun. Dalam salah satu hadits diceritakan bahwa Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam bersabda: “Kelak orang-orang mukmin yang durhaka akan dikeluarkan dari Neraka Jahîm, dan angin akan membukakan pintunya serta di tempat tersebut akan tumbuh tanaman Jarjîr.” Menurut Zainî Dahlân, Abû Thâlib juga demikian, bahkan ia termasuk orang yang pertama kali dikeluarkan dari Neraka karena azab yang ia terima paling ringan dibanding yang lainnya. Setelah itu kemudian mereka, termasuk Abû Thâlib, langsung bertempat di Surga karena di akhirat tidak ada tempat lain selain keduanya, Neraka dan Surga.[34]

II. Epilog

Dengan “mengencani” karya intelektual anggitan Zainî Dahlân ini setidaknya dapat dipahami bahwa Abû Thâlib merupakan salah seorang mukmin sejati, namun keimanannya hanya ia simpan di dalam hati, tidak ia obralkan di muka publik.
‘Alâ kulli hâl, kajian yang disuguhkan oleh Zainî Dahlân di atas, khususnya dalam pembahasan konsep iman (Bâb Itsbât al-Îmân), untuk konteks kekinian dan kedisinian kiranya sangat relevan untuk diterapkan. 

Menurut Zainî Dahlân, sisi yang terpenting dalam beriman adalah pembenaran hati, bukan pengakuan lisan. Oleh karena itu mengingat bangsa Indonesia dihuni oleh lintas iman (baca: agama) maka demi menjaga persatuan dan kesatuan bangsa seyogyanya “ummat yang merasa punya agama” dalam bergaul dengan umat agama lain harus “merahasiakan keimanannya” sebagaimana Abû Thâlib mendiamkan keimanannya di dalam hati demi menjaga persatuan dan kesatuan kaum Quraisy. Karena andai Abû Thâlib berterus terang dalam keimanannya niscaya akan terjadi perpecahan di antara mereka, dan jika terjadi demikian maka amukan emosi Quraisy jelas akan ditimpakan kepada Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam sebagai pihak minoritas yang memiliki keimanan berbeda. Wallahu A’lam bis Shawwâb.

Referensi:

[1] Shâlih al-Wardânî dalam kata pengantar buku Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, (al-Hadf li al-I’lâm, t.tp., tt.), hal. 14.
[2] Baca Abî Zahrah, Khâtam al-Nabiyyîn Shallallah ‘Alaih wa Âlih wa Sallam, (Dâr al-Fikr al-‘Arabî: Kairo, 1425) vol. I, hal. 391.
[3] Khairuddîn al-Zarkilî, al-A’lâm, (Dâr al-‘Ilm, cet. XV, 2002), vol. I, hal. 129. Lihat karangan selengkapnya dalam Ismâ’îl bin Muhammad al-Baghdâdî, Hadiyah al-‘Ârifîn; Asmâ’ al-Mu`allifîn wa `Âtsâr al-Mushannifîn, (Dâr Ihyâ` al-Turâts al-‘Arabî: Beirut-Libanon, tt.), vol. I, hal. 191.
[4] Yûsuf bin `Ilyân, Mu’jam al-Mathbû’ât al-‘Arabiyyah wa al-Mu’rabah, (Mathba’ah Sirkîs: Mesir, 1928), vol. II, hal. 990.
[5] Ridlâ bin Muhammad al-Sanûsî, Daur Ulamâ` Makkah al-Mukarramah fî Khidmah al-Sunnah wa al-Sîrah al-Nabawiyyah, (Majma’ al-Malik Fahd: Madinah, tt.), vol. I, hal. 24.
[6] Nama asli beliau Ja’far bin Hasan bin Abd al-Karîm bin al-Sayyid Muhammad bin Abd al-Rasûl al-Barzanjî, garis keturunannya bersambung kepada Hasan bin Alî bin Abî Thâlib. Ia lahir pada malam Jumat tanggal 12 Rabi’ul Awwal 1040 H. dan wafat pada bulan Muharram 1103 H. dimakamkan di Madinah. Pada masa hidupnya ia pernah menjabat sebagai mufti besar madzhab Syafi’î di Madinah. Baca Muhammad Khalîl bin ‘Alî al-Husainî, Suluk al-Durar fî A’yân al-Qarn al-Tsânî ‘Asyar, (Dâr Ibn Hazm, cet. III, 1988), vol. II, hal. 9. dan Muhammad Khalîl bin ‘Alî al-Husainî, Suluk al-Durar fî A’yân al-Qarn al-Tsânî ‘Asyar, vol. IV, hal. 66
[7] Ahmad bin Zainî Dahlân, Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, (al-Hadf li al-I’lâm, t.tp., tt.), hal. 15.
[8] Ahmad bin Zainî Dahlân, Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, hal. 19-20.
[9] Ahmad bin Zainî Dahlân, Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, hal. 21.
[10] Ahmad bin Zainî Dahlân, Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, hal. 21.
[11] Ahmad bin Zainî Dahlân, Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, hal. 22.
[12] Ahmad bin Zainî Dahlân, Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, hal. 22.
[13] Ahmad bin Zainî Dahlân, Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, hal. 23.
[14] Ahmad bin Zainî Dahlân, Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, hal. 23.
[15] Ahmad bin Zainî Dahlân, Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, hal. 23-24.
[16] Ahmad bin Zainî Dahlân, Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, hal. 35.
[17] Ahmad bin Zainî Dahlân, Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, hal. 49.
[18] Ahmad bin Zainî Dahlân, Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, hal. 49.
[19] Ahmad bin Zainî Dahlân, Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, hal. 29.
[20] Ahmad bin Zainî Dahlân, Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, hal. 31.
[21] Ahmad bin Zainî Dahlân, Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, hal. 31.
[22] Ahmad bin Zainî Dahlân, Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, hal. 33.
[23] Ahmad bin Zainî Dahlân, Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, hal. 33.
[24] Ahmad bin Zainî Dahlân, Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, hal. 38.
[25] Ahmad bin Zainî Dahlân, Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, hal. 37-38.
[26] Ahmad bin Zainî Dahlân, Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, hal. 36.
[27] Ahmad bin Zainî Dahlân, Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, hal. 36.
[28] Lihat selengkapnya pada Ahmad bin Zainî Dahlân, Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, hal. 52-64.
[29] Ahmad bin Zainî Dahlân, Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, hal. 56.
[30] Ahmad bin Zainî Dahlân, Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, hal. 59.
[31] Ahmad bin Zainî Dahlân, Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, hal. 60.
[32] Ahmad bin Zainî Dahlân, Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, hal. 62.
[33] Ahmad bin Zainî Dahlân, Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, hal. 70-71.
[34] Lihat selengkapnya pada Ahmad bin Zainî Dahlân, Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib, hal. 73-98.

Oleh: Khoirul Anwar, Mahasiswa IAIN Walisongo Semarang, Alumni Pondok Pesantren Lirboyo Kediri. Dipresentasikan dalam diskusi “Telaah Kitab Asnâ al-Mathâlib fî Najâh Abî Thâlib” pada Selasa, 06 Desember 2011, bertempat di Kantor Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang. Bersumber dari Akitiano, Alumni Pondok Pesantren Raudlatul Ulum, Kencong, Kepung, Kedir, Jawa Timur, Indonesia, asal Damansara, Kuala Lumpur, Malaysia.

BILAL BIN RABAH; MUADZIN RASULLULAH

BILAL BIN RABAH (1)

BILAL BIN RABAH; MUADZIN RASULLULAH & LAMBANG PERSAMAAN DERAJAT MANUSIA.

Bila disebut nama Abu Bakar, maka Umar akan berkata: “Abu Bakar adalah pemimpin kita, yang telah memerdekakan pemimpin kita”. Maksudnya ialah Bilal ….


seorang yang diberi gelar oleh Umar “pemimpin kita”, tentulah suatu pribadi besar yang layak memperoleh kehormatan seperti itu! Tetapi setiap menerima pujian yang ditujukan kepada dirinya, maka laki-laki yang berkulit hitam, kurus kerempeng, tinggi jangkung, berambut lebat dan bercambang tipis — sebagai dilukiskan oleh ahli-ahli riwayat — akan menundukkan kepala dan memejamkan mata, serta dengan air mata mengalir mem­basahi pipinya, akan berkata: “Saya ini hanyalah seorang Habsyi, dan kemarin saya seorang budak belian!”

Nah, siapakah kiranya orang Habsyi yang kemarin masih jadi budak belian ini … ? Itulah dia Bilal. bin Rabah, muaddzin Islam dan penggoncang berhala yang dipuja Quraisy sebagai tuhan! la merupakan salah satu keajaiban iman dan kebenaran! Salah satu mujizat Islam yang maka besar!

Dari tiap sepuluh orang, semenjak munculnya Agama itu sampai sekarang, bahkan sampai kapan saja dikehendaki Allah, kita akan menemukan sedikitnya tujuh orang yang kenal terhadap Bilal. Artinya dalam lintasan kurun dan generasi, terdapat jutaan manusia yang mengenal Bilal; hafal akan namanya dan tahu riwayatnya secara lengkap, sebagaimana mereka kenal akan dua Khalifah terbesar dalam Islam (Abu Bakar dan Umar).

Anda akan dapat menanyakan kepada setiap anak yang masih merangkak pada tahun-tahun pelajaran dasarnya; baik di Mesir, Pakistan, Indonesia atau Cina . . . di Amerika Utara, Amerika Selatan, Eropa dan Asia … di Irak, Syria, Turki, Iran dan Sudan . . . di Tunisia, Aljazair, dan Maroko … pendeknya di seluruh permukaan bumi yang didiami oleh Kaum Muslimin …. anda akan dapat menanyakan kepada setiap remaja Islam: “Siapakah Bilal itu, wahai buyung?” Tentulah akan keluar jawabannya yang lancar: “Ia adalah muaddzin Rasul. Asalnya seorang budak, yang disiksa oleh tuannya dengan batu pangs, agar ia meninggalkan Islam, tetapi jawabnya: “. . . Ahad … Ahad . . Allah Yang Maha Tunggal … Allah Yang Maha Tunggal … ! “

Dan setelah anda lihat keabadian yang telah dianugerahkan Islam kepada Bilal . . . , bahwa sebelum Islam, Bilal ini tidak lebih dari seorang budak belian; yang menggembalakan unta milik tuannya dengan imbalan dua genggam kurma! Tanpa Islam, pastilah ia takkan luput dari kenistaan perbudakan — sampai maut datang merenggutnya — setelah itu orang melupakannya….

Tetapi kebenaran iman dan keagungan Agama yang diyakini-nya telah meluangkan baginya dalam kehidupan dan riwayat hidup, suatu kedudukan tinggi pada deretan tokoh-tokoh Islam dan orang-orang sucinya . . .! Banyak di antara orang-orang terkemuka — golongan berpengaruh dan mempunyai harta —yang tidak berhasil mendapatkan agak sepersepuluh dari ke­haruman nama yang diperoleh Bilal si Budak Habsyi ini . . . ! ‘Bahkan tidak sedikit tokoh-tokoh sejarah yang tidak mencapai separoh kemasyhuran yang dicapai oleh Bilal!

Kehitaman warna kulit; kerendahan kasta dan bangsa, serta kehinaan dirinya di antara manusia selama itu sebagai budak belian, sekali-kali tidaklah menutup pintu baginya untuk me­nempati kedudukan tinggi yang dirintis oleh kebenaran, ke­yakinan, kesucian dan kesungguhannya setelah ia memasuki Agama Islam.

Semua itu adalah karena dalam neraca penilaian dan peng­hormatan yang diberikan kepadanya, tak ada perhitungan lain kecuali kekaguman; yakni ketika dijumpai kebesaran yang tidak terduga. Orang menyangka bahwa seorang hamba seperti Bilal, biasanya asal-usulnya tidak menentu; tidak berdaya dan tidak mempunyai keluarga, serta tidak memiliki suatu hak pun dari hidupnya. Dirinya adalah milik tuannya yang telah membeli dengan hartanya, dan kerjanya berada di tengah hewan ternak, pulang balik di antara unta dan domba tuannya. Menurut dugaan mereka, makhluq seperti ini takkan mampu melakukan sesuatu, atau menjadi sesuatu yang berarti!

Kiranya ia berbeda dengan spa yang disangka dan diper-kirakan itu. Karena ia mampu mencapai derajat keimanan yang tidak mungkin dicapai oleh lainnya …. lalu menjadi muaddzin pertama bagi Rasulullah dan Islam; suatu aural yang menjadi inceran bagi setiap pemimpin dan pembesar Quraisy yang telah masuk Islam dan menjadi pengikut Rasul.

Benar . . . , Bilal bin Rabah!

Corak kepahlawanan apakah, dan bentuk kebesaran manakah yang ditonjolkan oleh ketiga kata-kata ini, “Bilal bin Rabah .. .?” Ia seorang Habsyi dari golongan orang berkulit hitam. Taqdir telah membawa nasibnya menjadi budak dari Bani Jumah di kota Mekah, karena ibunya salah seorang hamba sahaya mereka.

Kehidupannya tidak berbeda dengan budak biasa. Hari­harinya berlalu secara rutin tapi gersang, tidak memiliki sesuatu pada hari itu, tidak pula menaruh harapan pada hari esok. Dan berita-berita mengenai Muhammad saw. telah mulai sampai ke telinganya, yakni ketika orang-orang di Mekah menyampaikan-nya dari mulut ke mulut. Juga ketika mendengar obrolan majikannya bersama tetamunya; terutama majikannya Umayah bin khdaf, salah seorang pemuka Bani Jumah, yaitu kabilah yang menjadi majikan yang dipertuan oleh Bilal.

Lamalah sudah didengarnya Umayah ketika membicarakan Rasulullah, baik dengan kawan-kawannya maupun sesama warga sukunya; mengeluarkan kata-kata berbisa; penuh dengan rasa amarah, tuduhan dan kebencian. Di antara apa yang dapat ditangkap oleh Bilal dari ucapan kemarahan yang tidak berujung ­pangkal itu, ialah sifat-sifat yang melukiskan Agama baru bagi­nya. Dan menurut hematnya, sifat-sifat itu merupakan hal-hal baru dipandang dari sudut lingkungan di mana ia tinggal. Sebagai­mana juga di antara ucapan-ucapan yang keras penuh ancaman itu, tapi pula kedengaran olehnya pengakuan mereka akan kemuliaan Muhammad saw., tentang kejujuran dan keterper­cayaannya …

Benar, didengarnya mereka ta’jub dan keheranan terhadap ajaran yang dibawa oleh Muhammad saw.! Sebagian mereka mengatakan kepada yang lain: “Tidak pernah Muhammad saw. berdusta atau menjadi tukang sihir . . . tidak pula sinting atau berubah akal . . . , walau kita terpaksa menuduhnya demikian, demi untuk membendung orang-orang yang berlomba-lomba memasuki Agamanya!”

Didengarnya mereka mempercakapkan kesetiaannya menjaga amanat . . . , tentang kejujuran dan ketulusannya – . . , tentang akhlaq dan kepribadiannya …. Didengarnya pula mereka ber­bisik-bisik mengenai sebab yang mendorong mereka menentang dan memusuhinya, yaitu: pertama kesetiaan mereka terhadap kepercayaan yang diwariskan nenek moyangnya; dan kedua kekhawatiran merosotnya kemuliaan Quraisy, kemuliaan yang mereka peroleh sebagai imbalan kedudukan mereka menjadi markas keagamaan, sebagai pusat ibadat dan upacara haji di serata jazirah Arab . . . , kemudian kedengkian terhadap Bani Hasyim, kenapa munculnya Nabi dan Rasul itu dari golongan ini dan bukan dari fihak mereka ..

Pada suatu hari, Bilal bin Rabah melihat Nur Ilahi dan mendengar imbauannya dalam lubuk hatinya yang suci murni. Maka ia mendapatkan Rasulullah saw. dan menyatakan keislam­annya. Dan tidak lama antaranya, berita rahasia keislaman Bilal terungkaplah …. dan beredar di antara kepala tuan-tuan­nya dari Bani Jumah, yakni kepala-kepala yang selama ini ditiup oleh kesombongan dan ditindih oleh kecongkakan . . . ! Maka setan-setan di muka bumi tampillah bermunculan dan bersarang dalam dada Umayah bin Khalaf, yang menganggap keislaman seorang hambanya sebagai tamparan pahit yang menghina dan menjatuhkan kehormatan mereka semua ….

Apa . . . ? Budak mereka orang Habsyi itu masuk Islam dan menjadi pengikut Muhammad . . . ? Walaupun demikian, tidak apa! kata Umayah dalam hatinya. “Matahari yang terbit hari ini takkan tenggelam dengan Islamnya budak durhaka itu … ! ” Memang, bukan saja sang surya itu tidak tenggelam dengan Islamnya Bilal, tetapi pada suatu hari kelak matahari akan tenggelam dengan membawa semua patung-patung dan pembela ­pembela berhala itu … !

Mengenai Bilal, tidak saja ia beroleh kedudukan yang me­rupakan kehormatan bagi Agama Islam semata — walau Islam memang lebih berhak untuk itu — tetapi juga merupakan ke­hormatan bagi perikemanusiaan umumnya … ! la telah menjadi sasaran berbagai macam siksaan sebagai dialami oleh tokoh-tokoh utama lainnya.

Seolah-olah Allah telah menjadikannya sebagai tamsil per­bandingan bagi ummat manusia, bahwa hitamnya warna kulit dan perbudakan, sekali-kali tidak menjadi penghalang untuk mencapai kebesaran jiwa, asal saja ia beriman dan taat kepada Tuhannya serta memegang teguh haq-haqnya ….

Bilal telah memberikan pelajaran kepada orang-orang yang semasa dengannya, juga bagi orang-orang di segala masa; bagi orang-orang yang seagama dengannya, bahkan bagi pengikut­pengikut agama lain; suatu pelajaran berharga yang menjelaskan bahwa kemerdekaan jiwa dan kebebasan nurani, tak dapat dibeli dengan emas separuh bumi, atau dengan siksaan bagaimanapun dahsyatnya … !

Dalam keadaan telanjang ia dibaringkan di atas bara, dengan tujuan agar ia meninggalkan Agamanya atau mencabut pengakuannya, tetapi ia menolak ….

Maka budak Habsyi yang lemah tidak berdaya ini telah dijadikan oleh Rasulullah saw. dan Agama Islam sebagai guru bagi seluruh kemanusiaan dalam soal menghormati hati nurani dan mempertahankan kebebasan serta kemerdekaannya.

Pada suatu ketika, di tengah hari bulat; waktu padang pasir berganti rupa menjadi neraka jahannam, mereka membawanya ke luar, lalu melemparkannya ke pasir yang bagai menyala dalam keadaan telanjang, kemudian beberapa orang laki-laki meng­angkat batu besar panas laksana bara, dan menjatuhkannya ke atas tubuh dan dadanya ….

Siksaan kejam dan biadab ini mereka ulangi setiap hari, hingga karena dahsyatnya lunaklah hati beberapa orang di antara algojo-algojo yang menaruh kasihan kepadanya. Mereka berjanji dan bersedia melepaskannya asal saja ia mau menyebut nama tuhan-tuhan mereka secara baik-baik walau dengan sepatah kata sekalipun — tak usah lebih — yang akan menjaga nama baik mereka di mata umum, hingga tidak menjadi buah pembicaraan bagi orang-orang Quraisy bahwa mereka telah mengalah dan bertekuk lutut kepada seorang budak yang gigih dan keras kepala.

Tetapi, walau sepatah kata pun yang dapat diucapkan bukan dari lubuk hatinya, dan yang dapat menebus nyawa dan hidup­nya tanpa kehilangan iman dan melepas keyakinannya, Bilal tak hendak mengucapkannya … !

Memang, ditolaknya mengucapkan hal itu, dan sebagai gantinya diulang-ulanglah senandungnya yang abadi: “Ahad … ! Ahad . . .! Allah Yang Maha Tunggal . . . ! Allah Yang Maha Tunggal . . .!” Pendera-pendera itu pun berteriak, bahkan seakan­-akan hendak memohon kepadanya: “Sebutlah Lata dan ‘Uzza!” Tetapi jawabannya tidak berubah dari: “Ahad … ! Ahad … ! ” “Sebutlah apa yang kami sebut!”, pinta mereka pula. Tetapi dengan ejekan pahit dan penghinaan yang mena’jubkan ia men­jawab: “lidahku tak dapat mengucapkannya … ! “

Tinggallah Bilal dalam deraan panas dan tindihan batu, hingga ketika hari petang mereka tegakkan badannya dan ikat­kan tali pada lehernya, lalu mereka suruh anak-anak untuk meng­araknya keliling bukit-bukit dan jalan-jalan kota Mekah, semen­tara Bilal tiada lekang kedua bibirnya melagukan senandung sucinya: “Ahad. . .! Ahad. . .!”

Berat dugaan kita, bahwa bila malam telah tiba, orang-orang itu akan menawarkan padanya: “Esok, ucapkanlah kata-kata yang baik terhadap tuhan-tuhan kami, sebutlah: tuhanku Lata dan ‘Uzza . . . , nanti kami lepaskan dan biarkan kamu sesuka hatimu! Telah letih kami menyiksamu, seolah-olah kami sendirilah yang disiksa!” Tetapi pastilah Bilal akan menggeleng­kan kepalanya dan hanya menyebut: “Ahad … ! Ahad . ! “

Karena tak dapat menahan gusar dan amarah murkanya, Umayah meninju sambil berseru: “Kesialan apa yang menimpa kami disebabkanmu, hai budak celaka?! Demi tuhan Lata dan ‘Uzza, akan kujadikan kau sebagai contoh bagi bangsa budak dan majikan-majikan mereka!” Dengan keyakinan seorang Mu’min dan kebesaran seorang suci, Bilal menyahut: “Ahad … Ahad…

Orang-orang yang diserahi tugas berpura-pura menaruh kasih­an kepadanya, kembali membujuk dan mengajukan tawaran, katanya kepada Umayah: “Biarkanlah ia wahai Umayah! Demi Lata dan ‘Uzza! Mulai saat ini ia takkan disiksa lagi! Bilal ini anak buah kami, bukankah ibunya sahaya kami . . .? Nah, ia takkan rela bila dengan keislamannya itu nama kami menjadi ejekan dan cemoohan bangsa Quraisy . . .!”

Bilal membelalakkan matanya menentang para penipu dan pengatur muslihat licik itu, tetapi tiba-tiba ketegangan itu men­jadi kendur dengan tersunggingnya sebuah senyuman bagai cahaya fajar dari mulutnya. Dan dengan ketenangan yang dapat menggoncangkan dan mengarubirukan mereka, katanya: “Ahad…! Ahad       . ! “

Waktu pagi hampir berlalu, waktu dhuhur dekat menjelang, dan Bilal pun dibawa orang ke padang pasir, tetapi tetap shabar dan tabah, tenang tak tergoyah. Sementara mereka menyiksanya, tiba-tiba datanglah Abu Bakar Shiddiq, serunya: “Apakah kalian akan membunuh seorang laki-laki karena mengatakan bahwa Tuhanku ialah Allah?!” Kemudian katanya kepada Umayah bin Khalaf: “Terimalah ini untuk tebusannya, lebih tinggi dari harganya, dan bebaskan ia … ! “

Bagai orang yang hampir tenggelam, tiba-tiba diselamatkan oleh sampan penolong, demikianlah halnya Umayah saat itu; hatinya lega dan merasa amat beruntung demi didengarnya Abu Bakar hendak menebus budaknya. la telah berputus asa akan dapat menundukkan Bilal. Apalagi mereka adalah orang-orang saudagar, dengan dijualnya Bilal mereka melihat keuntungan yang tidak akan diperoleh dengan jalan membunuhnya.

Dijualnyalah Bilal kepada Abu Bakar yang segera mem­bebaskannya, dan dengan demikian Bilal pun tampillah meng­ambil tempatnya dalam lingkungan orang-orang merdeka . . . . Dan ketika as-Shiddiq mengepit Bilal membawanya ke alam bebas, berkatalah Umayah: “Bawalah ia! Demi Lata dan ‘Uzza, seandainya harga tebusannya tak lebih dari satu ugia, pastilah ia akan kulepas juga!”

Abu Bakar ‘arif akan keputusasaan dan pahitnya kegagalan yang tersirat dalam ucapan itu, hingga lebih baik tidak di­layaninya.

Tetapi karena ini menyangkut kehormatan seorang laki-laki yang sekarang telah menjadi saudara yang tak berbeda dengan dirinya, maka jawabnya kepada Umayah: “Demi Allah, andainya kalian tak hendak menjualnya kecuali seratus ugia, pastilah akan kubayar juga!”

Kemudian pergilah Abu Bakar bersama shahabatnya itu kepada Rasulullah saw. dan menyampaikan berita gembira tentang kebebasannya, maka saat itu pun tak ubah bagai hari raya besar juga … !


BILAL BIN RABAH (2) HABIS

Dan setelah Rasulullah saw. bersama Kaum Muslimin hijrah dan menetap di Madinah, beliau pun mensyari’atkan adzan untuk melakukan shalat. Maka siapakah kiranya yang akan men­jadi muaddzin untuk shalat itu sebanyak lima kali dalam sehari semalam . . . yang suara takbir dan tahlilnya akan berkumandang ke seluruh pelosok … ? Ialah Bilal . . . , yang telah menyerukan: “Ahad . . . ! Ahad . . . ! Allah Maha Tunggal . . . ! Allah Maha Tunggal . . .!” semenjak 13 tahun yang lalu, sementara siksaan membantai dan menyelai tubuhnya.


Pada hari itu pilihan Rasulullah jatuh atas dirinya sebagai muaddzin pertama dalam Islam. Dan dengan suaranya yang merdu dan empuk diisinya hati dengan keimanan dan telinga dengan keharuan, sementara seruannya menggemakan:

“Allahu Akbar. . . Allahu Akbar Allahu Akbar … Allahu Akbar Asyhadu allailaha illallah

Asyhadu allailaha illallah

Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah Hayya ‘alas shalah

Hayya ‘alas shalah

Hayya ‘alal falah

Hayya alai falah

Allahu Akbar.. . Allahu Akbar La ilaha illallah. . . “.

Antara Kaum Muslimin dan tentara Quraisy yang datang menyerang Madinah terjadi peperangan . . . . Pertempuran berkecamuk dengan amat sengit dan dahsyat . . . , sementara Bilal maju dan menerjang dalam perang pertama yang diterjuni Islam itu, yaitu Bakar . . . , yang sebagai semboyannya dititahkan oleh Rasulullah menggunakan ucapan: “Ahad … ! Ahad … ! “

Dalam peperangan ini Quraisy mengerahkan tenaga intinya,  dan pemuka-pemukanya terjun untuk akhirnya menemui tempat pembantaian mereka . . .! Pada mulanya Umayah bin Khalaf, yaitu bekas majikan Bilal yang telah menyiksanya secara kejam dan biadab, tak hendak ikut dalam peperangan itu. Tetapi demi mendengar keengganan dan sifat pengecutnya itu, maka salah seorang di antara kawannya yang bernama ‘Uqbah bin Abi With mendatanginya sambil di tangan kanannya membawa sebuah mijmar — pedupaan yang dipergunakan wanita untuk mengasapi tubuhnya dengan kayu wangi —.

Setelah sampai dan ia berhadapan muka dengan Umayah Yang ketika itu sedang duduk di tengah-tengah anak buahnya, ditaruhlah pedupaan itu di hadapannya seraya berkata: “Hai Abu Ali! Terimalah dan pergunakanlah pedupaan ini. Karena kamu tak lebih dari seorang wanita!”

“Keparat! apa yang kau bawa ini?, teriak Umayah dengan seramnya. Tetapi tak dapat mengelak terpaksa akhirnya ia turut dalam peperangan itu bersama kawan-kawannya ….

Amboi, rahasia taqdir apakah kiranya yang tersembunyi di balik peristiwa ini . . .? Uqbah bin Mu’ith adalah seorang yang paling gigih mendorong Umayah untuk melakukan siksaan terhadap Bilal dan orang-orang tak berdaya lainnya dari Kaum Muslimin  Dan sekarang, ia pulalah yang mendesaknya
supaya ikut dalam Perang Badar, tempat ia akan menemui ajalnya . . .! Tetapi juga tempat tewasnya ‘Uqbah itu sendiri tanpa kecuali …

Mulanya Umayah keberatan dan enggan untuk ikut dalam peperangan . . . , dan kalau bukanlah karena desakan Uqbah dengan cara sebagai kita ketahui itu, tidaklah ia hendak meng­ambil bagian di dalamnya …

Tetapi rencana Allah pasti berlaku!

Umayah harus ikut. Ada piutang lama antara dirinya dengan salah seorang hamba Allah yang datang saatnya untuk diselesai­kan. Allah tak pernah mati, dan sebagaimana kalian memper­lakukan orang demikianlah pula kalian diperlakukan orang!

Dan taqdir ini gemar sekali mempermainkan orang sombong dan aniaya! Uqbah yang kata-katanya didengar oleh Umayah dan kemauannya untuk menyiksa orang-orang Mu’min yang tak berdosa diturutnya, justeru yang menyeretnya ke liang kubur … !

Kemudian di tangan siapakah Di tangan Bilal. . . , tidak lain di tangan Bilal sendiri! Tangan yang oleh Umayah dulu diikat dengan rantai, sedang pemiliknya didera dan disiksa.

Maka tangan inilah pula pada hari itu — ya’ni di waktu perang Badar — suatu saat yang tepat dan diatur oleh taqdir, yang telah menyelesaikan utang-piutang dan membuat per­hitungan dengan algojo-algojo Quraisy yang telah menimpakan penghinaan dan kedhaliman terhadap orang-orang Mu’min … ! Peristiwa ini terjadi secara sempurna, tanpa ditambah atau di­bumbui … !

Ketika pertempuran di antara dua pihak telah mulai, dan barisan Kaum Muslimin maju bergerak dengan semboyannya: “Ahad . ..! Ahad … !’,’maka jantung Umayah pun bagai tercabut dari urat akarnya dan rasa takut mengancam dirinya. . . Kalimat yang kemarin diulang-ulang oleh hambanya di bawah tekanan siksa dan dera, sekarang telah menjadi semboyan dari suatu Agama secara utuh, dan dari suatu ummat yang baru secara keseluruhan . . . ! “Ah ad ! Ahad . . .!” Demikianlah dan dengan kecepatan seperti ini . . . , serta pertumbuhan yang demikian besar … ?

Pertempuran telah berkecamuk dan pedang bertemu pedang

Ketika perang telah hampir usai, kelihatanlah oleh Umayah, abdurrahman bin ‘Auf, seorang shahabat Rasulullah saw. Maka segera ia melindungkan diri kepadanya, dan meminta untuk menjadi tawanannya; dengan harapan akan dapat menyelamatkan nyawanya ….

Permintaan itu dikabulkan oleh Abdurrahman yang bersedia melindunginya, dan di tengah-tengah hiruk-pikuknya perang dibawanyalah Umayah ke tempat orang-orang tawanan. Di tengah jalan ia kelihatan oleh Bilal, yang segera berseru: “Ini dia .. . gembong kekafiran, Umayah bin Khalaf! Biar aku mati daripada orang ini selamat … ! “

Sambil menyatakan itu diangkatlah pedangnya hendak memenggal kepala yang selama ini menjadi besar disebabkan kecongkakan dan kesombongan. “Hai Bilal, ia tawananku! ” seru Abdurrahman. “Tawanan – . . ? ” ujar bilal, ‘padahal pertempuran masih berkobar dan roda

peperangan masih berputar . . . ? ” la diterima sebagai tawanan . . . , padahal belum lama berselang senjatanya terhunjam di tubuh Kaum Muslimin yang sampai sekarang masih meneteskan darahnya … ? Tidak . . .! bagi Bilal itu artinya berolok-olok dan penindasan. Dan cukuplah selama ini Umayah berolok-olok dan melakukan penindasan. la telah menindas demikian rupa, hingga hari ini tak ada lagi kesempatan tersisa, dalam keadaan segawat ini . . . dalam akibat yang me­nentukan ini!

orang kafir, Umayah bin Khalaf … ! Biar aku mati daripada dia lolos … ! “

Berdatanganlah serombongan Kaum Muslimin dengan pedang penyebar maut di tangan mereka dan mengepung Umayah ber­sama puteranya — yang berperang di pihak Quraisy — sementara Abdurrahman bin Auf tak dapat berbuat apa pun, bahkan juga tidak dapat melindungi bajunya yang telah terkoyak-koyak oleh desakan orang banyak.

Bilal memandangi tubuh Umayah yang telah rubuh oleh tebasan pedang-pedang itu dengan lama sekali, kemudian ia bergegas meninggalkan tempat itu, sementara suaranya yang nyaring mengumandangkan: “Ahad … ! Ahad

Menurut hemat saya, bukanlah haq kita untuk membahas keutamaan toleransi dari pihak Bilal dalam suasana seperti itu …. Tetapi seandainya pertemuan antara Bilal dengan Uma­yah terjadi pada suasana lain, maka bolehlah kita meminta kepadanya agar memberi ma’af, yang tak mungkin ditolak oleh orang yang seperti Bilal keimanan dan ketaqwaannya.

Hanya sebagai kita ketahui, mereka bertemu di medan laga, masing-masing pihak mendatanginya dengan tujuan untuk menghancurkan pihak. lawannya . . . . Pedang dan tombak her­kelebatan … para korban berguguran – – – , dan maut merajalela berseliweran . . .! Tiba-tiba pada saat seperti itu Bilal melihat Umayah, yang tak sejengkal pun dari tubuhnya luput dari bekas kekejaman dan adzab siksa Umayah!

Lalu di manakah dan betapa tampak olehnya … ? Dilihatnya dalam kancah pertempuran; memenggal kepala Kaum Muslimin yang ditemui Umayah, dan seandainya ia beroleh kesempatan untuk memenggal kepala Bilal pada saat itu, tentulah tidak akan disia-siakannya! Nah, dalam keadaan seperti demikianlah kedua laki-laki itu berhadapan muka! Maka tidaklah adil me­nurut logika, bila kita bertanya kepada Bilal, kenapa ia tak hendak memberi ma’af dengan sebaik-baiknya . . .!

Hari-hari berlalu . . . dan Mekah dibebaskan . . . . Dengan mengepalai sepuluh ribu Kaum Muslimin, Rasulullah memasuki kota itu, bersyukur dan mengucapkan takbir. Beliau langsung menuju Ka’bah yang telah dipadati berhala oleh Quraisy dengan jumlah bilangan hari dalam setahun, ialah tidak kurang dari 360 buah berhala. Yang benar telah datang, hancur luluhlah kebathilan ….

Mulai hari itu tak ada lagi Lata .             ‘Uzza … atau. Hubal

, dan semenjak itu manusia tidak lagi menundukkan kepala­nya kepada batu atau berhala – . . , dan tak ada lagi yang mereka puja sepenuh hati kecuali Allah yang tak ada tara atau banding­an-Nya; Tuhan yang Maha Tunggal lagi Esa, Maha Tinggi dan Maha Besar ….

Rasulullah memasuki Ka’bah dengan membawa Bilal sebagai teman . . .! Baru saja masuk, beliau telah berhadapan dengan sebuah patung pahatan, menggambarkan Ibrahim ‘alaihissalam sedang berjudi dengan menggunakan anak panah. Rasulullah amat murka, sabdanya:

“Semoga mereka dihancurkan Allah! Tak pernah nenek moyang kita melakukan perjudian demikian . . .. Dan Ibrahim itu bukanlah seorang yahudi, bukan pula seorang nasrani, tetapi seorang yang beragama suci dan seorang Muslim, dan sekali-kali bukan dari golongan musyrik “.

Rasulullah menyuruh Bilal naik ke bagian atas masjid untuk mengumandangkan adzan. Maka Bilal pun adzanlah . . ‘ dan amboi . . . , alangkah mengharukan saat itu, tempat itu dan suasana kala itu … ! Gerakan kehidupan di Mekah terhenti, dan dengan jiwa yang satu, ribuan Kaum Muslimin dengan hati khusyu’ dan secara berbisik mengulangi kalimat demi kalimat yang diucapkan Bilal.

Orang-orang musyrik di rumahnya masing-masing hampir tak percaya dan bertanya-tanya dalam hatinya:

—   Inikah dia Muhammad dengan orang-orang miskinnya yang
kemarin terusir meninggalkan kampung halamannya … ?

—   Betulkah dia, yang mereka usir, mereka perangi, dan mereka bunuh keluarga yang paling dicintainya serta kerabat yang paling dekat kepadanya … ?

—   Dan betulkah dia, yang beberapa saat yang lalu, nyawa mereka berada di tangannya, memaklumkan kepada mereka: “Pergilah kalian . . . , kalian semua bebas … !”

Tiga orang bangsawan Quraisy sedang duduk-duduk di pekarangan Ka’bah. Mereka tampak terpukul menyaksikan panorama itu, yaitu ketika Bilal menginjak-injak berhala-berhala mereka dengan kedua telapak kakinya, kemudian di atas rerun­tuhannya yang telah hancur luluh, menyenandungkan suara adzannya yang berkumandang di seluruh pelosok Mekah yang tak ubahnya bagai tiupan angin di musim bunga ….

Ketiga orang itu ialah: Abu Sufyan bin Harb — yang telah masuk Islam beberapa saat yang lalu — dan ‘Attab bin Useid serta Harits bin Hisyam — kedua mereka belum lagi masuk Islam —. Sementara matanya tertuju kepada Bilal yang sedang menyuarakan adzan, ‘Attab berkata: “Sungguh Useid dimuliakan Allah, ia tidak mendengar sesuatu yang amat dibencinya!” Berkata pula Harits: “Demi Allah, seandainya saya tahu bahwa Muhammad saw. itu di pihak yang benar, pastilah saya paling dahulu akan mengikutinya . . .! Sedang Abu Sufyan yang di­plomat itu menukas pembicaraan kedua shahabatnya dengan katanya: “Saya tak hendak mengatakan sesuatu, karena se­andainya saya berkata pastilah akan disebarkan oleh kerikil­ kerikil ini!”

Ketika Nabi saw. meninggalkan Ka’bah tampaklah mereka olehnya, lalu dalam sekejap waktu dibacanya wajah-wajah mereka. Kemudian dengan kedua matanya yang bersinar dengan Nur Hahi, sabdanya kepada mereka: “Saya tahu apa yang telah kalian katakan tadi . . …. Lalu diceriterakannyalah apa yang mereka katakan itu. Maka Harits dan ‘Attab pun berseru: “Kami menyaksikan bahwa anda adalah Rasulullah. Demi Allah tak seorang pun mendengarkan pembicaraan kami, hingga kami dapat menuduh bahwa ia telah menyampaikannya kepada anda … !”

Sekarang mereka menghadapi Bilal dengan pandangan baru

. Dalam lubuk hati mereka bergema kembali kalimat-kalimat yang mereka dengar dalam pidato Rasulullah sewaktu mula-mula masuk Mekah.

Hai golongan Quraisy . .  Allah telah melenyapkan daripada kalian kesombongan jahiliyah dan kebanggaan dengan nenek moyang… , Manusia itu dari Adam …. sedang Adam dari tanah … !

Bilal melanjutkan hidupnya kini bersama Rasulullah saw. dan ikut mengambil bagian dalam semua perjuangan bersenjata yang dialaminya. la tetap menjadi muaddzin, menjaga serta menye­marakkan syi’ar Agama besar ini, yang telah membebaskan dari kegelapan kepada cahaya, dari perbudakan kepada kemer­dekaan … !

Kedudukan Agama Islam semakin tinggi, demikian pula halnya Kaum Muslimin, taraf dan derajat mereka ikut naik; dan Bilal semakin lama semakin dekat di hati Rasulullah saw. yang menyatakannya sebagai “seorang laki-laki penduduk surga”.

Tetapi sikapnya tidak berubah, tetap seperti biasa; mulia dan besar hati, yang selalu memandang dirinya tidak lebih dari “seorang Habsyi yang kemarin menjadi budak belian”.

Pada suatu hari ia pergi meminang dua orang wanita untuk diperisterikannya dan diperisterikan saudaranya, maka katanya kepada bapa wanita itu: “Saya ini Bilal, dan ini saudaraku, kami berasal dari budak bangsa Habsyi. . . . Pada mulanya kamiberada dalam kesesatan kemudian diberi petunjuk oleh Allah, dahulu kami budak-budak belian lalu dimerdekakan oleh Allah

. . . . Jika pinangan kami anda terima alhamdulillah — segala puji bagi Allah, dan seandainya anda tolak, maka Allahu Akbar, Allah Maha Besar … !

Rasulullah saw. pergi meninggalkan alam fana dan .naik ke rafiqul a’la dalam keadaan ridla dan diridlai, dan penanggung jawab Kaum Muslimin sepeninggal beliau dibebankan di atas pundak khalifahnya Abu Bakar as-Shiddiq

Bilal pergi mendapatkan khalifah Rasulullah, menyampaikan isi hatinya.

Wahai Khalifah Rasulullah, saya mendengar Rasulullah bersabda:

Aural orang Mu’min yang utama adalah berjihad fi sabi­lillah.

“Jadi apa maksudmu, hai Bilal?” tanya Abu Bakar. “Saya ingin berjuang di jalan Allah sampai saya meninggal dunia”, ujar Bilal. “Siapa lagi yang akan menjadi muaddzin bagi kami?”, tanya Abu Bakar pula. Dengan air mata berlinang Bilal men­jawab: “Saya takkan menjadi muaddzin lagi bagi orang lain setelah Rasulullah”. “Tidak” kata Abu Bakar, “tetaplah tinggal di sini hai Bilal, dan menjadi muaddzin kami!” Jawab Bilal pula: “seandainya anda memerdekakan saya dulu adalah untuk ke­pentingan anda, baiklah saya terima permintaan anda itu. Tetapi bila anda memerdekakan saya karena Allah, biarkanlah diri saya untuk Allah sesuai dengan maksud baik anda itu!” “Tak lain saya memerdekakanmu itu, hai Bilal, semata-mata karena Allah!”

Kemudian mengenai kelanjutannya terjadi perbedaan pen­dapat di antara para  ahli riwayat. Sebagian meriwayatkan bahwa ia pergi ke Syria dan menetap di sana sebagai pejuang dan mujahid. Sementara menurut lainnya, ia menerima permintaan Abu Bakar untuk tinggal bersamanya di Madinah. Kemudian setelah Abu Bakar wafat dan Umar diangkat sebagai khalifah, barulah Bilal minta idzin dan mohon diri kepadanya, lalu berangkat ke Syria.

Bagaimanapun juga, Bilal telah menadzarkan sisa hidup dan usianya untuk berjuang menjaga benteng-benteng Islam di perbatasan, dan membulatkan tekadnya untuk dapat menjumpai Allah dan Rasul-Nya, sewaktu ia sedang melakukan aural yang paling disukai oleh keduanya . . . . Dan suaranya yang syandu, dalam dan penuh wibawa itu, tidak lagi mengumandangkan adzan seperti biasa. Sebabnya ialah karena demi ia membaca “Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah “, maka kenangan lama­nya bangkit kembali, dan suaranya tertelan oleh kesedihan, digantikan oleh cucuran tangis dan air mata ….

Adzannya yang terakhir, ialah ketika Umar sebagai Amirul Mu’minin datang ke Syria. Orang-orang menggunakan kesem­patan tersebut dengan memohon kepada khalifah untuk meminta Bilal menjadi muaddzin bagi satu shalat saja. Amirul Mu’minin memanggil Bilal; ketika waktu shalat telah tiba, maka diminta­nya ia menjadi muaddzin.

Bilal pun, naik ke menara dan adzanlah . . . . Shahabat­ shahabat yang pernah mendapati Rasulullah di waktu Bilal menjadi muaddzinnya sama-sama menangis mencucurkan air mata, yang tak pernah mereka lakukan selama ini …. sedang yang paling keras tangisnya di antara mereka ialah Umar …

Bilal berpulang ke rahmatullah di Syria sebagai pejuang di jalan Allah seperti diinginkannya. Dan di bawah bumi Damsyiq, sekarang terpendam kerangka dan tulang-belulang suatu pribadi yang besar di antara pribadi-pribadi manusia, yang amat teguh dan tangguh pendiriannya dalam mempertahankan ‘aqidah dan keimanan ….

Semoga Rahmat dan Karunia Allah melimpah rush kepada Bilal dan kepada kita semua. Wallahu 'Alam [...]

BERATNYA SIKSAAN BAGI KELUARGA YASIR DIBAYAR DENGAN SURGA

BERATNYA SIKSAAN BAGI KELUARGA YASIR DIBAYAR DENGAN SURGA

(Ammar Bin Yasir Bag. 1)

Yasir bin Amir berangkat meninggalkan negerinya di Yaman untuk mencari dan menemui salah seorang saudaranya di Makkah. Rupanya dia berkenan dan cocok tinggal di Makkah. Maka bermukimlah dia disana dan mengikat perjanjian persahabatan dengan Abu Hudzaifah Ibnul Mughirah.

Abu Hudzaifah kemudian mengawinkan Yasir dengan salah seorang sahayanya yang bernama Sumayah binti Khayyath. Dari perkawinan yang penuh berkah ini, pasangan itu dikarunia seorang putra bernama Ammar.

Keislaman Yasir dan isterinya termasuk dalam golongan yang pertama, sebagaimana halnya dengan mereka yang pertama masuk Islam. Dan mereka pun cukup menderita dengan tindakan biadab dan kekejaman kaum Quraisy Makkah.

Orang-orang musyrikin Quraisy menjalankan dua siasat terhadap kaum Muslimin sesuai tingkat hidupnya. Jika Muslimin termasuk golongan bangsawan dan berpengaruh, maka kaum Quraisy dihadapi dengan ancaman dan gertakan.

Contohnya Abu Jahal, dia menggertak dengan ucapan, “Kamu berani meninggalkan agama nenek moyangmu padahal mereka lebih baik daripadamu! Akan kami uji sampai dimana ketabahanmu, akan kami jatuhkan kehormatanmu, akan kami rusak perniagaanmu, dan akan kami musnahkan harta bendamu!” Setelah itu, mereka lancarkan perang urat syaraf yang amat sengit.

Sementara, sekiranya yang beriman itu dari kalangan penduduk Makkah yang rendah martabatnya dan miskin, atau dari golongan budak belian, maka mereka akan dicambuk dan disulut dengan api menyala.

Adapun Keluarga Yasir, mereka ditakdirkan oleh Allah Subhana Wa Ta’ala termasuk dalam golongan yang kedua ini. Maka, masuklah keluarga Yasir ke dalam kelompok yang mendapat perlakuan yang zalim dari kaum Quraisy.

Setiap hari, Yasir, Sumayyah, dan Ammar radhiyallahu ‘anhum dibawa ke padang pasir Makkah yang demikian panas, lalu dicambuk dengan berbagai siksaan.

Dalam masa-masa inilah, Sumayyah menunjukan kepada manusia sikap ketabahan, suatu kemuliaan yang tak pernah hapus dan kehormatan yang pamornya tak pernah luntur, suatu sikap yang telah menjadikannya seorang bunda kandung bagi orang-orang mukmin di setiap zaman, dan bagi para budiman sepanjang masa.

Siksaan dan penderitaan yang dahsyat itu merupakan pengorbanan  mulia yang menjadi jaminan bagi agama dan akidah yang teguh dan tak akan lapuk. Dia juga menjadi teladan yang akan mengisi hati orang-orang beriman dengan rasa simpati, kebanggan dan kasih sayang, dia adalah menara yang akan menjadi pedoman bagi generasi-generasi mendatang untuk mencapai hakikat agama, kebenaran dan kebesarannya.

Untuk meletakkan dasar, memancangkan tiang-tiang, dan memperkokoh agama-Nya, Allah memperlihatkan model contoh melalui para pemuka dan tokoh-tokoh utamanya dengan sikap pengorbanan harta dan jiwanya agar menjadi teladan istimewa bagi orang-orang beriman yang datang kemudian.

Yassir, Sumayyah dan Ammar adalah termasuk teladan istimewa, sampai-sampai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam setiap hari menghampiri tempat di mana mereka mendapat siksaan dari orang-orang zalim.

Pada suatu hari, ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengunjungi mereka, Ammar memanggilnya, “Wahai Rasulullah! Azab yang kami derita telah sampai ke puncak!”

Namun, dengan penuh kesedihan, tanpa bisa menolong, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam hanya berkata, “Sabarlah, wahai Abal Yaqdhan! Sabarlah, wahai keluarga Yasir! Tempat yang dijanjikan bagi kalian adalah syurga!”

Betapa beratnya siksaan yang dialami Ammar dari kaum yang zalim, dilukiskan oleh para sahabat dalam beberapa riwayat:

Ammar bin Hakam berkata, “Ammar itu disiksa, sampai-sampai dia tidak menyadari apa yang diucapkannya.”

Ammar bin Maimun berkata, “Orang-orang musyrik membakar Ammar bin Yasir dengan api. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam  yang lewat di tempatnya, beliau memegang kepala Ammar dengan tangan beliau, sambil bersabda: ‘Hai api, jadilah kamu sejuk dan dingin di tubuh Ammar, sebagaimana kamu dulu juga sejuk dan dingin di tubuh Ibrahim!’.”

Syuhadah Pertama Dalam Islam


Ketika Abu Jahal ikut melakukan penyiksaan, dia begitu jengkel dan putus asa terhadap keteguhan Sumayyah. Seorang budak wanita yang dipandangnya hina, berdiri tegar seakan menantang kesombongan tokoh besar Quraisy tersebut. Karena tidak tertahankan lagi kejengkelannya, Abu Jahal mengambil tombak dan menusuk Sumayyah dari selangkangan hingga tembus ke punggungnya.

Jadilah Sumayyah syuhadah pertama dalam Islam. Tidak berapa lama, suaminya, Yasir bin Amir juga meninggal dalam penyiksaan orang-orang kafir Quraisy.


Kematian orang tuanya akibat siksaan tersebut tidak menyebabkan Ammar berubah pikiran, bahkan makin meneguhkan pendiriannya.

Orang-orang musyrik menghabiskan segala daya dan upaya dalam melampiaskan kezaliman dan kekejiannya terhadap Ammar, sampai-sampai dia merasa dirinya benar-benar celaka, ketika siksaan itu mencapai puncaknya: didera, dicambuk, disalib di hamparan gurun yang panas, ditindih dengan batu laksana bara merah, dibakar dengan besi panas, bahkan sampai ditenggelamkan ke dalam air hingga sesak nafasnya dan mengelupas kulitnya yang penuh dengan luka.

Ketika dia sampai tidak sadarkan diri karena siksaan yang demikian berat, orang-orang itu mengatakan kepadanya, “Pujalah olehmu Tuhan-Tuhan kami!”

Mereka ajarkan kepadanya pujaan itu, sementara Ammar mengikuti kalimat pujaan itu tanpa menyadari apa yang diucapkannya.

Ketika dia siuman sebentar karena siksaannya berhenti, tiba-tiba dia sadar akan apa yang telah diucapkannya. Maka, hilanglah akalnya dan terbayanglah di ruang matanya, betapa besar kesalahan yang telah dilakukannya, suatu dosa besar yang tak dapat ditebus dan diampuni lagi.

Tetapi, iradat Allah Yang Maha Agung lagi Maha Tinggi telah memutuskan agar peristiwa yang mengharukan itu mencapai titik kesudahan yang amat luhur.

Kalimat Allah untuk Ammar

Sungguh benar apa yang telah difirmankan Allah Subhana Wa Ta’ala:

أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ

 “Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan mengatakan: ‘Kami telah beriman’, padahal mereka belum lagi diuji?”(QS. Al-Ankabut [29] ayat 2).



وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ ۖ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ

“Sungguh, kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, hingga terbuktilah bagi Allah orang-orang yang benar dan terbukti pula orang-orang yang dusta.” (QS. Al-Ankabut [29] ayat 3).



أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَعْلَمِ اللَّهُ الَّذِينَ جَاهَدُوا مِنْكُمْ وَيَعْلَمَ الصَّابِرِينَ

“Apakah kalian mengira akan dapat masuk Syurga, padahal belum lagi terbukti bagi Allah orang-orang yang berjuang di antara kalian, begitu pun orang-orang yang sabar?” (QS. Ali Imran [3] ayat 142).



أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تُتْرَكُوا وَلَمَّا يَعْلَمِ اللَّهُ الَّذِينَ جَاهَدُوا مِنْكُمْ وَلَمْ يَتَّخِذُوا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلَا رَسُولِهِ وَلَا الْمُؤْمِنِينَ وَلِيجَةً ۚ وَاللَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan dibiarkan, sedang Allah belum mengetahui (dalam kenyataan) orang-orang yang berjihad di antara kamu dan tidak mengambil menjadi teman yang setia selain Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman? Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. At-Taubah [9] ayat 16).

وَمَا أَصَابَكُمْ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعَانِ فَبِإِذْنِ اللَّهِ وَلِيَعْلَمَ الْمُؤْمِنِينَ

“Dan apa yang menimpa kamu pada hari bertemunya dua pasukan, maka (kekalahan) itu adalah dengan izin (takdir) Allah, dan agar Allah mengetahui siapa orang-orang yang beriman.” (QS. Ali Imran [3] ayat 166).

Ammar menghadapi cobaan dan siksaan itu dengan ketabahan luar biasa, hingga para penyiksanya merasa lelah, lemah, dan bertekuk lutut di hadapan tembok keimanan yang maha kokoh. Memang, demikianlah Al-Qur’an mendidik para pemeluknya dalam menghadapi kekejaman dan kekerasan dengan kesabaran, keteguhan dan pantang menyerah, yang merupakan esensi dari keimanan.

Suatu ketika, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menjumpai Ammar, didapatinya dia sedang menangis, maka disapulah isak tangis itu dengan tangan beliau seraya sabdanya, “Orang-orang kafir itu telah menyiksamu dan menenggelamkanmu kedalam air sampai kamu mengucapkan begini dan begitu?”

“Benar, wahai Rasulullah,” ucap Ammar sambil meratap.

Maka Rasullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda sambil tersenyum, “Jika mereka memaksamu lagi, tidak apa, ucapkanlah seperti apa yang kamu katakan tadi!”

Kemudian, Rasulullah membacakan kepadanya sebuah ayat:

مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَٰكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ

“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.” (QS. An-nahl [16] ayat 106).

Setelah mendengar firman Allah itu, kembalilah Ammar dengan hati yang diliputi rasa haru, tenang, dan bahagia, seolah telah hilang semua penderitaan yang selama ini ia rasakan.


Kisah Sahabat Nabi: Ammar bin Yasir, Calon Penghuni Surga


Yasir bin Amir, ayahanda Ammar, berangkat meninggalkan negerinya di Yaman guna mencari dan menemui salah seorang saudaranya. Rupanya ia berkenan dan merasa betah tinggal di Makkah. Bermukimlah ia di sana dan mengikat perjanjian persahabatan dengan Abu Hudzaifah ibnul Mughirah.

Abu Hudzaifah mengawinkannya dengan salah seorang sahayanya bernama Sumayyah binti Khayyath, dan dari perkawinan ini, kedua suami istri itu dikaruniai seorang putra bernama Ammar.

Keislaman mereka termasuk dalam golongan Assabiqunal Awwalun (generasi pertama). Dan sebagaimana halnya orang-orang saleh yang termasuk dalam golongan yang pertama masuk Islam, mereka cukup menderita karena siksa dan kekejaman Quraisy.

Orang-orang Quraisy menjalankan siasat terhadap Kaum Muslimin sesuai situasi dan kondisi. Seandainya mereka ini golongan bangsawan dan berpengaruh, mereka hadapi dengan ancaman dan gertakan. Dan setelah itu mereka lancarkan kepadanya perang urat syaraf yang amat sengit.

Dan sekiranya yang beriman itu dari kalangan penduduk Makkah yang rendah martabatnya dan yang miskin, atau dari golongan budak belian, maka mereka didera dan disulutnya dengan api bernyala.

Maka keluarga Yasir termasuk dalam golongan yang kedua ini. Dan soal penyiksaan mereka, diserahkan kepada Bani Makhzum. Setiap hari Yasir, Sumayyah dan Ammar dibawa ke padang pasir Makkah yang demikian panas, lalu didera dengan berbagai azab dan siksa.

Penderitaan dan pengalaman Sumayyah dari siksaan ini amat ngeri dan menakutkan, namun Sumayyah telah menunjukkan sikap dan pendirian tangguh, yang dari awal hingga akhirnya telah membuktikan kepada kemanusiaan suatu kemuliaan yang tak pernah hapus dan kehormatan yang pamornya tak pernah luntur.

Rasulullah SAW selalu mengunjungi tempat-tempat yang diketahuinya sebagai arena penyiksaan bagi keluarga Yasir.

Ketika itu tidak suatu apa pun yang dimilikinya untuk menolak bahaya dan mempertahankan diri.

Pengorbanan-pengorbanan mulia yang dahsyat ini tak ubahnya dengan tumbal yang akan menjamin bagi Agama dan akidah keteguhan yang takkan lapuk. Ia juga menjadi contoh teladan yang akan mengisi hati orang-orang beriman dengan rasa simpati, kebanggaan dan kasih sayang. Ia adalah menara yang akan menjadi pedoman bagi generasi-generasi mendatang untuk mencapai hakikat agama, kebenaran dan kebesarannya.

Demikianlah, berlaku pula bagi agama Islam. Makna ini telah dijelaskan oleh Al-Qur'an kepada Kaum Muslimin bukan hanya pada satu atau dua ayat.

Firman Allah SWT: "Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan mengatakan: “Kami telah beriman” padahal mereka belum lagi diuji?" (QS Al-Ankabut: 2)

"Apakah kalian mengira akan dapat masuk surga, padahal belum lagi terbukti bagi Allah orang-orang yang berjuang di antara kalian, begitu pun orang-orang yang tabah?" (QS Ali Imran: 142)

"Sungguh, Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, hingga terbuktilah bagi Allah orang-orang yang benar dan terbukti pula orang-orang yang dusta." (QS Al-Ankabut: 3)

Memang demikianlah Al-Qur’an mendidik putra dan para pendukungnya, bahwa pengorbanan merupakan esensi atau saripati keimanan. Dan bahwa kepahlawanan menghadapi kekejaman dan kekerasan dihadapi dengan kesabaran, keteguhan dan pantang mundur. Maka Sumayyah, Yasir, dan Ammar adalah golongan luar biasa yang beroleh berkah ini.

Pada suatu hari, ketika Rasulullah SAW mengunjungi mereka, Ammar berkata, "Wahai Rasulullah, azab yang kami derita telah sampai ke puncak."

Rasulullah SAW berkata, "Sabarlah, wahai Abal Yaqdhan... Sabarlah wahai keluarga Yasir, tempat yang dijanjikan bagi kalian ialah surga!"

Siksaan yang diami oleh Ammar dilukiskan oleh kawan-kawannya dalam beberapa riwayat. Berkata Amar bin Hakam, "Ammar itu disiksa sampai-sampai ia tak menyadari apa yang diucapkannya.”

Ammar bin Maimun melukiskan, "Orang-rang musyrik membakar Ammar bin Yasir dengan api. Maka Rasulullah SAW lewat di tempatnya, memegang kepalanya dengan tangan beliau, sambil bersabda, 'Hai api, jadilah kamu sejuk dingin di tubuh Ammar, sebagaimana dulu kamu juga sejuk dingin di tubuh Ibrahim!”

Bagaimanapun juga, semua bencana itu tidaklah dapat menekan jiwa Ammar, walau telah menekan punggung dan menguras tenaganya. Ia baru merasa dirinya benar-benar celaka, ketika pada suatu hari tukang-tukang cambuk dan para penderanya menghabiskan segala daya upaya dalam melampiaskan kezaliman dan kekejiannya. Semenjak hukuman bakar dengan besi panas, sampai disalib di atas pasir panas dengan ditindih batu laksana bara merah, bahkan sampai ditenggelamkan ke dalam air hingga sesak nafasnya dan mengelupas kulitnya yang penuh dengan luka.

Pada hari itu, ketika ia telah tak sadarkan diri lagi karena siksaan yang demikian berat, orang-orang itu berkata kepadanya, “Pujalah olehmu tuhan-tuhan kami!”

Ammar pun mengikuti perintah mereka tanpa menyadari apa yang keluar dari bibirnya. Ketika siuman sebentar akibat dihentikannya siksaan, tiba-tiba ia sadar akan apa yang telah diucapkannya, maka hilanglah akalnya dan terbayanglah di matanya betapa besar kesalahan yang telah dilakukannya, suatu dosa besar yang tak dapat ditebus dan diampuni lagi.

Ketika Rasulullah SAW menemui sahabatnya itu didapatinya ia sedang menangis, maka disapunyalah tangisnya itu dengan tangan beliau seraya berkata, "Orang-orang kafir itu telah menyiksamu dan menenggelamkanmu ke dalam air sampai kamu mengucapkan begini dan begitu?”

“Benar, wahai RasuIullah," ujar Ammar.

Rasulullah tersenyum berkata, “Jika mereka memaksaimu lagi, tidak apa, ucapkanlah seperti apa yang kamu katakan tadi!”

Lalu dibacakan Rasulullah kepadanya ayat mulia berikut ini: "Kecuali orang yang dipaksa, sedang hatinya tetap teguh dalam keimanan..." (QS An-Nahl: 106)

Kembalilah Ammar diliputi oleh ketenangan dan dera yang menimpa tubuhnya. Ia tak lagi merasakan sakit. Jiwanya tenang. Ia menghadapi cobaan dan siksaan itu dengan ketabahan luar biasa, hingga pendera-penderanya merasa lelah dan menjadi lemah, bertekuk lutut di hadapan tembok keimanan yang begitu kokoh.

Setelah Rasulullah SAW ke Madinah, kaum Muslimin tinggal bersama beliau bermukim di sana, secepatnya masyarakat Islam terbentuk dan menyempurnakan barisannya. Maka di tengah-tengah masyarakat Islam yang beriman ini, Ammar pun mendapatkan kedudukan yang tinggi. Rasulullah amat sayang kepadanya, dan beliau sering membanggakan keimanan dan ketakwaan Ammar kepada para shahabat.

Rasulullah bersabda, "Diri Ammar dipenuhi keimanan sampai ke tulang punggungnya!”

Dan sewaktu terjadi selisih paham antara Khalid bin Walid dengan Ammar, Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang memusuhi Ammar, maka ia akan dimusuhi Allah. Dan siapa yang membenci Ammar, maka ia akan dibenci Allah!"

Maka tak ada pilihan bagi Khalid bin Walid, pahlawan Islam itu, selain segera mendatangi Ammar untuk mengakui kekhilafannya dan meminta maaf.

Jika Rasulullah SAW telah menyatakan kesayangannya terhadap seorang Muslim demikian rupa, pastilah keimanan orang itu, kecintaan dan jasanya terhadap Islam, kebesaran jiwa dan ketulusan hati serta keluhuran budinya telah mencapai batas dan puncak kesempurnaan.

Demikian halnya Ammar, berkat nikmat dan petunjuk-Nya, Allah telah memberikan kepada Ammar ganjaran setimpal, dan menilai takaran kebaikannya secara penuh. Hingga disebabkan tingkatan petunjuk dan keyakinan yang telah dicapainya, maka Rasulullah menyatakan kesucian imannya dan mengangkat dirinya sebagai contoh teladan bagi para sahabat.

Beliau bersabda, “Contoh dan ikutilah setelah kematianku nanti, Abu Bakar dan Umar. Dan ambillah pula hidayah yang dipakai Ammar untuk jadi bimbingan!”

Ketika Rasulullah dan kaum Muslimin membangun masjid di Madinah, beliau turut serta mengangkat batu dan melakukan pekerjaan yang paling sukar. Di tengah-tengah khalayak ramai yang sedang hilir mudik itu, terlihatlah Ammar bin Yasir sedang mengangkat batu besar.

Rasulullah juga melihat Ammar, dan langsung mendekatinya. Setelah berhampiran, maka beliau mengipaskan debu yang menutupi kepala Ammar dengan tangannya. kemudian bersabda di hadapan semua shahabatnya, "Malangnya Ibnu Sumayyah, ia dibunuh oleh golongan pendurhaka!"

Kata-kata itu diulangi oleh Rasulullah sekali lagi... kebetulan bertepatan dengan ambruknya dinding di atas tempat Ammar bekerja, hingga sebagian kawannya menyangka bahwa ia tewas yang menyebabkan Rasulullah meratapi kematiannya itu.

Para sahabat terkejut dan menjadi ribut karenanya, tetapi dengan nada menenangkan dan penuh kepastian, Rasulullah menjelaskan, "Tidak, Ammar tidak apa-apa. Hanya nanti ia akan dibunuh oleh golongan pendurhaka!"

Ammar mendengarkan ramalan itu dan meyakini kebenaran pandangan yang disingkapkan oleh Rasulullah. Tetapi ia tidak merasa gentar, karena semenjak menganut Islam ia telah dicalonkan untuk menghadapi maut dan mati syahid di setiap detik, baik siang maupun malam.

Ammar selalu terjun bersama Rasulullah dalam tiap perjuangan dan peperangan bersenjata, baik di Badar, Uhud, Khandaq, dan Tabuk. Dan tatkala Rasulullah telah wafat, perjuangan Ammar tidaklah berhenti. Ia terus berjuang dan berjihad menegakkan agama Allah.

Ketika terjadi pertentangan antara Khalifah Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah, Ammar berdiri di samping menantu Rasulullah tersebut. Bukan karena fanatik atau berpihak, tetapi karena tunduk kepada kebenaran dan teguh memegang janji! Ali adalah khalifah kaum Muslimin, dan berhak menerima baiat sebagai pemimpin umat.

Ketika meletus Perang Shiffin yang mengerikan itu, Ammar ikut bersamanya. Padahal saat itu usianya telah mencapai 93 tahun. Orang-orang dari pihak Muawiyah mencoba sekuat daya untuk menghindari Ammar, agar pedang mereka tidak menyebabkan kematiannya hingga menjadi manusia “golongan pendurhaka”.

Tetapi keperwiraan Ammar yang berjuang seolah-olah ia satu pasukan tentara juga, menghilangkan pertimbangan dan akal sehat mereka. Maka sebagian dari anak buah Muawiyah mengintai-ngintai kesempatan untuk menewaskannya. Hingga setelah kesempatan itu terbuka, mereka pun membunuh Ammar.

Maka sekarang tahulah orang-orang siapa kiranya golongan pendurhaka itu, yaitu golongan yang membunuh Ammar, yang tidak lain dari pihak Muawiyah!

Jasad Ammar bin Yassir kemudian dipangku Khalifah Ali, dibawa sebuah ke tempat untuk dishalatkan bersama kaum Muslimin, lalu dimakamkan dengan pakaiannya.

Setelah itu, para sahabat kemudian berkumpul dan saling berbincang. Salah seorang berkata, “Apakah kau masih ingat waktu sore hari itu di Madinah, ketika kita sedang duduk-duduk bersama Rasulullah SAW dan tiba-tiba wajahnya berseri-seri lalu bersabda, "Surga telah merindukan Ammar?"

"Benar," jawab yang lain.

“Dan waktu itu juga disebutnya nama-nama lain, di antaranya Ali, Salman dan Bilal..." timpal seorang lagi.

Bila demikian halnya, maka surga benar-benar telah merindukan Ammar. Dan jika demikian, maka telah lama surga merindukannya, sedang kerinduannya tertangguhkan, menunggu Ammar menyelesaikan kewajiban dan memenuhi tanggungjawabnya. Dan tugas itu telah dilaksanakannya dan dipenuhinya dengan hati gembira.



‘AMMAR BIN YASIR TOKOH PENGHUNI SURGA BAG(2)
Wandi Budiman | 5/14/2014 | 0 komentar

‘AMMAR BIN YASIR
SEORANG TOKOH PENGHUNI SURGA Lanjutan............

Ketika itu Hudzaifah ibnul Yaman seorang yang ahli tentang bahasa rahasia dan bisikan ghaib, sedang berkemas-kemas menghadapi panggilan Illahi atau menghadapi sekarat mautnya. Kawan­kawannya yang sedang berkumpul sekelilingnya menanyakan kepadanya: “Siapakah yang harus kami ikuti menurutmu, jika terjadi pertikaian di antara ummat … ?” Sambil mengucapkan kata-katanya yang akhir, Hudzaifah menjawab:

“Ikutilah oleh kalian Ibnu Sumayyah, karena sampai matinya ia tak hendak berpisah dengan kebenaran … . !”


Benar, ‘Ammar akan tetap mengikuti kebenaran itu ke mana saja perginya . . . . Dan sekarang sementara kita menyelusuri jejak langkahnya, dan menyelidiki peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupannya, marilah kita pergi menghampiri suatu peristiwa besar ….!Hanya sebelum kita memperhatikan kejadian yang mempesona dan amat mengharukan itu, baik tentang keutamaan dan kesempurnaannya, tentang kemampuan dan keunggulannya, maupun tentang kegigihan dan kesung­guhannya.

Marilah kita perhatikan lebih dulu suatu peristiwa lain yang terjadi sebelumnya, ialah ungkapan Rasulullah mengenai peristiwa yang akan menimpa ‘Ammar di kemudian hari!

Hal itu terjadi tidak lama setelah menetapnya Kaum Mus­limin di Madinah. Dan Rasul al-Amin yang dibantu oleh shaha­bat-shahabatnya yang budiman sibuk dalam membaktikan diri kepada Rabb mereka, membina rumah dan mendirikan mesjid-Nya. Hati yang beriman dipenuhi kegembiraan dan sinar harapan  menyampaikan puji dan syukur kepada Allah …!

Semua bekerja dengan riang gembira . . . ,semua mengangkat batu .Mengaduk pasir dengan kapur atau mendirikan tembok, sekelompok di sini dan sekelompok lagi di sana, sedang cakrawala  bahagia bergema dipenuhi nyanyian mereka yang dikumandangkan dengan suara merdu dan seronok:

“Andainya kita duduk-duduk berpangku tangan, sedang Nabi sibuk bekerja tak pernah diam ….

Maka perbuatan kita adalah perbuatan sesat lagi menyesat­kan          Pemikian mereka bernyanyi dan berdendang. Lalu alunan suara mereka menyanyikan lagu lainnya:

“Ya Allah, hidup bahagia adalah hidup di akhirat
Berilah rahmat Kaum Anshar dan Kaum Muhajirat …. setelah itu terdengar pula lagu ketiga;
“Apakah akan sama nilainya        ?
Orang yang bekerja membina masjid
Sibuk bekerja, baik berdiri maupun duduk
Dengan yang menyingkir berpangku tangan…….

Tak ubahnya mereka bagai anai-anai yang sedang sibuk bekerja, bahkan mereka adalah balatentara Allah yang me­manggul bendera-Nya dan membina bangunan-Nya.

Sementara Rasulullah yang budiman lagi terpercaya tak hendak terpisah dari mereka, mengangkat batu yang paling berat dan melakukan pekerjaan yang paling sukar . . . . dan alunan suara mereka yang sedang berdendang melukiskan ke­gembiraan yang tulus dan hati yang pasrah . . . , sedang langit tempat mereka bernaung berbangga diri terhadap bumi tempat mereka berpijak . . . , pendeknya kehidupan yang penuh gairah sedang menyelenggarakan pesta pora yang paling meriah.

Maka di tengah-tengah khalayak ramai yang sedang hilir mudik itu, kelihatanlah ‘Ammar bin Yasir sedang mengangkat batu besar dari tempat pengambilannya ke perletakannya.

Tiba-tiba “rahmat kurnia Allah” yakni Muhammad Rasul­ullah melihatnya, dan rasa santun belas kasihan telah membawa beliau mendekatinya, dan setelah berhampiran maka tangan beliau yang penuh barkah itu mengipaskan debu yang menutupi kepala ‘Ammar lalu dengan pandangan yang dipenuhi nur Ilahi diamat-amati wajah yang beriman diliputi ketenangan itu, kemu­dian bersabda di hadapan semua shahabatnya:

“Aduhai Ibnu Sumayyah, ia dibunuh oleh golongan pendurhaka …. . 1),

Ramalan ini diulangi oleh Rasulullah sekali lagi . . . , ke­betulan bertepatan dengan ambruknya dinding di atas tempat ‘Ammar bekerja, hingga sebagian kawannya menyangka bahwa ia tewas yang menyebabkan Rasulullah meratapi kematiannya itu. Para shahabat sama terkejut dan menjadi ribut karenanya, tetapi dengan nada menenangkan dan penuh kepastian, Rasul­ “Tidak, ‘Ammar tidak apa-apa, hanya nanti ia akan di­bunuh oleh golongan pendurhaka

Maka wahai, siapakah kiranya yang dimaksud dengan golonggan tersebut ….
Dan bilakah Berta di manakah terjadinya peristiwa itu…….

‘Ammar mendengarkan ramalan itu dan meyakini kebenaran pandangan tembus yang disingkapkan oleh Rasul yang utama. Tetapi ia tidak merasa gentar, karena semenjak menganut Islam ia telah dicalonkan untuk menghadapi maut dan mati syahid di setiap detik baik siang maupun malam

Dan hari-hari pun berlalu              tahun demi tahun silih berganti. Rasulullah saw. telah kembali ke tempat tertinggi disusul oleh Abu Bakar ke tempat ridla Ilahi …. lalu berangkat­ pula Umar pergi mengiringi …. Setelah itu khilafat dipegang oleh Dzun Nurain Utsman bin ‘Affan ….

Sementara itu musuh-musuh Islam yang bergerak di bawah tanah, berusaha menebus kekalahannya di medan tempur dengan jalan menyebarluaskan fitnah ….

Terbunuhnya Umar merupakan hasil pertama yang dicapai oleh atau subversi ini, yang gerakannya merembes ke Madinah tak ubahnya bagai angin panas, dan bergerak dari negeri yang kerajaan dan singgasananya telah dibebaskan oleh ummat  islam

Berhasillah usaha mereka terhadap umar membangkitkan minat dan semangat mereka untuk melanjutkan, mereka sebarkan fitnah  dan menyalakan apinya ke sebagian besar negeri-negeri islam. Dan mungkin Ustman r.a tidak memperhatikan perhatian khusus  terhadap masalah ini hingga terjadi pula yang menyebabkan syahidnya ustman dan terbukanya pintu fitnah yang melanda kaum muslimin . . .

Mu’awiyah bangkit hendak merebut jabatan khalifah dari tangan khalifah Ali karamallahu wajhah yang baru diangkat dan dibai’at. Dan pendirian shahabat pun bermacam-macam, ada yang menghindar dan mengunci diri di rumahnya, dengan mengambil ucapan Ibnu Umar sebagai semboyannya:

“Siapa yang menyerukan marilah shalat, saya penuhi …. Dan siapa yang mengatakan: marilah mencapai bahagia, saya turuti . . . .

Tetapi yang mengatakan: marilah bunuh saudaramu yang Muslimin dan marilah rampas harta bendanya, maka saya jawab: tidak. . .!”

Di antara mereka ada yang berpihak kepada Mu’awiyah. Dan ada pula yang berdiri mendampingi Ali, membai’at dan pengang­katannya sebagai khalifah Kaum Muslimin ….

Dan tahukah anda di pihak mana ‘Ammar berdiri waktu itu? pihak siapakah berdirinya laki-laki yang mengenai dirinya Rasulullah saw. pernah bersabda:
“Dan ambillah olehmu petunjuk yang dipakai oleh ‘Ammar sebagai bimbingan . . . !”

bagaimanakah pendirian orang yang mengenai dirinya Rasulullah saw. pernah pula bersabda:
“Barangsiapa yang memusuhi ‘Ammar, maka ia akan di­musuhi oleh Allah . . . !”

orang yang bila suaranya kedengaran mendekat ke rumah Rasulullah, maka beliau segera menyambut dengan sabdanya: “Selamat datang bagi orang baik dan diterima baik . . . , idzinkanlah ia masuk  . . . !”

la berdiri di samping Ali bin Abi Thalib, bukan karena fanatik atau berpihak, tetapi karena tunduk kepada kebenaran teguh memegang janji! Ali adalah Khalifah Kaum Muslimin, berhak menerima bai’at sebagai pemimpin ummat. Dan khilafat itu diterimanya, karena memang ia berhak untuk itu dan layak untuk menjabatnya …. Baik sebelum maupun sesudah ini, Ali memiliki keutamaan­tamaan yang menjadikan kedudukannya di samping Rasul­ tak ubah bagai kedudukan Harun di samping Musa …. Dengan cahaya pandangan ruhani dan ketulusannya, ‘Ammar selalu mengikuti kebenaran ke mana juga perginya, dapat mengetahui pemilik hak satu-satunya dalam perselisihan ini. Dan menurut keyakinannya, tak seorang pun berhak atas hal ini dewasa itu selain Imam Ali, oleh sebab itulah ia berdiri di sampingnya ….

Dan Ali r.a. sendiri merasa gembira atas sokongan yang diberikannya itu, inungkin tak ada kegembiraan yang lebih besar daripada itu, hingga keyakinannya bahwa ia berada di pihak Yang benar kian bertambah, yakni selama tokoh utama pencinta kebenaran ‘Ammar datang kepadanya dan berdiri di sisinya ….

Kemudian datanglah saat perang Shiffin yang mengerikan itu. Imam Ali menghadapi pekerjaan penting ini sebagai tugas memadamkan pembangkangan dan pemberontakan. Dan ‘Ammar ikut bersamanya. Waktu itu usianya telah 93 tahun ….

Apa dalam usia 93 tahun ia masih pergi ke medan juang

Benar . . . , selama menurut keyakinannya peperangan itu menjadi tugas kewajibannya, Bahkan ia melakukannya lebih semangat dan dahsyat dari yang dilakukan oleh orang-orang muda berusia 30 tahun ….

Tokoh yang pendiam dan jarang bicara ini hampir saja tidak menggerakkan kedua bibirnya, kecuali mengucapkan kata-kata mohon perlindungan berikut:

“Aku berlindung kepada Allah dari fitnah …. Aku berlindung kepada Allah dari fitnah . . . .”.

Tak lama setelah Rasulullah wafat, kata-kata ini merupakan do’a yang tak putus lekang dari bibirnya. Dan setiap hari ber­lalu setiap itu pula ia memperbanyak do’a dan mohon perlin­dungannya itu . . . , seolah-olah hatinya yang suci merasakan bahaya mengancam yang semakin dekat dan menghampiri juga.

Dan tatkala bahaya itu tiba dan fitnah merajalela, Ibnu Sumayyah telah mengerti di mana ia harus berdiri. Maka di hari perang Shiffin walaupun sebagai telah kita katakan usianya telah 93 tahun, ia bangkit menghunus pedangnya, demi membela kebenaran yang menurut keimanannya harus dipertahankan.

Pandangan terhadap pertempuran ini telah dima’lumkannya dalam kata-kata sebagai berikut:

“Hai ummat manusia!
Marilah kita berangkat menuju gerombolan yang mengaku­ng-aku hendak menuntutkan bela Utsman!

Demi Allah! Maksud mereka bukanlah hendak menuntutkan belanya itu, tetapi sebenarnya mereka telah merasakan manisnya dunia dan telah ketagihan terhadapnya, dan mereka mengetahui bahwa kebenaran itu menjadi penghalang bagi pelampiasan nafsu serakah mereka. Mereka bukan yang berlomba dan tidak termasuk barisan pendahulu memeluk Agama Islam. Argumentasi apa sehingga mereka merasa berhak untuk ditaati oleh Kaum Muslimin dan diangkat sebagai pemimpin, dan tidak pula dijumpai dalam hati mereka perasaan takut kepada Allah, yang akan mendorong mereka untuk mengikuti kebenaran . . . !

Mereka telah menipu orang banyak dengan mengakui hendak menuntutkan bela kematian Utsman, padahal tujuan mereka Yang sesungguhnya ialah hendak menjadi raja dan penguasa adikara …. ! “

Kemudian diambilnya bendera dengan tangannya, lalu dikibarkannya tinggi-tinggi di atas kepada sambil berseru:
“Demi Dzat yang menguasai nyawaku…Saya telah bertempur dengan mengibarkan bendera ini bersama Rasul­ullah saw., dan inilah aku siap berperang pula dengan mengibarkannya sekarang ini …!

Demi nyawa saya berada dalam tangan-Nya … Seandainya mereka menggempur dan menyerbu hingga ber­hasil mencapai kubu pertahanan kita, saya tahu pasti bahwa kita berada di pihak yang haq, dan bahwa mereka di pihak Yang bathil …. ! “

Orang-orang mengikuti ‘Ammar, mereka percaya kebenaran  ucapannya.

Berkatalah Abu Abdirrahman Sullami: “Kami ikut serta dengan Ali r.a. di pertempuran Shiffin, maka saya lihat ‘Ammar bin Yasir r.a. setiap ia menyerbu ke sesuatu jurusan, atau turun ke sesuatu lembah, para shahabat Rasulullah pun mengikutinya, tak ubahnya ia bagai panji-panji bagi mereka …. ! “

Dan mengenai ‘Ammar sendiri, sementara ia menerjang dan menyusup ke medan juang, ia yakin akan menjadi salah seorang syuhadanya . . . . Ramalan Rasulullah saw. terang terpampang di ruang matanya dengan huruf-huruf besar:

“Ammar akan dibunuh oleh golongan pendurhaka … !
.
Oleh sebab itu suaranya bergema di serata arena dengan senandung ini:
“Hari ini daku akan berjumpa dengan para kekasih tercinta
…. Muhammad dan para shahabatnya…….. !”

Kemudian bagai sebuah peluru dahsyat ia menyerbu ke arah Mu’awiyah dan orang-orang sekelilingnya dari golongan Bani Umayyah, lalu melepaskan seruannya yang nyaring yang menggetarkan:

“Dulu kami hantam kalian di saat diturunkannya.
Kini kami hantam lagi kalian karena menyelewengkannya
Tebasan maut menghentikan niat jahat
Dan memisahkan kawanan pengkhianat
Atau al-Haq berjalan kembali pada relnya”.

Maksudnya dengan sya’irnya itu, bahwa para shahabat yang terdahulu dan ‘Ammar termasuk salah seorang di antara mereka. Dulu telah memerangi golongan Bani Umayyah yang dikepalai oleh Abu Sufyan ayah Muawiyah pemanggul panji‑
panji syirik dan pemimpin tentara musyrikin …… Mereka perangi orang-orang itu karena secara terus terang al-Quran menitahkan­nya disebabkan mereka adalah orang-orang musyrik.

Dan sekarang di bawah pimpinan Muawiyah, walaupun mereka telah menganut Islam dan meskipun al-Quranul Karim tidak menitahkan secara tegas memerangi mereka, tetapi menurut ijtihad ‘Ammar dalam penyelidikannya mengenai kebenaran dan pengertiannya terhadap maksud dan tujuan al-Quran , meyakin­kan dirinya akan keharusan memerangi mereka, sampai barang yang dirampas itu kembali kepada pemiliknya, serta api fitnah dan pemberontakan itu dapat dipadamkan untuk selama­-lamanya ….

Juga maksudnya, bahwa dulu mereka memerangi orang-orang Bani Umayyah karena mereka kafir kepada Agama dan kafir ‘kepada al-Quran …. Dan sekarang mereka menggempur orang­-orang itu karena mereka menyelewengkan Agama dan menyim­pang dari ajaran al-Quranul Karim serta mengacaukan ta’wil dan salah menafsirkannya, dan mencoba hendak menyesuaikan tujuan ayaat-ayatnya dengan kemauan dan keinginan mereka pribadi

Maka tokoh tua yang berusia 93 tahun ini menerjuni akhir perjuangan hidupnya yang menonjol dengan gagah berani. Dan ‘sebelum ia berangkat ke rafiqul ‘la, ia tanamkan pendidikan terakhir tentang keteguhan hati membela kebenaran, dan di­tinggalkannya sebagai contoh teladan perjuangannya yang besar dan mulia lagi berkesan dan mendalam ….

Orang-orang dari pihak Mu’awiyah mencoba sekuat daya ntuk menghindari ‘Ammar, agar pedang mereka tidak me­nyebabkan kematiannya hingga ternyata bagi manusia bahwa merekalah golongan pendurhaka ……

Tetapi keperwiraan ‘Ammar yang berjuang seolah-olah ia satu pasukan tentara juga, menghilangkan pertimbangan dan akal sehat mereka. Maka sebagian dari anak buah Mu’awiyah mengintai-ngintai kesempatan untuk menewaskannya, hingga telah kesempatan itu terbuka mereka laksanakanlah dan wallah ‘Ammar di tangan tentara Mu’awiyah………..

Sebagian besar dari tentara Mu’awiyah terdiri dari orang­rang yang baru saja masuk Agama Islam, yakni orang-orang yang menganutnya tidak lama setelah bertalu-talunya genderang menangan terhadap kebanyakan negeri yang dibebaskan islam, baik dari kekuasaan Romawi maupun dari penjajahan Persi.

Maka mereka inilah sebenarnya yang menjadi biang keladi dan menyalakan api perang saudara yang dimulai oleh pem­bangkangan Mu’awiyah dan penolakannya untuk mengakui Ali sebagai Khalifah dan Imam …Jadi mereka inilah yang bagaikan kayu bakar menyalakan apinya hingga jadi besar dan menggejolak.

Dan bagaimana juga gawatnya pertikaian ini, sedianya akan dapat diselesaikan dengan jalan damai andainya masih terpegang dalam tangan Muslimin pertama. Tetapi demi bentuknya jadi meruncing, ia jatuh ke dalam tokoh-tokoh kotor yang tidak peduli akan nasib Islam hingga api kian menyala dan tambah berkobar ….

Berita tewasnya ‘Ammar segera tersebar dan ramalan Rasul­ullah saw. yang didengar oleh semua shahabatnya sewaktu mereka sedang membina masjid di Madinah di masa yang telah jauh sebelumnya, berpindah dari mulut-ke mulut:

“Aduhai Ibnu Sumayyah ….
ia dibunuh oleh golongan pendurhaka!”

Maka sekarang tahulah orang-orang siapa kiranya golongan pendurhaka itu . . . , yaitu golongan yang membunuh ‘Ammar …. yang tidak lain dari pihak Mu’awiyah …. !

Dabat di atas jasadnya, maka ruhnya yang mulia telah bersemayam lena di tempat bahengan kenyataan ini semangat dan kepercayaan pengikut­-pengikut Ali kian bertambah. Sementara di pihak Mu’awiyah, keraguan mulai menyusup ke dalam hati mereka, bahkan sebagian telah bersedia-sedia hendak memisahkan diri dan ber­gabung ke pihak Ali ….

Mengenai Mu’awiyah, demi mendengar peristiwa yang telah terjadi ia segera keluar mendapatkan orang banyak dan me­nyatakan kepada mereka bahwa ramalan itu benar adanya, dan Rasulullah benar-benar telah meramalkan bahwa ‘Ammar akan dibunuh oleh golongan pemberontak . . . . Tetapi siapakah yang telah membunuhnya itu . . . . ? Kepada orang-orang sekeliling diserukannya: “Yang telah membunuh ‘Ammar ialah orang-orang yang keluar bersama dari rumahnya dan membawanya pergi berperang …. !

Maka tertipulah dengan ta’wil yang dicari-cari ini orang-­orang yang memendam maksud tertentu dalam hatinya, semen­tara pertempuran kembali berkobar sampai saat yang telah ditentukan ….

Adapun ‘Ammar, ia dipangku oleh Imam Ali ke tempat,Ia menshalatkannya bersama Kaum Muslimin, lalu dimakamkan dengan pakaiannya! Benar, dengan pakaian yang dilumuri oleh darahnya yang bersih suci! Karena tidak satu pun dari sutera atau beludru dunia yang layak untuk menjadi kain kafan bagi seorang syahid mulia, seorang suci utama dari tingkatan Ammarr

Dan Kaum Muslimin pun berdiri keheran-heranan di kubur­nya …Semenjak beberapa saat yang lalu ‘Ammar berdendang di depan mereka di atas arena perjuangan . .. , hatinya penuh dengan kegembiraan, tak ubah bagai seorang perantau yang merindukan kampung halaman tiba-tiba dibawa pulang, dan terlompatlah dari mulutnya seruan:

“Hari ini aku akan berjumpa dengan para kekasih ter­cinta. . . .

Dengan Muhammad saw. dan para shahabatnya………….

Apakah ia telah mengetahui hari yang mereka janjikan akan bertemu dan waktu yang sangat ia tunggu-tunggu Para shahabat saling jumpa-menjumpai dan bertanya: “Apakah anda masih ingat waktu sore hari itu di Madinah, ketika kita sedang duduk-duduk bersama Rasulullah saw. . . . , dan tiba-tiba wajahnya berseri-seri lalu sabdanya:

“Surga telah merindukan ‘Ammar.. . . “.
”Benar”, ujar yang lain. “dan waktu itu juga disebutnya nama­ nama lain , di antaranya ‘Ali, Salman dan Bilal .

Nah, bila demikian halnya, maka surga benar-benar telah merindukan ‘Ammar …        ‘ Dan jika demikian, maka telah lama surga merindukannya, sedang kerinduannya tertangguh, me­nunggu ‘Ammar menyelesaikan kewajiban dan memenuhi tanggung jawabnya . . . . Dan tugas itu telah dilaksanakannya dan dipenuhinya dengan hati gembira.

Maka sekarang ini, tidakkah sudah selayaknya ia memenuhi panggilan rindu yang datang menghimbau dari haribaan surga

Memang, datanglah saatnya ia mengabulkan panggilan itu, karena tak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan pula …Demikianlah dilemparkannya tombaknya, dan setelah itu ia pergi berlalu ….

Dan ketika tanah pusaranya didatarkan oleh para shahabat di atas jasadnya, maka ruhnya yang mulia telah bersemayam lena di tempat bahagia …. nun di sana dalam surga yang kekal abadi, yang telah lama rindu menanti ….